Senin, 15 September 2014

Sekedar Pilihan Diksi atau Gagal Memahami Data dan Informasi ???

Pilihan kata tak pelak akan mencerminkan maksud dari pesan yang disampaikan. Itu sebabnya maka penting bagi seorang pembicara untuk memilih kosa kata atau diksi yang tepat untuk dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Penggunaan diksi yang berbeda akan memberikan makna yang berbeda pula.

Pada debat capres dan cawapres yang baru lalu pemilihan diksi telah meninggalkan kesan yang ambigu pada pemirsa, sehingga perbedaan interpretasi dengan sang pembicara pemberi pesan kemudian menjadi perbincangan di ruang publik. Dampaknya tentu pesan yang dimaksudkan pembicara tidak tersampaikan dengan baik.

Dalam debat yang dihelat dalam 5 putaran itu, capres dari nomor urut 1 memilih kata “bocor” untuk menyampaikan pesannya di putaran debat pertama. Pilihan kata itu tidak akan menjadi pertanyaan lebih lanjut seandainya data yang menyertainya mendukung pilihan kosa kata tersebut. Namun kejanggalan yang menyertai makna keseluruhan pesan membuat pemilihan kata “bocor” ramai diperbincangkan dan bahkan dipertanyakan ke setiap pihak terkait dengan perolehan data menurut sang capres pembicara. Penggunaan kata “bocor” digunakannya dalam konteks adanya kebocoran di bidang perekonomian negara sebesar Rp. 7 trilliun sesuai data yang diterima timnya dari KPK atau sebesar Rp. 1,2 trilliun berdasarkan olahan data tim suksesnya. Sayangnya, manapun data yang digunakan tetap menyisakan kejanggalan mengingat APBN republik ini hanyalah sebesar Rp. 1,8 trilliun saja. Dengan demikian, makna kata bocor yang digunakannya menjadi sulit untuk direlevansikan dengan besarnya APBN, karena bila disandingkan dengan data Rp. 7 trilliun akan memberi makna besar pasak dari tiang, sebuah hal yang tentu saja tidak masuk akal. Sedangkan bila kata bocor tersebut disandingkan dengan data Rp. 1,2 trilliun juga tetap menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin kebocoran uang negara lebih dari 50 % APBN” ? Karena bila hal itu terjadi maka tentu sulit bagi negara ini menjalankan dan mendanai seluruh kegiatan bernegara, dimana untuk membiaya pengeluaran sumber daya manusia saja tidak akan tercukupi dari sisa kebocoran yang ada.

Tatkala publik dan khususnya media mempertanyakan kebenaran data kebocoran tersebut kepada pihak2 terkait, baik KPK maupun Istana, yang diperoleh adalah penyangkalan. Tentu hal ini menimbulkan perbincangan lebih lanjut yang secara tidak langsung mempengaruhi citra sang capres akan validitas data yang digunakannya. Sehingga membuat cawapres pasangannya maupun tim suksesnya harus sibuk memberi ralat dengan mengatakan bahwa kata yang dimaksud adalah “potensi kebocoran”. Tentu saja terdapat perbedaan makna yang besar antara penggunaan kata “bocor” dengan “potensi kebocoran”. Publikpun bertanya mengenai pilihan kata mana yang sesungguhnya dimaksud pada pesan yang ingin disampaikan sang capres, mengingat sang capres mengucapkan kata “bocor” dengan penuh keyakinan dan bahkan disampaikan berulangkali, tanpa keraguan, tidak hanya pada debat pertama namun juga di debat putaran berikutnya. Dari berbagai elemen komunikasi non verbal, baik gestur maupun intonasi dan artikulasi capres tersebut, tidak ada kesan salah ucap dalam penyampaiannya. Hal inimembuat banyak orang lebih meyakini ucapan sang capre yang terlontar saat sesi debat dibandingkan dengan ralat-ralat yang disampaikan kemudian oleh cawapres dan tim suksesnya. Kerapkali kebenaran ralat yang disampaikan setelah acara berlangsung, ataupun dalam kesempatan lain dan bukan oleh sang pemberi pesan utama diragukan oleh para penerima pesan.

Kesalahan pemilihan diksi berikutnya dilakukan oleh cawapres masih dari pasangan nomor urut yang sama yaitu nomor urut 1. Sang cawapres tampak yakin saat memilih kata “kalpataru” dalam pertanyaan yang dilontarkannya kepada kandidat pesaing. Sayang sekali penggunaan kata “kalpataru” yang diucapkan dalam konteks pertanyaan raihan penghargaan untuk lingkup / skala kompetisi antar kota menjadi salah karena penghargaan untuk lingkup kota disebut dengan penghargaan “adipura”. Kesalahan pemilihan diksi yang kembali berdampak pada perbedaan makna sehingga pesan menjadi tidak tersampaikan.

Melihat terjadinya beberapa kali kekeliruan penggunaan pilihan kata dari pasangan capres-cawapres dengan nomor urut sama tersebut, membuat terbetik pertanyaan di benak saya.

Apakah kesalahan penggunaan kosa kata tersebut memang hanya dikarenakankekeliruan pemilihan diksi ? Ataukah kosa kata yang dipilih memang dimaksudkan demikian oleh sang pembicara pemberi pesan. Namun kemudian menjadi sebuah kesalahan yang lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam membaca dan menginterpretasikan data yang diterimanya.

Bila sang pemberi pesan memang yakin denganpilihan kata yang digunakannya, yang ditunjang pula oleh setiap elemen komunikasi non verbal yang mengiringi pengucapan kata tersebut, maka pertanyaan selanjutnya tentunya mengenai data atau informasi yang menjadi dasar pemberi pesan memilih kosa kata tersebut.

