Selasa, 30 Desember 2008

Waktu (Selamat Tahun Baru)


Waktu…

kadang tak lebih dari sekedar satuan

penanda panjang pendeknya proses berjalan

Waktu…

kerap menjadi batas-batas

penanda sebuah pembaharuan dicanangkan

Waktu…

sering tak disadari

tlah berlalu tanpa arti

Waktu…

acap diagungkan demikian penting

hingga dimaknai layaknya investasi

Waktu…

akankah dapat manusia sadari

bila waktu untuknya kan berakhir

Waktu…

mungkinkan dapat terbayangkan

berapa lama masih tersisa

Waktu…

sejatinya sebuah misteri tak berbatas

yang diperlakukan sebagai pembatas

Waktu…

semestinya tak membatasi

setiap resolusi tuk diawali

Karena…


Waktu…

tak kan pernah berhenti

menanti manusia bersiap diri


Waktu…

kan tetap trus berjalan

tanpa dapat tertahankan

Kini…


Waktu…

penanda penghujung tahun

kan bermulanya awal tahun

Waktu…

ah… berapa banyak tlah terbuang

tanpa makna bagi sesama

Namun…


Waktu…

adalah pula alat pembenaran

tuk kegagalan yang tercipta

Waktu…

pun alibi yang jitu

tuk penundaan ke tahun yang baru

Waktu…

bila tlah berlalu

berujung pada sesal nan pilu

Waktu…

jangan jadikan penghalang

tuk setiap kebajikan & pertobatan

Waktu…

tlah tiba di penghujung tahun yang biru

jelang tahun yang baru

Waktu…

harapkan tak lagi membelenggu

pengekang daya tak berwujud

Waktu…

citakan sbagai pemicu

setiap langkah tuk maju


-PriMora Harahap-


30 Des 2008


note:
dipostingkan juga di Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Renungan Akhir Tahun


Sungguh tahun yang sendu

penuh guratan kelabu

berkubang pilu

Sungguh tahun sarat gambaran

hikayat akan ketamakan

tirani nafsu tak terkekang

Sungguh tahun penuh derita

penindasan tak berdasar

atas nama penyelamatan

Sungguh tahun sesak potret buram

sejarah peradaban manusia

dengan segala keangkuhannya

Sungguh dunia kini terpaku

dalam bisu dan kelu

ratapi sesal menggayut

Sungguh sebuah kedigdayaan

tlah berganti keterpurukan

saat semesta alam tebarkan amarah

Sungguh sebuah kenistaan

tatkala manusia dipaksa menyerah

diujung ketakberdayaannya

Begitupun…


Sungguh manusia tak pernah bisa berkaca

akan apa yang tlah mendera

sangkal semua yang tlah melanda

Sungguh sebuah catatan kelam

akan kepongahan manusia

kembali tertoreh di penghujung kala

Sungguh akankah hanya berakhir

bila laknat tlah menghampiri

dan murka Sang Maha Penguasa sadarkan diri


-PriMora Harahap-


30 Des 2008


note:

didedikasikan bagi mereka yang menjalani tahun dengan penuh derita, khususnya bagi mereka yang menutup tahun dalam gelimang darah & derai air mata di Gaza.

Rabu, 24 Desember 2008

Puisi dan Lagu Sarat Makna…

Sebuah catatan masih tercecer dari acara yang diselenggarakan semalam sebelum penutupan program World Music Festival 2008 – GKJ. Tepat pada malam ke 16 di bulan Desember lalu, sebuah kolaborasi pembacaan puisi & nyanyian, diberi titel ‘’Generasi Dalam Dialog’’, hadir dengan iringan Skolastika Ansamble yang dikomandani oleh Marusya Nainggolan.

Binu Sukaman, salah satu penyanyi seriosa terbaik milik negeri ini, membuka acara dengan lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu tersebut terasa begitu menggambarkan kondisi negeri tercinta ini. Betapa Ibu Pertiwi kini sedang bersusah hati… merintih dan berdo’a… melihat proses penzaliman tanpa kendali atas simpanan kekayaan alam negeri ini… hutan, gunung, sawah & lautan… yang acap hanya untuk kemakmuran segelintir golongan… tanpa pernah kembali untuk dinikmati oleh bangsanya…


kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang

hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa

kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu

ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa


Duhai ibu pertiwi… takkan heran pabila dikau bersusah hati… berlinang air mata… menyaksikan betapa kini lebih banyak yang merambah harta pusaka ketimbang menjaganya…

Pada penggalan pertama acara ini, serangkaian puisi bertema kepedulian lingkungan, keprihatinan serta kritik sosial karya Taufik Ismail dibacakan sendiri oleh empunya.

Taufik Ismail dengan lantang membacakan puisi pertamanya berjudul ‘’Beri Aku Sumba’’ yang bercerita tentang keindahan alam Sumba. Kerinduan ribuan kuda-kuda Sumba akan pegunungan yang indah… menyadarkan kembali akan betapa indahnya alam negeri ini. Negeri yang dikaruniai dengan begitu banyak kekayaan alam & pemandangan alam yang begitu indah. Tidak kalah indah, bahkan jauh lebih indah dari negeri lainnya.

Sebuah lagu lawas ciptaan Ibu Sud berjudul ‘’Tanah Airku’’ yang terlantun lewat bening suara Binu Sukaman jelas menggambarkan keindahan negeri ini lewat lirik demi liriknya.


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan


Sejatinya dengan menjaga kelestarian alam negri inilah, bangsa ini dapat menghargainya. Hanya yang terjadi, kerap kali keserakahan duniawi meluruhlantakkan keindahannya. Hingga tinggalah hutan-hutan gundul, lubang-lubang tambang menganga hasil eksploitasi alam tanpa batas…

Sejatinya pula negeri ini subur makmur… gemah ripah loh jinawi… sebelum bentangan & hamparan sawan nan hijau berubah rupa berganti belantara beton nan menjulang tinggi, yang atas nama pembangunan seakan ''merestui'' setiap langkah pemuka negeri ini untuk mengkomersilkan setiap jengkal lahan yang ada.

Kiranya petinggi negeri ini perlu meresapi kembali bait demi bait lagu ‘’Serumpun Padi’’ karya Maladi yang mahsyur itu.


Serumpun padi tumbuh disawah
Hijau menguning daunnya
Tumbuh di sawah penuh berlumpur
Dipangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci
Hidupnya nista abadi
Serumpun padi mengandung janji
Harapan ibu pertiwi


Puisi berikut yang diberi tajuk “Saya Mendengar Orang-orang Bernyanyi” dimaksudkan untuk menggambarkan dedikasi segelintir seniman pada dunia kesenian. Harry Roesli yang (semasa hidupnya) rajin – tanpa pernah putus semangat – selalu berupaya ‘menjahit setiap robekan akibat luka politik’ menggunakan benang-benang notasi musik dan bait-bait lagunya. Iwan Fals yang kerap menunjukkan kepedulian & kritik sosialnya. Begitu pula dengan kehadiran Franky S, Chrisye (yang kerap menyadarkan kita akan cinta kasih), Ebiet G Ade yang acap bercerita tentang alam dan kehidupan maupun Bimbo yang dengan kerinduan dan kecintannya pada Tuhan. Mereka, melalui cara bermusik masing—masing telah menghadirkan begitu banyak warna & makna… bila saja kita dapat meresapinya…

“Sajak Tentang Anak Muda Serba Sebelah’’ merupakan ungkapan keprihatinan Taufik Ismail akan dunia pendidikan negeri ini. Bercerita mengenai mimpi seorang anak muda dengan segala keterbatasannya untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri... untuk sekedar dapat mewujudkan mimpinya yang sederhana… menjadi seorang supir… Tapi apa daya… keterbatasan telah membatasi dirinya untuk menggapai mimpi-mimpinya… Begitulah kiranya gambaran pengembangan generasi muda negeri ini.

Program pencerdasan bangsa kiranya berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan program ‘’pembodohan’’ bangsa. Tak heran bila melihat begitu banyak terjadi degradasi moral. Guru yang melecehkan muridnya, murid yang mengancam sesama murid, sudah bukan berita aneh lagi.

Cerita mengenai tauladan kedermawanan orang-orang besar di jamannya, dalam bentuk penggambaran warisan yang mereka tinggalkan saat kembali ke haribaan Illahi, dituangkan dalam ‘’Sajak Tentang Kedermawanan’’. Melalui sajak ini, Taufik Ismail bertutur bagaimana pemimpin-pemimpin terhormat di masa lampau di saat wafatnya hanya meninggalkan warisan yang sangat sedikit karena telah mendermakan begitu banyak harta mereka sepanjang hidup. Bahkan Sultan Salahudin tidak meninggalkan apapun di hari ‘’kepulangannya’’. Sesuatu yang sulit ditemui di zaman yang penuh dengan Hedonisme ini. Zaman di mana para konglomerat & pejabat berlomba-lomba sibuk menimbun harta dengan menghalalkan segala cara, agar dapat mewarisi kekayaan hingga lebih dari tujuh turunan.

‘’Sajadah Panjang’’, sebuah karya Taufik Ismail yang popular sebagai syair lagu Bimbo, bertutur mengenai ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, di sepanjang hidupnya, sejak dari masih dalam buaian hingga tepi kuburan... ketaatan seorang hamba akan perintah Tuhannya karena teringat bahwa suatu saat akan menuju ke tepi kuburan…

Keprihatinan Taufik pada kebakaran hutan yang kerap terjadi tanpa ada pihak yang perduli untuk melakukan upaya menanggulanginya, digambarkannya melalui sajak “Air Kopi Menyiram Hutan’’. Sungguh sebuah gambaran nelangsa… tentang kebakaran hutan… atau ‘’pembakaran hutan’’ negeri ini…

Sebuah sajak dengan aura sarat kegetiran, perihal buruknya kualitas materi program-program tayangan di stasiun-stasiun televisi yang semakin bertambah banyak, diberi judul ‘’Pelajaran Membunuh Orang’’. Melalui sajak ini Taufik menggambarkan betapa melalui siaran televisi berbagai saluran, orang dapat belajar apa saja – termasuk belajar cara membunuh orang. Saat mendengarkan sajak ini, masih terekam jelas di benak saya, berita-berita mutilasi yang semakin marak terjadi, ternyata terinspirasi dari siaran-siaran televisi.

Bagaimana seorang wanita dengan nada yang datar namun sangat jelas terdengar mengakui bahwa dia tergerak untuk memutilasi suaminya setelah melihat suatu siaran di televisi.

Belum lagi lagak gaya anak-anak usia sekolah yang saling menggertak sesamanya karena mencontoh adegan bullying yang bertebaran di berbagai sinetron-sinetron itu. Bukan… bukan hanya pelajaran menggertak sesama pelajar… namun juga ketidaksantunan menggertak orang yang lebih tua kerap tersaji lewat layar kaca.

Tawuran yang telah menjadi ‘’budaya’’ bangsa ini, acap pula tertayang di televisi. Tidak lagi terbatas pada anak sekolah, tapi telah merambah menjadi tawuran antar warga... antar orang-orang tua yang sejatinya harus memberi contoh tauladan bagi generasi yang lebih muda.

Sesungguhnyalah telah berjalan sebuah program ‘’pembodohan’’ bangsa yang berkesinambungan... setiap hari… tanpa henti… lewat layar kaca di rumah setiap penduduk negeri ini… Oooh… kiranya mau dibawa kemana bangsa ini ?

Kebesaran Laksamana Cheng Ho tertuang dalam sajak “Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho’’. Berkisah tentang seorang pelaut Tionghoa beragama Islam yang telah menjelajahi begitu banyak daratan, begitu luas samudra… namun tak pernah sekalipun berniat untuk menjajah… karena sadar bahwa setiap bangsa berhak memiliki kebebasannya. Sajak ini ditulis oleh Taufik Ismail 14 tahun lalu dan sempat dibacakannya di sebuah Masjid di kota kelahiran Cheng Ho.

‘’Kupu-kupu Dalam Buku’’ merupakan sajak terakhir pada penggalan pertama acara ini. Mengungkapkan kerinduan Taufik akan menjadi bagian dari sebuah bangsa yang sadar membaca. Ilustrasi mengenai anak-anak muda yang dilihatnya membaca buku di stasiun-stasiun, di dalam kendaraan umum, dimanapun mereka berada. Antrian orang-orang muda di toko-toko buku, yang mengular sepanjang waktu. Hingga pertanyaan seorang anak tentang kupu-kupu kepada ibunya yang dijawab setelah sang ibu membaca ensiklopedia... tertuang dalam sajak ini. Dimana setiap bait sajak selalu di akhirinya dengan kalimat “Di negeri mana aku berada ?’’ Sepertinya Taufik Ismail ingin menyampaikan bahwa kondisi negeri itu bukanlah kondisi yang dapat ditemui di negeri ini.

