Selasa, 04 Mei 2010

41 Jam Terbang ke Guatemala

Perjalanan Panjang ke Guatemala

Hahh?! Terbang ke Guatemala perlu 41 jam? Gak salah?
Mungkin pertanyaan seperti itu yang terlintas di benak banyak orang tatkala membaca judul artikel ini. Ya, tidak ada yang salah dengan judul di atas. Perjalanan ke Guatemala yang harus saya tempuh pada tahun 2002, hampir 8 tahun silam memang memakan waktu sekitar 41 jam perjalanan udara. Lamanya waktu tempuh disebabkan karena saya harus memutar jalur penerbangan saya dari Jakarta menuju Guatemala city melalui 3 benua. Ya, bayangkan! 3 benua!

Jalur melintasi 3 benua terpaksa dipilih dengan sejumlah pertimbangan kemudahan, kenyamanan dan yang paling utama adalah keamanan dan keselamatan. Kenapa demikian? Hal ini disebabkan saya melakukannya hanya setahun berselang setelah kejadian 9 September 2001 yang menumbangkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York city. Gedung pencakar langit yang mahsyur sebagai lambang kedigdayaan perekonomian Amerika Serikat itu runtuh diterjang pesawat yang dibajak oleh sekelompok orang pada peristiwa tragis yang kemudian terkenal dengan istilah 9/11 atau black september. Pembajak pesawat tersebut ramai disebut-sebut di media sebagai bagian dari jaringan teroris yang berpusat di sebuah negara timur tengah.

Sejak tragedi kemanusiaan yang menggemparkan dunia dan merenggut nyawa demikian banyak umat manusia itu memang agak sulit untuk mendapatkan izin ataupun visa ke Amerika Serikat, utamanya bagi pemeluk agama Islam. Bahkan kabarnya kalaupun berhasil mendapatkan visa akan tetap mendapat kesulitan dan perlakukan diskrimatif yang sangat jauh dari kata nyaman ketika seorang muslim menapakkan kakinya di bandara-bandara negeri adidaya itu, walau sekedar untuk singgah sementara (transit). Wah! ’’Mending jangan cari masalah deh Mor. Apalagi kamu akan berangkat sendiri’’, demikian saran yang saya dapatkan saat menyusun rute perjalanan.

Sesungguhnya rute tercepat untuk menuju ke Guatemala yang terletak di kepulauan Karibia, di selatan benua Amerika memang dengan singgah di Amerika Serikat. Namun karena saya seorang muslim maka saya tidak direkomendasikan untuk melintasi Amerika Serikat dalam perjalanan menuju Guatemala City. Itu sebabnya rute perjalanan saya kemudian diubah menjadi Jakarta – Singapura – Paris – Mexico city – Guatemala city. Bayangkan berapa jauh perjalanan yang akhirnya harus saya tempuh melintasi benua Asia, Eropa lalu Amerika, menuju belahan selatannya, hingga berakhir di negara kepulauan Karibia itu.

Perjalanan panjang ini saya lakoni dalam rangka memenuhi undangan untuk menjadi pembicara di sebuah workshop yang diselenggarakan di Antigua – Guatemala, sebagai perwakilan Non Align Movement (NAM) dari Indonesia. Lokakarya bertajuk ’’Workshop on E-Readiness in Latin America and the Caribbean Region’’, sebuah Bi-lingual Meeting: English and Spanish (http://www.csstc.org/Quick_Reference/SA-2002d.htm#I.6) memang dimaksudkan sebagai ajang berbagi informasi dan diskusi mengenai kesiapan setiap negara di Amerika Latin maupun kepulauan Karibia di bidang Information and Communication Technology (ICT). Adapun delegasi perwakilan NAM Indonesia diundang sebagai pembicara dan pemapar materi utama.

Diantar oleh ayah hingga ke bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta, saya memulai perjalanan panjang seorang diri itu pada tanggal 24 September 2002, jam 17.00 sore dengan rute pertama Jakarta – Singapura. Ya, saya harus berangkat sendiri dari Jakarta karena 3 orang anggota delegasi Indonesia lainnya telah berangkat lebih dulu. Hal ini disebabkan mereka termasuk bagian dari dewan direksi dan pengurus dari kantor representatif NAM Indonesia, yang berlokasi di area Kemayoran - Jakarta, sehingga mereka harus melakukan koordinasi lebih dahulu dengan pihak penyelenggara di Guatemala. Berbekal segenap keberanian hati (yang memang telah saya kumpulkan sejak hari pertama undangan saya terima), serta tentunya tak lupa sebuah laptop dan laser pointer yang saya masukkan dalam handcarry sebagai sarana presentasi di sana, sayapun melangkahkan kaki memasuki pintu pesawat. Sengaja saya membawa laptop pribadi dari Jakarta walaupun panitia di sana tentu akan menyediakan sarana lengkap. Namun saya lebih merasa aman dan nyaman bila peralatan yang saya gunakan saat presentasi sudah saya pahami dengan baik.

Terbang dengan Singapore Airlines seperti biasa perjalanan rute ini ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam saja. Tiba di bandara Changi, Singapura, saya harus transit selama kurang lebih 1,5 jam, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Paris dengan menggunakan maskapai penerbangan Air France. Menempuh waktu sekitar 15 jam di udara, tidak terasa membosankan, karena teman duduk saya selama di pesawat, seorang pebisnis paruh baya, berusia sekitar 50-60 tahunan, dengan ramah membuka percakapan dan bercerita pelbagai hal menarik. Tak hanya bercerita mengenai Manchester, kota dia berasal, namun diapun tertarik untuk mengenal Indonesia lebih jauh. Sayapun bertukar cerita. Tentu saja saya ceritakan yang indah-indah mengenai negeri kelahiran saya.

Perjalanan dari Singapura hingga Manchester city yang terletak di Inggris, saat pesawat ini sempat transit selama 30 menit, terasa cukup menyenangkan. Teman saya berbincang akhirnya turun di kota asal sebuah klub sepakbola yang sangat kondang di dunia. Sisa waktu perjalanan hingga ke Paris kemudian saya habiskan dengan menonton film. Tepat pukul 5 pagi waktu setempat, pesawat yang membawa saya mendarat di bandara Charles De Gaulle, Paris.

Rute penerbangan dari dan menuju benua berbeda membuat saya harus melintasi luasnya bandara ini dari terminal A ke terminal F. Mon Dieu! Cet aéroport est trés grand! Bandara ini luas sekali. Semula sedikit membingungkan juga mencari arah tujuan yang tepat di bandara sebesar itu. Beruntung penguasaan bahasa Prancis saya, walau tidak terlalu fasih, sangat membantu untuk dapat bertanya kepada petugas di negara yang terkenal sangat bangga akan bahasa nasionalnya. Masyarakat Prancis memang bangga sekali dengan bahasa nasional mereka sehingga jarang sekali yang menguasai bahasa asing lainnya. Untuk urusan bicara dengan orang Prancis, saya pernah memiliki pengalaman tersendiri ketika berkunjung ke kota Paris beberapa tahun sebelumnya. Saat mencoba bertanya arah jalan dengan menggunakan bahasa Inggris pada seorang petugas polisi lalu lintas, sang petugas sama sekali tidak menanggapi karena memang tidak menguasai bahasa lain kecuali bahasa Prancis.

Dengan menumpang shuttle bus, dikala sinar sang mentari belum lagi sempurna menyinari bumi ini, saya berpindah menuju terminal F. Seorang pria Prancis dengan sigap membantu saya menaikkan handcarry ke dalam bus. Mungkin dia iba melihat saya agak tergopoh seorang diri menyeret-nyeret handcary di tengah pagi buta itu. Sungguh seorang pria yang gentle. Padahal dia bepergian bersama gadisnya, yang sama sekali tidak menunjukkan raut wajah masam saat prianya membantu saya. Sang gadis bahkan tersenyum ramah dan menanyakan saya hendak bepergian kemana sepagi itu. Tampaknya hal bantu membantu orang lain yang terlihat membutuhkan, tanpa harus mengenal lebih dahulu, sudah menjadi budaya di keseharian mereka. Semua dilakukan dengan spontan.