Apakah data / informasi yang diberikan oleh tim sukses kepada pasangan capres-cawapres tersebut sudah benar ? Bisa saja data / informasi yang diterimanya mengandung kesalahan, sehingga menjadi wajar bila sang pemberi pesan juga menggunakan pilihankata yang tidak sesuai. Bagaimanapun bila data / informasi yang disodorkan kepadanya menyebutkan bahwa angka Rp.1,2 trilliun tersebut sebagai kebocoran, maka tentu saja data / informasi tersebut sudah janggal bila mengingat besarnya APBN hanya Rp. 1,8 trilliun. Begitupun halnya dengan informasi seputar penghargaan untuk setiap lingkup yang berbeda.

Seandainya hal ini yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengolahan data yang keliru dalam pemberian konsumsi informasi oleh tim sukses kepada sang capres. Sebuah hal yang harus mendapat perhatian serius dari tim suksesnya agar selanjutnya lebih berhati-hati dalam mengolah dan menyajikan data kepada capres-cawapresnya. Karena tingkat kebenaran pengolahan data dan validitas data yang disajikan merupakan konsumsi informasi yang selanjutnya menjadi dasar bagi setiap tindakan, kebijakan, strategi bahkan keputusan yang diambil oleh jenjang pemangku jabatan yang lebih tinggi. Pengolahan dan penyajian data yang salah untuk konsumsi informasi pejabat pemangku jabatan yang memiliki wewenang dan tanggungjawab kunci (baik dalam lingkup organisasi apalagi pada tataran penyelenggaraan negara) tentu dapat berakibat fatal karena bisa berdampak pada kesalahan dalam pengambilan strategi, kebijakan maupun keputusan. Kecerobohan tim pengolah dan penyaji data / informasi bagi para pejabat kunci (key persons) tidak dapat ditolerir.

Begitupun, seorang pejabat kunci (key person) bahkan pada tingkat pimpinan haruslah memiliki kemampuan membaca dan memahami data / informasi sehingga mempunyai kepekaan terhadap adanya kemungkinan kesalahan data / informasi yang diterimanya. Kemampuan sekedar membaca data / informasi saja tidaklah cukup. Seorang pemangku jabatan tertinggi dan pengambil keputusan haruslah memiliki kemampuan untuk memahami data / informasi yang diperolehnya, yang tentu saja harus ditunjang dengan pengetahuan dan wawasan yang luas. Sehingga bila terdapat kesalahan pengolahan data / informasi oleh tim penyaji data, tidak berdampak fatal tatkala sang pejabat kunci mampu menyadari kejanggalan yang terjadi dan segera melakukan koreksi.

Maka apakah kesalahan penggunaan kosa kata yang terasa janggal dalam konteks permasalahan yang menyertainya itu semata disebabkan karena kekeliruan pemilihan diksi ?
Atau disebabkan karena kesalahan pengolahan dan penyajian data, yang diikuti dengan kegagalan sang penerima data untuk memahami dan menemukan letak kekeliruannya, sehingga menimbulkan kejanggalan makna dalam keseluruhan konteks permasalahan yang diucapkan ?

Penggunaan kosa kata yang tidak tepat karena kegagalan seorang pemimpin untuk memahami data dan informasi yang tersaji tentu dapat berdampak fatal pada pengambilan sikap, kebijakan dan keputusan yang salah.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Minggu, 14 September 2014

Operasi Senyap – Kampanye Gelap Biaya Tinggi Berharap Pamrih

Pilpres yang digemakan sebagai puncak Pesta Demokrasi di negeri ini sudah semakin dekat. Tinggal menghitung hari. Kampanye yang dilakukan semakin gencar terlihat. Beragam bentuk dan media kampanye digunakan untuk mendongkrak popularitas demi meningkatkan elektabilitas kandidat.

Ajang kompetisi perebutan kursi jabatan pimpinan tertinggi republik ini dan kekuasaan 5 tahunan itu akhir-akhir ini semakin menyita perhatian dan memenuhi berita-berita seluruh media di Indonesia.

Tengok saja banyaknya lembar poster, spanduk dan baliho yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Belum lagi iklan-iklan di berbagai media massa, entah dalam bentuk cetak hingga elektronik.

Terbayangkah berapa banyak dana yang digelontorkan untuk seluruh upaya pemenangan itu?? Ratusan juta, bahkan mungkin milyaran hingga trilyunan rupiah!!

Maraknya operasi senyap atau serang fajar atau apapun namanya yang mencoba ‘membeli’ suara rakyat dengan aneka materi dan sejumlah uang tentu saja membuat dana yang dikeluarkan oleh kubu yang melakukannya akan semakin besar.

Tumpukan rupiah yang harus digelontorkanpun akan semakin tebal bila jumlah ‘pintu’ yang disambangi untuk menebar ‘nutrisi’ kampanye itu semakin banyak.

Kisaran sedikit-banyaknya jumlah dana yang dikeluarkan tentulah menjadi sangat relative dalam hal ini. Bilangan puluhan milyar hingga trilyunan rupiah bagi sang kandidat capres-cawapres mungkin tidak seberapa demi sebuah tujuan lebih besar yang tengah disasarnya. Namun bagi sebagian besar rakyat, tentunya angka tersebut sangatlah berarti bagi modal kelanjutan hidup dan masa depan seluruh keluarganya. Dengan jumlah tersebut, sebuah rumah yang sangat memadai sudah dapat dimiliki. Sebuah mobil kategori mewah telah dapat terparkir di garasi. Sebuah kemewahan yang bagi kebanyakan rakyat kecil di negeri ini, yang masih bergulat dengan kesulitan menyambung hidup hari demi hari, hanya merupakan angan yang mustahil untuk tergapai.

