Kamis, 26 Maret 2009

Sekedar Perbandingan - Tourism Marketing for Indonesia Recovery

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan terdahulu dengan judul Tourism Marketing for Indonesia Recovery, yg juga telah saya selesaikan di bulan Jan 2006. Saya postingkan kembali di blog ini untuk sekedar berbagi.

Menyambung dan memenuhi janji saya, berikut ini saya akan coba berbagi beberapa contoh pengamatan saya di beberapa obyek pariwisata yg pernah saya kunjungi. Saya akan upayakan untuk lebih membahas sisi marketingnya (dibanding pembahasan terdahulu yg lebih bersifat umum).

Pada tahun 2004 lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti kursus musim panas (summer course) di Prancis. Ketika mengetahui hal tsb, saya langsung datang mencari informasi ke Edu-France (sebuah departemen yg khusus mengurus masalah edukasi yg bernaung di bawah kedutaan Prancis). Saat saya mengutarakan maksud saya, mereka langsung memberikan sebuah booklet berisi informasi mengenai berbagai universitas (mayoritas adalah universitas negri / state university) di seluruh Prancis yg mengadakan program summer course, sehingga dengan mudah saya dapat memilih sesuai yg diminati.

Sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mempelajari bahasa Prancis bagi orang-orang yg berasal dari negara-negara bukan penutur bahas Prancis, maka program summer course tsb memberikan penekanan utama pada pelajaran bahasa Prancis. Namun uniknya adalah setiap universitas juga menawarkan program ekstrakurikuler yg berbeda satu dengan lainnya (biasanya dikaitkan dengan spesifikasi dari wilayah dimana universitas tsb berada). Dan program ekstrakurikuler tsb diberikan secara gratis (alias tidak perlu biaya tambahan lagi). Surprise!!! Tentunya saya sangat senang, karena yg semula hanya berharap dapat memperoleh tambahan ilmu ttg bahasa Prancis, ternyata saya bisa mendapatkan tambahan ilmu lainnya. Cukup bingung dalam memilih (karena semua program yg ditawarkan sangat menarik). Akhirnya saya memilih untuk mengambil summer course di l'université d'Avignon - sebuah universitas negri di Avignon (sebuah kota kecil di selatan Prancis). Kenapa saya memilih di Avignon? Terus terang saya memilih di sana hanya karena universitas tsb menawarkan ekstrakurikuler praktek teater (kebetulan saya cukup menyenangi bidang seni (art) dan saya pikir kalau kita mau cepat fasih menguasai suatu bahasa maka harus sering dan aktif menggunakan bahasa tsb, dan tentunya program latihan teater akan melatih kita untuk aktif berbicara). Tapi the truth saat saya memutuskan hal tsb, saya sama sekali tidak tahu dimana persisnya keberadaan kota Avignon (selain di wilayah Prancis tentunya).

Awalnya saya kira hanya saya yg tidak mengetahui dimana lokasi Avignon, ternyata beberapa teman saya di sini pun tidak mengetahuinya. Mereka umumnya hanya tahu kota-kota yg cukup besar seperti Paris, Marseille, Lyon dll. Dan mereka sangat heran kenapa saya nekat ambil kursus di kota yg saya belum kenal persis. Jadi saat itu sambil tersenyum saya hanya mengatakan 'in the middle of no where'.

Kenapa saya cukup nekat mengambil kursus di kota yg belum saya tahu lokasinya? Karena saya cukup yakin bahwa program summer course tsb diselenggarakan dgn baik, dan terorganisir sehingga saya tidak akan mengalami kesulitan di sana. Keyakinan ini tumbuh sejak pertama saya bertandang ke Edu-France. Bantuan yg mereka berikan, baik berupa pemberian informasi ke saya, maupun memberikan informasi mengenai pendaftaran / keikutsertaan saya ke pihak universitas di Avignon, tatacara pembayaran, membantu memberi informasi mengenai pencarian dan penyewaan akomodasi selama di sana (mengingat saya tidak punya saudara atau kenalan satupun di kota itu, tentunya saya harus yakin benar mengenai hal ini), serta pengurusan visa (yg ditangani langsung oleh Edu-France, tanpa saya harus datang sendiri ke kedutaan Prancis). Saya cukup memberitahu jenis dan jadwal kursus yg saya pilih, memesan tiket pulang pergi (via travel biro), melakukan pembayaran dimuka (down payment) via transfer bank ke pihak universitas maupun pengelola residensial yg saya pilih (sisa pembayaran dapat dibayar tunai di tempat) dan memberikan seluruh dokumen tsb ke Edu-France. Selanjutnya tinggal tunggu beres!! Benar-benar sangat menolong. One Stop Service!!!

Tibalah saya di Avignon di akhir bulan Juni. Saya merencanakan untuk menetap di kota itu hingga minggu pertama Agustus (sekitar 1,5 bulan). Kota kecil yg sangat cantik di selatan Prancis (mungkin hanya sebesar Bogor atau bahkan lebih kecil lagi), dengan lokasi lebih ke arah kaki pegunungan little Alpe, belum mengarah ke wilayah pantai seperti kota-kota di selatan Prancis lainnya. Udaranya cukup sejuk (bahkan di musim panas sekalipun). Bersih dan teratur. Tidak ada sampah yg menggunung. Tanpa para pedagang kaki lima yg membuka lapak sembarangan dan mengambil badan jalan. Bebas dari suasana parkir 'gelap' yg semrawut. Dengan trotoar bagi pejalan kaki. Sangat nyaman untuk sekedar berjalan kaki sekalipun. Siapa bilang di negara maju sekalipun tidak ada kios-kios kecil? Ada!! Tapi tetap tertata dengan rapi dan tertib. Sama sekali tidak mengganggu pejalan kaki.

Penduduk kota tsb hanya hidup dari agribisnis dan berkesenian. Tidak ada industri berat. Dan saat saya berada disana, sedang berlangsung festival teater selama sebulan penuh (yg ternyata merupakan kalender tahunan kota itu - resmi diselenggarakan oleh pemerintah setempat). Itu sebabnya universitasnya menawarkan program praktek teater sebagai ekstrakurikuler.

Terlihat Pemerintah setempat sungguh-sungguh menggarap dengan sangat serius penyelenggaraan festival teater tahunan tsb. Setiap hari bisa ada 30-an pertunjukan teater yg dimainkan oleh artis-artis yg sudah punya nama maupun sanggar-sanggar kesenian lokal. Setiap sudut kota kecil tsb bisa dijadikan panggung pementasan teater dadakan. Baik di lingkungan universitas, maupun di pusat kota (down town) yg merupakan kota kecil dengan jalan yg masih berbatu-batu), entah di taman, di berbagai café kecil maupun di pelataran Palais des Papes (tempat kediaman beberapa Paus - saat sempat pindah dari Vatikan). Sangat terasa bahwa pemerintah setempat menyadari kekuatan dan keunggulan sumber daya di kota tsb, baik sumber daya alam maupun manusianya yg berjiwa seni tinggi dan romantis. Dan festival ini ternyata tidak hanya diadakan untuk lingkup lokal Prancis saja, tapi dioptimalkan hingga ke seantero Eropa. Sehingga banyak sekali seniman dari berbagai negara di Eropa datang untuk berpartisipasi dalam festival ini. Sebuah perhelatan (event) lokal di kota kecil yg ditangani secara luar biasa!!!

