Belum lepas dari ingatan saya, berita demi berita mengenai berbagai pilkada yang berakhir dengan kericuhan antar massa pendukung para kandidat. Lain waktu terbetik berita perseteruan antar elit politik ataupun pengurus partai ini-itu. Kerap pula dikabarkan mengenai pertikaian antar kesatuan dalam tubuh TNI maupun antar TNI dan Polri yang berakhir dengan jatuhnya korban jiwa. Belum lagi seringnya warta berbagai bentuk tawuran, mulai dari tingkat pelajar, mahasiswa, hingga antar warga dan suku. Sungguh gambaran sebuah bangsa yang sangat jauh dari beradab.
Berita demi berita tersebut tak dapat dipungkiri menggambarkan masih lemahnya fondasi demokrasi di negeri ini. Tegaknya demokrasi yang kerap digaungkan dan dibanggakan di negara ini ternyata masih sebatas eforia penyelenggaraan berbagai pilkada dan pemilu saja. Tidak lebih dari itu. Bahkan hasil pilkada dan pemilupun masih acap memicu perseteruan antar kandidat berikut elit politik maupun partai yang menaungi. Tak jarang perseteruan berujung pada tindakan anarkisme dari massa pendukungnya.
Atmosfir demokrasi belum tercipta di republik ini. Semua bentuk anarkisme itu sesungguhnya adalah wujud penyimpangan paling mendasar terhadap hakikat dan nilai demokrasi. Pada saat anarkisme terjadi, maka pada saat itulah demokrasi mati. Kehidupan berdemokrasi belum mengurat akar dalam keseharian masyarakat.
Mungkin kurangnya contoh tauladan dari para elit politik maupun para tokoh masyarakat membuat bangsa ini lambat belajar berdemokrasi. Bisa jadi, kebiasaan aparat keamanan yang kerap melakukan tindakan-tindakan repressive dalam menangani setiap bentuk demonstrasi, membuat tindakan seperti itulah yang diserap dan dipahami oleh masyarakat sebagai bentuk penyelesaian masalah.
Sejatinya Demokrasi adalah kebesaran jiwa untuk menerima segala bentuk perbedaan, termasuk di dalamnya perbedaan pendapat. Demokrasi adalah kesadaran untuk menghargai hak dan kewajiban masing-masing pihak serta menggunakannya dengan cara-cara yang prosedural dan elegan. Demokrasi adalah kemauan untuk mendengarkan, dan tidak hanya menuntut untuk didengarkan. Sehingga segala bentuk pemaksaan kehendak adalah bukan demokrasi.
Tragedi yang terjadi di Medan beberapa hari lalu, menunjukkan para demonstran telah membunuh semangat demokrasi dengan tidak menyediakan ruang dan waktu untuk mendengar penjelasan perihal masih tertundanya proses pemekaran provinsi yang menjadi tuntutan mereka. Kehadiran mereka merangsek masuk tanpa menghormati kehadiran ketua DPRD setempat yang datang dalam posisi sebagai wakil rakyat, menunjukkan rendahnya pemahaman akan azas demokrasi.
Kedatangan mereka menuntut segera terbentuknya provinsi Tapanuli, tanpa menegaskan wilayah mana yang mereka perjuangkan dan seakan mengatasnamakan persetujuan seluruh masyarakat Tapanuli atas tindakan yang mereka lakukan, sesungguhnya juga merupakan sebuah pelanggaran nilai demokrasi. Apakah benar seluruh masyarakat Tapanuli yang terdiri dari 6 etnis itu menuntut hal yang sama? Adakah hanya sebagian wilayah dan suara masyarakat Tapanuli yang mereka ‘perjuangkan’? Lalu, masyarakat Tapanuli manakah yang mereka wakilkan? Atau setidaknya, adakah mereka telah benar-benar yakin bahwa seluruh masyarakat Tapanuli telah merestui dan memberikan kuasa kepada mereka untuk ‘memperjuangkan’ aspirasi dengan melakukan segala bentuk sepak terjang yang seakan ‘menghalalkan segala cara’ itu? Adakah kegiatan demonstrasi mereka kemarin telah mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat Tapanuli, ataukah hanya berupa desakan beberapa pihak yang berkepentingan atas agenda pemekaran provinsi ini? Karena bila jawabannya masih diragukan, berarti mereka telah menisbikan suara dari bagian masyarakat Tapanuli lainnya.
Tapanuli sendiri sebuah wilayah geografis yang sangat luas. Dengan batas-batas wilayah hingga perbatasan Aceh dan Sumatera Barat, wilayah Tapanuli secara geografis terbagi lagi setidaknya menjadi 3 bagian yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, yang didiami oleh etnis Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Angkola dan Mandailing, dengan batas-batas wilayah yang sangat luas, hingga ke perbatasan Aceh dan Sumatera Barat.