Menyaksikan seluruh eforia kampanye, gempita penyambutan Pesta Demokrasi, serta anggaran dana yang sungguh mencengangkan itu, saya tergelitik untuk meniliknya dari sisi sebuah investasi. Menurut hemat saya, dengan pengorbanan dana yang sedemikian besarnya, tentu tak heran bila dana kampanye kerap diperlakukan bagai sebuah investasi bernilai tinggi oleh yang mengucurkannya. Apalagi bila sampai menambah gelontoran dana untuk melakukan operasi senyap. Pelaksanaan operasi senyap menunjukkan bahwa pihak yang melakukannya memiliki ambisi dan motivasi menang untuk meraih kekuasaan yang sangat besar, sehingga akan menempuh cara apapun untuk mendapatkannya. Secara logika, ambisi dan motivasi pencapaian kemenangan yang menghalalkan segala cara tersebut lazim di dasari oleh niat untuk mendapat kekuasaan besar yang memungkinkannya memenuhi setiap target demi target berikutnya.

Sebuah niat yang memotivasi orang untuk menghalalkan cara apapun sangatlah muskil didasari oleh sebuah ketulusan dan keikhlasan. Semua untung – rugi kemudian menjadi perhitungan yang cermat yang akan dipenuhi begitu kekuasaan sudah dalam genggaman. Maka jabatanpun menjadi hitung-hitungan bisnis laiknya sebuah investasi. Dan layaknya sebuah investasi maka sang investor tentulah mengharapkan nilai pengembalian atas rupiah demi rupiah yang telah ditanamkannya.

Ttidak ada satupun investor yang menginginkan nilai modalnya berkurang, bahkan selalu mengupayakan agar modal yang telah ditanamkan terus meningkat.

Sebuah investasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang investor karena dapat mempengaruhi besarnya tingkat pengembalian nilai investasinya. Disamping besar modal yang diinvestasikan, waktu juga sangat berperan penting dalam sebuah investasi. Panjang pendeknya rentang waktu pengembalian modal investasi, cepat lambatnya investasi ditanamkan, semua akan sangat berpengaruh pada besarnya nilai pengembalian itu sendiri.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai uang yang diinvestasikan saat ini diharapkan akan memberi sejumlah nilai uang yang lebih besar di masa depan karena adanya proses bunga berbunga dari nilai uang tersebut. Dalam proses tersebut setiap bunga yang diperoleh ditanamkan kembali sebagai bagian dari modal investasi yang tentunya akan berbunga kembali.

Untuk mudahnya berikut sebuah ilustrasi dari nilai masa depan sejumlah dana yang diinvestasikan saat ini.

Katakanlah seorang kandidat menggelontorkan dana sebesar Rp.8.000.000,- pada masa kampanye periode ini dengan harapan akan terpilih untuk masa kerja 5 tahun ke depan. Bila dana sebesar itu ditanamkannya dalam bentuk investasi (semisal deposito) dengan tingkat bunga sebesar 6 % per-tahun untuk jangka waktu 5 tahun, maka pada akhir tahun ke 5 jumlah uang yang didepositokannya tersebut akan meningkat menjadi senilai Rp.10.705.804,-

Perhitungan tsb hanya untuk modal awal sejumlah Rp.8.000.000,-. Tentu dapat dibayangkan besarnya jumlah dana yang diharapkan akan diraup kembali di akhir tahun ke 5, bila modal awal yang telah ditanamkanpun dalam bilangan ratusan juta, milyaran hingga trilyunan rupiah.

Ilustrasi di atas hanya menggambarkan bagaimana peningkatan modal investasi seseorang bila hanya menanamkan modal di awal periode.

Bagaimana bila dalam periode 5 tahun tersebut, sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan secara rutin di akhir tahun sepanjang periode tsb karena berhasil mendapatkan tambahan dana di luar pendapatan rutinnya ?

Ambil saja contoh seseorang menanamkan dana sebesar Rp.1.000.000,- setiap akhir tahun selama 5 tahun ke dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 10 % per-tahun. Maka dengan perhitungan anuitas umum akan diperoleh nilai investasi tersebut di akhir tahun ke 5 telah meningkat sebesar Rp.6.105.100,-

Dan bagaimana pula bila sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan di awal tahun sepanjang periode 5 tahun tsb?

Dengan menggunakan formula perhitungan anuitas due, apabila seorang investor secara rutin menabungkan uang sejumlah Rp.1.000.000,- di setiap awal tahun, maka besarnya uang di akhir tahun ke 5 meningkat menjadi Rp.6.715.610,-

Sekarang mari kita lihat bagaimana seorang investor dapat memperkirakan besarnya jumlah dana yang harus diinvestasikannya saat ini bila ingin mendapatkan sejumlah dana yang sudah diharapkannya pada masa depan.

Seseorang kandidat menginginkan dalam satu tahun sejak dia terpilih, telah dapat mengumpulkan dana (balik modal kampanye) sebesar Rp.3.000.000,-. Seandainya dia menaruh modal yang digunakan untuk kampanye dalam bentuk tabungan (deposito) dengan tingkat suku bunga sebesar 6 % per-tahun, maka agar dapat memperoleh dana sebesar Rp.3.000.000,- di akhir tahun mendatang, saat ini dia harus menginvestasikan sebesar Rp.2.830.188,-

Dari beberapa ilustrasi di atas, terlihat jelas betapa nilai uang yang sama bila diinvestasikan dalam waktu yang berbeda akan sangat mempengaruhi hasil perolehan. Dengan nilai uang yang sama yang diperoleh pada saat ini akan memberikan nilai pertambahan yang semakin besar dibandingkan dengan nilai uang yang sama yang diperoleh di masa depan. Hal ini disebabkan semakin tertundanya sejumlah uang diperoleh maka semakin besar kemungkinan hilangnya peluang (opportunity loss) untuk berinvestasi.