Kembali ke program yg diselenggarakan oleh pihak universitas. Ketika berangkat dari Jakarta, saya sudah tahu (berdasarkan informasi yg saya peroleh dari brosur maupun Edu-France) bahwa saya akan mendapat kursus dalam bidang bahasa Prancis dari pagi hingga siang hari, ditambah ekstrakurikuler praktek teater di sore hari. Sehingga saya sudah meminta multiple entry visa agar bisa keluar-masuk berjalan-jalan ke berbagai negara sekitar di akhir pekan. Lalu apa yg saya dapati ketika saya sudah memulai jadwal kursus tsb?

Kejutan ke-2!! Benar-benar Surprise!! Pada hari pertama kelas dimulai, kami langsung diberi jadwal sebulan penuh (hingga kursus berakhir). Seperti yg sudah saya ketahui, dari hari Senin - Jum'at selalu ada kegiatan dalam kelas. Pagi hingga menjelang sore, belajar bahasa Prancis kemudian sore hari dilanjutkan dengan praktek teater (yg diajarkan oleh guru khusus yg memang mempunyai spesialisasi di bidang perteateran, jadi berbeda dengan guru yg khusus mengajarkan bahasa). Namun, ternyata disetiap akhir pekan, sudah disiapkan program wisata (boleh dibilang semacam study wisata) keliling kota Avignon maupun provinsi cote d'Azur - tempat dimana kota Avignon bernaung, untuk mengunjungi berbagai obyek wisatanya. Ditambah dengan program melihat beberapa pertunjukan teater (sepanjang jadwal kursus selama sebulan di sana, kami diajak melihat 9 pertunjukan teater). Dan semua program itu diberikan Gratis!!! Lengkap dengan bus turis khusus untuk kami dan guide / pemandu yg akan memberi penjelasan mengenai obyek-obyek wisata yg dikunjungi. Tanpa ada biaya tambahan sedikitpun, kecuali setiap peserta diminta membawa makan siang sendiri.

Dengan demikian, melalui program summer course ini pemerintah setempat sekaligus mengenalkan kebudayaan setempat maupun obyek-obyek wisatanya. Mereka mestinya mengadakan hal ini dengan sudah sangat menyadari dan mempertimbangkan Domino Effect dari setiap peserta, Power of Mouth yg dapat menjadi salah satu Promotion Channel yg ampuh bagi daerah mereka. Dan rasanya setiap peserta akan kembali ke negara masing-masing(mengingat kelas yg dibuka adalah international class yg hanya boleh diikuti oleh peserta-peserta yg bukan berasal dari Prancis) dengan membawa kepuasan dan kesan yg manis akan program maupun kota tsb. Tentunya setiap orang yg merasa puas akan dengan sukacita menceritakan pengalaman manisnya kepada orang lain.

Sudah tentu, biasanya Emotional Promotion (yg disebarkan berdasarkan cerita / testimonial dari orang yg sudah pernah mengalami sendiri) akan jauh lebih ampuh ketimbang sekedar berpromosi via brosur (CMIIW). Tingkat kepercayaan orang biasanya tidak langsung 100 % bila hanya membaca info di brosur,dan akan cenderung berpikir: "namanya juga jualan, pasti ditulis yg bagus2lah, biar laku... Namanya juga usaha kan...". Beda bila info tentang keindahan suatu daerah ataupun bagusnya sebuah program didapat dari testimonial orang yg sama sekali tidak berkepentingan untuk berjualan, sebuah testimonial akan Customer Satisfaction.

Sabtu di akhir pekan pertama, kami diajak mengunjungi Palais des Papes atau Palace of Popes (salah satu obyek wisata di kota Avignon). Tempat itu cukup terkenal di wilayah Eropa. Karena tempat itu merupakan tempat (kastil) dimana beberapa Paus sempat berkediaman di situ (sebelum dikembalikan lagi ke Vatikan di Italy). Namun ternyata belum banyak yg mengetahui tempat ini - setidaknya di Indonesia - atau mungkin juga di beberapa negara di luar Eropa. Saya sendiri memang bukan penganut agama Katolik, sehingga tidak mengetahui tempat ini sebelumnya. Tapi ternyata beberapa teman saya di sini yg beragama Katolik pun tidak mengetahui keberadaannya. Rasanya inilah yg disasar oleh pemerintah setempat, untuk menyebarluaskannya ke negara-negara di luar Eropa, sehingga diharapkan banyak warga dunia yg mengetahuinya dan kemudian datang berkunjung. Palais des Papes sendiri lebih merupakan bangunan tua bersejarah.

Seperti kebanyakan bangunan peninggalan jaman lampau, Palais des Papes terbuat dari batu2 bata besar khas jaman lampau. Bentuk bangunannya biasa saja, namun cukup luas. Yg pasti didalamnya sarat dengan informasi mengenai sejarah masing-masing Paus yg sempat berkediaman di tempat itu. Lengkap dengan gambar, maket bangunan (tidak sekedar maket tampak luar, tapi benar-benar memberikan gambaran mengenai satu persatu ruangan maupun kamar setiap Paus berikut dengan penjelasannya), dilengkapi earphone bagi para pengunjung perorangan yg tidak membawaserta tour guide untuk tetap mendapat penjelasan (dalam berbagai pilihan bahasa Eropa) mengenai tempat tsb. IMHO, terlepas dari nilai sejarahnya yg tentunya sangat bernilai, sebenarnya dari segi bangunan tidak terlalu istimewa. Saya sempat berpikir, mestinya banyak bangunan bersejarah semacam itu di Indonesia yg bisa dikelola, dioptimalkan dan dipublikasikan dengan baik sebagai obyek wisata. Misalnya tempat-tempat kediaman para walisongo. Tapi tentunya harus dijaga kebersihannya maupun kenyamanan lingkungan sekitarnya (seringkali tempat2 wisata di Indonesia dipenuhi dengan pengemis yg terkadang bersikap sangat memaksa terhadap pengunjung, membuat orang enggan berkunjung). Sepanjang berlangsung festival teater, pelataran Palais des Papes sering dijadikan panggung penyelenggaraan pertunjukkan teater.