Fiuh! Awal dari perjalanan panjang ini setidaknya sudah terlampaui dengan selamat. Tak berhingga rasa syukur saya kepada Yang Maha Kuasa, karena bertemu dengan orang-orang yang berbaik hati mengulurkan tangan untuk membantu. Pasangan Prancis itu ternyata turun lebih dulu di terminal C, maka tinggalah saya berdua dengan supir bus yang menjalankan tugasnya tanpa sepatah katapun, menempuh perjalanan hingga terminal F.

Tiba di terminal F, jam menunjukkan pukul 5.45 pagi waktu setempat. Saya langsung menuju ke sebuah business lounge, karena di Paris ini saya masih harus transit selama 8 jam. Pesawat yang akan membawa saya ke Mexico city baru akan berangkat pada jam 1 siang waktu setempat. Awalnya saya sungguh bingung bagaimana akan menghabiskan waktu selama itu seorang diri. Tidur tentu saja bukan pilihan menarik untuk saya, karena badan saya sudah penat dan kepala sudah terasa berat akibat terlalu banyak tidur di pesawat. Makan? Wah! Terima kasih. Perut saya sudah sesak dengan pelbagai makanan dan minuman yang dihidangkan di pesawat berulangkali. Sangking tidak ada hal lain yang dapat dikerjakan di pesawat selain makan dan tidur, saya sudah nyaris merasa seperti kerbau yang sengaja digemukkan untuk ritual hari raya kurban. Berbelanja? Sepagi itu mana ada duty free shop yang buka? Lagipula saya tidak terlalu suka berbelanja di awal perjalanan, karena hanya akan membebani perjalanan yang masih panjang dengan berbagai barang bawaan saja. Bingung juga hendak berbuat apa.

Saya kembali mengaktifkan handphone yang saya matikan sepanjang di pesawat tadi. Memeriksa sms demi sms yang masuk dan mulai berkirim kabar dengan beberapa teman. Satu jam terlewati. Lalu? Saya kemudian berpikir untuk mandi saja. Kebetulan saya menunggu di business lounge sehingga kamar mandi yang tersedia di sana sangat nyaman untuk membersihkan tubuh yang terasa lengket karena terakhir kali saya mandi di Jakarta hampir 20 jam yang lalu. Saya memang sengaja membawa baju ganti di dalam handcarry. Usai membersihkan diri dan berganti baju, badan terasa segar kembali. Rasa laparpun datang. Ih! Gila! Ternyata bisa lapar lagi. Tadinya saya pikir saya sudah tidak akan sanggup menelan apapun setelah demikian sering dijejali makanan dan minuman di atas pesawat. Segera saya isi perut dengan beberapa hidangan yang tersedia, karena tentu saja saya hanya dapat memilih hidangan yang halal.

Setelah kenyang dan merasa takkan sanggup untuk menelan sesendok makananpun lagi, saya teringat untuk melihat-lihat kembali materi presentasi saya dan melatih sedikit intro di awal presentasi agar tidak terlihat kaku. Maka tibalah waktunya untuk mengaktifkan laptop dan memutar kembali tape recorder yang berisi rekaman latihan presentasi saya. Memutar kembali memori di otak yang sudah cukup lama dibawa lelap selama di pesawat tadi. Jangan sampai saya lupa dengan materi yang akan dibawakan. Kurang lebih 1 jam saja waktu yang saya gunakan untuk melihat-lihat kembali materi presentasi.

Waktu masih menunjukkan jam 9.15 pagi. Saya mulai kehabisan akal untuk membunuh waktu tunggu yang masih panjang ini, seorang diri pula. Berselancar menjelajahi dunia maya menjadi kegiatan saya selanjutnya. Entah apa saja situs yang saya telusuri. Beragam berita tanah air, mulai dari yang penting, sedikit penting hingga sangat tidak penting saya simak sambil lalu.

Setelah bosan, saya kembali melirik jam tangan. Astaga! Ternyata waktu baru bergerak sekitar satu setengah jam saja. Tepatnya baru pukul 10.50 pagi! ’’Mau ngapain lagi nih?’’, batin saya dalam hati. Saat mata tak sengaja melihat para pelayan kembali mengisi nampan di meja-meja hidang, sayapun beranjak mengambil makanan dan minuman lagi. Kali ini bukan karena lapar. Tapi karena ingin ngemil saja. Sungguh! Perut rasanya masih penuh dengan makanan yang saya lahap tadi pagi. Saya bahkan curiga jangan-jangan sistem pencernaan sayapun ikut menjadi malas karena kerja saya hanya makan, duduk, makan lagi dan duduk lagi. Ugh! Rasanya benar-benar sudah seperti ’’kerbau’’ saja, menguyah, memamah biak tak henti-henti.

Lamat-lamat saya nikmati berbagai penganan dari meja hidang sambil kembali memeriksa beberapa sms yang masuk ke handphone saya. Berhubung masih kenyang, saya sengaja tidak mengambil jenis makanan yang berat-berat. Menghabiskan sisa waktu tunggu, saya lalu mengamati tingkah laku orang-orang yang mulai ramai di business lounge itu, sambil menikmati alunan musik instrumentalia.

Mendekati pukul 12.00 siang saya beranjak meninggalkan lounge menuju boarding room. Berjalan perlahan sambil melihat-lihat beragam barang yang dipajang di sejumlah duty free shop saya pun memasuki boarding room pukul 12.35 siang. Aaah...! Akhirnya tiba juga waktu keberangkatan menuju negara berikutnya. Pukul 1 siang, pesawat Air France yang saya tumpangi mulai mengudara menuju Mexico city.

Kali ini teman duduk saya seorang pria muda (menurut pengamatan saya berumur sekitar 30-40 tahunan), berwajah sangat ’’latin’’, bahkan dalam hati saya sempat merasa ngeri melihat tampangnya yang mirip ’’mafioso’’ itu. Sebagaimana wajahnya yang dingin, sikapnya juga tergolong dingin. Sepanjang perjalanan pria yang duduk di sebelah saya itu sama sekali tidak pernah membuka percakapan. Dia hanya sibuk sendiri dengan aktifitasnya menonton film, membaca, mendengar musik lewat earphone, makan dan tidur. Waduh! Tiga belasan jam duduk di sebelah orang seperti ini lumayan juga. Waktu pasti terasa berputar sangat lambat. Payahnya lagi, karena duduk di business class, yang di setiap deret kursinya hanya terdiri dari 2 kursi, maka teman duduk saya tentu hanya satu di setiap kali perjalanan. Tak mau kalah gaya, sayapun menyibukkan diri dengan membaca kembali materi-materi presentasi saya, menonton film, menikmati alunan musik, makan dan tidur!

Hepp!! Jantung saya rasanya nyaris melonjak keluar lewat kerongkongan, ketika saya terbangun dan mendapati sang ’’mafioso’’ sedang berdiri di depan saya, karena kebetulan deret kursi kami terletak di baris terdepan. Dengan mengenakan kaca mata hitam, dia tampak tengah memandang ke arah saya. Ih! Ini bukan Ge-eR! Sumpah! Saya jarang sekali ke-geer-an. Tapi melihat posisi dan gayanya, saya benar-benar ngeri. Siapa yang tidak ngeri kalau tiba-tiba diamat-amati oleh orang yang selama beberapa jam duduk di sebelah kita tanpa pernah mengucapkan satu patah katapun. Sigap, sayapun langsung membetulkan letak duduk saya yang tadinya sudah setengah selonjor serta membenahi selimut hingga menutupi mata kaki. ’’Orang sinting’’, maki saya dalam hati. Kemudian saya kembali menyibukkan diri dengan membaca. Untunglah waktu tempuh menuju Mexico city saat itu tinggal 3 jam lagi.