Bagian ke dua di isi oleh sajak-sajak bertema Kepahlawanan ini dibuka dengan pembacaan sajak ‘’Ziarah ke Kubur Syekh Yusuf’’, seorang sufi pemberani, pahlawan negeri ini yang tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi imam di Masjidil Haram – Makkah. Begitu gigih berjuang melawan Belanda memperebutkan kemerdekaan tanah air tercinta hingga akhirnya dibuang ke Seylon & Afrika Selatan.

‘’Resepsi Baca Puisi di Balai Kota Rotterdam’’ merupakan puisi berikutnya yang berkisah tentang kegalauan hati Taufik akan kubur Haji Miskin, pejuang asal Sumatra Barat, yang tak ketahuan kuburnya hingga saat ini. Kegalauannya itu dituangkannya dengan halus namun gamblang melalui bait-bait sajaknya pada sebuah resepsi di Rotterdam, di mana berkumpul penyair-penyair dari seluruh dunia. Simak gambaran satir yang coba disampaikan dengan jenaka… ‘’Attention… attention… seraya mengetuk gelas untuk meminta perhatian seluruh hadirin’’. Lalu diikuti oleh tanya menggugat… ‘’Apakah ada kakek-kakek kalian yang pernah ikut bertempur saat perang Padri di negeri saya dan mengetahui mengenai penggantungan kakek datuk saya ?’’. Seraya buru-buru menambahkan, bahwa sungguh tidak ada dendam yang dibawanya, hanya sekedar ingin tahu letak kuburnya.

Sajak mengenai Pangeran Diponegoro terinspirasi dari sebuah lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, yang dibuat 27 tahun setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda melalui sebuah pengkhianatan. Sebuah lukisan padat isyarat yang menggambarkan perjuangan & kewibawaan Pangeran Diponegoro serta kekerdialan Belanda menghadapi keberaniannya, dilukiskan kembali oleh Taufik Ismail melalui keindahan bait demi bait sajak ini.

Arti sebuah Afrika yang lebih dari sekedar benua bagi seorang Taufik Ismail, dituangkannya dalam sajak “Apa Arti Afrika Untukku ?”. Melalui sajak ini Taufik mengilustrasikan Syeikh Yusuf dari Aceh dan Tuan Guru dari Tidore yang dibuang Belanda ke Afrika sebagai akibat dari perlawanan mereka terhadap Belanda.

Pada puisi tentang Syeikh Pante Kolo, seorang pejuang asal Aceh, Taufik Ismail berkisah tentang kekuatan sebuah puisi yang ditulis oleh Syeikh Pante Kolo disepanjang pelayaran dari Jedah ke tanah air dalam perjalanan pulangnya setelah menunaikan ibadah haji. Puisi yang bercerita tentang Hikayat Perang Sabit itu lalu diserahkannya kepada Teuku Cik Di Tiro setibanya di Aceh. Puisi ini ternyata berhasil membangkitkan semangat rakyat Aceh bergerak melawan penjajahan Belanda. Betapa perjuangan dapat dilakukan melalui banyak cara, dalam berbagai medium... melalui sebuah puisi, sebuah karya sastra sekalipun…

Puisi terakhir yang sekaligus menutup rangkaian pembacaan puisi Taufik Ismail diberinya judul ‘’Rindu Pada Stelan Jas Putih & Pantalon Putih Bung Hatta’’. Lewat syair-syairnya, Taufik Ismail ingin bercerita mengenai kerinduannya akan sosok tauladan yang memiliki sifat seperti Bung Hatta. Seorang yang selalu tepat waktu, ringkas janji, hemat bicara, bersahaja, sederhana & lurus jujur. Bung Hatta dengan stelan jas & pantaloon putihnya, yang terbuat dari bahan sederhana, adalah seorang yang tidak suka berhutang. Tidak pernah berhutang!! Jauh dari sifat hedonisme yang saat ini mendominasi negeri ini. Bung Hatta dengan jiwa & semangat kebangsaannya yang tulus tanpa pamrih, adalah sosok yang sangat sulit ditemukan di zaman ini. Bung Hatta yang selalu tepat waktu & pegang janji menjadi sebuah gambaran sosok yang ganjil di tengah bangsa yang senang akan keterlambatan (Taufik dengan jenaka mengilustrasikan bahwa satu-satunya sifat tepat waktunya hanya kalau berbuka puasa). Sosok seperti Bung Hatta dengan sifat jujur & ringkas bicaranya menjadi sangat langka di bumi tercinta ini, ditengah riuh rendahnya janji-janji manis yang kerap diumbar oleh para petinggi negeri ini. Sungguh sebuah kerinduan akan sosok yang telah demikian didamba.

Namun… kiranya siapa sekarang yang benar-benar rela – tanpa pamrih - memberikan tenaga & bahkan jiwanya demi kemakmuran bangsanya ??? Berjuang dengan gigih, demi kemajuan rakyatnya ??? Bagai perjuangan para pahlawan di masa silam yang tanpa gentar membela kehormatan bangsanya, merebut kemerdekaan yang hakiki… Demi menjaga negeri yang sungguh merupakan karya indah Tuhan Yang Maha Kuasa…

Sebagaimana dapat disimak dalam syair lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki yang – entah mengapa selalu membuat hati saya trenyuh – begitu pula saat mendengar didendangkan kembali malam itu.

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Reff :
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi


Adakah syair lagu & bait puisi itu masih dapat berlaku di negeri ini ?


-PriMora Harahap-

23 Des 2008


note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Kamis, 18 Desember 2008

Surprisingly, Beyond Your Imagination !

Penutup dari rangkaian program World Music Festival 2008 milik GKJ di penghujung tahun ini yang diselenggarakan pada malam ke 17 bulan ini, berupa pertunjukan musik Nita Aartsen Quarto bertajuk ‘’Welcome to Our Home”.

Saya pernah mendengar ihwal Quarto ini sebelumnya, yang bermain di alur latin jazz. Nita Aartsen, sang pianis, pernah beberapakali tampil bersama berbagai orkestra negeri ini. Ia pun pernah mengisi pelbagai festival jazz tanah air, semacam JakJazz dan Java Jazz. Awalnya saya mengira ini hanyalah sebuah pertunjukan musik jazz sebagaimana lazimnya saya saksikan pada perhelatan musik jazz.

Namun… yang saya temukan sungguh di luar dugaan saya.

Surprise… Surprise…

Sebuah pertunjukan musik di luar imajinasi saya… tersuguhkan dengan sangat cantik sepanjang 2 jam malam itu. Nita dengan ke 3 teman bermusiknya berhasil menghantarkan komposisi-komposisi klasik yang abadi hingga saat ini, buah karya komposer-komposer ternama yang sangat mahsyur di zamannya, menjadi sebuah suguhan musik bernafaskan latin jazz dengan rhythm dinamis namun manis terdengar.

Ini bukanlah sebuah pertunjukan musik klasik seperti yang kerap saya hadiri di gedung-gedung pertunjukan dengan format formal, penuh dengan pakem-pakem bermusik yang sudah baku.

Ini juga bukan sebuah pagelaran musik jazz biasa yang sekedar menampilkan kepiawaian musisinya, yang dengan bebas dapat melakukan improvisasi sana-sini.

Ini sebuah pertunjukkan musik yang dengan jeniusnya mengemas ulang komposisi-komposisi musik klasik yang terdengar anggun, dengan ritme latin jazz nan rancak. Irama dasar dari setiap komposisi klasik yang dimainkan masih terdengar jelas pada dentingan piano bagai sebuah lukisan nan indah. Namun hentakan bass, dentuman drum dan tabuhan perkusi yang sangat khas latin jazz berpadu serasi membingkainya.

Terkadang perkusi terdengar menghadirkan nuansa samba brazilian, namun di saat lain dentingan piano menyuguhkan irama salsa ataupun alunan cha-cha.

More than just an ordinary music!

Perpaduan antara 2 genre musik berbeda kutub, yang terkemas apik dan indah menjadi satu kesatuan rasa…

Hmmm…. tanpa sadar jari jemari saya turut bergerak ‘memainkan tuts-tuts piano’ saat mendengar komposisi-komposisi klasik yang begitu akrab di telinga saya. Namun bersamaan dengan itu terasa sulit menahan kaki untuk tidak berdansa salsa, mengalun cha-cha, bergoyang samba dan merentak merengue.

Bila saja pagelaran ini tidak diadakan di ruang pertunjukan GKJ yang berbungkus atmosfir keanggunan sebuah gedung kesenian nan megah… bila saja pagelaran ini berlangsung di sebuah café tempat saya biasa melantai bersama teman-teman… mungkin saya sudah tidak dapat menahan diri.....

Nita mengawali pertunjukkannya di atas pentas dengan mengantarkan prolog bagi hadirin, yang lebih merupakan sambutan selamat datang bagi tamu-tamu yang hadir mengunjungi ‘’Rumah’’ tempatnya berkesenian. ‘’Friendly Persuasion’’ melanjutkan prolog tersebut sebagai sebuah introduction. Gubahan yang merupakan adaptasi dari ‘’Caruso’’, sebuah komposisi klasik yang sangat mahsyur.

Sebuah kemasan ulang dari komposisi klasik karya Schubert berjudul ‘’Serenade’’ dibawakan dalam bentuk lagu berjudul ‘’Windows of The Night” yang dinyanyikan oleh Anda, seorang vocalis pria muda.

‘’Fur Elise’’ karya Beethoven yang sangat kondang merupakan komposisi yang menjadi dasar bagi sebuah instrumentalia berjudul “Good Times’’. Ditampilkan melalui dentingan piano dalam format ketukan Cha-cha pada bait-bait tertentu, yang dilanjutkan oleh permainan perkusi a la Brazilian yang sangat lincah oleh Iwan Wiradz (mengingatkan saya akan musik pengiring Capoeira). Kemasan yang sangat kental dengan nuansa latin jazz, membuat komposisi ini terasa sungguh berbeda dari biasanya.

Steven Wilson, vocalis asal Belanda, menjadi penampil yang membawakan sebuah lagu berbahasa Inggris : ‘’Let’s Dance’’ dengan nada-nada penuh riang. Sebuah hasil adaptasi dari ‘’Frohlicher Landmann’’ karya Schumann.

Sebuah lagu yang diberi judul ‘’Usai’’, merupakan hasil adaptasi dari sebuah karya Bach. Lagu dengan nada-nada sendu ini digubah Nita untuk ayahandanya tercinta. Dinyanyikan oleh Dira, seorang vocalis muda berbakat, lagu ini terdengar begitu menyentuh hati.

Komposisi “Minuet in G” dari Bach yang tidak kalah mahsyur itu tersaji dalam bingkai Salsa yang cantik. Sebuah lagu berjudul “Selamanya” digubah oleh Nita di atas komposisi ini. Tiga bahasa - Indonesia, Inggris dan Spanyol - digunakan sebagai perpaduan lirik yang manis dalam lagu ini.

Gubahan berjudul “Ring My Bell’’ merupakan adaptasi yang ciamik dari ‘’Blue Rondo a la Turca’’. Adapun ‘’Knock On My Door” dikemas ulang dengan apik di atas komposisi “Plasier D’Amor”.

‘’Symphony 40’’ karya Mozart dijadikan dasar adaptasi bagi gubahan yang diberi tajuk ‘’De Javu’’. Mendengar komposisi ini, bagi saya memang terasa ‘’De Javu’’, namun dalam nuansa berbeda.

Marusya Nainggolan tampil sebagai featuring, memainkan piano untuk komposisi “Moon Light Sonata” karya Beethoven, mengiringi pembacaan sebuah sajak pendek Nita. Komposisi ini dilanjutkan dengan halus, tanpa jeda, oleh permainan piano dan alunan indah suara Nita pada lagu “Baciami Tanto”, sebuah versi Italy dari lagu “Besame Mucho” yang kondang dinyanyikan dalam bahasa Spanyol.

Ditutup dengan sebuah gubahan berjudul ‘’On Fire’’, adaptasi dari ‘’Turkish March’’, buah karya seorang composer jenius, Mozart. Komposisi ini dimainkan berselang-seling dalam sentuhan klasik & latin jazz. Sebuah perpaduan yang menakjubkan.