Hari minggu kami mengunjungi kebun anggur, plus melihat proses pembuatan anggur dan berakhir dengan peserta boleh mencicipi cita rasa bermacam ragam anggur (wine tasting). Lengkap dengan brosur berisi penjelasan lebih lanjut. Bahkan salah satu perkebunan anggur, memiliki museum anggur. Apa yg istimewa? Kebun anggur biasanya berada di pinggiran kota / pedesaan. Biasanya kebun-kebun anggur sudah dimiliki secara turun-temurun oleh suatu keluarga, sehingga mereka membentuk desa sendiri. Lokasi / desa maupun proses pembuatan anggur tsb biasa saja sebetulnya. Sama halnya seperti kebun-kebun teh / kopi serta proses pembuatannya. Just a process!!! Namun beberapa perkebunan yg cukup besar telah melengkapi areanya dengan museum yg memajang berbagai jenis peralatan perkebunan maupun jenis anggur sejak jaman dahulu.

Tapi kenapa mereka bisa mengemas proses tsb menjadi sebuah obyek pariwisata? Bagaimana dengan Indonesia?? Dimana banyak dan beragam sekali hasil kebun yg dihasilkan? Rasanya belum terlalu dioptimalkan sebagai obyek wisata (CMIIW). Padahal teh maupun kopi yg banyak terdapat di Indonesia merupakan minuman universal yg bahkan lebih membudaya di negara-negara maju (baca: barat, red) yg sudah terbiasa dgn tea time maupun coffee time di sore hari. IMHO, seharusnya bisa dikemas menjadi sesuatu yg bernilai jual tinggi. Lalu kenapa kita tidak mencoba mengemas paket tea tasting ataupun coffee tasting secara menarik? Tentunya lagi-lagi harus diperhatikan benar isi dari paket tsb, dengan tetap memasukkan unsur-unsur budaya lokal setempat yg unik dan menarik, serta menjaga kebersihan lingkungan yg dikunjungi maupun kelengkapan fasilitas penunjang di wilayah pariwisata tsb.

Di pekan berikutnya, kami Fountaine de Vauclause. Dengan bus khusus kami pergi ke tempat itu. Ternyata yg kami kunjungi adalah sumber mata air (di dalam gua kecil) yg mengalir menjadi sungai besar. Bus hanya bisa parkir di tempat yg disediakan, selanjutnya pengunjung mesti berjalan kaki (menanjak) ke tempat mata air tsb (dilihat dari atas gua). Sepanjang kiri dan kanan pelataran parkir, banyak terdapat kios-kios kecil yg menjajakan makanan / minuman maupun souvenir. Tapi lagi-lagi lingkungan tetap terjaga bersih! Kios-kiospun berderet rapi! Setiap kios tsb harus berjarak sekian meter dari pinggir sungai, sehingga pengunjung tetap dapat duduk di tepi sungai sambil mencelupkan kakinya ke dalam air sungai yg dingin. Sayapun ikut berjalan ke arah sumber mata air. Sepanjang perjalanan ke atas, terdapat banyak gambar dan penjelasan mengenai sejarah tempat wisata tsb. Sumber mataairnya sendiri biasa saja. Didalam gua kecil yg cukup terbuka. Orang dapat turun ke sana kalau mau.

Kembali terlepas dari nilai sejarahnya, sama sekali tidak terlalu istimewa. Banyak sumber mata air yg lebih menakjubkan di Indonesia ini, yg berada dalam gua terbuka maupun yg benar-benar tertutup di dalam perut bumi, lengkap dengan stalaktit dan stalakmit yg mengagumkan, seperti di gua Batujajar dsb. Sungai yg terbentuk dari aliran mata air di Fountain de Vauclause tsb pun sangat jernih! Tidak ada satu sampahpun tampak mengambang di sana. Padahal begitu banyak sungai-sungai besar mengalir di Indonesia, yg belum tertangani dengan baik. Lagi-lagi, kesan yg saya dapatkan adalah pemerintah setempat sangat serius dan jeli mengangkat, menangani, mempublikasikan obyek wisata tsb. Sementara di Indonesia biasanya selalu terkesan asal jadi, ala kadarnya (CMIIW).

Keindahan obyek wisata di sana diikuti pula dengan sudah tumbuhnya kesadaran masyarakat setempat untuk menjaga dan memelihara lingkungannya termasuk, termasuk dalam hal budaya menjaga kebersihan. Dan seperti juga di tempat obyek-obyek wisata lainnya, dengan mudah ditemukan brosur bahkan buku-buku berisi foto-foto dan penjelasan mengenai obyek wisata setempat, dalam berbagai bahasa, sehingga memudahkan bagi wisatawan untuk mendapatkan informasi dan mengerti sejarah obyek yg dikunjungi sekaligus mendapatkan foto-foto berkualitas photografer profesional didalamnya sebagai kenang-kenangan (mengingat tidak semua orang memiliki keahlian dalam photography sehingga mengkhawatirkan hasil dari pengambilan fotonya).

Begitupula halnya ketika kami diajak mengunjungi Village des Bories di Gordes. Sebuah desa kecil peninggalan jaman lampau yg masih berisi rumah2 yg terbuat dari susunan batu (dengan bentuk rumah-rumah kecil seperti iglo orang eskimo - namun terbuat dari batu). Beberapa rumah bisa kami masuki dengan cara merunduk (karena rumah-rumah tsb sangat rendah), dan didalamnya kami bisa melihat peralatan / perkakas yg digunakan oleh penghuninya dulu. Di area tsb pun terdapat semacam museum kecil. Semua tertata apik, disertai dengan informasi yg lengkap.

Berikutnya kami berkunjung ke Nimes, dengan Pont du Gard dan Fountain Garden. Wilayah yg juga sering dijuluki juga The "French Rome". Di daerah ini terdapat tali air (pengaliran air) yg dibuat oleh penguasa Romawi. Di Pont du Gard terdapat museum yg sangat menakjubkan (khususnya buat ukuran saya yg boleh dibilang tidak menemukannya di Indonesia). Museum tsb menerangkan hal ihwal pembangungan tali air tsb. Namun dilengkapi dengan guide yg bisa menerangkan sejarahnya, serta berbagai fasilitas teknologi informasi yg sangat membantu, seperti earphone untuk mendapat penjelasan dalam berbagai bahasa, layar (screen) yg menggambarkan saat berlangsung pembangunan dan kerja rodi dibawah kekuasaan Romawi. Dengan seluruh ruang museum dilengkapi dengan alat pendingin (air condition). Sangat mengagumkan. Membuat orang betah pergi ke museum.