Tiba di Aeropuerto Internacional, bandara terbesar di Mexico city, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam waktu setempat. Menurut jadwal perjalanan yang saya bawa, saya akan transit sekitar 1 jam 15 menit, sebelum berganti pesawat yang akan membawa saya ke Guatemala. Sedikit bingung, maklum baru pertama kali saya menjejakkan kaki di bandara ini, saya mencoba mencari petunjuk ke boarding room yang tepat. Agar tidak tersesat, saya selalu memperhatikan setiap jalan yang saya lalui. Cukup sulit juga karena sepanjang lajur kiri-kanan penuh dengan duty free shop yang berderet-deret, sehingga suasananya sepintas terlihat sama saja. Jadi saya harus ekstra usaha memperhatikan setiap sign board dan duty free shop yang dapat dijadikan penanda, agar seandainya tersesat bisa kembali ke lokasi semula. Setelah bertanya sana-sini, dengan harus memilih petugas yang kira-kira bisa berbahasa Inggris, mengingat masyarakat di sana menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa ibu, tibalah saya di gate yang dituju.

Sesampainya di pintu boarding room, seorang petugas menanyakan passport dan visa saya. Waduh! Passport tentu saya punya. Tapi visa? Nah, ini masalahnya, saya tidak dibekali dengan visa Prancis maupun visa Mexico, dengan anggapan saya hanya transit di sana, dan tidak akan keluar dari bandara sama sekali. Saya coba jelaskan bahwa saya hanya singgah untuk berangkat lagi ke Guatemala. Petugas itu mencoba mengerti, tapi rupanya dia ingin lebih yakin, sehingga meminta saya memperlihatkan visa Guatemala. Walah! Ini masalah lagi. Karena tidak ada hubungan bilateral (setidaknya hingga tahun itu) antara Guatemala dengan Indonesia, maka saya juga tidak dibekali dengan visa Guatemala. Saya hanya berbekal surat undangan dari Menteri Komunikasi Guatemala (dalam bahasa Spanyol), sedangkan visa on arrival akan diberikan saat saya tiba di bandara Guatemala. Sebuah perjalanan yang cukup beresiko sebenarnya. Tanpa berbekal visa dari negara manapun, sangat rentan bagi saya untuk dideportasi. Kembali saya coba menjelaskan tujuan perjalanan saya itu seraya menunjukkan surat undangan dari Menteri Komunikasi Guatemala, yang untungnya sudah saya copy beberapa lembar sejak dari Jakarta. Setelah membaca isi surat yang tertera dalam bahasa Spanyol itu dan meminta selembar copy nya akhirnya petugas tersebut bersedia memberikan boarding pass. Oooh... leganya....

Dengan badan mulai terasa remuk redam, saya duduk menunggu di boarding room. Seraya menunggu panggilan untuk masuk pesawat, sayapun mengedarkan pandang memperhatikan suasana bandara. Mengamati suasana sekeliling saya mendapati bandara Mexico ternyata sudah tergolong modern. Tata ruangnya sangat apik dan menarik, diperindah dengan tata cahaya yang terang benderang. Tidak ada kesan kusam dengan pencahayaan nyaris temaram seperti yang sering saya rasakan di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Deretan dutty free shop demikian semarak. Sebagai gerbang utama untuk masuk ke sebuah negeri, sebuah bandara memang harus jauh dari kesan muram dan kusam. Tak lama, panggilan untuk memasuki pesawat terdengar, saat jam menunjukkan pukul 10.15 malam waktu setempat. Sebuah bis yang dapat menaikkan ’’badannya’’ (dengan semacam forklift) datang menjemput penumpang di boarding room dan langsung mengantarkan hingga pintu pesawat. Para penumpang tidak perlu berjalan kaki di landasan dan menaiki tangga pesawat. Hal ini tentu sangat membantu penumpang yang masih membawa handcarry seperti saya.

Bergegas saya memasuki pesawat yang kebetulan tidak terlalu penuh. Begitu mendapatkan tempat duduk sesuai nomer yang tertera di boarding pass, saya langsung menghempaskan tubuh letih ini di kursi, memasang safety belt dan tanpa terasa matapun terpejam. Sangking capainya saya tidak terlalu menyadari saat pesawat tersebut mulai mengudara. Namun dengan setengah sadar saya masih sempat merasakan head of steward pesawat itu menyelimuti saya. Sepertinya dia iba melihat ada penumpang bertubuh mungil (bila dibandingkan dengan rata-rata tubuh masyarakat di sana yang tinggi besar) tertidur kelelahan. Seorang baik hati kembali dikirimkan Yang Maha Pengasih dalam perjalanan ini. Bersama AeroMexico saya terbang menuju Guatemala city.

Tiba di Guatemala

Perjalanan dari Mexico city ke Guatemala ternyata tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar 1 jam 10 menit saja. Sayapun menginjakkan kaki di La Aurora Internacional, bandara di Guatemala pada pukul 11.30 malam. Saat mengantri barisan menuju loket imigrasi sambil menyeret handcarry bawaan, seorang petugas lalu mendekati dan menanyakan nama saya. Rupanya petugas tersebut sudah mendapat kabar bahwa akan ada seorang penumpang yang belum memperoleh visa dan harus mendapatkan visa on arrival. Saya membenarkan pertanyaannya bahwa saya memang harus mengambil visa on arrival setibanya di bandara Guatemala. Petugas wanita yang berbahasa Inggris patah-patah dengan aksen sangat latin itupun mengajak saya memasuki sebuah kantor. Setelah mempersilahkan saya duduk dan meminta passport saya, petugas itu meminta saya menunggu, sementara dia sendiri pergi meninggalkan ruangan.

Malam itu, tidak ada penumpang lain yang memasuki kantor imigrasi. Cukup tercengang saya tatkala mengamati seisi ruang kantor tersebut. Di tahun 2002 itu kondisinya tidak lebih baik dari kondisi kantor-kantor imigrasi Indonesia era tahun 70-an. Dengan ubin (tegel) abu-abu yang retak di sana-sini, kantor tersebut hanya dilengkapi sebuah meja kerja kayu penuh baret, sebuah mesin tik manual serta sofa 3 dudukan yang tampak lusuh dan kempes busanya. Beberapa bingkai foto tampak menggantung di dindingnya yang kusam.

Sambil menunggu saya mencoba mengamati setiap bingkai foto. Alamak! Ternyata 6 bingkai foto penghias dinding kantor imigrasi itu adalah foto para DPO (alias orang yang dicari diseantero negeri) di Guatemala. Kebetulan saya sedang mempelajari bahasa Spanyol. Sehingga walaupun belum fasih benar, beberapa kata dalam bahasa Spanyo cukup saya mengerti dengan baik. Memang saya sengaja mengatakan tidak bisa berbahasa Spanyol kepada petugas imigrasi di sana, karena khawatir saya justru tidak mengerti bila mereka berbicara dalam bahasa Spanyol dengan tingkat kecepatan tinggi (bahasa Spanyol termasuk bahasa yang kerap diucapkan oleh para penuturnya dengan kecepatan bicara yang tinggi, sehingga bila mereka berbicara nyaris terdengar seperti sedang merepet). Itu sebabnya saya bersikeras mengatakan bahwa saya hanya bisa berbahasa Inggris.

Mereka yang fotonya terpampang itu dicari karena terlibat dalam perdagangan obat-obat terlarang dan senjata gelap atau kegiatan ilegal money laundry. ’’¡Se Busca!’’, begitu kalimat yang terpampang dalam huruf tebal dan besar di atas setiap foto mereka. ’’Wanted!!”, itulah artinya dalam bahasa Inggris, seperti yang sering kita lihat di film-film cowboy. Melihat wajah-wajah seram di foto itu saya kembali teringat ke ’’teman’’ duduk saya di pesawat menuju Mexico. Ih! Kembali saya bergidik ngeri. Ternyata pelaku kejahatan di sana tidak hanya didominasi oleh kaum pria. Rupanya kamu hawapun sudah turut beremansipasi. Di antara 6 foto itu terdapat 1 foto wanita, juga dengan tulisan Se Busca di atasnya.

Selesai mengamati foto, sang petugas yang membawa passport saya belum juga datang. Sementara banyak petugas-petugas lainnya yang terlihat keluar masuk ruangan melihat ke arah saya. Tingkah mereka membuat saya tertawa geli. Tak ubahnya seperti orang Indonesia yang selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar bila melihat ada ‘’orang asing’’ datang. Begitupula kehadiran saya di sana bagi mereka. ‘’Wah! Berarti saya ini bule dong di sini’’, batin saya seraya terkekeh dalam hati.