Sehingga semakin besar dan semakin dini dana diperoleh untuk dapat diinvestasikan, maka akan semakin besar tingkat pengembalian modal yang dapat diraih oleh seorang investor, karena adanya fungsi efek majemuk (bunga berbunga) dari peluang menginvestasikan kembali (re-investasi) bunga yang diperoleh.

Bagi sebagian masyarakat yang sudah memiliki asuransi sebagai salah satu bentuk investasi penjamin hari tua tentu telah pernah melihat ilustrasi sejenis yang umumnya dipresentasikan oleh agen asuransi. Berdasarkan pengertian diatas, tak pelak agen asuransi kerap menganjurkan konsumen potensialnya untuk sesegera mungkin mengambil polis asuransi. Semakin cepat waktunya memulai maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Tidaklah mengherankan apabila seorang kandidat pemimpin bangsa yang telah mengucurkan sedemikian besar modal pada saat kampanye sebagai bentuk investasi atas karir politiknya, acap terjebak dalam bujukan dan keinginan untuk segera memperoleh kembali modal berikut sejumlah hasil investasi yang diharapkan.

Dapat dipahami bila dalam 5 tahun masa kerja, bagi mereka yang menganggap biaya kampanye sebagai sebuah investasi (penjamin kehidupan bila sudah tidak lagi menjabat), akan sudah mulai berupaya mengumpulkan kembali modalnya sejak tahun-tahun awal masa jabatannya, agar memperoleh peluang (opportunity) yang lebih besar menginvestasikan (memutar) kembali uang yang diperolehnya.

Sudah tentu semakin besar modal yang dikucurkan dalam program kampanyenya (baik yang legal maupun ilegal) maka semakin besar pula keinginannya untuk melipatgandakan keuntungan atas modal yang telah ditanamkan. Dan sudah pasti pula operasi senyap akan meningkatkan besarnya dana kampanye yang digelontorkan.

Mudah dimengerti bila seorang kandidat terpilih yang menghalalkan segala cara untuk meraih kursi kekuasaan dan telah memulai langkahnya dengan rasa telah melakukan pengorbanan dana demikian besar, akan terus menerus berupaya mengumpulkan dana sepanjang masa kerjanya, sehingga secara rutin dapat menginvestasikan kembali rupiah demi rupiah yang diperolehnya.

Dan tidaklah sulit untuk dibayangkan bila seorang kandidat terpilih bahkan sudah dapat menentukan nilai transaksi yang diinginkannya sekarang, untuk dapat memenuhi target perolehan keuntungan investasi di akhir masa jabatan. Semua dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan modal yang telah dikucurkan dan mendapatkan keuntungan (gain) semaksimal mungkin. Tujuan dasar dari sebuah investasi.

Dalam dunia investasi dikenal istilah High Risk High Gain, yaitu bila resiko yang terkandung dalam investasi semakin besar, maka keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut akan semakin besar pula. Dengan prinsip keuntungan berbanding lurus terhadap resiko, maka tidaklah heran bila ada saja yang tergiur untuk menempuh resiko lebih besar, bahkan melalui cara-cara ilegal sekalipun, guna mendapatkan perolehan keuntungan lebih besar.

Tak pelak, sejumlah kemudahan (privilege), baik dalam bentuk proyek, prosedur maupun perizinan lalu diberikan oleh sang penguasa / pejabat / wakil rakyat terpilih kepada para donatur kampanyenya, ataupun para pendukung koalisinya yang telah turut membantu pendanaan kampanye yang tidak sedikit, sebagai upaya untuk menjamin perolehan keuntungan atas investasi (modal) yang telah diberikan dan disepakati dalam kontrak sokongan dana politik di awal masa kampanye.

Kampanye biaya tinggi yang memerlukan penanaman modal tidak sedikit inilah yang meningkatkan kecenderungan pergeseran dalam ranah politik di negeri ini dari politik Transformasional (yang sejatinya harus mampu membawa bangsa & negara ini bertransformasi ke arah peningkatan kondisi kesejahteraan, kemakmuran rakyat dan kehidupan demokrasi yang lebih baik) menjadi politik Transaksional, dimana setiap tindakan yang diambil oleh mereka yang terpilih acap didasarkan pada perhitungan Untung & Rugi (Profit & Loss) atas sejumlah besar dana yang telah ditanamkan pada masa-masa kampanye.

No Free Lunch (tidak ada makan siang yang gratis), demikian bunyi motto di negara yang cenderung berkiblat ke bentuk ekonomi kapitalis, yang menjadikan modal sebagai faktor utama yang menentukan setiap keputusan. Sehingga tak dapat dipungkiri, sejatinya di tangan para pemilik modal arah & masa depan bangsa ini diputuskan, walau berbungkus perpanjangan tangan melalui mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat ataupun pengelola negara. Hal ini tak lain dan tak bukan karena semua bentuk sokongan dana tentu tidak dikucurkan oleh para pemodal secara cuma-cuma, tapi dengan pamrih pengembalian dana investasi dalam bentuk keuntungan sebesar-besarnya.

Peluang terhadap setiap bentuk penyimpangan dapat terjadi bila tidak ada fungsi kontrol dari masyarakat.