Sementara di Indonesia, ada kesan bahwa orang enggan pergi ke museum kalau tidak terpaksa (karena program dari sekolah - saat masih jadi pelajar misalnya), atau karena tidak ada alternatif tempat hiburan lain (CMIIW). Sebagian besar museum di Indonesia pun terkesan suram dan kumuh. Di Pont du Gard inipun terdapat sungai yg mengalir jernih, dilengkapi dengan fasilitas berupa tenda-tenda / bale-bale rendah tepat di pinggir sungai, tempat orang dapat duduk setelah berenang. Demi melihat pemandangan yg terhampar di depan mata, saya berdiri termangu di tepi sungai, saat seorang teman saya berseru mengajak saya segera ikut berenang di sungai: "Mora! Vas y! Regarde! C'est très magnifique, n'est pas? C'est preparé par le gouvernement pour nous! C'est gratuit!".

Saya semakin tertegun. Magnifique??? Dari segi penataan dan pengelolaan serta fasilitas umum yg disediakan untuk publik, memang!!! Tapi dari segi keindahan alam??? Rasanya, biasa-biasa saja. Di depan saya hanya terpampang sebuah sungai yg cukup lebar dan jernih, dengan Jembatan yg bagian atas pilarnya berfungsi sebagai tali air tadi. Dengan latar pepohonan yg rimbun. Apakah pemandangan alam seperti itu tidak dapat kita jumpai di Indonesia ini??? Tentu banyak!!! Saya yakin sekali tentang hal itu. Hanya saja seberapa banyak yg sudah dikelola, dipasarkan dan dipublikasikan dengan baik?? Bahkan - mengambil kata-kata teman saya itu - disediakan oleh pemerintah untuk kepentingan publik, lengkap dengan fasilitas umumnya - secara gratis??? Itu yg menjadi pikiran saya saat itu, yg membuat saya tergugu cukup lama. Begitu pula dengan taman nya yg indah dan terawat. Bersih tanpa ada coretan sedikitpun maupun sampah yg terserak.

Banyak lagi tempat wisata lainnya yg kami kunjungi selama 5 akhir pekan di sana (karena akhir pekan ke 6 kami sudah menyelenggarakan acara perpisahan). Semua berkesan. Diberikan gratis, satu paket dalam summer course. Mungkin juga sebenarnya tidak murni gratis - mungkin saja komponen biaya sudah diperhitungkan dalam paket harga summer course (tapi jelas dengan di subsidi dari pemerintah – karena setelah saya bandingkan dengan beberapa paket summer course yg diadakan oleh universitas swasta, biayanya jauh lebih mahal, tanpa ada ekstrakurikuler). Hanya diberitahukan di saat program sudah dimulai, sehingga peserta mendapat Kejutan! Mendapat kesan bahwa program tambahan ini Gratis!!! Sah-sah saja. That's one way of Marketing kan??? That's Marketing Gimmick!

Lalu, Kenapa pemerintah setempat - melalui berbagai saluran pemasaran (termasuk universitas) - membuat paket semenarik ini?? Lagi-lagi, tentu karena mereka sangat yakin dengan Emotional Promotion dan Power of Mouth!!!

Tapi tentunya program-program semacam ini dapat menjadi bumerang bila lokasi / obyek wisatanya sendiri tidak dipersiapkan dengan baik. Wisatawan yg mendapatkan kesan jelek dan kecewa juga akan powerfull untuk menjatuhkan industri pariwisata suatu negara. Jadi sekali lagi, IMHO, segala sesuatu dalam industri pariwisata haruslah Well Prepared, Well Managed dan akhirnya Well Maintained. Dan itu tentunya bukan pekerjaan mudah yg bisa dilakukan dalam waktu singkat secara terpisah-pisah / terkotak-kotak. IMHO, diperlukan program dan kerjasama yg komprehensif dan terpadu antara pemerintah, swasta maupun semua stakeholder lainnya - termasuk masyarakat yg dimulai oleh para pemuka masyarakat, agar dapat dicapai hasil maksimal. Dibutuhkan kesadaran yg mendalam dari semua pihak untuk membentuk budaya yg positif sehingga bisa memberikan citra yg positif akan bangsa ini secara keseluruhan.

Dan perilaku (attitude) masyarakat tsb memang harus dibentuk, tentunya dengan dukungan pemerintah. Karena hal tsb sama sekali tidak terkait dengan maju atau tidaknya suatu negara.

Saat saya berkesempatan pergi ke Guatemala beberapa tahun lalu. Negara itu sungguh membuat saya tercengang. Saat akan berangkat dari Jakarta, sama sekali tidak terbayang oleh saya bagaimana bentuk dan rupa Guatemala. Negara kecil di wilayah Caribean. Kalau Mexico atau Argentina mungkin sudah lebih terkenal. Tapi Guatemala?? Di benak saya saat itu benar-benar in the middle of no where!! Tapi apa yg saya temukan?? Saat itu saya diminta ikut berpartisipasi dalam sebuah seminar mengenai teknologi informasi & telekomunikasi di Antigua, sebuah kota wisata kecil di kaki pegunungan - sekitar 1-2 jam dari Guatemala City (ibukota dari Guatemala). Yaaa... Seperti dari Jakarta ke Puncak lah. Namun kota tsb begitu cantik dan bersih!! Banyak homeless di sana - tapi tidak jobless (karena setidaknya mereka berjualan kaki lima atau asongan). Di malam hari terlihat mereka tidur di emperan toko / kantor. Tapi di pagi hari, sama sekali tidak terlihat bekas / jejak mereka pernah tidur di sana. Bersih! Tidak ada sampah berantakan. Kaki lima maupun pedagan asongan pun jauh lebih tertib dibandingkan dengan Jakarta. Tidak ada kesan memaksa. Sehingga orang merasa cukup nyaman untuk sekedar berjalan kaki berkeliling kota. Beberapa hari terakhir, saya habiskan di Guatemala City - yg merupakan ibukota. Saya memang menginap di wilayah semacam segitiga emas lah bila di Jakarta. Tapi saya sungguh sangat menikmati, dan nyaman berjalan kaki sendirian di sana. Bersih!!! Tidak ada sampah terserak. Setiap jalan sudah menggunakan Parking Meter.

Sementara di Jakarta, bahkan di wilayah segitiga emas sekalipun, pedagang kaki lima seringkali memenuhi jalan - mengambil jatah pejalan kaki, 'dilengkapi' dengan begitu banyak parkir liar di segala pojok Jakarta yg membuat jalanan semakin semrawut, serta 'ditaburi' sampah dimana-mana. Padahal, apa sih kelebihan Guatemala sebagai suatu negara??? Tetap termasuk negara 'underdog' dengan jumlah hutang yg cukup banyak juga kan...? Tapi kenapa masyarakatnya bisa begitu tertib dan ber'budaya'??? IMHO, disinilah diperlukan peran dan komitmen pemerintah yg lebih aktif untuk meningkatkan kesadaran masyarakatnya, yg pada gilirannya akan meningkat citra bangsa Indonesia di mata dunia.