Di akhir acara, Duta Besar Switzerland dan Wakil Duta Besar Nederland yang hadir malam itu, diminta untuk berkenan naik ke atas pentas memberikan rangkaian bunga kepada para pengisi acara.

Akhirnya… pagelaranpun usai sudah…

Namun, keindahan alunan komposisi klasik dalam kemasan berbingkai latin jazz yang baru saja saya saksikan terasa tidak pernah usai dari hati saya…

Sungguh… sebuah pertunjukkan musik yang menimbulkan decak kagum…


-PriMora Harahap-

18 Des 2008


Note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Kamis, 11 Desember 2008

Yang Peduli pada Yang Terabaikan...

Bravo ! Salut ! Kagum !

Sungguh… ke 3 kata tsb spontan terbersit di hati & pikiran saya saat saya berkesempatan melihat pertunjukan Batuan Ethnic Fussion kemarin malam, pada malam ke 10 di bulan penutup tahun ini, berlokasi di Gedung Kesenian Jakarta.

Kelompok musik yang tampil sebagai bagian dari rangkaian program ''World Music Festival 2008'' milik GKJ di bulan Desember ini, digawangi oleh I Wayan Balawan, seorang gitaris asal Bali.

Komposisi demi komposisi nan rancak nian, merupakan hasil kolaborasi dari 2 kelompok intrumen musik berbeda format – modern & tradisional. Sungguhpun saya sangat yakin tidaklah mudah untuk menciptakan harmoni nada-nada yang merupakan perpaduan basis Pentatonic & Diatonic, namun mereka berhasil menyajikan repertoire demi repertoire dengan ringan & ceria. Sangat jauh dari kesan berat, monoton & membosankan, yang selama ini sering didapati orang dari musik-musik tradisional. Kerumitan irama musik Bali dan kepiawan Balawan memadukannya dengan irama musik modern – fussion jazz – yang juga tidak mudah, lengkap dengan improvisasinya, patut mendapat acungan jempol.

Saya sendiri, bukanlah seorang yang mahir memainkan alat musik ataupun paham benar hal ihwal bermusik. Saya hanyalah seorang penikmat musik. Tapi ternyata telinga saya yg terbiasa mendengar sesuatu yg ''easy-listening'', malam itu dapat menikmati setiap nada yang disuguhkan, yang serta merta terasa langsung bersahabat dengan telinga saya.

Kagum saya kian bertambah ketika Balawan menuturkan latar belakang dia mendirikan kelompok musik ini, yang bisa jadi juga merupakan obsesinya atas kecintaannya terhadap budaya leluhur. Balawan sengaja membentuk kelompok musik tersebut yang sebagian besar melibatkan teman-teman masa kecilnya guna dapat melestarikan & mengangkat budaya Bali sebagai budaya tradisional.

“Saya mencoba untuk melestarikan budaya Bali dengan mengajak teman-teman saya tetap memainkan musik tradisional Bali. Saya prihatin karena banyak anak muda di Bali lebih tertarik untuk terjun ke bidang pariwisata. Mereka lebih memilih untuk bekerja di hotel-hotel daripada mempelajari kesenian Bali sendiri”, begitu kurang lebih penuturannya memberitahukan alasannya untuk mencoba bertahan di jalur musik yang boleh dibilang idealis ini.

Wuiiih...! Betapa membanggakan mendengar pernyataan seperti keluar dari mulut seorang anak muda Indonesia.

Yaaa… itulah kenyataan saat ini… tidak hanya di Bali, tapi saya yakin menggejala di seluruh daerah di nusantara ini.

Negeri ini tidak hanya kekurangan musikus penerus musik tradional, tapi juga penerus seni kebudayaan lainnya termasuk pengrajin kain tradisional seperti batik, ulos, songket, tenun ikat… Sungguh jarang ditemukan anak muda yang mau mempelajari keahlian2 tsb.

Guru les membatik saya pun pernah bercerita bahwa di Yogya dan Solo sendiri generasi mudanya sudah enggan belajar membatik, khususnya batik tulis yang memerlukan ketekunan. Banyak kaum muda di daerah kini lebih memilih berbondong-bondong hijrah ke kota besar, khususnya Jakarta, bekerja di pabrik-pabrik, ketimbang memajukan seni budaya daerahnya masing-masing.

Diakui pula oleh Balawan, sangatlah sulit untuk mengusung & bertahan pada jalur musik idealis di negeri ini. Sehingga kompromi dengan pasar tak pelak harus juga dilakukan sesekali, agar musiknya dapat diterima publik. Ya… mereka tentu harus tetap memikirkan pula selera pasar & beragam upaya agar public mau menerima musik mereka, karena bila tidak, tentu mubazir sajalah segala jerih payah mereka mengusung musik tradisional ini di tengah-tengah hiruk-pikuknya gempuran musik modern.

Mereka harus memutar otak lebih keras agar musik tradisional dapat diterima dan dinikmati oleh generasi muda bangsa ini yang diharapkan dan seharusnyalah menjadi penerus budaya lokal.Sebuah perjuangan yang tidak sesederhana membalik telapak tangan tentu, menyimak betapa generasi muda bangsa ini telah sedemikian sering ‘’dicekoki’’ oleh budaya-budaya barat dalam kesehariannya, sehingga merasa lebih akrab dengan budaya-budaya dari luar tersebut.

Tengok, bagaimana riuh & ramainya setiap pagelaran musik yang mendatangkan musisi manca negara walau berbayar amat sangat mahal sekalipun, hingga ratusan ribu bahkan tak jarang mencapai bilangan juta rupiah. Sungguh gegap gempita !

Tapi berapa banyak yang hadir pada pertunjukkan musik tradisional – atau setidaknya ‘’semi tradisional’’?
Semalam saya lihat, tidak sampai 2/3 tempat duduk terisi.

Itupun diakui oleh Balawan, bahwa kenyataan berbicara selama ini kelompok musiknya lebih sering mendapat tawaran manggung di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Masyarakat luar Indonesia justru memberi tempat dan apresiasi lebih tinggi bagi musik tradisional ini. Acap memang saya menjumpai beberapa duta besar asing datang menghadiri pertunjukan sejenis di GKJ maupun di TIM, sementara sangat jarang – bila tidak bisa dibilang tiada - petinggi negeri ini yang terlihat.

Miris…

Betapapun apa yang mereka lakukan sungguh suatu upaya mulia !
Dan terasa begitu mulia, tatkala beberapa tahun terakhir bangsa kita dihentakkan oleh kenyataan betapa banyaknya warisan budaya leluhur bangsa ini yang terabaikan... atau... diabaikan...

Hati ini terasa semakin miris dan trenyuh, saat pikiran melayang sesaat mengingat berita demi berita yang mengabarkan lagu-lagu daerah negeri ini ‘’dicuri’’ & ‘’diakui’’ oleh negara lain. Bahkan tidak terbatas lagu, tapi juga busana dan kain tradisional, motif perhiasan tradisional hingga benda-benda purbakala – pedang, arca, keris, kendi dan masih banyak artefak-artefak lainnya - yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa ini, kini justru menjadi kebanggaan bangsa lain. Lebih menyedihkan lagi, ketika penelusuran membuktikan sebagian besar ‘’perpindahan’’ benda-benda purbakala bangsa ini ke pihak asing justru difasilitasi oleh rakyat negeri ini sendiri yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Gubrak !!!

Sontak pemerintah dan pejabat dari tingkat pusat hingga tingkat daerah tiba-tiba ramai urun suara. Menyatakan ‘’keprihatinan’’ mereka dan ‘’mengutuk’’ para pelaku pencurian budaya. Seperti biasa, mereka kemudian selalu terlihat sibuk ‘’beraksi’’ manakala masalah besar telah terkuak. Sungguh sebuah kebiasaan buruk bangsa ini yang lebih sering reaktif ketimbang antisipatif.

Kalaupun ada, selalu dan selalu hanya sebatas pada program peningkatan pariwisata secara instan, sekedar mengkatrol jumlah kunjungan wisatawan yang berujung pada pamrih peningkatan devisa negara. Selalu & selalu ditinjau dari aspek komersil semata, olahan angka-angka statistik yang menggambarkan peningkatan wisatawan & hunian hotel. Tapi belum terlihat upaya sepenuh daya untuk melestarikan & meningkatkan kesadaran serta kebanggaan masyarakat akan beragam budaya bangsa ini.

Tidak pernah disadari, betapa sebuah penggalakan program pariwisata haruslah dibangun dari hulu ke hilir. Dimulai dengan pengembangan & pelestarian budaya local berikut dengan situs-situs maupun artefak bersejarah, mengajarkan bangsa ini untuk dapat menghargai & menjaga budayanya, memfasilitasi masyarakat dengan berbagai pelatihan budaya dan instrumen pendukung lainnya yang diperlukan, justru pada akhirnya akan menarik wisatawan mancanegara bertandang ke negeri ini, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan & taraf kehidupan masyarakat di setiap daerah.

Sebuah peran pelestarian budaya yang seharusnya dilakoni – setidaknya dimotori - oleh para petinggi & pemuka negeri ini, ternyata justru dijalankan oleh segelintir kecil anak-anak muda yang lebih menyadari arti kebesaran bangsanya dengan langsung bertindaknyata. Beruntung negeri ini masih memiliki sejumlah perancang busana kondang yang kemudian tergerak untuk berkreasi menciptakan busana dari beragam bahan dasar kain tradisional agar dapat menjadi tren di kalangan anak muda.

Sementara para pemangku jabatan, yang kerap menggaung-gaungkan arti kebangsaan disetiap perhelatan acara nasional negeri ini, entah di acara peringatan proklamasi, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, hari pahlawan dan sejumlah hari-hari nasional lainnya, sering hanya berhenti di sebatas Slogan & terlena dalam seremonial perhelatan megah Pencanangan ini itu.

Sepulang dari GKJ, otak saya tak jua bisa diajak untuk berhenti berpikir mengenai kebesaran sejarah budaya bangsa ini dan ancaman kepunahan yang sudah di depan mata, sekalipun sejatinya badan ini telah teramat letih setelah bekerja seharian di kantor.

Akhirnya saya hanya bisa berharap, semoga anak-anak muda seperti Balawan, Dwiki Dharmawan dengan Krakatau-nya, Ananda Sukarlan yang kerap ‘’pulang kampung’’ menggelar repertoire hasil gubahannya maupun aransemen ulang atas komposisi dan karya sastra seniman-seniman besar negeri ini atau… siapapun yang masih peduli, tetap bersemangat mengangkat karya seni tradisional tanah air tercinta ini, tidak patah arang dengan kondisi yang ada.

Masih banyak kesenian & kebudayaan tradisional yang harus mendapat perhatian & perlu diangkat ke permukaan. Negeri ini begitu luas, dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari begitu banyak pulau, tentunya menyimpan begitu banyak keindahan budaya di dalamnya. Kiranya siapakah nanti yg akan mewarisi & meneruskannya ?

Harapkan masih ada asa…

-PriMora Harahap-

11 Des 2008


Note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Senin, 03 November 2008

Enah

Namanya Enah. Entah siapa nama lengkapnya, saya tidak pernah tahu, Enah pun tidak hendak memberitahu. Perawakannya agak gemuk, tidak terlalu tinggi, dengan kulit hitam legam, tanda keseharian hidupnya lebih sering dihabiskan di bawah terik matahari. Orangnya sigap dan cekatan, mau mengerjakan apa saja dan dapat dipercaya.

Setiap hari dilaluinya dengan membuka warung nasi di pinggir jalan dekat rumah saya di wilayah Cilandak Dalam. Sebenarnya hanya sebuah warung kecil, sedikit lebih besar dari warung rokok, dengan meja yang merupakan kayu penutup warung yang dibuka bila sedang berjualan. Dilengkapi kursi kayu panjang bagi para pengunjung yang datang makan di warung tersebut.

Enah tinggal di sebuah rumah petak kontrakan di jalan yang sama. Rumah petaknya merupakan rumah kontrakan milik ketua RT di wilayah tersebut. Sejak sebelum kepindahan saya dan keluarga ke Cilandak Dalam pada tahun 1996 lampau, Enah sudah berjualan di sana. Bahkan saat rumah kami sedang dalam pembangunan, dia memarkir warungnya tepat di pinggir jalan di seberang rumah kami, karena saat itu dia berniat mengambil ‘’pasar’’ berupa kuli-kuli bangunan yang bekerja di bangunan rumah kami. Tanpa pernah mengecap pendidikan tentang ilmu pemasaran – jangankan pendidikan tinggi bahkan pendidikan SD pun tidak tamat - dia sudah menerapkan konsep ‘’captive market’’ yang dapat diraihnya dengan membuka warung di muka rumah yang sedang dibangun.