Sambil menunggu, ingatan saya kembali berputar ke asal muasal penyebab saya ‘’terdampar’’ di negeri ini. Sudah setahun lebih saya dan beberapa teman di kantor memang diminta oleh Direktur Utama kami saat itu untuk membantu kegiatannya di berbagai working group yang diikutinya. Tugas tim kecil kami adalah membantu menyiapkan materi pidato maupun bahan presentasi. Karena Indonesia tergolong dalam negara yang kondisi penerapan dan pengembangan Information and Communication Technology (ICT) dinilai sudah cukup baik, maka kelompok negara-negara non blok (NAM – Non Align Movement) meminta representatif NAM Indonesia untuk menyiapkan manual book (buku panduan) bagi negara-negara lainnya. Saat kepercayaan itu diberikan kepada beliau, tim kecil kamipun diminta untuk mempersiapkan buku panduan mengenai bagaimana melakukan penilaian terhadap kondisi kesiapan ICT di suatu negara, apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh negara tersebut untuk mengembangkan ICT nya serta dapat membuat teknologi ini terserap ke seluruh lapisan masyarakat.

Tim kami mempersiapkan 3 buku panduan, dimana setiap buku diperuntukkan bagi negara dengan kondisi kesiapan ICT yang berbeda. Ada buku panduan untuk negara dengan kondisi ICT masih sangat mendasar dan belum terlalu berkembang (Manual for Basic level), sedang berkembang (Manual for Developing level) dan yang sudah sangat maju (Manual for Advance level). Disamping itu tim kami juga melengkapi buku-buku panduan tersebut dengan sebuah buku lagi bertajuk Self Assessment for E-Readiness, yang berisi panduan bagi setiap negara untuk dapat menilai sendiri kondisi perkembangan ICT nya, sehingga selanjutnya mereka dapat menerapkan buku panduan yang sesuai.

Diterbitkan oleh representatif NAM Indonesia, ke-4 buku itu didistribusikan ke negara-negara anggota NAM lainnya. Ternyata negara-negara Amerika Latin dan kepulauan Karibia tertarik untuk mendapatkan pemaparan langsung dari delegasi Indonesia. Undanganpun dikirimkan kepada Direktur Utama kami saat itu, yang tergabung dalam keanggotaan di working group tersebut. Namun ternyata waktunya bertepatan dengan sebuah undangan seminar di negara lain yang harus beliau hadiri sebagai chairman. Tentu saja beliau tidak mungkin hadir di dua tempat berbeda dalam waktu bersamaan. Itu sebabnya saya ditunjuk untuk mewakili beliau menjadi pembicara di workshop yang diadakan di Guatemala tersebut. Ihwal mengapa hanya saya yang berangkat, disebabkan tim ini hanya terdiri dari 4 orang saja. Satu orang akan ikut mendampingi Direktur Utama kami, seorang anggota lagi baru saja mengundurkan diri (resign) karena akan melanjutkan kuliah ke luar negeri dan anggota tim lainnya mempunyai tugas yang tidak dapat ditinggalkan. Tentu saja Direktur Utama kami tidak bisa menunjuk orang lain di luar tim kami. Sebagai pembicara maka materi harus dibawakan oleh orang yang memang terlibat dalam penyusunannya dan mengerti benar isi buku-buku panduan tersebut. Maka jadilah saya yang ditugaskan untuk hadir menggantikan beliau. ‘’Mora, sudah saya putuskan bahwa kamu yang akan berangkat mewakili saya sebagai pembicara di sana. Saya sudah sampaikan ke pihak panitia agar dikirimkan undangan atas nama kamu’’, titah Direktur Utama kami saat itu.

Terus terang saya cukup kaget dengan berita penunjukkan tersebut. Bukannya gentar dengan tugas sebagai pembicara utama. Sama sekali tidak, karena saya toh ikut terlibat dalam penyusunan buku-buku manual tersebut dan bahkan mempersiapkan penuh beberapa bab di dalamnya, sehingga saya tahu persis materi yang akan disampaikan. Saya hanya perlu persiapan lebih baik dalam teknik presentasi saja. Tapi... ke Guatemala seorang diri? ’’Hiks! Dimana tuh?’’, begitu yang terlintas di benak saya. Seorang dirinya mungkin tidak menjadi masalah. Toh semua tiket dan akomodasi sudah disediakan oleh panitia. Hanya saja saya tidak mempunyai gambaran sama sekali mengenai Guatemala. Memang saya pernah mendengar bahwa negara itu termasuk golongan negara-negara Amerika Latin. Namun saya tidak tahu persis dimana lokasinya, bagaimana kondisi dan situasi negara itu. Bagi saya, Guatemala saat itu sungguh in the middle of no where. Waduh! Apalagi kemudian saya mendapat kabar dari panitia di Jakarta bahwa kondisi di Amerika Serikat masih cukup ’’panas’’, membuat rute perjalanan saya harus diatur ulang (re-route), dari yang semula singgah di Amerika Serikat menjadi mengitari 3 benua.

Teman-teman saya langsung tertawa terbahak-bahak saat mendengar saya yang dikirim ke sana seorang diri. Sebelumnya orang-orang di kantor tidak pernah ada yang ditugaskan sendirian, sekalipun hanya ke Bandung. Sedangkan saya, langsung dikirim seorang diri, ke negara nun jauh di sana. Ditambah tugas mempresentasikan materi dalam bahasa Inggris di depan peserta yang semuanya bertuturbahasa Spanyol. Ampun deh...

Demi tidak mempermalukan diri sendiri, maka begitu mendapat penunjukkan, sayapun langsung mempersiapkan materi presentasi dengan sebaik mungkin. Tidak hanya materi presentasi, namun saya juga berlatih teknik presentasi dengan intonasi yang benar di bawah bimbingan seorang mantan Direktur Pusdiklat Departemen Luar Negeri. Seorang paman saya yang mantan Duta Besar mengenalkannya kepada saya. Sejumlah latihan meliputi penyajian presentasi, intonasi, artikulasi, menjaga eye contact, hingga bridging antar slide presentasi segera saya lakoni. Menjelang hari keberangkatan, bersama teman satu tim dan beberapa teman dekat lainnya, saya mensimulasikan workshop tersebut lengkap dengan sesi tanya jawab untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan. Singkat kata, semua peralatan ’’perang’’ disiapkan agar saya siap tempur.

Lamunan saya terputus saat seorang petugas imigrasi lainnya tiba-tiba berdiri di hadapan saya dan menanyakan passport saya dalam bahasa Spanyol. ’’¿Donde esta su passaporte?’’, tanyanya. What?? ¡Dios Mio! Bukankah passport saya tadi sudah diserahkan ke seorang petugas lain dan belum juga dikembalikan. Saya mulai jengkel. Walaupun tidak fasih berbahasa Spanyol tapi kalau sekedar passaporte saya tahu persis artinya. ’’¡Vamos! su passaporte’’, suara petugas itu lagi, membuat saya semakin kesal. Ih! ¡Por favor deh! Bagaimana tidak jengkel? Permintaan itu menunjukkan tidak adanya koordinasi di antara mereka. Di samping itu saya juga mulai khawatir kalau passport saya hilang, mengingat passport merupakan satu-satunya identitas seseorang di negara lain. Apalagi kala itu belum ada hubungan bilateral, sehingga sudah tentu tidak ada KBRI di Guatemala. Jadi saat dia kian meracau su passaporte – su passaporte, dalam hati saya sempat memaki ’’kepalamu passaporte’’. Beberapa petugas lainnya kemudian ikut bergabung mengitari saya, sekedar ingin mengetahui ada apa gerangan. Huh! Memangnya saya tontonan? Dan sebalnya lagi tidak ada satupun dari mereka yang berkerumun di sekitar saya itu bisa berbahasa Inggris (ternyata dari 7 petugas yang ada malam itu, hanya 2 orang yang bisa berbahasa Inggris, itupun dengan aksen latin yang sangat kental). Jadi untuk apa mereka bergabung kalau tidak bisa membantu? Harus saya akui, kondisi malam itu mirip yang sering terjadi di Indonesia. Masyarakat kitapun gemar sekali ‘’menonton’’ kehadiran orang asing, tanpa memberi pertolongan apapun.

