Kamis, 05 Februari 2009

Anarkisme, Wujud Matinya Demokrasi

Peristiwa tragis yang merenggut jiwa seorang ketua DPRD Sumatera Utara awal minggu ini, akibat tindakan anarkis para demonstran di Medan sungguh menyayat hati. Tragedi yang justru terjadi di tengah eforia menjelang Pemilu yang digemakan sebagai Pesta Demokrasi, telah menorehkan catatan hitam pada sejarah demokrasi negeri ini. Apa sesungguhnya yang sedang melanda bangsa ini? Berita mengenai pertikaian, perseteruan hingga tawuran seakan sudah menjadi menu sehari-hari dalam tahun-tahun terakhir ini.

Belum lepas dari ingatan saya, berita demi berita mengenai berbagai pilkada yang berakhir dengan kericuhan antar massa pendukung para kandidat. Lain waktu terbetik berita perseteruan antar elit politik ataupun pengurus partai ini-itu. Kerap pula dikabarkan mengenai pertikaian antar kesatuan dalam tubuh TNI maupun antar TNI dan Polri yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Belum lagi seringnya warta berbagai bentuk tawuran, mulai dari tingkat pelajar, mahasiswa, hingga antar warga dan suku. Sungguh gambaran sebuah bangsa yang sangat jauh dari beradab.

Berita demi berita tersebut tak dapat dipungkiri menggambarkan masih lemahnya fondasi demokrasi di negeri ini. Tegaknya demokrasi yang kerap digaungkan dan dibanggakan di negara ini ternyata masih sebatas eforia penyelenggaraan berbagai pilkada dan pemilu saja. Tidak lebih dari itu. Bahkan hasil pilkada dan pemilupun masih acap memicu perseteruan antar kandidat berikut elit politik maupun partai yang menaungi. Tak jarang perseteruan berujung pada tindakan anarkisme dari massa pendukungnya.

Atmosfir demokrasi belum tercipta di republik ini. Semua bentuk anarkisme itu sesungguhnya adalah wujud penyimpangan paling mendasar terhadap hakikat dan nilai demokrasi. Pada saat anarkisme terjadi, maka pada saat itulah demokrasi mati. Kehidupan berdemokrasi belum mengurat akar dalam keseharian masyarakat.

Mungkin kurangnya contoh tauladan dari para elit politik maupun para tokoh masyarakat membuat bangsa ini lambat belajar berdemokrasi. Bisa jadi, kebiasaan aparat keamanan yang kerap melakukan tindakan-tindakan repressive dalam menangani setiap bentuk demonstrasi, membuat tindakan seperti itulah yang diserap dan dipahami oleh masyarakat sebagai bentuk penyelesaian masalah.

Sejatinya Demokrasi adalah kebesaran jiwa untuk menerima segala bentuk perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan pendapat. Demokrasi adalah kesadaran untuk menghargai hak dan kewajiban masing-masing pihak serta menggunakannya dengan cara-cara yang prosedural dan elegan. Demokrasi adalah kemauan untuk mendengarkan, dan tidak hanya menuntut untuk didengarkan. Sehingga segala bentuk pemaksaan kehendak adalah bukan demokrasi.

Tragedi yang terjadi di Medan beberapa hari lalu, menunjukkan para demonstran telah membunuh semangat demokrasi dengan tidak menyediakan ruang dan waktu untuk mendengar penjelasan perihal masih tertundanya proses pemekaran provinsi yang menjadi tuntutan mereka. Kehadiran mereka merangsek masuk tanpa menghormati kehadiran ketua DPRD setempat yang datang dalam posisi sebagai wakil rakyat, menunjukkan rendahnya pemahaman akan azas demokrasi.

Kedatangan mereka menuntut segera terbentuknya provinsi Tapanuli, tanpa menegaskan wilayah mana yang mereka perjuangkan dan seakan mengatasnamakan persetujuan seluruh masyarakat Tapanuli atas tindakan yang mereka lakukan, sesungguhnya juga merupakan sebuah pelanggaran nilai demokrasi. Apakah benar seluruh masyarakat Tapanuli yang terdiri dari 6 etnis itu menuntut hal yang sama? Adakah hanya sebagian wilayah dan suara masyarakat Tapanuli yang mereka ‘perjuangkan’? Lalu, masyarakat Tapanuli manakah yang mereka wakilkan? Atau setidaknya, adakah mereka telah benar-benar yakin bahwa seluruh masyarakat Tapanuli telah merestui dan memberikan kuasa kepada mereka untuk ‘memperjuangkan’ aspirasi dengan melakukan segala bentuk sepak terjang yang seakan ‘menghalalkan segala cara’ itu? Adakah kegiatan demonstrasi mereka kemarin telah mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat Tapanuli, ataukah hanya berupa desakan beberapa pihak yang berkepentingan atas agenda pemekaran provinsi ini? Karena bila jawabannya masih diragukan, berarti mereka telah menisbikan suara dari bagian masyarakat Tapanuli lainnya.