Saat ini Enah tinggal sendiri. Ketika saya sempat berbincang-bincang ringan dengannya, mengobrol seputar kehidupannya, dia bercerita bahwa sudah lama dia menjanda. Suaminya pergi kawin lagi saat anak ketiga mereka belum lagi genap berusia 2 tahun. Namun sebagaimana kebanyakan perempuan dari golongan marginal yang tidak memiliki pengetahuan mengenai hak-hak mereka sesuai hukum yang berlaku, maka hingga kini tidak selembar surat ceraipun yang diterimanya dari mantan suaminya itu. Sungguh sebuah ironi, bila menurut penuturannya sang suami bekerja di kantor polisi yang semestinya sudah sadar hukum akan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri. Namun selaku seorang yang bekerja di lingkungan penegak hukum justru memanfaatkan ketidaktahuan istrinya akan hak dan kewajiban tersebut.

Tapi di negara ini banyak sekali terjadi kasus demikian. Entah sudah berapa kali saya mendengar seorang perempuan ditinggal kawin lagi oleh suaminya begitu saja. Tanpa surat cerai, tanpa bertanggungjawab atas nafkah anak-anak yang terlahir dalam perkawinan mereka. Setidaknya cerita Enah sudah menggenapi 4 cerita sejenis yang saya dengar langsung dari para perempuan korban kesewenang-wenangan suami-suami yang tidak bertanggungjawab. Dua cerita saya dapatkan dari bekas pembantu-pembantu kami. Dan satu cerita lagi saya dengar dari mbok tukang pijit langganan ibu saya. Menandakan masih kurang berjalannya program pemberdayaan wanita di negri yang didaulat sebagai negara hukum ini.

Enah pun bercerita bahwa sejak pergi meninggalkannya dengan ketiga anak yang masih kecil-kecil, suaminya itu tidak pernah bertanggungjawab atas nafkah dan kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Maka diapun harus banting tulang mencari nafkah dan biaya bagi pendidikan anak-anaknya.

Awalnya dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. “Dulu saya kerja sama keluarga ibunya Mbak Mita, yang tinggal di Cilandak Tengah. Tapi sekarang ibunya Mbak Mita sudah balik ke Padang, Mbak Mita sendiri sudah kawin dan tinggal di Bintaro. Anak saya yang paling tua ikut dibawa ibunya Mbak Mita ke Padang. Tapi saya denger sih sekarang anak saya itu sudah kawin dan gak kerja di sana lagi. Saya gak pernah dapat kabar lagi dari dia. Maksud saya, anak laki, Non. Kalo sudah kawin pasti pergi dibawa orang”, kata Enah menceritakan awal kisahnya bisa bermukim di wilayah Cilandak ini.

Setelah majikannya pulang kembali ke Padang, dia memutuskan untuk buka warung dan berjualan nasi saja di pinggir jalan perumahan, masih di wilayah yang sama. “Saya diajakin sih sama Mbak Mita untuk ikut ke Bintaro. Tapi saya gak mau ah… Saya ini kan gak tahu jalan. Tahunya cuma daerah sini aja. Paling-paling ke pasar dan ke rumah kakak saya di Pondok Labu. Ntar pindah jauh-jauh malah saya nyasar lagi. Mending di sini saja. Maksud saya, kalo cuma cari kerja, di sini juga bisa. Kerjaan apa saja juga saya mau, asal halal.”, begitu alasannya kenapa dia akhirnya memilih tetap tinggal di Cilandak. Maka jadilah Enah buka warung nasi di pinggir jalan. Pelanggannya saat itu cukup banyak, karena ada beberapa bangunan rumah baru di wilayah tersebut.

Tahun terus berjalan, dan daerah Cilandak kini sudah semakin padat dengan rumah-rumah besar pendatang baru yang membelinya dari penduduk asli Betawi. Apalagi sejak beroperasinya Cilandak Town Square, sebuah pusat entertainment yang dilengkapi dengan Cilandak Sport Center di belakangnya. Bahkan tanah lapang milik Bank Indonesia tepat di depan rumah kami, yang bertahun-tahun terbengkalai, hingga sering digunakan anak-anak dan remaja setempat untuk beraktivitas dan bermain bola, kini telah dialihkan ke sebuah pengembang terkemuka yang segera membangun sebuah town house elit di sana. Enah pun tergusur. Pengembang town house elit tidak berkenan ada warung di depan lingkungan perumahannya. Mereka tidak mau warung-warung ‘’liar’’ menurunkan citra perumahan mewah dengan lingkungan asri yang dibangunnya.

Untungnya Enah adalah seorang yang supel, luwes dalam pergaulan. Dari awal saya mengenalnya di tahun 90-an silam, dia memang ramah. Walaupun bicaranya terkadang sedikit ceplas-ceplos, tanpa sungkan menceritakan perjalanan kehidupan lengkap dengan segala permasalahannya – khas orang yang hidup di pinggir jalan – tapi dia selalu bersedia membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya, sejauh dia mampu.

Tak jarang, ibu saya meminta bantuannya untuk memasak makanan, terutama bila akan mengadakan acara keluarga atau pengajian di rumah. Banyak juga yang memanfaatkan jasanya untuk sekedar membersihkan rumah, menyapu halaman, menjaga rumah, mencuci pakaian hingga memijit dikala pegal atau melulur badan yang sudah mulai terasa dekil.

Hingga saat warungnya harus hengkang dari depan bangunan town house tersebut, dia tidak terlalu khawatir karena langsung ada warga Cilandak Dalam yang memberinya tempat untuk memindahkan warungnya ke depan rumahnya.

‘’Waktu diminta pergi dari depan Casamora, saya pindah ngewarung di depan rumah Pak Dadi, Non. Itu lho yang Jendral itu. Dia kan sudah pindah ke Lebak Bulus. Rumahnya yang di sini dibongkar, mau dibangun dua rumah, bakal anak-anaknya nanti. Dia minta saya sekalian jagain rumahnya. Ya pas ditawarin saya mau saja. Saya bilang ke Pak Dadi, ya itu maksud saya, kalo saya diminta ngejagain rumahnya, saya boleh sekalian ngewarung.”, itu laporannya kepada saya memberi tahu perihal kepindahannya yang hanya berjarak sekian puluh meter itu.

Sambil berdagang nasi di warungnya dari pagi hingga petang, malamnya Enah terbiasa bertandang dari rumah ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan lain, sesuai pesanan. Ada saja warga yang meminta bantuannya dengan tentunya memberi upah atas jasanya. Namun Enah tidak pernah pasang tarif. Orang membayar jasanya sesuai keikhlasan masing-masing. “Buat saya sih pekerjaan apa saja saya lakonin, yang penting halal. Kalo gak halal saya gak mau. Maksud saya, biar saya orang miskin begini tapi saya masih takut sama Tuhan”, demikian jelasnya kepada saya. Sering pula Enah kerja serabutan di hari minggu dan di hari-hari libur dimana dia tidak membuka warungnya. Menurutnya rugi kalau membuka warung di hari libur karena tidak ada kuli bangunan yang bekerja, sehingga pengunjung warungnya juga sangat sedikit.

Dia lanjut bercerita bahwa awalnya dia memang sengaja mengambil kerja serabutan seperti itu di malam hari dan di hari-hari libur untuk membiayai sekolah anaknya yang terkecil. Tantri, demikian nama anak bungsunya itu memang merupakan anak kebanggaan Enah. “Dia itu anaknya nurut, Non. Gak seperti anak saya yang lain. Disuruh sekolah mau. Anak saya yang lain kan gak ada yang mau saya suruh sekolah, maunya cepet kerja trus kawin. Biar deh saya kerja capek begini asal ada anak saya yang jadi orang sekolahan. Supaya pinter, maksud saya jadi ntar bisa dapet kerjaan bagus”.

Tantri memang seorang anak yang manis. Dia sering diajak Enah ke rumah kami kalau ibu saya sedang membutuhkan jasa Enah. Anaknya rajin dan sedikit pendiam. Kulitnya hitam legam, persis seperti ibunya, tapi raut mukanya jauh lebih ayu. Dengan perjuangan Enah banting tulang kerja serabutan, Tantri akhirnya berhasil menyelesaikan SMEA, sebuah jenjang pendidikan yang cukup tinggi untuk kaum marginal seperti mereka. Selesai menamatkan SMEA, lagi-lagi berkat kesupelan Enah dalam bergaul, Tantri ditawari untuk bekerja sebagai kasir di sebuah departemen store terkemuka di Jakarta. Wah!! Enah bangganya bukan main. Dia kerap menceritakan perihal keberhasilannya menyekolahkan Tantri hingga bisa mendapat pekerjaan lebih layak dari dirinya. “Tantri sekarang jadi kasir di mall, Non”, ceritanya. “Hebat dong. Di mall besar lagi. Jadi sekarang dia sudah bisa mandiri ya.”, timpal saya. “Ya itu, maksud saya juga gitu. Pertamanya sih dia ditawarin jadi SPG, apa tuh Non, ya yang disuruh jualan itu. Tapi karena majikannya ngeliat dia jujur dan bisa dipercaya sekarang dia disuruh megang kasir. Dia anaknya emang jujur sih. Dari kecil saya sudah bilang sama dia kalo kerja mesti jujur. Orang itu cuma bisa dipercaya karena jujur. Kaya’ saya saja. Kalo saya gak jujur mana mungkin saya diminta kerja banyak orang. Sampai Nyonya Jerman (maksudnya tetangga sebelah yang istrinya orang Jerman, red.), saja lebih percaya sama saya ketimbang Mbak Darsih yang pembantunya itu. Kalo bersihin kamar dia, pasti saya yang disuruh. Nah, maksud saya gitu, yang penting jujur”, sambungnya panjang lebar mengenai nilai-nilai kejujuran yang kerap ditanamkannya kepada anaknya.

Namun ternyata nasib baik tidak berlama-lama berpihak pada kehidupan Enah. Kira-kira 2 tahun bekerja sebagai kasir, Tantri jatuh sakit. Awalnya demam dan batuk tak berkesudahan. Lambat laun tubuhnya yang memang kurus menjadi semakin kurus. Mukanya yang tirus semakin pucat. Semua orang sudah menyarankan untuk diperiksakan ke dokter. Beberapa warga turut memberi bantuan dana guna sedikit membantu meringankan biaya pengobatan Tantri. Enah kalut sekali saat itu. Dia ingin selalu mendampingi putri kesayangannya, namun dia tidak mungkin meninggalkan warungnya, karena itu merupakan sumber penghasilannya. Apalagi sejak sakitnya semakin parah, Tantri tidak lagi bekerja. Bulan demi bulan berlalu, Tantri terdiagnosa mengidap TBC. Sempat dirawat di RS Fatmawati atas bantuan sejumlah warga, namun kemudian Enah minta supaya dirawat jalan saja. ‘’Saya gak kuat biayanya. Lagian kalo saya mesti terus-terusan nungguin di rumah sakit, saya jadi gak bisa ngewarung. Kalo saya ngewarung, gak ada yang jagain Tantri. Belum lagi bau rumah sakit. Saya gak tahan. Maksud saya lebih baik dirawat di rumah saja. Deket sama warung, jadi saya bisa sekalian ngejagain Tantri. Gak buang-buang biaya. Di rumah sakit kan mahal”, begitu jelasnya. “Gak coba urus surat keterangan tidak mampu Mbak? Kan katanya ada program pengobatan gratis untuk orang miskin?”, tanya saya. “Susah Non ngurusnya. Malah kita yang dimintain duit. Maksud saya, daripada buang-buang duit ngurus ini itu juga belum tentu rumah sakit mau terima. Saya sudah coba, tapi rumah sakit tetap bilang ada biayanya. Lha waktu cuma 3 hari di rumah sakit saja saya sudah mesti bayar ini itu, belum lagi nebus obatnya mahal banget. Saya sempet abis ratusan ribu.”, keluhnya menceritakan pengalaman sulitnya perjuangan orang miskin di negara ini bila jatuh sakit.

Tantri lalu dirawat sendiri oleh Enah di rumah kontrakannya. Setiap minggu Enah membawa anaknya itu ke puskesmas. Tapi sakitnya tidak kunjung sembuh. Bahkan di bulan-bulan terakhir, Tantri sudah tidak mampu berjalan dan hanya bisa duduk terkulai. Fisiknya yang semakin lemah membuat Tantri tidak kuat melawan penyakitnya. Tantri pun meninggal, hanya 2 hari setelah kami paksa untuk dirawat di Rumah Sakit Persahabatan. Di malam Tantri meninggal, Enah yang menungguinya seorang diri di rumah sakit, menelpon ke rumah kami dengan terbata-bata. Suaranya yang biasanya cukup nyaring – bila tidak bisa dikatakan ‘’cempreng’’ – saat itu nyaris tak terdengar, tertelan oleh sedu-sedannya. Warga yang memang mengenalnya lalu bahu membahu membantu mengusahakan penguburan Tantri.