Tentu bukan hal yang mudah untuk mengelola sebuah provisi baru dengan wilayah geografis yang demikian luas. Diperlukan begitu banyak kesiapan dalam segala aspek, termasuk kapasitas dan kapabilitas pengelola, untuk dapat menata sebuah provinsi dengan segala sumber daya dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tidaklah sederhana membentuk sebuah provinsi baru yang terdiri dari berbagai etnis dan keberagaman adat/budaya maupun agama. Sangat dibutuhkan sebuah kesiapan sumber daya pendukungnya, khususnya sumber daya manusia yang siap untuk mengelolanya. Jangan sampai pemekaran justru membuat provinsi baru menjadi terbengkalai karena ketidaksiapan maupun ketiadaan pengalaman pengelolanya, sehingga alih-alih dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat setempat namun justru menuai kesengsaraan akibat dari pembengkakan anggaran belanja daerah.
Demikian banyak pemekaran sejumlah wilayah menjadi provinsi sebelumnya telah memberikan bukti betapa pengelola provinsi baru belum siap untuk mengelola wilayah barunya dengan segala kompetensi yang terkandung di dalamnya. Sehingga acapkali dampak yang terjadi adalah besar pasak daripada tiang, yang semakin menjauhkan kenyataan dari tujuan utama pemekaran dengan tidak kunjung meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat. Hal ini menunjukkan betapa bukanlah hal yang mudah mengelola sebuah provinsi baru bila tidak dipersiapkan dengan matang.
Aspek luasnya wilayah itu mungkin saja menjadi salah satu alasan mengapa penggodokan pembentukan provinsi Tapanuli masih memerlukan waktu. Atau bisa jadi, ternyata para wakil rakyat menemukan informasi dan kenyataan di lapangan bahwa tidak semua masyarakat maupun kabupaten-kabupaten yang berada di seluruh wilayah Tapanuli menginginkan bentuk dan konsep pemekaran yang sama, dalam format satu kesatuan Tapanuli yang demikian luas.
Banyak hal yang semestinya dicermati lebih dalam oleh mereka yang datang berdemonstrasi beberapa hari lalu dengan mengatasnamakan seluruh masyarakat Tapanuli. Seharusnya mereka mendengarkan lebih dulu paparan segala kemungkinan penyebab masih tertundanya proses pemekaran ini. Karena disitulah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Belajar untuk mendengarkan dan menghormati segala bentuk perbedaan pendapat serta mencari solusi yang terbaik melalui cara-cara yang beradab.
Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat Tapanuli, sangat tidak menyetujui segala bentuk tindakan anarkis dengan alasan apapun. Saya pribadipun mengungkapkan rasa berdukacita teramat sangat atas tragedi yang merenggut nyawa Bapak Abdul Aziz Angkat, ketua DPRD SumUt, pada peristiwa yang sungguh memalukan tersebut.
Tidak ada tempat pembenaran bagi segala bentuk pemaksaan kehendak yang tak beradab. Anarkisme dalam bentuk apapun, adalah merupakan bentuk pemaksaan kehendak yang sangat bertentangan dengan semangat dan jiwa demokrasi.
Masih teringat jelas oleh saya, kalimat yang diucapkan Obama saat masa kampanye yang menarik simpati jutaan rakyatnya, ‘’I will listen to you, especially when we disagree’’. Sungguh gambaran indah tentang sebuah negeri dimana tegaknya demokrasi menjadi tauladan kepemimpinan, bahkan telah berakar dalam keseharian hingga di tingkat ikatan masyarakat yang paling kecil, pada kehidupan setiap keluarga.
Tragedi di Medan beberapa hari lalu, menjadi tamparan keras bagi bangsa ini untuk segera melakukan instrospeksi dan pembenahan diri. Kejadian yang memilukan hati itu semestinya menjadi cambuk bagi seluruh pemimpin negeri ini untuk memberi tauladan dalam bersikap. Kenyataan tragis itu membuktikan betapa bangsa ini masih belum memahami arti demokrasi.
Diperlukan keteladanan dari seluruh jajaran pemuka republik ini, mulai dari tingkat tertinggi hingga jenjang terendah dalam struktur pemerintahan, dari elit politik hingga tokoh masyarakat dan aparat keamanan. Sebuah tugas berat yang harus dimulai dari sekarang bila negara ini memang benar ingin menegakkan demokrasi dan menjadi sebuah bangsa besar yang beradab.
Akankah terwujud demokrasi yang beradab di republik ini?
atau… Haruskah kita memberi tanda : ‘’RIP’’, pada demokrasi di negara ini?
-PriMora Harahap-
5 Feb 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori sosial dan politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)