Tapanuli sendiri sebuah wilayah geografis yang sangat luas. Dengan batas-batas wilayah hingga perbatasan Aceh dan Sumatera Barat, wilayah Tapanuli secara geografis terbagi lagi setidaknya menjadi 3 bagian yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, yang didiami oleh etnis Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing, dengan batas-batas wilayah yang sangat luas, hingga ke perbatasan Aceh dan Sumatera Barat.

Tentu bukan hal yang mudah untuk mengelola sebuah provisi baru dengan wilayah geografis yang demikian luas. Diperlukan begitu banyak kesiapan dalam segala aspek, termasuk kapasitas dan kapabilitas pengelola, untuk dapat menata sebuah provinsi dengan segala sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tidaklah sederhana membentuk sebuah provinsi baru yang terdiri dari berbagai etnis dan keberagaman adat/budaya maupun agama. Sangat dibutuhkan sebuah kesiapan sumber daya pendukungnya, khususnya sumber daya manusia yang siap untuk mengelolanya. Jangan sampai pemekaran justru membuat provinsi baru menjadi terbengkalai karena ketidaksiapan maupun ketiadaan pengalaman pengelolanya, sehingga alih-alih dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat setempat namun justru menuai kesengsaraan akibat dari pembengkakan anggaran belanja daerah.

Demikian banyak pemekaran sejumlah wilayah menjadi provinsi sebelumnya telah memberikan bukti betapa pengelola provinsi baru belum siap untuk mengelola wilayah barunya dengan segala kompetensi yang terkandung di dalamnya. Sehingga acapkali dampak yang terjadi adalah besar pasak daripada tiang, yang semakin menjauhkan kenyataan dari tujuan utama pemekaran dengan tidak kunjung meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat. Hal ini menunjukkan betapa bukanlah hal yang mudah mengelola sebuah provinsi baru bila tidak dipersiapkan dengan matang.

Aspek luasnya wilayah itu mungkin saja menjadi salah satu alasan mengapa penggodokan pembentukan provinsi Tapanuli masih memerlukan waktu. Atau bisa jadi, ternyata para wakil rakyat menemukan informasi dan kenyataan di lapangan bahwa tidak semua masyarakat maupun kabupaten-kabupaten yang berada di seluruh wilayah Tapanuli menginginkan bentuk dan konsep pemekaran yang sama, dalam format satu kesatuan Tapanuli yang demikian luas.

Banyak hal yang semestinya dicermati lebih dalam oleh mereka yang datang berdemonstrasi beberapa hari lalu dengan mengatasnamakan seluruh masyarakat Tapanuli. Seharusnya mereka mendengarkan lebih dulu paparan segala kemungkinan penyebab masih tertundanya proses pemekaran ini. Karena disitulah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Belajar untuk mendengarkan dan menghormati segala bentuk perbedaan pendapat serta mencari solusi yang terbaik melalui cara-cara yang beradab.

Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat Tapanuli, sangat tidak menyetujui segala bentuk tindakan anarkis dengan alasan apapun. Saya pribadipun mengungkapkan rasa berdukacita teramat sangat atas tragedi yang merenggut nyawa Bapak Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD SumUt, pada peristiwa yang sungguh memalukan tersebut.

Tidak ada tempat pembenaran bagi segala bentuk pemaksaan kehendak yang tak beradab. Anarkisme dalam bentuk apapun, adalah merupakan bentuk pemaksaan kehendak yang sangat bertentangan dengan semangat dan jiwa demokrasi.

Masih teringat jelas oleh saya, kalimat yang diucapkan Obama saat masa kampanye yang menarik simpati jutaan rakyatnya, ‘’I will listen to you, especially when we disagree’’. Sungguh gambaran indah tentang sebuah negeri dimana tegaknya demokrasi menjadi tauladan kepemimpinan, bahkan telah berakar dalam keseharian hingga di tingkat ikatan masyarakat yang paling kecil, pada kehidupan setiap keluarga.