Selanjutnya, peran aktif swasta sebagai pemilik modal, jelas diperlukan. IMHO, swasta harus siap dan datang ke pemerintah dengan beragam program dan kemasan yg menarik. Namun peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dan pemegang hak penuh atas obyek-obyek wisata yg merupakan sumber daya alam, sangatlah penting. Tidak hanya di sektor pariwisata itu sendiri, tapi juga di sektor pendidikan, budaya maupun informasi. Sehingga terbentuk masyarakat dengan tingkat kesadaran berbudaya (awareness) tinggi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan maupun budayanya.

Saat ini berapa banyak generasi muda Indonesia yg menguasai - setidaknya paham - akan kebudayaannya??? Ketika saya mengambil les membatik, guru batik saya mengatakan bahwa di Yogya maupun Solo sekalipun tinggal sedikit sekali generasi mudanya yg mau mempelajari teknik membatik.

Sementara beberapa sekolah asing di Jakarta justru sedang giatnya mengajarkan budaya setempat kepada murid-muridnya, sehingga mereka memiliki wawasan yg luas. Guru batik sayapun bercerita bahwa dia mengajar di sekolah Korea yg bahkan memasukkan pelajaran kebudayaan tsb dalam kurikulum yg diberi bobot kredit. Suatu hari sayapun pernah melihat di televisi, bagaimana murid-murid Jakarta International School diajarkan cara membuat Itak (sejenis kue trasidional masyarakat Tapanuli).

Saat saya berkesempatan untuk berkunjung ke kota-kota di Eropa (negara-negara yg tergolong cukup maju di benak kita), merekapun masih mempertahankan tradisi mereka dengan beragam festival. Dan pada saat festival tsb diselenggarakan, generasi muda mereka dengan bangga mengenakan pakaian tradisional mereka serta menarikan tarian-tarian tradisional. Bangga dan sadar untuk melestarikan budaya dan alamnya. Tengok saja di Zermatt, kota wisata kecil di kaki gunung Matterhorn diperbatasan Swiss. Untuk tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan agar terhindar dari polusi, bahkan untuk mencapai kota tersebut pun bus/mobil umum hanya boleh sampai di mulut kota, dan selanjutnya wajib menggunakan mobil listrik yg disediakan oleh pemerintah setempat, dengan tujuan untuk menghindari polusi dari BBM. Hal ini untuk mencegah memanasnya suhu udara akibat dari buangan gas emisi kendara berbahan energi BBM, yg dapat mencairkan salju abadi di puncak dan lereng gunung Matterhorn.

Begitu pula di Salzburg, tempat asal Sound of Music yg tersohor itu, serta tempat kelahiran WA Mozart - seorang komponis genius. Masyarakat setempat begitu bangga melestarikannya. Kenapa kita juga tidak mencoba melestarikan dan memperkenalkan kota kelahiran seniman-seniman yg telah melahirkan karya besar Indonesia? Padahal kita punya begitu banyak seniman seperti Ismail Marzuki, WR Supratman atau bahkan Gesang - yg lagu Bengawan Solonya terkenal hingga ke Jepang.

Di beberapa negara, berfoto dengan baju tradisional bahkan dijadikan salah 'obyek' wisata, seperti yang dapat ditemui di Belanda, di Swiss dan bahkan saat ini di Shenzen (dimana orang bisa ber-photo dengan beragam pilihan busana tradisional China).

Berbicara mengenai Shenzen, saya sempat teringat betapa modern nya kota itu sekarang. Saat ini merupakan salah satu tujuan wisata favorit di Asia, dengan Window of the World dan Splendid China-nya. Padahal 20 tahun lalu kota tersebut hanyalah sebuah desa nelayan kecil.

Apa yg hebat dengan Window of the World yg sangat termahsyur itu?? Sebetulnya tidak jauh seperti Taman Mini (TMII). Dimana miniatur landmark dari setiap daerah (negara) terdapat di situ. Begitu halnya dengan Splendid China, dimana dibeberapa pelataran / teras rumah tradisional terdapat orang-orang lokal berpakaian tradisional setempat.

Sementara pertunjukan yg merupakan primadona di Splendid China, sebenarnya sudah mampu diselenggarakan oleh orang Indonesia seperti di panggung tanah air TMII, atau di Dufan (dengan pertunjukan Rama-Shinta atau teater Kera). Hanya diberi sentuhan panggung bergerak dan permainan lampu infra merah yg menarik. Dilengkapi dengan tari-tarian ala Swara Mahardhika atau GSP production. Sebagai suatu pertunjukan memang tampil menarik dan terkesan extravaganza. Namun dari sisi teknologi sama sekali tidak ada yg terlalu baru dan canggih!!!

Tapi mengapa berhasil mengangkat Shenzen, sebuah desa kecil nelayan, menjadi kota tujuan wisata yg sangat digembar-gemborkan oleh banyak travel biro saat ini? Kenapa pula banyak turis mancanegara datang kesana? Sekali lagi saya melihat bahwa kemasan paket, pengelolaan obyek wisata yg profesional dan menarik menjadi kunci utama kesuksesannya dalam memasarkan dan mempublikasikannya. Tentu hal ini tidak terlepas dari peran serta swasta, komitmen pemerintah (dengan berbagai aturan terkait yg mendukung) serta meningkatnya kesadaran masyarakat setempat akan peningkatan income per capita yg dapat diperoleh dari peningkatan industri pariwisata di negaranya.

Ketika saya kembali mendapat kesempatan pergi ke Singapura (kali ini beserta orang tua). Walaupun telah sekian kali saya berkunjung ke negeri jiran tsb, namun tetap saja saya masih kagum dengan budaya dan tingkat kesadaran masyarakat, serta komitmen pemerintahnya. Saat kami kesana bulan lalu, tiba-tiba orang tua saya ingin sekali ikut tour ke Sentosa Island. Awalnya saya cukup tercengang mendengar keinginannya, karena bukankah bertahun lalu kami sudah pernah pergi ke sana. Dan apa sih istimewanya pulau kecil yg merupakan bekas basecamp tentara Inggris di jaman penjajahan dan perang dunia II tsb? Rupanya Orang tua saya mendengar mengenai adanya pertunjukan Musical Fountain yg memang baru beberapa tahun terakhir ini digelar di sana pada malam hari.

Baiklah, demi menyenangkan orang tua maka kami pun mengambil tour ke Sentosa Island. Dimulai dengan datang menggunakan cable car. Mengunjungi Underwater World. Lalu masuk ke dalam patung Merlion (lambang Singapura) dan naik hingga ke atas. Hingga berakhir dengan menonton pertunjukkan Musical Fountain. Ada yg sangat istimewa?? Tidak!!! Kecuali kebersihan dan keapikan penataan lokasi wisata tsb yg sampai sekarang masih membuat saya terkagum-kagum.

Selebihnya???