Kini Enah tinggal sendiri. Dia acap cerita kalau dia masih selalu sedih mengingat Tantri. Itu sebabnya walaupun saat ini dia hanya menghidupi dirinya sendiri, tapi dia tetap berusaha menyibukkan diri dengan mengambil kerja serabutan. Kerja yang menumpuk itu untuknya lebih untuk melupakan kesedihannya kehilangan seorang anak yang sangat dibanggakannya, selain menambah penghasilan. “Saya sekarang sih sebetulnya gak perlu kerja ngoyo, Non. Wong udah gak ada yang disekolahin lagi. Paling cuma buat makan sendiri saja. Tapi kalo saya bengong di rumah juga malah jadi sedih. Saya sering inget almarhum (sebutannya untuk Tantri yang telah meninggalkannya selama-lamanya, red). Apalagi kalo sudah malem. Biasanya kan almarhum yang nemenin saya nonton tipi. Mending sekarang saya jangan banyak di rumah. Ya itu maksud saya, kalo saya sibuk kan jadi gak gitu keingetan sama almarhum”, demikian dia mengisahkan kesedihannya akan kematian anaknya itu.

Namanya Enah. Entah siapa nama lengkapnya, semua orang memanggilnya Enah. Sejak awal saya mengenalnya hingga kini tidak terlalu banyak yang berubah dari penampilannya. Tetap ringan tangan membantu setiap warga yang membutuhkan jasanya. Wajahnya memang tampak semakin menua, penuh gurat-gurat kepedihan tanda cobaan demi cobaaan yang dia hadapi selama ini tidaklah ringan, walau sekedar berjuang untuk hidup. Namun bicaranya masih saja ceplas-ceplos, yang acapkali diselipi dengan kata “maksud saya’’, walau sering tanpa makna lebih. Terutama bila saya menanggapi ceritanya atau memberi saran atas persoalannya, maka dia akan langsung menimpali dengan “Ya itu, maksud saya juga gitu……”. Mungkin maksudnya untuk lebih memberi penekanan bahwa sebagai manusia walaupun hidup dalam kemelut kemiskinan namun dia tetap punya pendapat, punya prinsip, punya harga diri.


prepared by PriMora Harahap
for Narasi course homework

23 Nov 2007

sharing opinion / tulisan saya yang lain juga dapat dibaca pada Mora's blog
(@ mora-harahap.blog.co.uk)

Edukasi atau Ikut Arus ? - Medan sebuah pasar yang ''unik''

Dari hasil bincang2 via sebuah mail list, sempat terlontar keheranan mengapa beberapa plaza cukup mewah di Medan, yang awalnya memposisikan dirinya untuk high end level tiba-tiba mengundang masuk hypermarket sebagai tenant-nya. Hal itu tentu membuat posisitional plaza tsb menjadi tidak lagi jelas. Setelah saya coba telaah, ternyata Medan merupakan sebuah pasar dengan karakteristik yang cukup unik.

Sepengetahuan saya (yg sempet beberapa kali pulang kampung ke Medan), sebuah dept store or mall baru di Medan biasanya memang cuma ramai dikunjungi orang pada saat awal pembukaan saja, dimana rasa ingin tahu masyarakat disana akan suasana yg disajikan masih sangat tinggi. Lalu... Beberapa bulan sesudah itu... biasa2 aja. Tingkat kunjungan orang tidak lagi seramai saat baru dibuka.
Paling weekend yang cukup ramai, tapi juga rata-rata masyarakat di sana hanya datang ke mall2 dan plaza2 mewah sebagai alternatif hiburan jalan2 keluarga.

Itu sebabnya beberapa Dept. store yg awalnya heboh dikunjungi, sekarang justru sudah tutup... seperti Medan Mall (CMIIW).
Rata2 pengunjung datang ke mall dan plaza lebih sekedar untuk cuci mata lah. Atau paling banter ikut2 coba-coba nge-life style dikit dgn ngopi2 di Starbuck atau makan di foodcourt dan belanja di HyperMarket.

Tapi itupun... untuk urusan 'perut', yg namanya orang Medan tetep gak begitu doyan belanja di Hypermarket modern...
Lha wong masakan Sumatra itu kan terkenal Spicy, penuh dengan bumbu, rame n meriah deh.

So...

Hypermarket di sana pun gak pernah se-heboh di Jakarta pengunjungnya (yg bisa ber-jubel2 dan butuh ekstra kesabaran untuk sekedar antri di kasir). Karena di Hypermarket tentu sulit ditemukan kebutuhan guna membeli bumbu2 (buat bikin gulai atau sayur daun singkong tumbuk a la mandailing), apalagi ikan asin, teri medan,ikan mas yg segar (untuk masak arsik), ikan sale sungai (untuk dibuat masakan limbat dgn sambalnya yg lezat - hmmm... yg asli dari Mandailing pasti tau) etc,etc,... Wah !! Manalah cukup puas kalo belanjanya di Hypermarket...?? Hmmm... bisa2 yg ketemu cuma sarden, cornet, sosis... ;p.

Sedangkan di Jakarta saja, kota megapolitan dimana Hypermarket nya sudah menjamur, orang Medan pendatang pun masih harus mencari bahan2 masakan Sumatra ke pasar2 tradisional (tante2 saya sampe bela2in belanja ke pasar Senen lhooo... Menurut mereka bahan2 yang ada di Hypermarket itu gak sreg dan gak pas.

Apalagi di Medan kan...
Jadi... teteeep... ke Pajak2 (baca: Pasar, red) situlah tujuan inang-inang tu berbelanja...

Tambahan pula awak bisa puas menawar di pajak tu kaan...
itu kepuasan batin tersendiri lhooo buat para ibu2... rasanya puas banget bisa menghemat uang belanja.

Begitupun bila Hari Raya tiba. Aneka sarung pelekat, peci melayu, telekung (baca: mukenah, red) tentulah terasa lebih afdhol di cari di Pajak Lama. Banyak macam dan ragamnya. Cantik2 dan... Yang penting awak bisa menawar harga pula...

Seorang teman saya di mail list yang sudah pakar dalam bidang marketing berpendapat bahwa orang Medan itu gak terlalu terpengaruh dengan image dan positioning tempat berbelanja.

Rasanya benar jua... Masyarakat Medan memang dari dulu gak terlalu perduli dengan gengsi tempat membeli, mereka justru sudah sejak lama lebih pintar dan cerma dalam hal berbelanja, atau istilah kerennya Smart Buyer...

Kalau bisa dapat barang bagus - apalagi terjamin asli, bukan aspal - dengan harga miring, ngapain juga mesti beli di butik2 di Dept store dan Mall besar. Karena di sana biasanya barang yang sama di jual lebih mahal (butik2 itukan pasti punya Cost tambahan buat sewa tempat - ruangan pake ac - belum lagi untuk menggaji para pramuniaganya, tax yg lebih tinggi, etc,etc - yg pasti perlu biaya lebih mahal dibanding ongkos sewa kios di pasar atau yaaa... semacam ruko-ruko yg lebih low level deh, istilah kerennya trading center yang less high-end. Kalau berdasarkan hukum ekonomi maka mestinya semua cost itu diperhitungkan dan dibebankan ke konsumen kalau penjual gak mau rugi atau turun Profit Margin nya - yang tentunya dengan cara menaikkan Selling. Buat para konsumen di sana - Gak pentinglah tempat belinya - Emang siapa sih yang tahu kita beli dimana ? Yang penting kan terlihat keren pada saat dipakai...
Bahkan di kamus mereka gak ada tuh istilah gengsi untuk memberi tahu kenalan dan kerabatnya dimana kios tempat membelinya. Mereka bahkan mengajak / merekomendasikan untuk ikut membeli di sana saja.
Ditambah lagi faktor lebih mudahnya bepergian ke Batam, Malaysia dan S'pore.

Belum lagi banyaknya barang selundupan yg gak kalah cantiknya, dijajakan di kios-kios di sekitar pelabuhan Belawan... ;p - yg sebentar saja bisa dikunjungi (gak perlu perjuangan berat yang jauh plus macet parah seperti kalau kita mau ke Tanjung Priuk).

So... ??

Mungkin ini yang namanya pebisnis mesti lebih mempertimbangkan lagi Customer Behavior dari pasar yg akan dimasuki.

Jadi kalau perlu bisa dilakukan antisipasi atau penyesuaian untuk setiap pasar yg memiliki Customer Behavior yg cukup ''unik''...
IMHO, pembukaan Dept-store2 mewah di Medan memang terlihat sebagai Ikut Arus kota2 modern.

Tapi utk dapat 'merubah' Customer Behavior di sana ?? Wah!! Rasanya perlu perjuangan berat utk bisa meng-'edukasi' publik di sana.
Apakah Dept-store2 besar nan mewah itu akan bertahan di Medan ?

Just wait n see...

any comment ?


CU,


-PriMora Harahap-


1 Feb 2006

sharing opinion / tulisan saya yang lain juga dapat dibaca pada Mora's blog
(@ mora-harahap.blog.co.uk)

L’importance du Développement de TIC

Introduction

Les technologies de l’information et de la communication (TIC) sont en train de bouleverser l’économie mondiale et de mettre en place d’immenses réseaux qui englobent des cultures très différentes. Ils ont beacoup d’avantages qui pouvont augmenter l’aide sociale de la société. Mais des inégalités extrême subsistent encore dans l’accès à ces technologies et leur utilisation. Cette disparité – qui es s’appelé “fracture numérique” est le reflet d’inégalités sociales et économique plus profondes, tant entre les pays qu’à l’intérieur de ceux-ci, dans une large mesure.


Les avantages et les importances des TIC

Les TIC ont quelque caractéristiques uniques qui comprennet les point suivant:

• Ça éliminent les contraintes des limites geographiques et des différences de temp.

• Ça encouragent les dissémination des information ed de connaissances, particulièrement en les régions / quartiers rural.

• Ça réduisent des côuts opérationnels (ce sont rentables).

• Ça augmentent les occasions, par exemple: les grands marchés pour les petites et moyennes enterprises.

• Ça accroissent les transparences et les démocraties de governement.

• Ça améliorent les qualités des services publiques.


Ils promeuvent la croissance économique et la progression sociale en même temps. Les pays en développement qui tardent à agir s’agravent les inégalités existantes.

Les risques sont grands, mais les avantages le sont également. Les TIC peuvent être des instrument clefs dans la réalisation de nombreux objectifs de développement. Ils peuvent contribuer à créer des emplois et des débouchés économiques, améliorer la fourniture des services de santé et d’éducation, faciliter le partage de l’information et la création de connaissances, et accorître la transparence, la responsabilité et l’efficacité des governements, des entreprises et des associations sans but lucratif. Tous ces facteurs contribuent à l’instauration / l’occasion / la possibilité d’un environnement favourable au développement.

En faisant des TIC une partie intégrante de la coopération pour le développement, les pays en développement et leurs partenaires peuvent s’employer plus efficacement à réduire la fracture économique et sociale.

Pour obtenir des résultats satisfaisant, les pays doivent élaborer des stratégies exhaustives concernant les TIC et le cyberdéveloppement afin d’appuyer les infrastructures politiques, humaines et matérielles nécessaires. Ils doivent aussi adopter des mesures pour assurer un accès équitable aux TIC et une capacité de utilisation de TIC.


Les Conditions Préalables Pour le TIC Développement

Il y a quelques conditions préalables pour développer le secteur de TIC dans un pays qui comprenent les points suivantes:
• Les infrastructures de téléphone.
• Les infrastructures d’électrique.
• Les capacités humaines.
• Les rôles de governement.


Il y a peu de années, quelque de pays en développement ont commencé / lancé leur programme de développement de TIC.

Par exemple: les scientifiques de brésilien ont produit un prototype d’ordinateur avec un système de cyber / d’internet. Mais, quelque autre pays en développement n’ont pas assez des conditions préalables pour développer leur secteur de TIC. Par exemple: En Indonésie, la pénétration téléphonique est 3.15% seul ou il y a 3.15 ligne téléphonique pour chaque 100 populations (habitants). C’est très petite, en comparaison de la Malaisie (qui a la pénétration téléphonique environt 20.05%) et le Singapour (avec la pénétration téléphonique environt 48.45%).