Tragedi di Medan beberapa hari lalu, menjadi tamparan keras bagi bangsa ini untuk segera melakukan instrospeksi dan pembenahan diri. Kejadian yang memilukan hati itu semestinya menjadi cambuk bagi seluruh pemimpin negeri ini untuk memberi tauladan dalam bersikap. Kenyataan tragis itu membuktikan betapa bangsa ini masih belum memahami arti demokrasi.

Diperlukan keteladanan dari seluruh jajaran pemuka republik ini, mulai dari tingkat tertinggi hingga jenjang terendah dalam struktur pemerintahan, dari elit politik hingga tokoh masyarakat dan aparat keamanan. Sebuah tugas berat yang harus dimulai dari sekarang bila negara ini memang benar ingin menegakkan demokrasi dan menjadi sebuah bangsa besar yang beradab.

Akankah terwujud demokrasi yang beradab di republik ini?

atau… Haruskah kita memberi tanda : ‘’RIP’’, pada demokrasi di negara ini?


-PriMora Harahap-

5 Feb 2009

note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori sosial dan politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Rabu, 04 Februari 2009

Lemahnya Fondasi

Cadangan Devisa Negara dikabarkan terus merosot turun. Beberapa kali memang cadangan ini diberitakan digunakan untuk aksi intervensi BI menahan laju pelemahan nilai rupiah.

Disamping tentunya berbagai cara lain yang dilakukan BI untuk mengawal rupiah, termasuk strategi menurunkan SBI (tingkat suku bunga) hingga dengan menelurkan pelbagai kebijakan di sektor perbankan dan perdagangan valas.

Berikut saya kutipkan sebagian berita di detik com hari ini (tgl 4 Feb 200):
Cadangan devisa Indonesia kembali turun hingga US$ 739 juta dalam kurun Januari 2009. Cadangan devisa Indonesia per akhir Januari 2009 sebesar US$ 50,9 miliar.

"Cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2009 tercatat sebesar USD 50,9 miliar atau setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah," Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dyah NK Makhijani dalam siaran persnya, Rabu (4/2/2009).

Gubernur BI Boediono sebelumnya memperkirakan cadangan devisa Indonesia hingga akhir 2008 bisa mencapai US$ 51 miliar. Jika pemilu berjalan sukses dan menghasilkan pemerintahan yang stabil, maka diharapkan dana-dana asing yang diparkir di luar negeri bisa kembali ke tanah air.

Hal ini mencerminkan betapa eforia gempita sektor finansial spekulatifpun terbangun dari dana-dana luar negeri yang hanya bersifat temporer. Struktur dan proporsi sektor finansial yang sebagian besar dibangun oleh dana luar negeri yang hanya masuk sesaat dan lebih bersifat untuk tujuan trading dan profit taking semata ketimbang investasi jangka panjang, telah membuat sektor yang selama ini menjadi kebanggaan penggerak perekonomian nasional menjadi rapuh dan goyah. Keluarnya hot money dan kurangnya porsi investasi jangka panjang dalam struktur sektor tersebut telah membuat rontoknya indeks bursa dengan cepat dan cukup sulit untuk mengangkatnya kembali.

Sementara menurut sebuah berita yang hari ini saya baca di kompas.com, menkeu mengatakan bahwa:
Pemerintah juga akan menjaga tingkat permintaan dollar AS yang cukup meningkat lantaran keperluan untuk membayar hutang yang jatuh tempo atau kebutuhan membiayai impor.

Krisis ekonomi yang mengglobal, melanda dunia memang membuat nyaris tak ada sebuah negarapun yang luput dari hantamannya. Kesiapan dan ketangguhan setiap negara untuk dapat bertahan selama krisis hingga berhasil keluar dengan selamat di penghujung krisis nanti tentu sangat berbeda, tergantung dari kekokohan pilar-pilar perekonomian negara tsb.

Terus tergerusnya cadangan devisi negara demi menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, nyatanya tak juga membuat nilai tukar mata uang negeri ini dapat 'terselamatkan', walau BI rate sudah kembali diturunkan pada pagi ini. Pertanyaannya adalah sampai kapan cadangan devisa negara mampu bertahan dan sekaligus menahan merosotnya nilai rupiah?

Pertanyaan berikut yang tak kalah menggelitik saya tentunya adalah mengapa nilai rupiah sampai begitu terpuruk dan sulit untuk segera menguat kembali ?
Pernyataan menkeu bahwa diperlukan cukup banyak lembar-lembar dollar demi pembayaran hutang negara dan korporasi serta pembayaran impor, tentu mengindikasikan salah satu penyebab rentannya nilai rupiah terhadap hantaman krisis.