Cable car! Rasanya jenis alat transportasi ini juga sudah pernah ada di TMII. Lalu...? Underwater World! Itupun sudah ada di Ancol. Berkunjung dan masuk ke patung Merlion? Nah!!! Ini boleh dibilang suatu upaya terobosan yg menarik.

Boleh dibilang sebuah usaha yg cukup bagus, untuk dapat 'menjual' patung Merlion dari sekedar patung Singa biasa menjadi obyek wisata. Dengan lift kita langsun menuju lantai 2. Didalamnya kita dipersilahkan melihat pemutaran film animasi sejarah patung Merlion yg tentunya terkait dengan ditemukannya Singapura oleh putra dari Raja Sriwijaya di masa lampau, dalam sebuah teater kecil. Setelah itu kita diberi 'coin' bergambar Merlion untuk dimasukkan ke dalam mulut miniatur patung Merlion yg kemudian akan mengeluarkan lucky voucher yg dapat kita tukarkan dengan souvenir (dengan hanya dua pilihan souvenir - kipas plastik atau gantungan kunci). Setelah itu bagi yg ingin, dapat memilih tangga turun (untuk berfoto di 'mulut' patung dgn latar gigi patung tsb, atau tangga naik untuk mencapai pelataran di 'kepala' patung (yg merupakan teras terbuka) dan dapat memandang ke luar pulau Sentosa.

Mengingat Ayah saya sangat tidak direkomendasikan untuk naik dan turun tangga terlalu jauh, Ibu saya sudah wanti-wanti melarangnya pergi ke 'mulut' maupun 'kepala' patung. Tapi Ayah saya tetap berkeinginan ke situ, sehingga sayalah yg mengantar beliau, sementara Ibu saya menunggu di lt. 2. "Supaya tidak penasaran" begitu kata beliau.

Tapi apa kemudian reaksi beliau saat sudah mencapai 'mulut' patung? Ternyata yg didapati hanya ruang kecil di 'wilayah mulut' patung, dan orang dapat berfoto bergantian - tentunya dari arah dalam - hanya dengan latar taring atas dan bawah dari si Patung Merlion. Sama sekali tidak terlihat bentuk mulutnya, kecuali "taring-taring" tsb. Tentu saja!!! Karena kalau kita ingin mendapat / melihat bentuk mulutnya maka kita harus mengambil foto dari luar / dengan berdiri di sebelah luar, yg tentu saja tidak mungkin bisa dilakukan, kecuali kita melakukan wall climbing... :)

Setelah tertegun beberapa saat, dan kemudian menyadarinya, ayah saya tertawa keras "hahaha... Dibodohinya kita... Bener juga... Kita cuma bisa berfoto dengan latar belakang ''taring-taring'' itu saja, tidak mungkin tampaklah mulutnya...". Tentu saja dengan dilanjutkan sedikit 'ancaman' bernada cukup serius: "jangan bilang-bilang Mama ya, kalau di sini ternyata tidak ada apa-apa yg bagus untuk difoto" :o)

Apa yg saya dapatkan? Ungkapan ayah saya ada benarnya. Sebetulnya bila kita sadari, kita memang sedikit 'dibodohi' dengan dibilang bahwa kita dapat berfoto di mulut patung Singa. Tapi, orang tetap tergoda dan 'tertipu' untuk pergi ke sana. Tidak ada yg salah dalam hal ini. Mereka tetap berhasil 'menjual' obyek tsb. IMHO, sekali lagi: Kemasan dan penyajian. Bagaimanapun guide kami ataupun brosur bisa begitu 'pintar'nya menjual obyek tsb sehingga kami yakin dan penasaran ingin ke sana.

Kunjungan terakhir kami adalah Musical Fountain. Kemudian munculah Sang Dirigen 'jual kecap' dengan mengatakan bahwa Fountain (air mancur)nya merupakan Smart Fountain yg dapat 'menari' dan 'menyanyi'. Saat itu sangat banyak pengunjung. Dapat dikatakan semua kursi yg tersedia, terisi penuh. Kebanyakan turis dari mancanegara (ya... Tentunya warga Singapura sendiri sudah bosan dengan pertunjukan itu).

Mulailah saya menikmati dan mengamati setiap detail pertunjukan itu. Sebuah pertunjukan air mancur 'menari' dan 'menyanyi'. Dilengkapi dengan semburan api sesekali dari beberapa sumbu api yg tertanam di kolam. Tentunya dengan musik yg mengiringi 'lenggak-lenggok' air mancur tsb. Dipercantik dengan permainan lampu infra merah dan animasi yg ditembakkan oleh proyektor ke air mancur sebagai layar.

That's it!!! Seorang teman saya yg saat ini memang bekerja di Singapura, sebetulnya sudah mengatakan bahwa air mancur seperti itu sebetulnya sudah pernah ada di Monas. Tapi... "kita sih sebetulnya udah punya lebih dulu. Sekarang giliran kita punya rusak, gak di maintain, eh di Singapura justru jadi 'jualan' yg menarik".

Hahaha... Benar juga. Karena dari sisi teknologi, sama sekali tidak ada yg canggih. Kita sudah punya itu dari dulu, hanya tidak dilengkapi dengan kemasan jalan cerita serta animasi dan permainan lampu yg menarik. Padahal penyajian ceritanya pun biasa saja. Sama sekali tidak perlu teknologi rumit. Cukup 'menembakkan' proyektor ke air mancur yg dipasang serapat/sehalus mungkin dengan ketinggian yg rata sebagai ganti layar. Tapi sebagai sebuah pertunjukkan tentu sudah cukup membuat senang yg menonton - terutama bagi segmen Keluarga yg membawa Anak2 kecil. Kenapa di Jakarta yg sudah ada justru di sia-siakan??? Tidak dikemas dengan menarik? Lagi2, kita terkesan 'ketinggalan'.

Itu sekedar sharing saya mengenai banyak hal yg masih - dan mestinya bisa - dibenahi untuk meningkatkan dan mengoptimalkan sektor pariwisata Indonesia. Sebenarnya tidak banyak yg rumit. IMHO, hanya diperlukan kerjasama yg baik, program yg menyeluruh serta komitmen dari semua pihak - semua stakeholder - yg terkait. Termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan (termasuk menjaga kebersihannya). Sehingga diperlukan koordinasi pemerintah dari semua departement terkait - tidak cukup hanya dept pariwisata - tentu dengan didukung oleh modal pihak swasta serta peningkatan kesadaran bekerjasama dengan berbagai institusi pendidikan maupun pemuka masyarakat (CMIIW). Namun bila tidak dimulai dari sekarang... Lalu kapan lagi?? Berapa lama lagi kita harus menunggu??

Belum lagi, saat ini ditambah dengan masalah keamanan yg semakin mengkhawatirkan (dengan adanya kerusuhan dimana-mana) serta tingkat kriminalitas yg sangat tinggi - yg membuat orang (bahkan warga Indonesia sekalipun) tidak nyaman untuk berjalan kaki di negaranya sendiri.

