Bunyi sirine memang kerap terdengar
menyebalkan. Belum lagi bila raungannya masih disertai dengan perintah kepada
para pengguna kendaraan untuk segera bergeser ke tepi jalan. Apalagi bila hal
itu terjadi di saat kondisi jalanan sedang sangat padat. Jangankan untuk
menepi, sedangkan untuk bergerak sajapun sulit. Ya, saat macet mengepung,
kondisi jalanan memang tak lagi bersahabat. Ribuan kendaraan bagai merayap,
nyaris tak beranjak.
Penggunaan sirine memang identik
dengan permintaan hak istimewa untuk diberikan jalan lebih leluasa. Bagi
penggunanya sirine dirasakan manjur untuk membelah kemacetan ruas jalan agar
cepat sampai di tempat tujuan. Terutama di kota besar seperti Jakarta, dimana
kemacetan sudah sangat sulit untuk diurai, khususnya pada jam-jam sibuk. Dan
bertambah padatnya penduduk di ibukota, membuat jam-jam sibuk seakan
berlangsung hampir sepanjang hari di kota yang bagai tak pernah lelap ini.
Sejatinya penggunaan sirine hanya
diperkenankan bagi mereka yang memiliki jabatan dan kepentingan khusus. Raungan
sirine memang diizinkan untuk digunakan oleh pemadam kebakaran, ambulan maupun
pejabat negara. Bahkan penikmat manfaat sirine yang disebut terakhir itu selalu
disertai dengan kawalan aparat yang biasa disebut vorrijder. Pengawalan
oleh aparat memang menjadi salah satu fasilitas yang diberikan negara kepada
para pejabat negara di negeri ini. Tentu saja pemberian fasilitas yang didanai
oleh uang rakyat itu dimaksudkan agar para pejabat dapat menjalankan tugasnya dengan
lancar demi kepentingan negara. Sehingga sudah selayaknya bila kawalan khusus
lengkap dengan sirine itu hanya digunakan di saat sang pejabat dalam perjalanan
untuk menunaikan tugas negara.
Namun apa yang terjadi ? Sirine
seakan tak berhenti meraung sepanjang hari, bahkan di malam hari hingga hari
libur sekalipun. Bila raungan itu berasal dari kendaraan pemadam kebakaran atau
ambulan tentu para pengguna jalan lainnya masih dapat memaklumi. Permintaan hak
istimewa pemberian jalan akan terasa sebanding dengan tingkat kegentingan yang
dihadapi.
Hanya saja kenyataannya kini banyak
sekali kendaraan yang menggunakan fasilitas sirine lengkap dengan kawalan
aparat. Bukan berupa pemadam kebakaran pun tidak berbentuk ambulan atau polisi
yang tengah memburu pelaku tindak kejahatan. Tak jelas lagi siapa saja yang
menikmati kemudahan ini. Menilik dari jenis kendaraan dan pelat nomor polisi
yang tertera, kerap tidak menandakan bahwa sang pengguna fasilitas tersebut
adalah seorang pejabat negara yang memiliki ciri khusus pada nomor polisi di pelatnya. Jenis
kendaraannyapun banyak yang tergolong super mewah, tak sesuai dengan
spesifikasi kendaraan dinas negara.
Para pejabat negeri inikah? Bisa
jadi. Sudah bukan rahasia lagi bila beberapa pejabat memang berasal dari
kalangan berpunya. Tapi bila mengacu pada tingkat kepentingan pemberian
fasilitas yang dibiayai rakyat ini, tentulah tidak diperuntukkan bagi keperluan
pribadi sang pejabat. Kendaraan dinas yang diberikan kepada pejabat negara
semestinya digunakan sesuai dengan fungsinya, melancarkan kegiatan kedinasan
yang ditopang dengan penggunaan vorrijder. Sehingga penggunaan kendaraan
pribadi bagi keperluan di luar tugas negara, tidaklah layak dilengkapi dengan
fasilitas negara.
Aturan yang sangat jelas bagi
penggunaan fasilitas negara, termasuk jasa pengawalan oleh aparat, telah
berlaku di banyak negara lain. Kala saya berkesempatan mengunjungi beberapa
negara maju, tak terdengar sedikitpun raung sirine di luar kendaraan pemadam
kebakaran, ambulan atau polisi yang sedang memburu waktu dalam menjalankan
tugas genting. Itupun boleh dikata sangat jarang. Sehingga kenyamanan
berkendarapun kian terasa. Bahkan para pejabat negaranya tak segan menggunakan
transportasi umum bersama dengan khalayak ramai.
Lalu siapa sajakah penikmat
fasilitas voorrijder yang membuat raungan sirine seakan tak pernah henti
di republik ini? Entahlah. Tak pernah ada sosialisasi yang jelas kepada
masyarakat luas perihal kebijakan penggunaan fasilitas negara itu.
Sempat tertuang berita di media
cetak tentang beberapa orang artis tersohor ibukota yang mengaku sebagai orang
yang turut memanfaatkan jasa voorrijder demi mendapatkan kelancaran jalan yang
memudahkannya untuk memenuhi panggilan tampil di berbagai tempat. Ibu sayapun
pernah memiliki pengalaman ditawarkan jasa pengawalan oleh beberapa aparat saat
baru saja keluar dari pintu tol jagorawi. Tentu saja jasa ini tidak diberikan
dengan cuma-cuma. Sejumlah tarif tertentu telah disebutkan di awal penawaran
yang langsung ditolak mentah-mentah oleh beliau. Begitupun dengan berbagai
pemberitaan perihal mobil-mobil mewah yang melenggang leluasa di jalan-jalan
protokol diiringi pengawalan aparat bermotor lengkap dengan sirine. Entah…
sekedar untuk mendapat kemudahan atau penanda gaya hidup yang berkelas.
Maka terbetik pertanyaan pengusik
kalbu. Kemana larinya dana jasa pengawalan ini ? Jangankan laporan penerimaan
dana, selama ini tak pernah ada laporan terbuka mengenai penggunaan dan
pengeluaran dana dari kendaraan pengawal bersirine yang merupakan inventarisasi
negara ini.
Hingga kapankah penduduk negeri ini
harus menahan diri dari raungan vorrijder yang hilir mudik sepanjang
hari? Sedangkan rakyat pembayar fasilitas itu harus menabahkan hati
terjebak kemacetan jalan yang kian semrawut.
-PriMora Harahap-
Jakarta, Juni 2012
Jakarta, Juni 2012
note:
tulisan ini telah diunggah dan dimuat juga di blog PriMora Harahap pada Kompasiana (Kompas.com) dan di blog Detik (detik.com)
tulisan ini telah diunggah dan dimuat juga di blog PriMora Harahap pada Kompasiana (Kompas.com) dan di blog Detik (detik.com)