Sepertinya kerentanan ini disebabkan karena struktur perekonomian bangsa yang demikian lama ''dininabobokkan'' oleh eforia gemilangnya sektor finansial (khususnya yang bersifat spekulatif). Tanpa disadari, pengembangan sektor tersebut telah menciptakan gelembung-gelembung fantasi yang luar biasa indah terlihat. Namun, sebagaimana nature (sifat alami) dari gelembung, sangat rentan terhadap 'tusukan'. Sehingga sedikit tusukan krisis global membuat gelembung tersebut mengempis dan bahkan kemudian pecah.

Kealpaan berikutnya adalah kurangnya perhatian pemerintah selama ini terhadap penguatan sektor riil. Pemerintah seakan baru menyadari (atau tepatnya tersentak dan dipaksa menyadari) pentingnya sektor ini sebagai pembentukan fondasi perekonomian bangsa yang kuat, yang berjejak pada kemampuan bangsa itu sendiri, untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri.

Landaan krisis yang demikian hebat, baru menyadarkan pemerintah untuk mulai membangun sektor riil, termasuk infrastruktur penunjang yang sangat diperlukan bagi penggerak perekonomian rakyat. Namun pembangunan sektor riil dan infrastuktur penunjang tentu menjadi jauh lebih sulit dan lebih mahal bila dilakukan saat krisis telah melanda, ketimbang pada saat perekonomian negara dalam kondisi stabil. Modal yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut menjadi lebih besar dikarenakan nilai tukar rupiah juga sudah melemah.

Lagi-lagi sebuah keputusan yang - bisa dikatakan – cukup terlambat. Diperlukan daya upaya lebih besar untuk menggerakkan perekonomian rakyat yang bertumpu pada kekuatan dalam negeri di saat krisis seperti ini, apalagi dalam kondisi infrastuktur yang sama sekali tidak menunjang. Parahnya kondisi jalan-jalan di hampir seluruh wilayah republik ini, bahkan jalan-jalan protokol di ibukota negara sekalipun, yang sangat diperlukan bagi bergeraknya perekonomian bangsa, merupakan sebuah contoh saja buruknya kondisi infrastruktur penunjang di negara ini.

Tampaknya ada kecenderungan negara ini untuk selalu menempuh jalan melakukan program-program instan yang hasilnya dapat langsung terlihat & dibanggakan sebagai ''prestasi'' pengelola negara, ketimbang menjalankan program yang bersifat komprehensif dan terintegrasi. Sebuah jalan pintas selalu terlihat jauh lebih menarik ketimbang harus bersusah payah membangun fondasi yang kuat.

Di bidang pengembangan industri, kecenderungan pola kelola seperti itu telah membuat perhatian dan kebijakan pemerintah hanya ditujukan kepada pembangunan industri hilir, dan kerap mengabaikan industri hulu. Tidak terbangunnya industri yang kuat dari hulu ke hilir, membuat tingkat ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor komponen / bahan baku masih sangat tinggi, yang tentu berujung pada ketergantungan akan lembar-lembar dollar untuk mengimpor bahan baku tersebut.

Pengabaian industri hulu ke hilir yang menyeluruh dan terintegrasi, telah membuat rapuhnya stuktur industri dalam negeri, sehingga sampai saat ini industri dalam negeri masih lebih mirip ''tukang jahit'' daripada designer. Tanpa memiliki kemampuan untuk mengembangkan kualitas hasil produksi dalam negeri.

Tingkat ketergantungan impor yang cukup tinggi tak pelak membuat tingginya biaya produksi yang diperlukan sebagai akibat dari biaya pengadaan bahan baku yang cukup tinggi, yang menyebabkan harga jual produk dalam negeri menjadi sulit bersaing dengan harga produk impor (dalam bentuk barang jadi). Membuat bangsa ini menjadi lebih konsumtif ketimbang produktif.

Tidak adanya upaya serius untuk memperkuat setiap industri (khususnya pengolahan sumber daya alam dan energi-mineral) juga adalah sebuah bentuk pengabaian dalam tata kelola negara ini. Tingkat kemampuan negeri ini yang hanya sampai pada taraf mengeksplorasi dan tanpa kemampuan untuk mengolah, membuat negara ini terbiasa menjual hasil sumber daya alam dan energi dalam bentuk mentah, untuk kemudian ''terpaksa'' harus mengimpor kembali produk jadi bahan bakar energi maupun olahan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kurangnya penguasaan teknologi yang mengakibatkan ketidakmampuan negeri ini untuk mengolah sendiri sumber daya alam dan energinya membuat lagi-lagi negara ini harus bergantung pada kebutuhan lembar-lembar dollar.