Walau kesal setengah mati, sambil mencoba mendinginkan kepala, saya mulai jelaskan, tentu dalam bahasa Inggris, bahwa passport saya sudah dibawa oleh seorang petugas wanita dan belum dikembalikan. Sang petugas tampak tidak memahami penjelasan saya, sehingga saya terpaksa memberi clue dalam bahasa Spanyol, ’’mi passaporte con la otra agente de imigracion, una mujer’’ (terserah deh mau tata bahasanya bener kek, salah kek, yang penting dia bisa ngerti). Untung saja saya tadi sempat mengikuti arah gerak petugas yang membawa passport saya itu, sehingga sambil menjelaskan tangan saya menunjuk-nunjuk ke arah ruangan lain yang berada di dalam kantor itu. Akhirnya si petugas mengerti, dan berlalu dari hadapan saya. Kerumunan para petugas yang mengerubungi sayapun bubar. Sejurus kemudian dia datang lagi bersama si petugas wanita membawa passport saya yang sudah dilengkapi dengan visa on arrival.

Urusan passport dan visa selesai. Sudah beres? Ternyata belum! Masalah lain kemudian datang. Saat visa telah diterbitkan pada jam 1.10 tengah malam itu, masalah berikutnya adalah saya tidak tahu siapa yang akan menjemput saya. Saat berangkat dari Jakarta saya memang diberitahu bahwa akan ada utusan panitia yang akan menjemput saya di bandara, tapi saya tidak diberitahu siapa namanya. Nah, sekarang bagaimana saya mencari dimana penjemput saya? Jadi saat sang petugas imigrasi mengatakan bahwa saya sudah boleh meninggalkan kantor mereka, saya mencoba menanyakan apakah ada yang datang menjemput saya. Ternyata petugas itupun tidak tahu dan tidak mendapat kabar apapun perihal penjemputan dari pihak panitia.

Alamak! Bagaimana ini? Selain para petugas malam itu hanya tinggal saya sendiri penumpang yang masih berada di dalam bandara. Terdampar di bandara negeri orang, tengah malam buta, tanpa tahu harus kemana. Apalagi lokasi penyelenggaraan workshop itu bukan di Guatemala city, melainkan di Antigua. Dan saya sendiri tidak tahu dimana tepatnya lokasi Antigua itu. Masalah semakin pelik karena saya tidak tahu harus menghubungi siapa. Handphone GSM saya sudah jelas tidak berfungsi di negara yang kala itu menerapkan teknologi AMPS untuk sistem telekomunikasinya.

Berusaha untuk tetap berpikir jernih agar tidak terbawa panik, maka saya berusaha menjelaskan ke petugas imigrasi di sana bahwa saya datang karena diundang untuk menjadi pembicara utama di sebuah workshop, sembari saya tunjukkan kembali copy surat undangan dari Menteri Komunikasinya. Jadi mestinya ada orang dari panitia yang datang menjemput saya, karena tanpa kehadiran saya sebagai pembicara utama tentu saja acara tersebut tidak dapat dimulai. Ini juga bukan Ge-eR! Tapi berdasarkan logika saja. Hal inilah yang membuat saya tetap tenang dan tidak terbawa panik. Saya pikir daripada saya keluar dari bandara di tengah malam yang gelap gulita tanpa tahu harus kemana lebih baik saya menunggu di bandara, kalau perlu sampai pagi. Seapes-apesnya pasti saat akan membuka acara besok pagi pihak panitia menyadari ketidakhadiran saya dan menyuruh orang untuk menjemput saya di bandara. Huff! Walau semula saya sempat merasa memanggul beban cukup berat sebagai pembicara utama, ternyata ada untungnya juga, karena kehadiran saya pasti ditunggu. Benar kata orang bijak, di setiap keadaan pasti ada hikmahnya.

Dengan keyakinan bahwa kehadiran saya pasti dibutuhkan dan dicari, sayapun meminta petugas imigrasi itu melihat ke depan bandara kalau-kalau ada yang datang menjemput saya. ‘’Aneh juga’’, pikir saya. Di Indonesia, kalau panitia mengundang tamu dari negara lain, pasti akan ada orang yang diminta menjemput. Bahkan event organizer di Indonesia akan mengusahakan menjemput tamunya hingga ke dalam bandara, tentu setelah berkoordinasi dengan petugas bandara. Terus-terang saya pernah mendapat tugas untuk menyelenggarakan acara berskala internasional, sebuah Worldwide E-TDMA workshop bagi operator-operator telekomunikasi berbasis teknologi E-TDMA di seluruh dunia. Sehingga tahu persis proses yang biasa dilakukan saat harus menjemput tamu-tamu yang datang dari berbagai negara. Dalam hal ini kebanggaan saya sebagai orang Indonesia muncul. Ternyata orang-orang Indonesia jauh lebih profesional dalam menyelenggarakan acara.

Setelah sedikit saya ’’paksa’’ akhirnya petugas imigrasi tersebut beranjak ke luar ruang bandara. Benar dugaan saya, ternyata sudah ada 2 orang yang ditugaskan menjemput saya, namun mereka tenang-tenang saja menunggu di luar bandara tanpa berusaha memberi tahu ke petugas bandara. Walah! ’’Wong londo kok bodo tenan’’, umpat saya dalam hati. Dengan mengendari mobil, sayapun diantar ke Antigua, lokasi penyelenggaraan workshop.


Tiba di Antigua

Sekitar jam 2.15 pagi saya tiba di sebuah hotel di kota Antigua. Segera setelah check in, sayapun masuk ke dalam kamar. Penat rasanya badan ini. Namun mengingat workshop akan berlangsung jam 9 pagi di hari yang sama, maka saya tidak bisa langsung tidur. Beberapa persiapan harus saya lakukan seperti baju yang akan dikenakan, materi presentasi, hingga memasang alarm di weker yang saya bawa agar dapat terbangun. Jam sudah menunjukkan pukul 3 dini hari ketika akhirnya saya terlelap. Sesaat sebelum tertidur, saya baru menyadari bahwa hari itu sudah tanggal 26 September 2002, sedangkan saya berangkat dari Jakarta tanggal 24 September 2002. Berarti ada satu hari penuh yang saya habiskan di perjalanan. Tanpa saya sadari ternyata saya sudah melewati tanggal 25 September 2002 entah di darat atau bahkan di udara.

Weker yang berbunyi nyaring dan riang membangunkan saya pada pukul 6 pagi. Ya... weker warna merah cabai berbentuk ikan paus gendut dan lucu milik adik sepupu saya, yang saat itu selalu memilih tinggal di rumah orang tua saya setiap kali liburan sekolah tiba, memang sangat berjasa membangunkan saya dari tidur nyenyak selama 3 jam saja. Bunyi alarmnya yang nyaring ’’menyanyikan’’ aneka lagu asing anak-anak seperti London Bridge, Father Jacob, Row-row-row your boat dan sejumlah lagu lainnya seakan memberi semangat. Saya memang sengaja membawanya karena biasanya bunyi alarm di handphone yang sayup-sayup tidak akan mempan membangunkan saya bila sudah tertidur pulas.

Jam 8 pagi saya turun ke ruang makan untuk sarapan bersama peserta lainnya. Di sana saya berjumpa dengan rombongan NAM dari Jakarta yang sudah cemas menunggu kedatangan saya. Ya... karena proses imigrasi yang cukup lama membuat saya datang terlambat 2 jam lebih dari waktu yang mereka perkirakan. Tepat jam 9 pagi workshop dibuka, didahului dengan foto bersama seluruh peserta. Setelah kata pembuka dari penyelenggara acara, sayapun dipersilahkan untuk mulai memaparkan materi presentasi saya (http://www.csstc.org/reports/egm/e-readines_gt/attachments.htm). Aha! Beberapa peserta tampak tercengang. Mungkin mereka heran, ada ’’anak kecil’’ dari mana ini kok berani-beraninya jadi pembicara utama? Selain seorang nenek lanjut usia, memang boleh dibilang ukuran tubuh saya termasuk mungil di antara para peserta yang rata-rata berukuran jumbo.