Avant d’âge / d’époque / d’ère de TIC, dans les pays en développement, d’habitude, l’amélioration de système d’éducation et la reduction de taux d’analphabétisme étaient en face des difficultés, particulièrement en les régiones rural. Les capacités humaines pour les opérer / fonctionner sont très important.

Les petites et moyennes entreprises comme backbone d’économie n’atteignaient pas le marché mondial pour augmenter leur échelle économique et leur avantages compétitif / concurrentiel, sans le développement de TIC. Et ensuit, le governement doit jouer les rôles importantes pour motiver la croissance du secteur de TIC. Ils doivent aussi développer l’environnement propice avec les réglages qui soutient et encourage, particulièrement pour la société et la industrie.


Stratégies Développement de TIC

Ces stratégies relatives aux TIC et au cyber développement doivent comprendre les issues suivantes:
• Accès et Utilisation.
• Un Environnement Propice.
• Capital Humaines.
• Stratégies Exhaustives En Faveur D’Une Croissance de TIC.


Accès et Utilisation

Bien que nombre de pays en développement soient déja dotes des infrastructures de base pour se connecter au réseau mondial de l’information, l’accès abordable et équitable demeure une probleme cruciale. Selon de récentes estimations / récentes estimations indiquent que moins de 15 % du nombre total des usageres d’Internet et des TIC vivent dans les pays en developpement.


Un Environnment Propice

La plupart des pays en développement ne sont pas dotés des cadres juridiques et capacités institutionnelles nécessaires pour encourager l’adoption et l’absorption des TIC ni pour attirer les investissements nationaux et internationaux requis pour le développement d’infrastructures, la production de services, la création d’enterprises ou le renforcement des capacités.


Capital Humaines

La formation professionnelle revêt une grande importance. Les nouvelles occasions concurrentiels mondiaux et locaux dans les TIC secteurs, demandent les capital humaines qui sont qualifiée et professionnelle. Les programmes des éducations formel et informel, telle que les formations professionnelles sont très important. En raison de la plupart des informations dans l’internet sont les langues internationales, telles que Anglais, Francais et Espanol, les capacites humaines pour les comprendre doivent améliorer. Les pays en développement doivent se doter leur capital humaines non seulement du personnel technique qualifié nécessaire mais aussi des compétences spécialisées nécessaires.


Stratégies Exhaustives En Faveur D’Une Croissance de TIC

La mise en place d’equipes spéciales, forums et ateliers nationaux réunissant les multiparties / les parties en jeus qui sont participé, comprennent le gouvernement, le secteur privé, les ONG (Organization Non Governement) et les universitaires, pour formuler les priorités des stratégies nationaux et soutenir / supporter de l’echange de données d’expérience avec l’experts internationaux et les réseaux entre les pays mondiaux.


Les Résumes

Les importances des TIC comprennet les points suivant:
• Ça pouvent réduir les pauvretés.
• Ça favourisent la croissance économique et sociale.
• Ça créent la gouvernance démocratique.

Le TIC apporteront beacoup des avantages et des occasiones pour le développement de la nation.

Les stratégies exhaustives concernant les TIC augmenteront l’aide sociale de la société.

Le rôle du governement décidera le succès / la réussite du programme développement des TIC.

Une coordination entre les pays en développement et les pays qui sont développé / qui ont été développé réduira les problèmes des fractures numériques.

Dès que tous les pays auront développé le secteur de TIC dans leur pays, il augmentera l’aide sociale et réduira les problèmes pauvretés.

Quand tout le monde auront augmenté une bonne coopération et coordination de programme TIC, elle éliminera les problémes des fractures numériques.

Les societes mondiaux souhaitent que tous les pays construisent une bonne coopération en le secteur de TIC.



c'ést preparé par PriMora Harahap


Sept 2004

Role of Government Regulation for Developed Countries

ICT is a new method of communicating and improving the welfare. It should be treated like any other industries and should be regulated, but if possible it should operate and function without high government intervention. A regulatory challenge is to develop consistent and relevant regulation that can promote growth of the sector, actively encourage innovation and serve the best interest of community.

Regulatory monitoring is desirable to remove barriers to ICT development, which is including the cost of service, basic infrastructure, service and transmission supply. ICT media, in particularly Internet Protocol (IP) based is likely to form the backbone for integrated voice & data service in the future that will create some added values.

The main issues for every developed country to attract FDI and increase this sector are:
- Not to defend the certainty pricing / tariff scheme.
- Serve the best interests of community.

In general, the world is moving from an industrial to an information economy. The evidence is the rising of the ‘new economy’, drived by the information network.

The ‘new economy’ is a world in which:
- People work with their brains instead of their hands.
- Communication technology creates global competition.
- Innovation is more important.
- Investment buys new concept rather that new machines.
- Rapid change is a constant.
- ‘Light touch’ of government intervention.
- Privately owned and operated.
- IP based network.

To take the more advantages from ICT media, developed countries which have e-readiness condition, have to develop a good investment climate and strong network. Sometimes policy reviews must be done to perceive information exchange for extending the universal access.

Major challenges to e-readiness countries:
- Strong infrastructure.
- Competitive price.
- Legal system.
- Government endorsement.
- Efficient Custom, taxation & natural resources usage fee.
- Simple & transparent administration procedure.
- Security.
- Strong protection for IPR, copy rights and domain name.
- Content.
- Equal treatment of investment regulation.

It is indisputable that Small and Medium size enterprises (SMEs) as group forms an important part of the business structure of any economy. It provides an essential structure supporting the bigger organization in providing all sorts of high value added services and intermediate products as well as supplying specialized product to meet specific niches of the market. While large companies are able to develop by themselves cross-border trade and investment, SMEs lack information, financial and manpower resources and tend to focus on their domestic markets.

There is potential for more trade and investment between these economies SMEs are encouraged to develop cross-border activities. To express this potential, there is a need for a deliberate and voluntary effort be undertaken by government and private sectors in order to implement practical and effective measures. To promote the SMEs development, the usage of Internet networks is needed to improve the relevancy and quality information. E-commerce usage also can give advantages for business community, in where business community can reach bigger market, more efficient resources and other opportunity.

Lack of manpower with required skill and expertise should be taken to set up more and strong education system, including training institution geared toward the specific needs. Improved educational and health standards in developing countries contribute to foster a positive investment climate.

Besides that, promoting cultural understanding from business perspective, such as building Culture Briefing Centers that can be accessed virtually provide a good basis. An official world wide home page would enhance availability of information, encourage transparency and provide a forum for business people to explore opportunities and to communicate with other potential partners.
Lack of information about domestic market, opportunity and culture can reduce the interest level of foreign investor. Better communication leads to better business relationship.

Competition is essential to reduce cost and accelerate the technology adaptation. Some policy instruments to support private investment are needed. Government should stimulate this by promoting increased liberalization, harmonization of regulation and equal treatment with non-discriminatory policy. These includes better dissemination of information about investment opportunities, protection for IPR, non-discriminatory licensing arrangement and equal treatment of natural resources usage such as frequency usage.
The rule of law and the protection of IPR are underpinning a good investment climate. The adherence to the principals of transparency and non-discriminatory treatments by governments are essential conditions to attract FDI.

Foreign Direct Investment plays an essential role in strengthening and stabilizing the economies, including the ICT industry. It can improve the better competition rate. An investment regulatory policies should be implemented to develop a good investment climate. Stable legal, political and security framework is acknowledged to be a prerequisite to attract FDI flow.

Business community recognizes the importance of co-operating with governments to promote economic development based on sound and sustainable environment conditions. Political risk insurance schemes to encourage investment need to be further promoted by government as well as by private entities.

New and more effective programs for long-terms capital investment should be considered within existing international financing organizations. Bilateral and multilateral assistance programs could become more effective through a process of consultation and co-operation with the private sectors.

Liberal regulatory environment is needed to remove the obstacles of capital flows such as FDI transactions. Transparency and policy predictability is very important at the pre-investment decision stage. It is of vital importance that the prospective investor has complete confidence in the transparency and the policy predictability of the host country.

There should be greater enforcement of non-discriminatory laws, including:
- Equal access information.
- Common standard.
- Transparent regulation.

Measures should be taken to facilitate international trade and investment are including market access, streamlining of custom procedures, and encouraging co-operation in technology exchange. Further deregulation and liberalization of financial markets also have a vital role play in restoring the confidence of foreign investors.

Opening of investment regimes and removal or reduction of burdensome requirements and obstacles will attract more FDI. A variety of incentives, including tax breaks, R&D grants will facilitate better investment climate. An effective court-system with independent jurisdiction to which foreign investors have equal and impartial access is an important role for ensuring transparency and predictability. A well-educated labor force (including foreign language skills), low corporate taxes, tariffs and indirect taxes is needed to promote the perfect competition market structure.

The very first challenge is to expand access to the ICT media at affordable tariff. The high cost of service in many developing countries remains one of the main barriers to Internet diffusion in addition to that of the shortage of phone lines. Legislative or regulatory measures as well as suitable pricing / tariff policies must be adopted so that the ICT media can be made available for all segments of society. The tariff monitoring system should be developed to keep the reasonable tariff that is based on cost orientation.

Low cost Internet access should be provided to schools, universities, libraries, multipurpose community tele-centers or public service institutions to stimulate wider usage and ‘wire’ rural communities.

Strong programs should be developed to increase technology and computer skills among young people to fulfill the demand of ICT operators. Besides that, access to education will determine the wealth of nations and individuals.

In the digital economy, people who do not know how to use electronic information networks and services will have difficulty facing the high competition, no matter what other skills they have.
Greater awareness of the benefits of on-line access to information, especially in this information and globalization age must be actively pursued throughout society and in particularly SMEs. Using the Internet access, traditional economic activities can be made more efficient and more profitable cause people can sell their product or service directly to other countries.

No government intervention on tariff in perfect competition market structure will increase the good competition climate among the player. Perfect competitive market will decide the reasonable tariff that always figures out the balance condition between demand and supply. The high competition rate will give many choices to end customer and the other side it will be improving the quality of product or service offered.

In generally the role of government:
- Develop liberal regulatory environment.
- Implement equal and non-discriminatory treatment.
- Deregulation measures in ICT industry.
- Develop good competition system in domestic ICT market.
- Develop better investment climate to attract Foreign Direct

Investment (FDI), especially in ICT sector.
- No government intervention in tariff structure. The market should decide it.
- Open up all ICT market to a wider range of players and investors.
- Promote competition in Internet service provision market.
- Develop the strong ICT education program in all education level.
- Set up high quality human resources program to attract FDI.
- Develop the strong foreign language program in all education level.
- Implement and enforce the legal framework to protect IPR, copyright and domain name.
- Implement and enforce the legal framework for disputing problem.
- Implement and enforce the legal framework for customer protection.
- Promote a public awareness campaign for high usage of e-commerce.
- Reduce tax for high technology equipment.
- Reduce tax for importing end user (household) ICT equipment, such as Personal Computer.
- Set up a good incentive for private players that develop R&D activities.
- Promote investment promotion and protection program.
- Provide ICT access to all productive citizens.
- Simplify the licensing procedure.
- Implement the efficient procedure for natural resource usage.
- Promote the development of local part of ICT equipment.
- Promote production of local content.
- Develop transfer of technology program.
- Promote growth of Internet access market.
- Promote universal access.
- Develop the strong legal framework and international standardization for electronic signing for electronic agreement (documentation).
- No bans at all.



prepared by Indarti Primora Barlianta Harahap
Medio 2002
for ICT Seminar at Antigua (Guatemala)
organized by NAM organization
presented by Indarti Primora Barlianta Harahap

Role of Government Regulation for Developing Countries

The ‘Information Age’ represents a clear opportunity for increased intra-regional trade. Information technology and telecommunications are regarded as essential to the economic success of countries and expenditure in this area is continuing in spite of the economic difficulties. Better communication leads to better business relationship.

Competition is essential to reduce costs and accelerate the introduction of new technology. Governments should stimulate this by promoting increased liberalization, harmonization of regulations and standards for the best practice. On a general level, the stability of political, social and economic condition is the very important pre-equisite for the better competition.

The more transparent and non-discriminatory regulation will stimulate the competition rate in this sector. The high competition rate will give many choices to end customer and the other side it will be improving the quality of product or service offered.

A regulatory challenge in increasing the competition rate is to develop consistent and relevant regulation that can promote growth of the sector, actively encourage innovation and serve the best interest of community. Regulatory monitoring is desirable to remove barriers to ICT development, which is including the cost of service, basic infrastructure, service and transmission supply.