Berbagai berita menyajikan kenyataan bahwa sesungguhnya negeri ini memiliki potensi-potensi yang luar biasa hebatnya, tidak hanya dalam bentuk potensi sumber daya alam, tapi juga sumber daya manusia. Bermacam kompetisi dan olimpiade berbagai cabang ilmu pengetahuan bertaraf international mampu dimenangkan oleh anak bangsa ini. Membuktikan sesungguhnya bangsa ini memiliki potensi sumber daya manusia yang demikian unggul.

Tampaknya belum ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memperhatikan dan mengembangkan sejumlah potensi yang dimiliki tersebut. Kerap kali anak-anak muda yang berbakat tidak mendapat perhatian yang serius. Sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya memilih untuk menerima beasiswa maupun bekerja di negara lain karena kurangnya perhatian dan penghargaan di negeri sendiri. Beberapa negara yang sudah lebih maju seperti Singapore bahkan dengan antusias memberi beragam beasiswa dan tawaran kerja bagi anak-anak negeri ini yang berhasil memenangkan berbagai olimpiade ilmu pengetahuan.

Sebuah program pendidikan yang direncanakan dan dikelola dengan baik mestinya akan membuat bangsa ini mampu menguasai dan bahkan mengembangkan sendiri teknologinya. Namun sepertinya negara ini terlihat sudah puas dengan program wajib belajar yang telah bertahun-tahun tidak beranjak dari tingkat sekolah menengah pertama saja. Bahkan akses dan kesempatan mengecap pendidikan tinggi kini semakin sulit terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Menunjukkan betapa kurangnya perhatian dan prioritas pengelola negara terhadap pengembangan fondasi kemampuan bangsa yang kuat. Menyebabkan lemahnya daya saing sumber daya manusia di negara ini, tidak hanya di bursa tenaga kerja internasional tapi bahkan di dalam negeri sendiri.

Lalu sampai kapan pola kelola seperti ini akan terus dipertahankan?
Sehingga negeri ini kerap harus selalu tertatih-tatih berupaya bangun kembali dari ''titik awal'', setiap kali krisis melanda?

Akankah negeri ini membiarkan pengabaian demi pengabaian dan kealpaan demi kealpaan berlangsung terus, tanpa pernah ada upaya evaluasi dan pembenahan yg menyeluruh?
Sampai kapan republik ini akan terus menerus bergantung pada pihak asing dan segala teknologi maupun produk impornya?


-PriMora Harahap-

5 Feb 2009

note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori ekonomi, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Minggu, 01 Februari 2009

Etika & Jiwa Besar Berdemokrasi

Gempita inaugurasi Barrack Obama sebagai Presiden terpilih Amerika Serikat ke 44 telah usai. Namun ada yang tetap menarik perhatian saya dari pesta demokrasi yang berlangsung di negeri Paman Sam itu. Jiwa besar yang mereka tunjukkan saat nama yang keluar sebagai ‘pemenang’ diumumkan dengan resmi sungguh membuat kagum. Walaupun saat kampanye, setiap kandidat bertarung habis-habisan, ketika keluar sang juara maka yang kalahpun dengan legowo memberi ucapan selamat. Tidak sekedar ucapan selamat saat perhitungan akhir suara telah keluar, tapi juga menunjukkan kebesaran jiwanya dengan hadir pada acara inaugurasi. Tidak ada wajah-wajah masam yang ditunjukkan selama acara berjalan. Semua tampak ikhlas dan gembira menyaksikan presiden terpilih mengucapkan sumpah janjinya kepada negara.


Etika para kandidat di ‘medan perang’pun menunjukkan sebuah peradaban cukup tinggi. Saat debat terbuka, mereka saling ‘menjatuhkan’ lawan dengan elegan, menggunakan fakta dan data serta mengemukakan keunggulan program yang ditawarkan secara jelas dan rinci. Beberapa kali memang terlihat adanya beberapa bentuk ‘black campaign’ yang tak terhindarkan. Mungkin dalam sebuah pertarungan tingkat tinggi seperti ini, tekanan yang demikian besar membuat emosi sempat ‘’terlepas’’ sejenak dari kontrol akal sehat. Tapi dengan cepat kritik rakyat lewat media mengembalikan akal sehat mereka untuk kembali beretika. Sehingga begitu masa kampanye berakhir, tidak ada lagi saling serang dan saling tuding (apalagi ‘black campaign’) yang ditujukan untuk menjatuhkan sang pemimpin pilihan rakyat. Sungguh menyenangkan melihat jalannya proses demokrasi yang demikian beradab.