Ajaib!! Sepanjang presentasi tidak sedikitpun rasa kantuk menghampiri saya. Padahal saya hanya tidur selama 3 jam setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dengan lancar saya paparkan isi materi dari buku panduan yang sudah dirangkum itu, berikut tujuan dan penerapannya. Saat sesi tanya jawab, berbagai pertanyaanpun dapat saya jawab tanpa beban. Hari ke dua workshop berlangsung dalam bentuk berbagi info kondisi ICT di masing-masing negara peserta. Setiap peserta memaparkan profil ICT di negaranya masing-masing. Sayapun berhasil melaluinya tanpa rasa lelah.

Di sela-sela obrolan santai dengan sesama peserta barulah saya mengerti ternyata kebanyakan dari mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada seorang wanita muslim menempuh perjalanan demikian panjang seorang diri ke negara lain, menjadi pembicara di sebuah seminar. Bayangan mereka, wanita Islam di Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak, hampir seperti wanita Islam di Afghanistan yang terkungkung di bawah dominasi kaum pria, tidak mendapat kesempatan untuk belajar dan berkembang. Tidak heran, karena sejak tragedi 9/11 itu, banyak media-media asing yang memuat kisah-kisah penderitaan wanita-wanita di Afghanistan dan memberikan gambaran yang salah kepada dunia mengenai wanita muslim yang selalu terkungkung dan tertindas di bawah dominasi para pria.

Alhamdulillah... workshop selama 2 hari itu berlangsung lancar. Sayapun sempat diminta untuk menjadi moderator di hari ke 2, walaupun permintaan awal di undangan hanya sebagai pembicara utama saja. Seorang peserta yang sudah sangat lanjut usia, entah kenapa, sangat memperhatikan saya. Begitu tahu cerita perjalanan saya dari Jakarta hingga ke Guatemala, nenek ini hampir selalu mendampingi saya. Sehingga saya merasa tenang dan nyaman, sekalipun jauh di negeri asing. Sungguh saya sangat terharu, karena saya merasa sepertinya Yang Maha Kuasa memberikan seorang nenek yang sangat baik hati dan penuh perhatian menjaga saya persis seperti nenek saya tercinta yang baru saja meninggal satu setengah tahun sebelumnya. Bahkan saat saya perhatikan kembali fotonya, penampilan nenek inipun mirip sekali dengan penampilan nenek saya. Oooh... adakah ini sebuah kebetulan belaka...? Ataukah memang sudah kehendak Yang Maha Penyayang sebagai salah satu bentuk kasihnya kepada saya?

Sebelum bertandang ke Guatemala, belum pernah saya menemukan begitu banyaknya hidangan yang berbahan baku pisang. Ya, pisang! Di Guatemala, pisang tidak hanya sekedar dimakan sebagai buah, atau dihidangkan sebagai cemilan. Hampir seluruh hidangan yang tersaji di saat sarapan, makan siang hingga makan malam berbahan dasar pisang. Mulai dari makanan pembuka, hidangan utama hingga penutup terdiri dari aneka olahan pisang. Ada pisang yang dibuat menjadi semacam acar. Lalu pisang yang dipotong-potong dan diolah bersama daging. Sebuah pengalaman baru dan unik bagi saya yang selama ini hanya menyantap pisang sebagai buah, pisang goreng, kripik pisang atau cake pisang saja. Sungguh sebuah Banana Republic.


Antigua yang Cantik

Hari terakhir di Antigua, saya sempatkan untuk berkeliling kota. Antigua, sebuah kota tua yang cantik, dikelilingi oleh pegunungan, ternyata hanya berjarak tempuh 20 hingga 45 menit dengan mobil dari Guatemala city, tergantung pada kepadatan lalulintas. Khas sebuah kota di negara bekas kolonialisasi Spanyol, alun-alun kota tersebut dengan mudah dikenali dengan adanya balaikota, gereja, taman serta fasilitas publik lainnya. Sebagaimana kota di daerah pegunungan, udara di kota tersebut cukup dingin. Pemandangan yang terhampar sangat indah dan cantik. Deretan pegunungan nan hijau tampak sejauh mata memandang. Bahkan setiap kali saya melempar pandang ke luar jendela kamar hotel.

Konon dahulu Antigua inilah yang menjadi ibukota dari Guatemala. Meletusnya gunung berapi puluhan tahun silam yang meluluhlantakkan kota tersebut membuat ibukota kemudian dipindahkan ke Guatemala city. Dan Antigua dengan segala keindahan alamnya menjadi kota pariwisata.

Ditelisik dari segi asal usul maka penduduk Guatemala dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu asli Indian, keturunan Spanyol dan campuran antara Indian dan Spanyol. Hadirnya warga keturunan Spanyol disebabkan negara ini pernah lama dikuasai oleh salah satu negara kerajaan di Eropa itu. Pendudukan oleh Spanyol ini membuat warga keturunan Indian di sanapun sudah menggunakan bahasa Spanyol dalam keseharian mereka.

Selain hamparan pemandangan indah yang melatarinya, terdapat banyak pengrajin batu Jade di sana. Menurut cerita, batu Jade dari Antigua sesugguhnya berkualitas lebih bagus dibandingkan batu Jade dari tambang-tambang di China, karena usia tambang di Antigua jauh lebih tua. Namun, batu Jade olahan Antigua kalah mahsyur karena sebagian besar orang Guatemala mengolahnya menjadi pajangan, khususnya yang berbau ritual Indian Maya, suku Indian tertua yang merupakan penduduk asli Guatemala. Jade dari Guatemala yang berwarna gelap seperti hijau tua, merah maroon dan hitam memang jarang sekali diolah menjadi perhiasan sebagaimana olahan batu Jade dari China yang berwarna hijau cerah. Saya sempat berkunjung ke salah satu bengkel pengolahan batu Jade di sana dan melihat cara mereka mengolahnya. Sebuah patung kepala suku Indian Maya yang terbuat dari batu Jade indah terdiri dari 3 warna, sempat saya beli sebagai kenang-kenangan.

Walaupun kota kecil, namun kota ini cukup bersih. Saya tidak menemukan satu sampahpun tercecer di sana. Para pedagang asongan yang banyak menawarkan barang kepada para turis, juga tidak terlihat memaksakan dagangannya. Sebuah budaya yang patut ditiru. Ketika saya sempat berjalan-jalan di malam hari, saya melihat banyak penduduk yang homeless, tidur di emperan pertokoan. Mereka tidak jobless karena umumnya masih bekerja di sektor-sektor informal. Tatkala saya kembali melewati area tersebut keesokan paginya, tidak tampak tanda-tanda bahwa daerah itu digunakan sebagai tempat tidur di malam hari. Tanpa sampah terserak ataupun bau menyengat. Selama 3 hari saya berada di sana, tidak satu pengemispun saya jumpai. Semua warga berusaha memperoleh uang dengan bekerja menurut kemampuan dan keahlian mereka, walau memang masih banyak dari mereka yang bekerja di sektor informal, entah itu mengasong atau menjadi pemandu turis tak resmi. Padahal bila ditilik dari tingkat pendidikan, tentulah mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi. Negaranyapun bukanlah sebuah negara yang super maju. Sepertinya masyarakat setempat memang telah membiasakan budaya seperti itu dalam kehidupannya.

Dalam hal ini, boleh dibilang saya merasa agak malu, bila mengingat berbagai berita tawuran yang marak menghiasi media-media di tanah air. Mulai dari tingkat pelajar, warga hingga aparat, sepertinya semua permasalahan diselesaikan lewat tawuran. Belum lagi, sampah yang menggunung di mana-mana. Sungai yang mendangkal oleh aneka timbunan sampah. Pengemis yang kian hari kian menjamur. Hingga kabar penggusuran di sana-sini yang acap disertai dengan kericuhan. Sungguh jauh dari cerminan masyarakat yang beradab dan berbudaya.