Citra bangsa Indonesia pun saat ini kian terpuruk di mata dunia. Saya rasakan sendiri ketika saya berkesempatan pergi ke beberapa negara di Eropa - via jalan darat - dimana disetiap perbatasan dilakukan pemeriksaan dan selalu passport orang Indonesia diperiksa lebih lama dibandingkan passport orang dari negara lainnya. Bahkan pernah dibeberapa perbatasan mereka dengan jelas mengatakan cukup passport orang-orang dari Asia (termasuk Indonesia) saja yg diperiksa. Sementara passport beberapa orang dari negara-negara barat (seperti Amerika dan Eropa) tidak diperiksa.

Kenapa???

Mereka takut ada penyusupan teroris!!! Khawatir akan perilaku orang Asia yg tidak disiplin dan cenderung temperamental. Begitu komentar yg terdengar. Sedih dan kesal memang mendengarnya. Bukankah tidak semua orang Indonesia itu berperilaku demikian? Hanya sebagian kecil sajakan yg menebar keonaran? Kenapa dengan nila setitik jadi rusak susu sebelanga? Tidak adil rasanya. Tapi mau tidak mau - suka tidak suka - itulah citra yg telah sempat terbentuk.

Jadi seperti saya utarakan terdahulu, benar apa yg diutarakan seorang teman di sebuah komunitas pemasar, terkadang kita sendiri kurang bangga dengan kekayaan alam dan sumber daya yg kita miliki. Namun benar juga pendapat lain yang sering saya dengar, bahwa masih sangat banyak sekali pekerjaan rumah yg harus dikerjakan dan dibenahi, termasuk 'budaya' berupa perilaku dan kebiasaan (attitude dan habit) dari masyarakat kita sendiri yg memiliki tingkat kesadaran yg masih rendah. Dan - IMHO - untuk semua itu diperlukan keterlibatan semua pihak, tidak cukup satu-persatu saja.

Semoga bisa memberikan gambaran dan tolok ukur serta acuan (benchmark) demi kemajuan industri pariwisata di Indonesia.

Just 2 my cents.


CU,


-PriMora Harahap-


Jan 2006

Tourism Marketing for Indonesia Recovery

Tulisan ini sebenarnya telah saya selesaikan pada awal Jan 2006. Namun karena melihat masih ada relevansinya, maka saya postingkan kembali di blog ini, dengan harapan dapat berbagi.

Melihat cukup serunya pembahasan mengenai Marketing for Indonesia Recovery ini, khususnya di bidang pariwisata, saya jadi tergelitik untuk ikut sekedar sumbang suara atau sedikit berbagi pengalaman.

Jujur, saya sama sekali bukan orang yg berkecimpung di dunia pariwisata.
Tapi sebagai seorang yang cukup suka traveling, saya ingin sedikit berbagi saran atas apa yg pernah saya lihat di beberapa tempat.

Karena setiap kali saya bepergian atau berkesempatan untuk mengunjungi suatu tempat, saya selalu tertarik untuk mengamati dan mencaritahu apa kira2 kunci keberhasilan yg membuat tempat tsb menjadi bernilai jual tinggi, begitu menarik dan bahkan sedemikian terkenal sehingga dapat menarik perhatian, minat dan keinginan begitu banyak wisatawan berdatangan - bahkan dari negara-negara yg secara geografis berjarak cukup jauh sekalipun - untuk mengunjunginya.

Rasanya ada benarnya apa yg dikemukakan oleh seorang teman yang sudah terbilang pakar dalam bidang pemasaran, bahwa ada kalanya bangsa kita sering minder dengan kondisi dan keberadaannya sendiri, serta seringkali terlalu kagum dengan apa yg bersifat 'luar negeri' (khususnya bila hal tsb menyangkut pola gaya hidup yg datang dari negara-negara barat), yg berakibat sering tidak Percaya Diri atas apa yg kita miliki dan membuat kita menjadi bangsa yg cenderung semakin konsumtif ketimbang produktif atau berupaya memproduktifkan segala bentuk sumber daya yg kita miliki (CMIIW).

Tapi apa yg diutarakan oleh seorang rekan di komunitas pemasaran juga tidak salah adanya. Mengingat selama ini memang Pemerintah kita belum menunjukkan adanya implementasi dari program-program yg bersifat komprehensif dan terintegrasi. IMHO, masalah pariwisata berikut dengan pembangunan fasilitas, pengembangan marketing dan publisitasnya merupakan masalah yg memiliki tingkat kompleksitas yg cukup tinggi, yg melibatkan banyak aspek didalamnya serta hanya dapat digarap dengan baik bila melibatkan semua pihak tekait.

Benar sekali kata banyak orang, bahwa Indonesia memiliki begitu banyak daerah, ribuan pulau, dengan keindahan alam yg luar biasa cantiknya, tidak kalah dengan keindahan alam di berbagai negara lainnya (banyak pemandangan alam di Indonesia yg bahkan jauh lebih indah), yg tentu akan sangat potensial untuk menarik perhatian dan minat wisatawan bila dapat digarap dengan serius.

Namun berapa persen dari sumber daya pariwisata Indonesia yg sudah dikelola dengan baik? Berapa banyak yg sudah dikenal luas oleh masyarakat dunia? Sangat sedikit!! Bahkan banyak warga dunia ini yg tidak mengetahui dimana Indonesia berada atau mereka hanya mengenal keindahan pulau Bali namun seringkali tidak mengetahui kalau pulau dewata tsb berada dalam wilayah Indonesia. Pada akhirnya kalaupun Indonesia menjadi bahan perbincangan di dunia internasional dan Bali kemudian dikenali sebagai bagian dari Indonesia, lebih banyak melalui pemberitaan seputar Bom Bali!! Memang pada akhirnya Indonesia menjadi terkenal, 'go international', namun sayang sekali dengan citra yg cukup negatif. Padahal Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya baik sumber daya alam maupun manusia yg sangat potensial bila dapat dikelola dan dikembangkan dengan serius.

IMHO, untuk itu tentunya diperlukan suatu program yg menyeluruh dan terintegrasi dengan baik. Dalam hal ini peran swasta sebagai pihak yg memiliki modal dan berkepentingan langsung akan hasil yg dicapai, untuk membangun, mengelola dan memelihara obyek2 pariwisata, tentu sangat diperlukan. Tapi apakah cukup hanya swasta yg berperan??

Tentu tidak!!!

Sangat diperlukan peran pemerintah sebagai penyelenggara negara yg notabene memiliki hak penuh dan mutlak atas pemberian izin penggunaan dan pemberdayaan seluruh sumber daya pariwisata tsb (khususnya terkait dengan sumber daya alam). Dengan demikian peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjadi koordinator yg dapat menyatukan semua pihak terkait, seluruh stakeholder (tidak hanya pihak swasta, namun juga dengan seluruh departemen terkait di jajaran pemerintahan - bukan sekedar dept. pariwisata tapi juga dept. pendidikan, kominfo dll, maupun pemuka masyarakat).