Bagaimana dengan proses pesta demokrasi di republik ini? Dengan masgul terpaksa saya katakan masih jauh dari peradaban. Setiap kandidat berupaya menjatuhkan kredibilitas lawan dengan segala cara, mulai dari cara halus hingga kasar, yang elegan hingga ‘murahan’, yang masuk akal dilengkapi data faktual hingga emosional semata. Jalannya kampanye juga acap diwarnai dengan kericuhan, bahkan hingga berakhir dengan tawuran dan pertarungan antar massa pendukung masing-masing kandidat. Kekerdilan jiwa tidak hanya ditunjukkan kepada lawan tanding saja. Kritik rakyat hampir selalu dicurigai dan disikapi sebagai sebuah ancaman ketimbang masukan. Sehingga reaksi yang diberikan kerap berdasarkan emosi di luar batas.


Tak jarang walau pesta demokrasi telah lewat, para mantan kandidat tetap berseteru, enggan bertegur sapa. Bahkan kini kerap terlihat, pemimpin yang diharapkan dapat mengayomi dan memberi ketenangan pada rakyat, justru menebar keresahan publik dengan pelbagai issue tak berdasar, sekedar menunjukkan ketersinggungan rasa. Sikap mereka tak ubahnya tingkah ‘anak kecil’ ketimbang seorang pemimpin. Tingkah mereka seakan ingin selalu meminta pemahaman dan simpati publik atas apa yang menimpa. Tatkala para pemimpin bangsa semestinya dapat memahami kebutuhan dan kepentingan rakyat.


Kenapa bisa demikian? Kenapa proses demokrasi di republik ini sulit untuk berlangsung dengan beradab? Apa yang salah dengan budaya politik di negara ini?


Tampaknya budaya politik tidak legowo yang dianut hampir seluruh politisi bangsa ini disebabkan karena paradigma salah kaprah yang diyakini oleh para politisi republik ini. Setiap kandidat yang kalah dalam pertarungan politik merasa seakan-akan kekalahan itu telah menghancurkan hidupnya. Sehingga seakan-akan rival mereka telah mematikan masa depannya. Bahkan kerap dimaknai sebagai penghancuran sebuah ‘dinasti’ politik yang telah dibangun turun temurun.


Paradigma tersebut membuat politisi di negeri ini berjuang mati-matian untuk dapat memenangkan kursi jabatan. Dan demi kelanggengan ‘dinasti’ politiknya, sering memaksakan pencalonan ‘putra & putri mahkota’ mereka untuk dapat meneruskan tampuk kekuasaan, tak perduli apakah kapasitas, potensi, kredibilitas, maupun integritas mereka sudah teruji dan terbukti di hadapan masyarakat luas. Sesuatu yang jarang ditemukan di negara yang proses berdemokrasinya sudah sangat mengakar. Putra dan putri pemimpin negara tidak pernah ’dipaksakan’ untuk menjadi penerus tampuk kepemimpinan bila memang belum siap dan belum mampu.


Hal ini dikarenakan sebagian besar politisi negara ini menggantungkan hidup dan masa depannya pada jabatan politik, menjadikan politik sebagai lahan mencari nafkah. Mereka hidup dari berpolitik dan bukan menjadikan politik sebagai media untuk mengaktualisasikan kemampuan diri serta menyumbangkan kemampuan dan keahlian demi kemajuan bangsa dan negara.


Dalam materi kampanye, hampir seluruh partai politik di republik ini hanya menyentuh aspek-aspek emosional dan fanatisme masyarakat dalam upaya meraih simpati. Sehingga tidak ada proses pembelajaran politik bagi rakyat negeri ini oleh para politisinya. Kurangnya penguasaan partai politik akan strategi dan pengetahuan berkampanye yang tepat sasaranpun kerap membuat materi kampanye menjadi boomerang.


Partai politik tidak memperhitungkan berkembangnya aspek-aspek intelektualitas masyarakat serta menguatnya civil society di beberapa elemen masyarakat. Peran Partai Politik justru kerap ‘meninabobokkan’ masyarakat dengan menumbuhsuburkan aspek-aspek fanatisme dan emosionalitas tak berdasar, sehingga tingkat kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat tidak berkembang.