Ke Guatemala City

Hari ke tiga, saya beserta rombongan dari Indonesia bergerak ke Guatemala city dan memutuskan untuk singgah di sana selama 2 malam. Pagi hari pertama kami di Guatemala city, kami mengunjungi mall yang berada paling dekat dengan hotel dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Jangan bayangkan seperti mall-mall mewah dengan interior nan megah yang banyak berdiri memenuhi setiap sudut kota Jakarta. Mall yang kami kunjungi di sana jauh dari kesan mewah.

Puas mengelilingi mall yang tidak seberapa besar dan hanya terdiri dari 4 lantai itu, saat makan malam kamipun memutuskan untuk mengisi hari esok dengan berpencar. Hal ini dikarenakan kami memiliki keinginan dan tujuan yang berbeda. Agar tidak membuang waktu maka kami sepakat untuk berjalan sendiri-sendiri dan bertemu lagi di hotel saat makan malam.

Saya yang gemar berburu barang-barang etnik produksi masyarakat setempat, langsung mencari tahu di mana lokasi toko untuk membeli typical product. Setelah mendapat informasi dari front desk di hotel, sayapun berjalankaki menuju lokasi tersebut yang hanya berjarak beberapa blok saja dari hotel. Sebagai negara bekas jajahan Spanyol, tata kota di negara tersebut dibuat dalam blok-blok seperti kebanyakan negara-negara di Eropa, sehingga tidak sulit untuk mencari sebuah alamat.

Sembari menyusuri jalan demi jalan, sayapun memperhatikan keadaan sekeliling. ¡Dios Mio! Tidak terlihat jalan berlubang maupun sampah berserakan di sana. Semua terlihat rapi dan bersih. Lagi-lagi tak ada pengemis yang tampak berkeliaran di sepanjang jalan. Bahkan pinggir setiap jalan telah dilengkapi dengan parking meter sehingga tidak tampak adanya parkir liar.

Memang daerah yang saya kunjungi tersebut termasuk wilayah elit di Guatemala city, dimana terdapat banyak hotel berbintang, mirip seperti segitiga emas di Jakarta. Tapi di ibukota republik tercinta ini, yang bernama kota megapolitan Jakarta, segala bentuk kesemrawutan, gunungan sampah, jalan berlubang besar dan dalam, hingga parkir liar kerap menjadi pemandangan sehari-hari dan marak terjadi sekalipun di area segitiga emas.

Lokasi penjualan typical product tersebut ternyata mirip dengan pasar seni di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, hanya dalam area lebih kecil. Terdapat sejumlah toko-toko kecil yang semuanya menjual produk-produk etnik. Saya hampir kalap membeli berbagai jenis produk etnik tersebut. Beberapa lembar table runner dan sarung bantal kursi yang dibuat dari bahan tenunanpun saya boyong. Kain tenun Guatemala hampir mirip dengan kain tenun Sumbawa - Nusa Tenggara. Hanya saja motif dan coraknya lebih berwarna. Khas kain tenun suku Indian, yang pernah saya jumpai pula saat sempat berkunjung ke Grand Canyon yang terletak di negara bagian Arizona – Amerika Serikat, beberapa tahun sebelumnya.

Dengan belanjaan yang cukup banyak akhirnya saya memutuskan untuk pulang dengan taxi, apalagi saat itu hujan gerimis mulai turun. Cukup nekat, dengan bahasa Spanyol seadanya saya minta diantarkan ke hotel tempat saya menginap. Untunglah ibu pemilik toko tempat saya berbelanja aneka ragam produk etnik, berbaik hati membantu menjelaskan kepada sang sopir taxi yang mengantar saya kembali ke hotel dengan selamat.

Usai menaruh aneka belanjaan di kamar, saya kembali berjalan ke mall terdekat untuk mencari makan siang. Sebuah café di lantai dasar menjadi pilihan saya. Seraya menikmati makan siang, sayapun mengedarkan pandang berkeliling. Sebuah pemandangan menarik saya temui. Mulai dari kasir, pelayan hingga tukang pel rata-rata berwajah cantik dan tampan. Sepertinya sulit mencari orang jelek di sana. ’’Wah! Kalau di Indonesia sih, tampang seperti ini sudah jadi artis deh’’, batin saya dalam hati. ‘’Biarpun karbitan, alias tidak berbakat, yang penting tampang OK’’, sambung batin saya. Tengok saja wajah-wajah yang banyak berseliweran di layar kaca dan yang menghiasi beragam media di tanah air. Hampir semua berwajah indo! Entah indo apa saja, asalkan blasteran pasti akan ’’bernilai jual’’. Mulai dari blasteran China atau yang istilah kerennya berwajah oriental, blasteran aneka negara Eropa, blasteran Amerika, hingga Arab, India atau Pakistan. Seakan paras asli pribumi kurang sedap dipandang mata, sehingga kurang laku di pasaran. Kalaupun berwajah pribumi maka pastilah keseksian tubuh yang menjadi daya jual.

Tak terasa sudah 2 malam kami di Guatemala city. Malam terakhir di sana kami habiskan dengan hang out bersama di sebuah café tak jauh dari hotel. Rencana kami hendak ke Tikal, sebuah lokasi tempat dimana kita bisa melihat candi-candi suku Indian Maya akhirnya batal dilaksanakan. Jauhnya jarak yang harus ditempuh dari Guatemala city ke Tikal dan waktu kami yang sangat terbatas menjadi penyebab kami mengurungkan niat tersebut. Sungguh sayang sebenarnya, mengingat entah kapan lagi kami dapat mengunjungi Guatemala. Sebagai penghibur hati, sayapun membeli beberapa pajangan miniatur candi suku Indian Maya yang semestinya dapat saya saksikan di Tikal.


Kembali ke Jakarta

Sebagaimana perjalanan menuju ke Guatemala, maka perjalanan yang harus kami tempuh untuk kembali ke Jakarta tetap melintasi 3 benua. Sebuah pesawat AeroMexico membawa kami berangkat dari Guatemala menuju Mexico. Tiba di Mexico city, entah kenapa kami merasa mendapat perlakukan diskriminasi. Saat mengetahui bahwa kami berasal dari Indonesia, kamipun diminta keluar dari antrian dan menuju kantor imigrasi. Di sana kami harus mengisi sebuah formulir lagi. Seorang bapak di rombongan kami sempat terlibat perdebatan cukup sengit dengan petugas imigrasi yang mempermasalahkan nama di passport yang hanya terdiri dari 1st name (kala itu passport Indonesia memang belum mewajibkan penulisan nama hingga lengkap dengan middle name dan family name). Beruntung nama saya selalu dilengkapi dengan nama ayah dan marga, sehingga saya selalu aman, terhindar dari masalah seperti ini.

Setelah urusan formulir dan nama beres, kamipun diperbolehkan menuju ke boarding room. Sementara menunggu, saya sempatkan untuk membeli beberapa cendera mata khas Mexico. Sebuah pajangan miniatur candi suku Indian Aztec pun saya bawa sebagai buah tangan. Ternyata candi suku Indian Aztec yang menjadi penduduk asli Mexico sedikit berbeda dengan milik suku Indian Maya di Guatemala. Tampak lebih pendek dan lebar. Saya jadi penasaran dengan bentuk candi suku Indian Inca yang konon merupakan pemukim asli di wilayah Peru. Sayang sekali saya belum sempat berkunjung ke Peru. Ingin rasanya suatu saat pergi ke sana. Tak banyak waktu yang dapat saya gunakan untuk melihat-lihat di duty free shop karena tak lama kemudian panggilan untuk masuk boarding room segera terdengar. Dengan menumpang pesawat AeroMexico kami terbang menuju Paris.