Sangat penting disadari oleh rakyat negeri ini untuk selalu menjalankan fungsi control sosial atas penyelenggaraan negara untuk mencegah semakin mengakarnya bentuk politik transaksional menjadi sebuah budaya politik di negeri ini. Alur dan pencatatan perolehan (sumber) dan besarnya dana kampanye yang jelas, transparan & terbuka pada seluruh rakyat merupakan salah satu kunci utama untuk dapat menjalankan fungsi control sosial masyarakat atas pengelolaan negara yang bersih & professional serta tegaknya demokrasi di republik ini.

Waspadai setiap bentuk kampanye ilegal. Kampanye terselubung dalam bentuk operasi senyap atapun serangan fajar yang membagi-bagikan aneka materi dan sejumlah dana untuk mendapatkan suara rakyat. Semakin sering operasi senyap dilakukan, semakin banyak modal dana kampanye yang dikeluarkan maka akan semakin besar pula keuntungan yang direncanakan untuk secepatnya dapat diraup.

Pihak yang bersedia mengeluarkan dana lebih banyak untuk melakukan kampanye ilegal tentu akan memiliki niat tersendiri akan harapan dapat meraih keuntungan yang jauh lebih besar lagi. Tidak akan ada ketulusan dan keikhlasan pada mereka yang telah memulai langkahnya dengan upaya yang tidak halal berdasarkan niat yang tidak mulia.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Framing dan Agenda Setting - Penggiringan Opini Publik

Framing atau pembingkaian informasi lazim terjadi pada penyajian berita di media. Kerap kali sulit dihindari terjadinya proses framing oleh seorang jurnalis dalam mengolah informasi menjadi sebuah berita, sehingga tak pelak menghasilkan bias walau tanpa unsur kesengajaan. Framing dapat dikatakan sebagai cara untuk memberikan penafsiran dengan mengisolasi beberapa fakta-fakta. Sehingga dengan framing, jurnalis memberi bingkai atau rangka dalam mengolah sejumlah fakta-fakta / informasi yang akan disajikan.

Tidak jarang, proses framing dilakukan dengan sengaja , mengacu pada agenda yang telah ditetapkan oleh sebuah media, yang biasa disebut sebagai agenda setting. Tujuannya tentu saja untuk mengarahkan informasi atau berita ke sebuah persepsi ataupun opini publik yang diharapkan, atau dengan sengaja ingin menciptakan bias informasi akan sebuah issue tertentu. Dengan demikian sejumlah fakta yang dirasakan mendukung agenda yang diharapkan akan diangkat sebagai berita. Adapun fakta yang tidak sesuai dengan agenda media tidak akan diolah menjadi berita.

Sepanjang masa kampanye Pilpres, proses framing tampak nyata marak dilakukan oleh sejumlah media yang kepemilikannya jelas berafiliasi dengan partai ataupun capres-cawapres tertentu. Sejumlah media terlihat kerap mengangkat berita-berita positif dari capres-cawapres yang memiliki keterkaitan dengan partai afiliasinya, dimana para jurnalisnya dengan sengaja membingkai atau membuat kerangka pada informasi-informasi tertentu saja yang dapat mendukung peningkatan elektabilitas capres-cawapres andalannya. Sedangkan informasi yang tidak sesuai lainnya tidak akan diangkat menjadi berita. Atau dengan mengambil sudut pandang tertentu saja dari sebuah issue yang dirasakan sesuai dengan agenda yang ditetapkan.

Begitupun, dilakukan secara sengaja ataupun tidak, proses framing tetap harus berdasarkan pada fakta-fakta informasi yang diperoleh dan diolah jurnalis dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Karena berita adalah fakta, dan bukan fiksi. Sehingga dasar informasinya haruslah berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dan diolah sesuai kaidah-kaidah dalam kode etik jurnalistik, dimana diantaranya mensyaratkan sumber berita telah diverifikasi dan dilakukan pemberitaan berimbang melalui proses cross check maupun cover both side.

Apapun alasannya, seberapapun besarnya kepentingan agenda yang ditetapkan oleh media, seyogyanya proses framing tetap harus mengikuti kode etik jurnalistik dan berpijak pada fakta yang berimbang pada setiap sisi ataupun subjek pemberitaan.

Hal inilah yang membuat, proses framing dalam pemberitaan terkait PDIP oleh stasiun TV One yang tidak mengikuti proses kerja jurnalistik dan telah mengabaikan kode etik jurnalistik dengan tidak dilakukannya proses cross check dan cover both side untuk mendapatkan informasi yang berimbang dari sisi PDIP sebagai subjek pemberitaan, menjadi sebuah langkah yang tidak dapat dibenarkan.

Keinginan dan hasrat teramat besar dari news room TV One untuk memenuhi ‘harapan’ pemilik modal dengan ‘memotong’ gambaran keseluruhan fakta-fakta yang semestinya ada dan hanya mengambil sebagian saja yang dapat masuk ke dalam rangka (frame) yang telah dibentuk sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan, tanpa mengikuti pedoman kerja dalam kode etik jurnalistik, sungguh sebuah langkah blunder yang ditempuh oleh sebuah stasiun televisi yang mengkhususkan dirinya sebagai stasiun tv berita.

Setidaknya telah beberapa kali TV One melakukan kesalahan dalam membingkai informasi yang diberitakannya dengan mengabaikan proses cross check, cover both side maupun verifikasi kualifikasi narasumber. Tatkala memberitakan terbunuhnya pentolan teroris Noordin M Top dengan bungkus berita sedemikian mencekam dan bombastis, dan membingkainya hanya pada informasi tentang adanya teroris yang tewas tertembak dan ingin mengangkatnya dari sudut pandang akan sebuah keberhasilan mendapatkan liputan eksklusif penggerebakan malam itu. Namun ternyata saat itu sang gembong teroris masih bernafas hidup dan menjadi buron, karena korban tewas hanyalah anggota teroris lainnya. Kesalahan ini terjadi karena tidak berjalannya proses cross check ke pihak kepolisian mengenai korban yang tewas tertembak. Demikian pula saat stasiun tv ini menghadirkan narasumber yang ternyata tidak memiliki kualifikasi untuk bidang pembahasan yang diangkat sebagai tema di sebuah acara bincang-bincang, yang pada akhirnya diakui sendiri oleh sang narasumber.