Sementara di Amerika Serikat, walaupun penyentuhan aspek-aspek emosional memang tidak mungkin dihindarkan sama sekali, namun tetap mempertimbangkan kemampuan intelektualitas masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga setiap partai politik dan kandidat telah siap menyodorkan program dan konsep yang jelas dan terinci dalam setiap kampanyenya (baik pada saat debat maupun dalam bentuk materi iklan). Kondisi ini membuat masyarakat terbiasa menilai pilihan yang dianggap baik, yang dapat memajukan bangsa dan negaranya lewat program-program yang dirasakan paling tepat.


Sebuah negara semaju Amerika Serikatpun dapat ‘salah memilih’ pemimpin bangsa. Seperti saat mereka terpaksa menelan kepahitan yang harus dituai dari hasil kepemerintahan Presiden George W Bush. Namun masyarakat di sana dengan cepat belajar untuk mencari sebab dan akar permasalahan yang menjadi dasar pertimbangan mereka untuk mencari sosok yang tepat, yang menawarkan konsep yang kuat sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan paling mendesak. Masyarakat yang belajar dengan cepat untuk menurunkan kadar fanatisme dan emosionalitas saat memilih, membuat Obama yang sempat mendapat ‘cibiran’ karena berasal dari golongan minoritas kulit hitam mendapat peluang untuk terpilih sebagai Presiden Afro-American pertama. Sikap partai politik juga mendukung berlangsungnya system demokrasi yang fair dan transparan yang membantu meningkatkan kesadaran dan kecerdasan berpolitik masyarakat.


Di republik ini, aspek transparansi justru kerap dihindarkan dan disamarkan. Perihal sumbang menyumbang dana kampanye adalah sebuah contoh nyata dari rendahnya kesadaran akan pentingnya transparansi. Tampak hal ini tidak lepas dari dasar berpikir yang melandasinya.


Pada hakikatnya menyumbang untuk sebuah kegiatan kampanye politik, selama dilakukan dengan jelas, transparan dengan mengikuti prosedur yang ditetapkan adalah sah dan hak politik setiap warga negara. Adanya sumbangan politik yang jelas dan transparan, justru akan menggairahkan kehidupan berpolitik yang sehat dan mempersempit terjadinya transaksi politik dalam bentuk money politics. Tentu harus ada aturan yang jelas dalam pemberian sumbangan politik, seperti pencatatan donatur pemberi sumbangan dan besarnya sumbangan yang diberikan.


Penetapan plafon atas jumlah sumbangan juga diperlukan agar terhindar dari kewajiban ’hutang budi’ pada pihak-pihak yang merasa telah menjadi penyandang dana terbesar, membuat sumber dana menjadi lebih proporsional. Kampanye Obama yang baru berlalu memberi gambaran yang cukup baik. Sekitar 90 % dana kampanye Obama berasal dari masyarakat secara individual dengan ambang batas yang telah ditetapkan.


Dalam sebuah system dan etika politik dimana fungsi kontrol, prosedur checks & balances serta aturan-aturan main sudah jelas diatur dalam peraturan maupun perundang-undangan, maka setiap pelanggaran yang terjadi akan langsung mendapat hukuman dari rakyat. Hal ini terlihat pada system politik di Amerika Serikat, saat Gubernur Illinois memperjualbelikan kursi senator yang ditinggalkan oleh Barrack Obama, langsung mendapat reaksi keras dari rakyat dan media serta tindakan impeachment oleh parlemen setempat.


Pada masyarakat dengan sistem politik yang sudah tertata dengan baik (well designed), telah terbangun kesadaran dan budaya berpolitik dengan pemahaman yang memadai. Sistem politik yang menjamin kepastian dan transparansi membuat masyarakat yakin bahwa setiap sumbangan yang mereka berikan digunakan semata-mata untuk menggerakkan mesin demokrasi, yang akan kembali dalam bentuk peningkatan kemaslahatan seluruh rakyat.