Small and Medium Enterprises is the important part of economic structure that support other multinational company (MNC). One issue the SMEs face is the lack of time and resources to easily access information, assistance and business partners. An ICT network aim them to increase business information flow and it can provide them with consultancy ad business-matching services.

Create a culture and infrastructure which supports the use of modern ICT applications, will stimulate the better business climate and bigger opportunity, including for SMEs. Clear and transparent regulation, as well as legal certainty is important to give private sector the confidence to make long-term investments.

The protection of investment should be assured under applicable bilateral agreements in addition to far reaching transparency of the existing legal system, including legal provisions and regulations of proven confidence.

A comprehensive official web site is needed for both transparency and facilitating investment. It will include information or links to information concerning the promotion agencies, investment climates, key industrial sectors, recent investment news and bilateral investment treaties in force.

Tax reducing for high technology equipment and also promoting Internet café will stimulate the investment rate and accelerate the ICT penetration program, particularly to rural area.

Procedures and legal framework to protect Intellectual Property Rights (IPR), copy right and customers, that avoid disputes concerning the reach of national laws take on a new dimension and also challenge the potential effectiveness of Internet Laws.

Effective interconnection regulation is key for bridging the digital divide. It is cited as vital to ensure the goals of maximizing the productivity and efficiency of rapidly growing networks and extending those networks. Effective interconnection frameworks also provide benefits to a host of other key actors. Network operators benefit from increased demand. Workers benefit from increased employment. Economies expand, and governments benefit from the tax revenues. Societies overall benefit from new applications that would increase their welfare.

The very first challenge is to expand access to the ICT media at affordable tariff. The high cost of service in many developing countries remains one of the main barriers to Internet diffusion in addition to that of the shortage of phone lines. Legislative or regulatory measures as well as suitable pricing / tariff policies must be adopted so that the ICT media can be made available for all segments of society. The tariff monitoring system should be developed to keep the reasonable tariff that is based on cost orientation.

Low cost Internet access should be provided to schools, universities, libraries, multipurpose community tele-centers or public service institutions to stimulate wider usage and ‘wire’ rural communities.

Strong programs should be developed to increase technology and computer skills among young people to fulfill the demand of ICT operators. Besides that, access to education will determine the wealth of nations and individuals. In the digital economy, people who do not know how to use electronic information networks and services will have difficulty facing the high competition, no matter what other skills they have.

Greater awareness of the benefits of on-line access to information, especially in this information and globalization age must be actively pursued throughout society and in particularly SMEs. Using the Internet access, traditional economic activities can be made more efficient and more profitable cause people can sell their product or service directly to other countries.


In generally the role of government:
- Improve the better education program to fulfill the demand of ICT operators / investors of skilled employee.
- Increase private sector participation.
- Open up the basic telecommunication to the wider range of players and investors.
- Open up the competition climate.
- Monitor the tariff structure that must be cost oriented.
- Ensure reasonably priced access for schools, universities, libraries, and other public service institution.
- Consider providing grants and demonstration projects to aid local content production at initial stages.
- Prepare the legal framework to protect IPR, copyright and domain name.
- Set up the legal framework for disputing problem.
- Promote the legal framework to protect the customer.
- Reduce tax for high technology equipment.
- Extend the ICT infrastructure and access to rural area.
- Extend the connectivity with other countries.
- Promote dissemination of Internet café by private players to strengthen the ICT presence.
- Reduce some bans, such as call back ban and IP telephony restriction.
- Promote the development of ICT access for SMEs, in particularly to offer better connectivity to global market and resources.
- Set up the effective interconnection regulation.



prepared by Indarti Primora Barlianta Harahap
Medio 2002
for ICT Seminar at Antigua (Guatemala)
organized by NAM organization
presented by Indarti Primora Barlianta Harahap

Role of Government Regulation for Under Developing Countries

The global network readiness will enable under developing countries seeking strategic guidance in policy, regulatory and network readiness development to access resources, as they become more active in the global information economy and society participation. The challenge of bridging the digital divide is a daunting one, but they must recognize that priority be given to this issues by those under developing countries themselves.

The innovative government-private partnership represents a powerful resource enables those countries to access the added value they seek on the front end of the information revolution. The potential significance of the in term of economic and social development is enormous.

The promise of ICT, in particularly Internet is to broaden and enhance access to information through a service that can be reached anywhere in the world that has connectivity. The Internet is a way of lessening the traditional disadvantages of the under developing world. It can offer better business opportunities, the possibility to leapfrog directly to customers. It also offers the hope of delivering basic services such as health and education more efficiently by allowing people to follow lectures wherever they are.

Government of every under developing countries must be taking a main role to disseminate ICT access. The role of government in this sector is very important.


Basically, the main role of government:
- Develop the ICT infrastructure, particularly in government and public service institutions.
- Improve the public awareness.
- Set up the strong dissemination program for bridging the digital divide with increase the ICT access.

The availability of ICT access using tele-center will reduce total cost of information access. The perception that Internet is cheap by using tele-center really relates to the usage costs rather than the fixed cost. For many users, the initial cost for installation and maintenance would be subsidized by the government or other public institutions.

Of course, the government has to develop the public awareness campaign to make their people aware about the added value of Internet usage. The related know-how and education system must be set up, in order their people can use it and take the advantage from that technology.


The role of government:
- Demonstrate support for Internet application at highest levels of government.
- Develop ICT infrastructure
- Promote ICT know-how and education system.
- Promote an active public awareness campaign.
- Promote private sector participation.
- Promote the use of tele-centers and other means to extend access to under served communities.
- Develop ICT dissemination program in government institutions, universities and other public service institution.
- Develop an ICT operator to fulfill the public need.
- Set up a tariff policy to avoid inefficiency tariff.
- Tariff subsidizes program for local call.



prepared by Indarti Primora Barlianta Harahap
Medio 2002
for ICT Seminar at Antigua (Guatemala)
organized by NAM organization
presented by Indarti Primora Barlianta Harahap

Persaingan Sempurna, Bentuk Pasar Ideal bagi Industri Telekomunikasi Indonesia

Tuntutan pasar khususnya konsumen akan tingkat pelayanan yang baik serta tingkat harga yang adil dan transparan semakin kritis, membuat bentuk pasar monopoli ataupun duopoli dalam industri penyediaan jasa telekomunikasi tidak lagi sesuai. Penerapan bentuk pasar inipun tidak lagi memadai dalam memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia akan akses dan layanan jasa telekomunikasi - informasi yang sangat diperlukan untuk dapat mempersiapkan masyarakat memasuki pasar perdagangan bebas. Sandang, pangan dan papan memang merupakan kebutuhan pokok hari ini, namun untuk dapat menghadapi masa depan, aspek informasi tidak dapat diabaikan bahkan akan menjadi kebutuhan utama masyarakat.

Oleh karena itu dirasakan perlu untuk melakukan suatu percepatan ekskalasi sarana telekomunikasi dan informasi, mengingat sarana infrastruktur ini merupakan aspek penunjang yang sangat penting bagi upaya pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.



Monopoli dan Duopoli :
Tidak Menjamin Mutu Layanan dan Percepatan Ekskalasi Nasional

Penerapan bentuk pasar monopoli ataupun duopoli tidak menjamin tersedianya tingkat mutu pelayanan (service) yang memuaskan bagi konsumen pengguna jasa tersebut, disebabkan tidak adanya alternatif pilihan bagi konsumen untuk dapat menggunakan jasa dari badan usaha lainnya. Disamping konsumen juga tidak akan mendapatkan harga atau tarif yang adil dan berpihak bagi kepentingan konsumen, karena bentuk ini memungkinkan pelaku usaha untuk menerapkan harga ataupun tarif yang tidak rasional, jauh di atas biaya ataupun pendapatan marginal, mengingat tingkat ketergantungan konsumen yang sedemikian besar.

Penerapan tarif yang sewenang-wenang dan irasional memang mungkin diatasi dengan pemberlakukan tarif maksimum (rate of return regulation) oleh pemerintah. Namun hal ini tetap tidak dapat menjamin badan usaha monopoli tersebut untuk memberikan dan meningkatkan mutu layanan kepada konsumen pengguna. Hal ini disebabkan badan usaha yang mendapat kewenangan sebagai badan penyelenggara bertindak sebagai konglomerasi yang menguasai seluruh unit usaha hulu ke hilir dalam sektor telekomunikasi.

Badan usaha dengan bentuk konglomerasi dari hulu ke hilir ini tidak akan efisien dalam beroperasi maupun memberikan layanannya kepada konsumen karena seluruh kekuatan sumber daya yang dimiliki tidak difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam suatu kompetensi inti (core competence) tertentu. Mutu layanan akan lebih terjamin apabila setiap pelaku usaha diberi kebebasan untuk memposisikan dirinya pada suatu kompetensi inti.

Dalam jangka panjang, hambatan berupa terbatasnya kemampuan pengembangan kapasitas dari suatu badan usaha berbentuk konglomerasi hulu ke hilir ini menyebabkan kebutuhan yang sedemikian besar akan layanan telekomunikasi tidak dapat terpenuhi dengan segera. Dengan demikian tingkat inefisiensi akan menjadi semakin besar. Kebutuhan (demand) masyarakat akan sarana telekomunikasi dan informasi yang semakin tinggi memerlukan suatu bentuk pasar lain yang lebih efisien serta dapat menjamin percepatan pemenuhan kebutuhan layanan telekomunikasi bagi negara Indonesia yang berbentuk kepulauan.



Persaingan Sempurna (Perfect Competition):
Berikan Tingkat Kepuasan dan Penyediaan Sarana Infrastruktur Optimal

Pasar persaingan sempurna merupakan suatu bentuk pasar dimana terdapat banyak pelaku usaha untuk jenis bidang usaha yang sama, dimana setiap pelaku usaha bebas keluar dan masuk pasar tanpa adanya hambatan. Kondisi ini akan selalu menciptakan suatu bentuk keseimbangan (equilibrium) antara permintaan dan penawaran, sehingga tercapai suatu tingkat kepuasan optimal bagi konsumen pengguna maupun para pelaku usaha.

Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) maupun diskriminasi regulasi bagi pelaku usaha tertentu membuat bentuk pasar dengan tingkat persaingan sempurna, menjamin suatu tingkat harga ataupun tarif yang adil dan transparan bagi konsumen pengguna karena para pelaku usaha tidak akan dapat menentukan sendiri tarif mereka jauh di atas biaya ataupun pendapatan marginal. Tingkat tarif akan sangat dipengaruhi oleh posisi tawar pada pasar tersebut.

Tingkat permintaan yang sedemikian tinggi (over demand) akan membuat tarif yang diterima oleh pasar (konsumen) meningkat melebihi pendapatan marginal. Dengan sendirinya iklim usaha tersebut akan menarik para pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar dan berupaya menarik konsumen yang ada, sehingga pada akhirnya kondisi permintaan dan penawaran akan kembali ke kondisi seimbang serta tarif kembali pada batas pendapatan marginal.

Demikian pula halnya bila terjadi kondisi over supply dimana jumlah pelaku usaha dalam pasar tersebut sudah terlalu banyak, maka tarif yang berlaku di pasar akan menurun, dan membuat beberapa pelaku pasar yang tidak dapat bertahan akan keluar dari pasar untuk mencari sektor usaha lain yang lebih baik. Hal ini akan mengurangi total penawaran dalam pasar sehingga pada akhirnya kondisi permintaan dan penawaranpun kembali pada titik setimbang, begitu pula halnya dengan tarif.

Dapat terlihat bahwa dalam jangka panjang, tarif ditentukan oleh perubahan tingkat permintaan terhadap jasa yang ditawarkan. Suatu kondisi keseimbangan akan selalu tercapai, karena banyaknya alternatif pilihan bagi konsumen pengguna, sehingga para pelaku usaha tidak akan dapat menetapkan tarif secara sewenang-wenang. Pada akhirnya hanya pelaku-pelaku usaha dengan penawaran terbaik yang benar-benar dapat bertahan dalam kondisi pasar seperti ini.

Pada jenis pasar dengan tingkat persaingan yang benar-benar sempurna, tidak diperlukan lagi intervensi pemerintah dalam hal penetapan tarif. Tarif yang berlaku adalah tarif yang diterima oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan penawaran yang ada.