Di dalam pesawat, kembali saya merasa mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari seorang pramugari. Sikapnya terkesan tidak menggubris tatkala saya memintanya mengambilkan mineral water. Bahkan saat saya mengulangi permintaan saya. Beruntung seorang bapak setengah baya yang duduk di sebelah saya turun membantu. Bapak, yang belakangan saya ketahui merupakan pelanggan tetap maskapai itu, langsung meminta sang pramugari untuk segera memenuhi permintaan saya. Lagi-lagi, Yang Maha Adil mengirimkan seorang guardian angel untuk saya.

Saya tak tahu persis apa penyebab dari berbagai perlakuan yang tidak sewajarnya itu kepada kami. Namun beberapa bulan kemudian terbetik berita di berbagai media tanah air tentang rombongan pejabat Indonesia yang dideportasi saat baru mendarat di bandara Aeropuerto, Mexico. Desas-desus yang beredar, Mexico termasuk negara yang kerap mencurigai Indonesia sebagai negara ’’sarang teroris’’ sejak terjadinya tragedi black september.

Pesawat baru saja mengudara selama 30 menit, saat captain pilot tiba-tiba mengumumkan bahwa pesawat tidak bisa melanjutkan penerbangan ke Paris dan harus segera kembali ke Mexico dengan alasan ada kerusakan pada sistem pendingin udara. Kami bersiap-siap untuk mendarat. Sebuah bis dengan forklift yang dapat mengangkat ’’badannya’’ menjemput para penumpang hingga di pintu pesawat dan mengantarkan kami kembali ke boarding room.

Entah apa penyebab pasti pesawat tersebut harus kembali ke Mexico, karena hingga mendarat pendingin udara masih terasa berfungsi dengan baik. Namun sebuah pemandangan janggal terlihat saat pesawat mendarat. Sejumlah mobil polisi, pemadam kebakaran dan ambulans telah tampak bersiap-siaga di landasan.

Tertunda selama lebih dari 2 jam, akhirnya kami diberangkatkan kembali dengan pesawat lain menuju Paris. Tiba di bandara Charles De Gaulle, Paris, pesawat yang seharusnya membawa kami ke Singapura tentu telah berangkat. Bergegas kami pergi ke check in counter untuk menjadwalkan kembali keberangkatan kami pada penerbangan berikutnya. Ternyata hanya tersisa 1 kursi kosong di penerbangan Air France dengan jadwal terdekat. Menggunakan pertimbangan saya satu-satunya wanita dan agar tidak terlalu lama tertunda maka diputuskan sayalah yang berangkat lebih dahulu dengan Air France yang akan terbang 1 jam lagi. Semua bagasi rombongan kami akan ikut terbang bersama saya. Sedangkan ke 2 bapak dalam rombongan kami akan diberangkatkan dengan pesawat Qantas yang terbang 3 jam kemudian.

Sempat terjadi kesalahpahaman saat kami meminta petugas di check in counter membantu kami memberi informasi ke Singapura perihal keterlambatan kami agar petugas di sana dapat menjadwalkan kembali penerbangan kami ke Jakarta. Berkali-kali dijelaskan, sang petugas tampak tidak paham juga. Dia bahkan berpikir bahwa kami ingin menunda kepulangan kami hingga hari berikutnya. Dengan kesal seorang bapak di rombongan kami menggerutu, ”Weleh-weleh... bule kok geblek, dibilangin ora mudeng-mudeng’’. Saya hanya meringis mendengarnya. Yaaa... setelah mendapat beberapa kesempatan bertemu orang asing, kenyataannya belum tentu semua orang asing yang cas-cis-cus berbahasa asing itu pasti lebih pintar. Hanya saja orang Indonesia selalu silau dengan segala hal yang berlabel ’’Made in Luar Negeri’’. Semua yang berasal dari luar negeri dianggap pasti lebih hebat. Tidak hanya masyarakatnya yang memiliki pola pikir demikian, namun sayangnya Pemerintahnya juga begitu. Tak heran bila dukungan dan perlindungan dari Pemerintah terasa sangat minim dalam menjamin kepastian kesamaan hak dan naungan hukum bagi para pekerja pribumi. Padahal begitu banyak orang Indonesia yang juga pandai, bahkan jauh lebih pandai dari para pekerja asing. Banyak generasi muda di Indonesia yang menyimpan potensi demikian besar. Lihat saja betapa anak-anak muda negeri ini kerap meraih berbagai gelar juara. Mulai dari juara di berbagai cabang olahraga hingga juara di sejumlah olympiade matematika dan science. Namun perhatian pemerintah di negeri sendiri yang sangat minim atas kelanjutan pendidikan mereka membuat banyak anak muda berbakat milik negeri ini hengkang dan menetap di negara lain yang sigap memanfaatkan potensi mereka dengan menawarkan berbagai beasiswa dan kesempatan kerja. Melihat perdebatan kami, akhirnya atasan sang petugas turun tangan membantu dan berjanji akan segera menghubungi pihak maskapai di Singapura.

Sayapun kembali menempuh perjalanan Paris – Singapura seorang diri. Tiba di Singapura, menyadari keterlambatan jadwal sebagai akibat tertundanya penerbangan dari Mexico, sayapun bergegas menuju ke check in counter maskapai Singapore Airlines guna memastikan keberangkatan saya. Lega hati ini saat mengetahui bahwa nama saya telah dijadwalkan kembali pada penerbangan terdekat. Bersama Singapore Airlines sayapun menempuh rute terakhir dari perjalanan panjang saya kali ini, kembali ke Jakarta.

Saya baru saja menapakkan kaki keluar dari pintu pesawat di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta, ketika mata saya menangkap seorang petugas bandara yang mengacungkan sebuah papan bertuliskan nama saya. Sungguh heran saya, ada apa gerangan hingga saya dijemput secara khusus? Apalagi saya merasa bukanlah pejabat yang biasa mendapat perlakuan khusus seperti itu. Sayapun berjalan mengikuti sang petugas, yang ternyata membawa saya ke kantor lost and found milik maskapai Singapore Airlines. Petugas bagage handling itu memberi tahu saya bahwa setelah memeriksa daftar penumpang dan bagasi, dia merasa heran karena sayalah satu-satunya penumpang yang tidak membawa bagasi. Dan itu tidak lazim untuk penerbangan jarak jauh. Sehingga dia hendak memastikan apakah saya memang tidak membawa bagasi sama sekali. Hah?! Bukankah semestinya saya justru membawa cukup banyak bagasi, mengingat semua koper rombongan kami ikut bersama saya? Usut punya usut, ternyata koper-koper kami masih tertinggal di bandara Charles De Gaulle, nun jauh di Paris! Petugas check in counter di sana lupa memberi tanda sehingga koper-koper kami tidak dimuat ke dalam pesawat berikutnya. ’’Dasar bule geblek’’, sungut saya dalam hati. Kesal! Untunglah saya kembali ke Jakarta dengan maskapai Singapore Airlines, maskapai yang tersohor dengan tanggungjawab dan profesionalitas layanannya. Tanpa menunggu keluhan dari penumpang, petugas maskapai tersebut telah mendeteksi adanya permasalahan lebih dahulu dan membantu mencarikan solusinya. Petugas itu segera menghubungi perwakilan maskapainya di bandara Charles De Gaulles untuk mengirimkan koper-koper kami dengan penerbangan Singapore Airlines berikutnya dan berjanji akan mengantarkannya langsung ke rumah saya. Sungguh sebuah layanan yang prima.

Dengan hanya menyeret sebuah handcarry, sayapun melangkah pulang. Letih badan ini serta rasa kangen yang memuncak membuat saya ingin segera tiba di rumah. Namun perjalanan nan panjang ini sungguh memberi kesan tersendiri bagi saya. Banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat saya petik. Sejak itu sayapun jadi menyukai travelling seorang diri. Memang terkadang repot mengurus segala hal sendiri namun bepergian sendiri memberi kebebasan untuk mengatur waktu melakukan hal-hal yang kita inginkan.


-Indarti Primora Barlianta Harahap-

May 2010

note:
tulisan ini diunggah dan dimuat juga di blog Kompasiana Kompas.com) dan Detik blog Detik.com) pada kategori umum dan perjalanan, serta di PriMora’s blog
(@ http://primoraharahap.blogspot.com/)