Di negara ini, uang beredar menjelang kampanye dan pemilu begitu besar, tanpa ada kejelasan tujuan penggunaan dan pencatatan sumber dana yang transparan. Menurut seorang narasumber di sebuah talkshow politik, hingga saat ini dana yang telah digelontorkan para kandidat maupun partai-partai politik yang akan bertarung di pemilu tahun 2009, hanya untuk biaya iklan saja sudah mendekati 2,1 trilyun rupiah. Bahkan dalam tingkat pilkadapun, jumlah uang yang dikucurkan untuk mendanai kampanye para kandidat bisa setara dengan 1/5 dari pendapatan daerah tersebut dalam setahun, sebagaimana terjadi pada pilkada di Jawa Timur baru lalu. Berdasarkan berita di beberapa media on line maupun cetak, dengan system peraihan kursi yang saat ini didasarkan suara terbanyak, para politisi ’rela berkorban’ mengeluarkan dana sedemikian besar, mulai dari bilangan puluhan juta hingga milyaran rupiah.


Sebagian besar dana kampanye di republik ini lebih sering ditujukan untuk sekedar membeli suara rakyat bagi proses pemenangan kandidat. Tujuannya semata untuk meningkatkan popularitas dan meraih simpati rakyat agar dapat memenangkan kursi jabatan. Dana kampanye yang seharusnya ditujukan untuk menggerakkan mesin demokrasi justru hanya menjadi alat transaksi politik, dengan tujuan jangka pendek meraih kemenangan. Setiap donatur memberi sumbangan politik dalam kerangka kepentingan individual. Sehingga setiap sumbangan yang diberikan selalu dimaknai sebagai pengembalian secara personal, yang justru membunuh semangat dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, penerima sumbangan yang terpilih, hampir dipastikan terikat dan terbebani dengan kewajiban ’balas budi’ berupa pengembalian sumbangan kepada pemberi sumbangan, baik dalam bentuk natura maupun privilege atas berbagai jenis usaha dan proyek.


Kondisi dan kenyataan tidak siapnya sistem politik yang mendukung berjalannya proses demokrasi yang fair dan transparan inilah yang membuat para kandidat tidak memiliki etika dan jiwa besar dalam menghadapi hasil yang diperoleh. Sungguh disayangkan karena negara ini justru memerlukan para pemimpin yang berkharisma, yang ditunjukkan lewat etika yang beradab. Tampaknya hal ini terjadi karena hampir seluruh kandidat yang terjun dalam kancah percaturan politik hanyalah memiliki karakter politisi semata.


Seorang yang hanya memiliki karakter sebatas politisi umumnya hanya mempunyai target jangka pendek, sekedar pemenangan pemilu untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini membuat kandidat yang bertarung tidak pernah siap dengan program dan konsep yang kuat dan terinci dengan arah pencapaian yang jelas. Dan setiap pemimpin yang terpilih terbiasa hanya menelurkan program-program yang bersifat instant, yang tidak menyentuh dan memperbaiki akar permasalahan. Sangat jarang ada pemimpin yang menggelar program yang bersifat komprehensif dan terintegrasi dengan baik.


Bagi seorang yang sekedar memiliki karakter Politisi, politik untuk kekuasaan adalah tujuan, tempatnya menggantungkan hidup. Tidak demikian dengan karakter seorang Negarawan. Untuk seorang Negarawan, politik hanyalah alat dan media untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu aktualisasi diri dan sumbangsih dan pengabdiannya untuk membesarkan bangsa dan negaranya, sehingga kekuasan bukanlah sesuatu tujuan utama yang dikejar. Bila seorang Politisi menggantungkan hidup dari politik, maka seorang Negarawan akan merasa ‘hidup’nya berguna dengan berpolitik. Negarawan memiliki karakter, visi dan misi jauh di atas sekedar politisi.


Perbedaan karakter dan tujuan hidup itulah yang membedakan etika dan jiwa besar antara politisi dan negarawan. Tujuan jangka pendek membuat seorang Politisi tidak dapat menerima setiap bentuk kekalahan dengan legowo. Padahal dalam setiap pertarungan pasti akan menyisakan hasil kalah dan menang yang sudah seharusnya disadari sejak awal.


Etika dan Jiwa Besar sejatinya mencerminkan karakter seseorang. Sehingga karakter dan tujuan seorang kandidat semestinya sudah dapat diterka dari etika dan jiwa besarnya dalam berpolitik.


Sudah saatnya negara ini memilih seorang Negarawan yang dapat membawa perubahan, kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.


Pemilu untuk memilih pemimpin bangsa telah di depan mata. Maka akankah kita masih terperdaya pada janji-janji mereka yang hanya berkarakter politisi semata?


Apakah yang kita cari dan dibutuhkan negeri ini?


Negarawan yang berkharisma atau sekedar Politisi yang berkuasa?


-PriMora Harahap-


30 Jan 2009

note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)