Tiadanya ruang gerak bagi para pelaku usaha untuk dapat menentukan sendiri tarif yang mereka inginkan, membuat mereka hanya dimungkinkan memenangkan tingkat persaingan yang sedemikian tinggi melalui peningkatan daya saing lainnya seperti mutu layanan. Untuk dapat memenangkan pelanggan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba meningkatkan mutu layanan maupun produk aplikasi yang ditawarkan serta positioning yang kuat dalam pasar melalui penciptaan citra yang positif. Hanya dengan memiliki suatu nilai tambah yang dapat mencirikan layanan yang ditawarkan serta memperoleh loyalitas konsumen, pelaku usaha pada pasar ini dimungkinkan untuk memperoleh sedikit keunggulan dalam bersaing dan keuntungan lebih dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya.

Kondisi seperti ini sesungguhnya merupakan gabungan antara jenis pasar persaingan sempurna dengan monopoli semu. Jumlah pelaku usaha yang cukup banyak dalam bidang usaha yang sama membuat sesungguhnya para pelaku usaha berada dalam bentuk pasar persaingan sempurna serta tingkat persaingan yang sangat tinggi, namun adanya nilai tambah dan positioning khusus yang kuat, akan membuat suatu layanan yang ditawarkan menjadi berbeda dari layanan sejenis, yang dapat membuat suatu pelaku usaha memperoleh perlakuan ‘eksklusif sementara’ berupa loyalitas serta inelastisitas harga dari para konsumennya.

Mengingat kondisi monopoli semu dalam bentuk pasar dengan tingkat persaingan sempurna ini tidak akan bersifat langgeng, maka sewaktu-waktu akan terdapat pesaing yang memiliki nilai tambah maupun positioning yang sama, yang membuat kembali pada keadaan pasar persaingan sempurna yang murni. Hal ini akan membuat para pelaku usaha selalu berupaya meningkatkan nilai tambah serta menjaga positioning maupun citra positif mereka. Kondisi ini jelas akan memberikan keuntungan optimal bagi para konsumen pengguna, yang akan mendapatkan tarif maupun mutu layanan terbaik.

Banyaknya jumlah pelaku usaha dalam pasar ini juga memungkinkan peningkatan total kapasitas maupun sumber daya yang diperlukan untuk mencapai target percepatan ekskalasi nasional. Percepatan pemenuhan kebutuhan akan sarana ini akan menjamin tersedianya akses informasi maupun komunikasi bagi seluruh masyarakat Indonesia yang pada akhirnya sangat mendukung upaya pemberdayaan dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat, khususnya dalam memasuki era perdagangan bebas.



Fokus pada Kompetensi Inti (Core Competence):
Tingkatkan Efisiensi

Bentuk konglomerasi yang menguasai jenis usaha dari hulu ke hilir sangatlah tidak efisien karena seluruh kemampuan sumber daya yang dimiliki tidak terfokus pada peningkatan suatu kemampuan atau kompetensi inti tertentu, yang pada akhirnya secara keseluruhan akan menurunkan tingkat efisiensi dari suatu badan usaha. Jenis usaha yang terfokus pada kompetensi inti yang dimiliki akan membuat produk maupun jenis layanan yang dihasilkan mampu memiliki nilai tambah serta meningkatkan keunggulan daya saing dibandingkan dengan produk atau layanan sejenis. Dengan demikian pelaku usaha yang memiliki keunggulan daya saing tersebut akan lebih mudah menetapkan positioning yang kuat di pasar serta memenangkan tingkat persaingan yang tinggi sekalipun.

Pada jangka panjang, bentuk-bentuk badan usaha konglomerasi akan sampai pada suatu tahap dimana seluruh sumber daya yang ada termasuk kapasitas jaringan tidak lagi dapat diperluas dalam waktu singkat guna memenuhi tingkat kebutuhan akan layanan telekomunikasi yang masih sedemikian tinggi. Secara tidak disadari bentuk konglomerasi ini juga merupakan hambatan masuk (entry barrier) bagi para pelaku usaha pemula untuk dapat memposisikan dirinya di pasar serta meluaskan pangsa pasarnya, mengingat seluruh jenis usaha dari hulu ke hilir telah dikuasai oleh badan-badan usaha tertentu. Tentu kondisi semacam ini akan menghambat terciptanya suatu bentuk pasar persaingan sempurna yang ideal, yang pada gilirannya akan menghambat program ekskalasi pemenuhan kebutuhan layanan telekomunikasi nasional.


Dilain pihak, pemfokusan badan-badan usaha pada kompetensi intinya masing-masing dalam bentuk pasar dengan tingkat persaingan sempurna akan memberikan keuntungan optimal bagi seluruh konsumen. Disamping tarif yang rasional, konsumen juga akan memperoleh mutu produk maupun layanan yang lebih unggul.

Pada sektor telekomunikasi, kompetensi inti dalam aspek operasional dapat melingkupi backbone, mobile network dan local access. Sedangkan dari sisi layanan (service) pada sektor telekomunikasi meliputi multimedia, voice dan data communication. Pemfokusan pada setiap kompetensi inti yang dimiliki seperti inilah yang akan membantu meningkatkan efisiensi suatu pelaku usaha telekomunikasi.

Langkah untuk memfokuskan setiap unit usaha pada kompetensi inti tertentu, telah banyak dilakukan di negara-negara maju, seperti perusahaan raksasa telekomunikasi AT&T di Amerika. Pemecahan suatu perusahaan telekomunikasi besar menjadi beberapa sub unit usaha yang memfokuskan diri pada kompetensi inti masing-masing telah meningkatkan efisiensi jangka panjang dalam hal penggunaan sumber daya yang ada, positioning yang lebih jelas dan terarah, disamping peningkatan mutu layanan yang diberikan kepada konsumen.



Ciptakan Iklim Usaha Kondusif

Suatu bentuk pasar yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif sangat dibutuhkan bagi program pengembangan dan percepatan di sektor telekomunikasi – informasi. Rencana dan komitmen pemerintah untuk membuka lebih lebar lagi keran deregulasi bagi industri telekomunikasi merupakan suatu langkah yang tepat yang patut didukung oleh para pelaku usaha bagi pengembangan iklim berusaha yang kondusif di sektor tersebut. Guna memenuhi kebutuhan akan peningkatan mutu layanan bagi kepentingan publik, Pemerintah telah pula menerapkan sistem lisensi moderen (modern licencing system) dimana setiap pelaku usaha swasta yang akan masuk ke dalam pasar telekomunikasi memiliki kewajiban untuk memenuhi komitmen penyelenggaraan usahannya dengan tingkat mutu pelayanan tertentu. Kegagalan pelaku usaha dalam memenuhi komitmennya akan mengakibatkan timbulnya penalti.

Diperlukan dukungan yang kuat tidak hanya dari sektor telekomunikasi, namun juga dari sektor-sektor lain yang merupakan pengguna jasa telekomunikasi. Langkah tersebut akan menciptakan suatu bentuk pasar persaingan sempurna (perfect competition) yang ideal yang menunjang terbentuknya iklim persaingan yang sehat antar pelaku usaha. Pada gilirannya akan mempercepat pemenuhan kebutuhan akan sarana telekomunikasi – informasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Keberadaan Telkom dan Indosat yang sudah cukup lama sebagai badan usaha dengan sejumlah eksklusivitas pada bentuk pasar duopoli di sektor telekomunikasi Indonesia selama ini, tentunya membuat badan usaha tersebut telah memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan para pelaku usaha swasta lainnya yang baru memasuki pasar yang sama, dalam bentuk customer base serta jaringan infrastruktur yang kuat. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada saat sistem pasar persaingan sempurna diberlakukan melalui serangkaian deregulasi, ke dua badan usaha tersebut telah secara de facto diberikan kemudahan untuk mempertahankan dan mengontrol pasar dan industri telekomunikasi nasional.

Dengan demikian, memang tidak mudah bagi para pelaku usaha swasta lainnya untuk memasuki sektor ini. Namun dengan dukungan serta komitmen yang kuat dari pemerintah untuk terciptanya suatu tingkat persaingan yang sehat akan memberikan peluang sangat besar bagi para pelaku usaha swasta untuk masuk dan bertahan dalam sektor ini dengan membangun nilai tambah serta positioning mereka guna dapat merebut potensial konsumen yang masih sangat besar.

Pemberian lisensi bagi para pelaku usaha swasta maupun kemudahan penanaman modal, khususnya dalam menarik mitra usaha asing untuk melakukan investasi sangat diperlukan dalam menciptakan tingkat persaingan yang sehat. Ada banyak faktor yang perlu diperhatikan dan ditempuh oleh pemerintah untuk dapat menciptakan pasar dengan tingkat persaingan yang sempurna serta iklim usaha yang benar-benar kondusif.

Pertama, adalah dengan menjamin terciptanya stabilitas nasional, termasuk stabilitas dalam kepastian penerapan hukum yang berlaku maupun jaminan keamanan. Situasi yang penuh dengan gejolak massa serta ketidakpastian hukum tidak akan mampu menarik pelaku usaha baru maupun investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Iklim usaha tanpa gangguan (distorsi), dengan menghilangkan birokratisasi serta diskriminasi regulasi juga merupakan faktor penting bagi terciptanya iklim usaha yang kondusif. Tingginya tingkat birokrasi serta adanya perbedaan perlakuan membuat persaingan pasar tidak berlangsung dengan sempurna, sehingga akan terdapat sekelompok pelaku usaha yang diuntungkan dan dapat mengambil keuntungan lebih banyak tanpa perlu memperhatikan tingkat kepentingan konsumen.

Disamping itu peningkatan kemampuan serta keahlian tenaga kerja yang terlatih juga akan dapat menarik para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ketersediaan tenaga kerja ahli (skilled employee) sangat diperlukan bagi sektor telekomunikasi yang menggunakan teknologi tingkat tinggi (high technology) dalam pengoperasiannya.

Tidak kalah pentingnya adalah adanya insentif dari pemerintah dalam bentuk kebijakan keringanan bea masuk yang berlaku adil (tanpa diskriminasi) bagi seluruh pelaku usaha sektor layanan publik seperti telekomunikasi – informasi. Kebijakan berupa keringanan bea masuk akan sangat menunjang program percepatan mengingat industri telekomunikasi – informasi merupakan sektor layanan publik yang memerlukan perangkat teknologi tinggi dengan biaya cukup mahal.

Iklim usaha yang adil, transparan dan bebas gangguan sangat penting untuk diciptakan oleh pemerintah. Bidang usaha pada sektor layanan publik dengan tingkat kebutuhan (ketergantungan) yang sangat tinggi dari konsumen pengguna bersifat sangat rentan terhadap kemungkinan timbulnya kekuatan monopoli bagi pelaku usaha tertentu saja sehingga diperlukan rambu-rambu regulasi yang lebih jelas dan transparan.

Penciptaan iklim berusaha yang mengarahkan setiap unit usaha untuk fokus pada kompetensi inti masing-masing akan memberikan keuntungan optimal bagi semua pihak, baik pemerintah, pelaku usaha maupun konsumen. Privatisasi badan-badan usaha milik negara yang selama ini telah berlaku sebagai konglomerasi di sektor telekomunikasi seyogyanya dibagi menjadi beberapa unit usaha yang memfokuskan dirinya pada kompetensi inti yang dimiliki guna meningkatkan efisiensi secara menyeluruh.

Dalam hal ini, diharapkan pemerintah dapat memisahkan peran dan kepentingannya sebagai pemegang saham, khususnya pada badan-badan usaha milik negara (BUMN), dengan peran sebagai pengakomodasi kepentingan rakyat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Disamping menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif, khususnya dalam bentuk eliminasi hambatan masuk bagi para pelaku usaha pemula, yang akan lebih dapat memberikan jaminan peningkatan mutu layanan bagi seluruh konsumen serta pencapaian target ekskalasi pemenuhan kebutuhan layanan telekomunikasi nasional.

Tingkat persaingan yang sehat akan memacu setiap pelaku usaha, tidak terkecuali Telkom dan Indosat yang sekian lama terbuai dalam kenyamanan berusaha, untuk berupaya meraih pasar dengan memberikan tingkat kepuasan yang optimal bagi para konsumen pengguna serta berupaya mempertahankan pelanggannya dengan selalu meningkatkan nilai tambah serta positioning yang kuat.

Pada akhirnya, seluruh masyarakat Indonesia akan mendapatkan akses maupun tingkat layanan telekomunikasi – informasi yang terbaik, karena hanya pelaku usaha yang memiliki reputasi serta kinerja baik yang dapat bertahan dalam bentuk pasar persaingan sempurna.




prepared by PriMora B Harahap


10 Aug 2001

sharing opinion / tulisan saya yang lain juga dapat dibaca pada Mora's blog (@ mora-harahap.blog.co.uk)