Sejatinya sebuah stasiun tv berita harus sangat memperhatikan kualitas isi berita yang disajikan untuk dapat meraih kepercayaan khalayak pemirsanya. Bila tidak maka lambat laun tingkat kepercayaan publik atas kualitas kebenaran informasi yang disajikan stasiun tv ini akan terkikis yang dapat berakibat pada menurunnya minat publik dan bahkan sikap antipati khalayak terhadap sajian acaranya.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Jerat UU Pers untuk Tabloid Obor Rakyat - “Tanya, Kenapa ???”

Hiruk pikuk beredarnya tabloid Obor Rakyat yang mengandung fitnah terhadap salah satu kandidat capres di ajang perhelatan pilpres 2014 telah menimbulkan kegeraman pada banyak pihak dan desakan untuk mengusut motif maupun dalang di balik terbitnya tabloid yang diedarkan secara diam-diam ke sejumlah pesantren ini. Namun hingga saat ini Polri baru menjerat para tersangka penyebar Tabloid Obor Rakyat dengan UU Pers. Walaupun sejak awal terkuaknya kasus penyebaran tabloid berisi fitnah, berita-berita tidak benar yg menyudutkan Jokowi sebagai salah satu capres telah dinyatakan sebagai selebaran gelap dan bukan produk jurnalistik oleh Dewan Pers. Tak lama berselang AJI pun mengamini pernyataan Dewan Pers tersebut. Ya ! Karena proses pengolahan informasi dan berita yang dilakukan oleh redaksi tabloid Obor Rakyat tidak mengikuti kaidah kode etik jurnalistik. Tabloid itupun tidak berbadan hukum dan mencantumkan alamat redaksi yang palsu.


Namun Polri berkilah bahwa pelanggaran yg dilakukan adalah terhadap UU Pers yang dampaknya hanya akan mengenakan denda Rp 100 juta saja kepada para tersangkanya. Polri pun berdalih belum mendapatkan pasal pidana umum yg tepat dan masih menunggu keterangan ahli. Kendatipun di sejumlah media, beberapa pengamat hukum pidana maupun pengamat media telah turut memberikan penilaian mereka bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pembuat dan penyebar tabloid obor rakyat ini dapat masuk pada kategori pencemaran nama baik, fitnah dan penyebaran berita bohong kepada publik, dimana semestinyalah Polri telah dapat menetapkan dan menjerat tersangka dengan pidana umum. Apalagi yg menjadi korban adalah salah satu capres, calon pemimpin negara, dalam ajang kontestasi demokrasi di republik ini. 

Ada apa dengan Polri ???


Polri seakan mengulur waktu pembongkaran kasus yang melibatkan orang dalam istana ini hingga masa pilpres berlalu. Bahkan Polri tidak tampak menanggapi dengan serius permintaan sejumlah kalangan untuk mengusut tuntas penyandang dana yang berada di balik penerbitan tabloid ini.

Maka ketika kini AJI pun kini telah mengeluarkan permintaan yg sama kepada Polri untuk menggunakan KUHP bagi Tabolit Obor Rakyat, maka masihkah Polri akan berkelit dari penerapan jerat pidana untuk para tersangkanya ? 
 
Mari kita tunggu langkah Polri secepatnya. Mari kita lihat sejauh mana Polri akan menepati komitmennya untuk bersikap netral dalam perhelatan pilpres kali ini. Mari kita amati sesigap apa Polri bertindak untuk memproses kasus ini lebih lanjut ke ranah pidana umum. 

Karena bila Polri tidak memperlihatkan keseriusannya untuk mengusut tuntas kasus ini, maka “Tanya, Kenapa ???”

 

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Ada Apa dengan Jurnalistik Negeri Ini ??

Hingar bingar berita seputar pilpres di berbagai media memborbardir publik dengan berbagai informasi. Tak pelak sejumlah media yang jelas terafiliasi dengan partai atau kubu capres-cawapres tertentu menyajikan berita2 yg telah disesuaikan dengan agenda kepentingan masing-masing melalui proses pembingkaian informasi. Bahkan beb erapa media tampak acap menyimpang dari kode etik jurnalistik dalam proses pengolahan beritanya.

Entah apa yg sedang terjadi pada media negeri ini. Entah apa pula yg merasuki para pekerja media yg dengan mudahnya menanggalkan ‘jubah’ profesionalitasnya dalam menjalankan profesinya.
Puncaknya adalah terbit dan edarnya tabloid Obor Rakyat yg dipersiapkan dan dibuat oleh mereka yg masih dan pernah berprofesi sebagai jurnalis. Mereka meng-claim tabloid besutannya sebagai produk jurnalistik, yg lahir sebagai sebuah bentuk perjuangan dan peran media sebagai watch dog.
Benarkan demikian ???

Dewan Pers dan AJI telah jelas menyatakan bahwa tabloid Obor Rakyat sama sekali bukan produk jurnalistik, karena proses pengerjaannya tidak mengikuti mekanisme kerja jurnalis dan tidak mengacu pada kode etik jurnalistik.

Ditilik dari penjelasan Darmawan Sepriosa mengenai proses kerja yg dilakukannya maka tabloid Obor Rakyat ini tidak ubahnya dari sekedar Klipping informasi2 yg simpangsiur di berbagai media berbasis interner, yg dilakukan tanpa proses verifikasi sumber berita dan validasi kebenaran berita. Tidak ada proses check dan recheck maupun cover both side kepada pihak2 yg dijadikan subjek berita dalam pemuatan berita di dalamnya.

Uraian permakluman Darmawan yg menyamakan tabloid besutannya itu dengan Suara Independen terbitan AJI di masa rezim Orde Baru masih berkuasa juga menjadi sangat tidak masuk akal sehat manusia waras manapun.

Suara Independen jelas mencantumkan alamat redaksi yg sesungguhnya, sedangkan tabloid Obor Rakyat mencantumkan alamat palsu. Apa tujuannya ???

Jajaran redaksi Suara Independen juga tidak bersembunyi di balik nama samaran ataupun alias, hingga beb erapa bahkan sempat mendekam di balik jeruji bui, di era kebebasan pers dan berpendapat hanyalah sebatas angan-angan.

Sedangkan tabloid Obor Rakyat yg ‘terbit’ di era demokrasi dengan kebebasan pers sudah bukanlagi sebuah hal yg tabu, Darmawan Sepriosa justru menggunakan nama samaran dengan dalih agar tidak diketahui oleh media tempatnya resmi bekerja.

Dalih Darmawan Sepriosa yg mengatakan tabloid terbitannya itu sebagai bentuk perjuangan dan penerapan fungsi watch dog oleh media juga tidak dapat dimaklumi.

Dimanakah letak nilai perjuangan seorang Darmawan bagi kemaslahatan negeri ini bila sekedar untuk menghadapi resiko kemungkinan dipecat dari media tempatnya bekerja saja tidak berani ???

Fungsi watch dog yg dijalankan hanya sepihakpun menjadi sebuah tanda tanya besar, karena peran watch dog semestinya dilakukan secara berimbang kepada semua kandidat. Sejatinya media harus berperan untuk memberikan informasi yg berimbang kepada publik.

Pola distribusi secara diam-diam hanya ke segmen target tertentu saja merupakan perbedaan tabloit Obor Rakyat berikutnya dengan Suara Independen. Dalam manajemen pemasaran, pemilihan segmen target secara spesifik tentu memiliki pertimbangan tertentu yg dirasakan akan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yg diharapkan. Maka apakah tujuan dari pemilihan segment target tabloid Obor Rakyat ini ?

Dalam proses kerjanya jurnalis bahkan tidak diperbolehkan memasukkan preferensinya untuk menjaga objektivitas produk medianya. Namun jurnalis dapat menuangkan pendapatnya dalam kolom opini, ataupun editorial yang disediakan ruang khusus. Media seyogyanya harus melakukan pemisahan ruang antara produk jurnalistik yang objektif, opini redaktur dan produk iklan. Artikel yang mengandung unsur iklan dan dibiayai oleh pengiklan tetap harus diberikan judul atau tanda khusus seperti Infotorial atau Advertorial untuk tidak menyesatkan publik pembacanya dan demi tetap menjaga tingkat independensi media dalam fungsi dan perannya sebagai penyaji informasi.

Karya tulis dari seorang jurnalis tentu saja tidak serta merta dapat digolongkan sebagai produk jurnalistik bila tidak memenuhi kaidah2 dalam kode etik jurnalistik. Sehingga sebuah karya yang hanya berisi opini sang penulis apalagi tanpa didukung oleh fakta yang akurat tentu tidak dapat disebut sebagai produk jurnalistik.

Meningkatnya berbagai penyimpangan kode etik jurnalistik oleh sejumlah jurnalis dan media partisan ini, besarnya intervensi para pemilik modal ataupun pihak2 berkuasa terhadap pengambilan keputusan di dalam news room telah merusak fungsi dan peran media sebagai pemb eri informasi yang faktual dan berimbang, yang semestinya independen dari pihak manapun. Bila hal ini tidak mendapat perhatian serius, tidak mustahil bangsa ini suatu saat akan menancapkan papan bertuliskan : RIP Jurnalistik Indonesia.


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Visi dan Misi Kandidat - Pentingkah Kelengkapan Strategi ?

Sebuah organisasi memerlukan visi untuk dapat mengarahkan seluruh anggota dan sumber daya di dalamnya bergerak bersama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Begitupun halnya dengan sebuah negara. Dalam prakteknya, negara tidak berbeda dengan sebuah organisasi yang sangat besar. Visi yang telah dirumuskan selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk pernyataan misi yang berisi tujuan perusahaan, dilengkapi dengan keunggulan dan kekuatan yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut.
  Sebuah visi dan misi memang haruslah menjanjikan, penuh dengan harapan, mampu memotivasi dan memompa semangat serta optimistis. Namun sebuah visi juga harus cukup realistis untuk dapat di’bumikan’ dalam pelaksanaannya. Begitupun halnya dengan misi. Oleh sebab itu agar sebuah visi dan misi dapat diimplementasikan dengan baik maka seorang pemimpin harus dapat mencerminkan dan menjalankan apa yang terkandung dalam visi organisasi pada setiap perilaku, tindak tanduk, laku langkah, ucapan, pemikiran hingga kebijakan dan keputusan yang diambilnya. Seorang pemimpin haruslah memiliki kesesuaian antara tindakan / sikap dan perbuatan dengan ucapannya, sehingga mendapat kepercayaan penuh dan menjadi keteladanan bagi seluruh anggota organisasi yang dipimpinnya. Begitupun dalam tataran kenegaraan. Kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin sangat ditentukan dari sikap dan perilakunya.

Bahasa yang digunakan dalam merumuskan visipun harus mudah dipahami. Tidak ada gunanya menggunakan pilihan kosa kata yang rumit dan canggih bila tidak dapat dimengerti oleh seluruh rakyat. Visi dan misi juga harus relevan dengan potensi dan kemampuan serta sumber daya yang dimiliki oleh sebuah negara, serta mempertimbangkan lingkungan yang mempengaruhi negara tersebut.

Apakah sekedar merumuskan visi dan misi saja telah cukup bagi seorang pemimpin bangsa?? Tentu tidak !! Visi dalam tataran makro saja akan sulit diimplementasikan dalam pengelolaan negara di setiap bidang / aspek yang berbeda-beda. Ada banyak hal yang harus dikelola dalam sebuah organisasi sebesar negara ini.

Sebagaimana halnya dengan pemimpin organisasi lainnya, maka visi dan misi tersebut harus diturunkan / diterjemahkan ke dalam bentuk strategi yang lebih mikro, yang mampu menjelaskan secara lebih detil bagaimana cara-cara yang akan ditempuh untuk dapat mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang pemimpin yang baik tidak cukup hanya mampu memahami konsep namun perlu mengerti bagaimana proses implementasi ataupun eksekusi dari konsep tersebut. Sebuah konsep ataupun rencana sebagus apapun tidak akan berguna bila tidak diikuti oleh proses ekseskusi yang bagus pula. Tak jarang pula terbetik kisah kegagalan seorang pemimpin karena tidak tahu apa yang harus dikerjakannya, dari mana memulainya dan bagaimana melakukannya. Dan untuk itu diperlukan pengetahuan, pengalaman yang mumpuni serta pemahaman akan bidang dan permasalahan yang akan dihadapi.

Untuk itulah seorang pemimpin negara setidaknya harus dapat memahami aspek makro dan mikro agar dapat mengikuti perkembangan dan melakukan pengawasan atas setiap kerja pengelolaan yang dilakukan oleh segenap jajaran kabinet pembantunya. Kemampuan seorang pemimpin negara dalam mengelola dan menyelenggarakan negara akan dapat tercermin dari kemampuannya memahami semua keunggulan, daya saing, kemampuan, potensi, sumber daya sekaligus juga kelemahan dan ancaman terhadap negaranya dan dapat menerjemahkannya ke dalam visi, misi dan rincian strategi dengan cukup baik. Dengan demikian dia mengetahui dengan pasti bagaimana langkah mewujudkan visi dan misi untuk mencapai tujuan yang ditargetkan guna meningkatkan kesejahteraan bangsa.


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Kampanye Hitam – How Far Can U Go ???

Ajang kontestasi pilpres kali ini diwarnai persaingan yang sengit. Kampanye diluncurkan ke ruang publik oleh tim sukses setiap kandidat untuk dapat meraih perhatian publik. Tak terbatas pada kampanye yang menonjolkan aspek positif dari capres dan cawapres, namun kampanye negatif hingga kampanye hitampun marak terjadi.

Kampanye negatif masih dapat dipahami karena tetap didasari oleh fakta. Jenis kampanye ini justru dapat membantu masyarakat pemilih mengenali lebih dalam karakter dan rekam jejak setiap kandidat.
Namun yang tak kalah gencar adalah beredarnya kampanye hitam yang dihembuskan oleh lawan kandidat ke kandidat lainnya. Kampanye ini jelas tidak dapat dibenarkan karena tidak berdasarkan fakta bahkan dapat digolongkan sebagai fitnah.

Sejauh Presiden mendatang mmg Terpilih melalui Cara2 Terhormat, Beradab, Berbudaya dan Berakhlak, maka tidak perlu risau siapapun capres yg terpilih…

Tapi bila cara yang ditempuh melalui bentuk2 kampanye hitam tentu sungguh disayangkan karena masih ada manusia2 - yg semestinya menjadi makhluk paling mulia di muka bumi ini yg dianugerahi dgn akal budi, nalar dan nurani shg dapat membedakannya dari seekor binatang - melakukan tindakan hina spt menebar fitnah, yang bahkan dilakukan oleh manusia2 di Indonesia - yg konon masyarakat yg mengaku beradab, berbudaya dan beragama (entahlah kalau berTuhan) - namun ternyata masih menempuh cara2 yg nista, biadab dan menjijikkan dgn menghalalkan segala hal hanya untuk sebuah kemenangan dan kekuasaan fana – tanpa harga diri.

Adanya penyebaran kampanye hitam ke salah satu kandidat tentu saja akan mencerminkan betapa rendahnya tingkat keimanan dan keyakinan akan adanya Tuhan Sang Maha Penguasa dari pihak yang memperoleh keuntungan atas kampanye hitam tersebut. Bagaimanapun keyakinan seseorang akan kuasa dari Sang Maha Pemilik Kehidupan akan mencegahnya dari perbuatan hina tersebut. 

Tindakan keji serupa fitnah hanya mampu dilakukan oleh mereka yang tidak memahami dan gagal memaknai nilai-nilai keagamaan, sehingga dengan ringan menghalalkan segala cara, tanpa rasa takut akan turunnya laknat dari Sang Maha Pencipta.

Bagi mereka yang meyakini keberadaan Tuhan Sang Maha Agung akan menyadari bahwa segala sesuatu di muka bumi ini berb atas karena Tuhan tidak pernah tidur. Dia yang Maha Mengetahui apa yang terjadi di muka bumi dan semesta alam, bahkan yang tidak diketahui oleh manusia dan yang masih diniatkan sekalipun, yang akan menetapkan batasan sekaligus ganjaran bagi setiap tindakan manusia. 

How far can U go ???


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-