Tapi tidak dapat dipungkiri seringkali terlihat pemerintah (dalam bidang apapun) sibuk terjebak dalam alur birokratisasinya sendiri, dengan berbagai rapat yg tiada akhir namun seperti tak berujung, sehingga hampir setiap program yg diluncurkan tidak terimplementasi dengan maksimal dan terkesan hanya sebagai slogan tanpa gaung atau sekedar memenuhi 'kredit poin' tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara negara, tanpa pernah dilakukan evaluasi kembali mengenai hasil yg tercapai - mengacu pada biaya yg sudah sekian banyak dikeluarkan dan target yg telah dicanangkan - seberapa besar tingkat efektifitas dan efisiensinya. Seringkali kekurangsungguhan ini membuat banyak program meleset jauh dari target pencapaian dan terkesan hanya digarap seadanya, sekedar ada hasil tanpa harus optimal (CMIIW).

Dan memang terlihat ada satu hal lagi yg sedikit banyak memberi konstribusi terhadap kurang maksimalnya perkembangan sektor pariwisata di Indonesia, disamping aspek-aspek di atas tadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ‘budaya’ (‘culture’) bangsa kita pada umumnya turut mempengaruhi (CMIIW). Yg saya maksud dengan budaya di sini adalah dalam pengertian sangat luas. Bukan sekedar seni kebudayaan dan adat istiadat (kalau yg ini mestinya justru menjadi nilai jual yg sangat menarik), tapi lebih menyangkut ke arah perilaku dan kebiasaan (attitude dan habit) masyarakat.

Seperti budaya rasa memiliki atas obyek-obyek pariwisata di tanah air, kesadaran untuk selalu menjaga kebersihan dan keutuhannya (tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan fasilitas umum seperti toilet, telepon umum serta tidak melakukan corat-coret yg merusak pemandangan), tidak melakukan diskriminasi sepihak pada setiap orang yg datang (bukan hanya sekedar ramah pada tamu yg diperkirakan bisa memberi 'tip' lebih banyak), siap membantu memberi informasi yg diperlukan (dalam hal ini penguasaan - paling tidak pengetahuan - tentang kebudayaan setempat sangat diperlukan), rasa bangga akan kebudayaan daerah setempat dll.

Tentunya di atas segala hal tsb di atas, faktor keamanan dan kenyamanan menjadi faktor kunci yg sangat menentukan seseorang untuk berkunjung.

Tingkat kriminalitas yg semakin tinggi, banyaknya kerusuhan antar warga, seperti antar kelurahan/rt/rw, bahkan bukan lagi di daerah konflik sekalipun) yg kini semakin menjadi dan meluas – bahkan saat ini tawuran sudah tidak lagi pada tingkat pelajar yg seringkali dianggap masih dalam tahap labil secara emosional namun sudah meluas ketingkat warga yg notabene orang-orang yg sudah cukup berumur dan dewasa untuk bersikap. Adanya rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi pejalan kaki, kesemrawutan tata kota yg tidak jelas, penegakan hukum oleh aparat yg masih sangat lemah.

Dapat dipastikan hal-hal seperti ini membuat enggan orang untuk datang berkunjung, yg menjadi faktor penghambat pertumbuhan sektor pariwisata di Indonesia. IMHO, rasanya diperlukan kesadaran yg lebih mendalam dari pemerintah pada khususnya, untuk segera mulai membenahi segala kesemrawutan ini untuk dapat meningkatkan citra positif dan nilai tambah Indonesia - bukan sekedar nilai pertambahan hutang... :)- di mata dunia, dengan beragam program yg lebih nyata dan menyeluruh, tentunya dengan bantuan kerjasama dari pihak-pihak swasta dan pemuka masyarakat.

Di lain kesempatan saya dapat berbagi beberapa contoh yg lebih nyata mengenai hal ini.

Harapan saya hanya semoga urun suara ini dapat dijadikan bahan renungan untuk memaksimalkan perkembangan sektor pariwisata di Indonesia.

CU,

-PriMora Harahap-

1 Jan 2006

Minggu, 22 Maret 2009

Kampanye – Cost VS Benefit

Bila pada tinjauan mengenai Investasi VS ROI, saya mencoba melihatnya dari sisi investor yang telah ‘’mengorbankan’’ dana kampanye sedemikian besar. Pada kajian kali ini saya mencoba untuk mengupasnya dari aspek rakyat pemilih yang akan memetik hasil ataupun menanggung beban selepas Pemilu nanti.


Hingar-bingar kampanye yang sungguh menyita seluruh kolom dan slot media masa serta perhatian public akhir-akhir ini akan mencapai suatu puncak kulminasi berupa perhelatan Akbar Pesta Demokrasi dalam gelaran Pemilu. Baik berupa pemilihan legilatif untuk memilih wakil-wakil rakyat maupun eksekutif saat pilihan rakyat akan menentukan siapa yang akan memimpin arah pergerakan bangsa ini dalam 5 tahun ke depan.


Sebuah pilkada di Jawa Timur saja menelan biaya lebih dari Rp. 800 milyar. Tentulah dapat dibayangkan betapa penyelenggaran Pemilu secara serentak di seluruh penjuru tanah air akan menghabiskan dana teramat sangat besar.


Guliran kampanye memang menguras dana mereka yang bertarung untuk memperebutkan jabatan. Tapi biaya (cost) untuk menyelenggarakan Pemilu mengambil porsi dana dari masyarakat, hasil pungutan pajak yang dibayar oleh rakyat. Dengan cakupan wilayah negeri ini yang demikian luas, terbayanglah berapa banyak uang rakyat terpakai untuk membiayai penyelenggaraan Pesta 5 tahunan sekali itu. Entah untuk persiapan TPS, materi sosialisasi berikut slot media, cetak formulir, pendataan pemilih, hingga biaya upah para pekerja pelipat formulir, dan berbagai fasilitas bagi KPU, Panwaslu dsb.


Berbicara mengenai biaya, sesungguhnyalah bukan hanya biaya dalam bentuk kucuran rupiah yang akan ditanggung rakyat. Sejatinya biaya adalah sebuah pengorbanan yang dikeluarkan atas sesuatu . Terkait dengan Pemilu, maka semua bentuk pengorbanan yang terjadi dalam rangka penyelenggaraan Pemilu maupun hasil akibat dari Pemilu merupakan juga biaya yang harus ditanggung oleh rakyat. Bukan sekedar pengorbanan berupa lembar-lembar rupiah.


Dalam ilmu ekonomi, dikenal istilah Tangible Cost dan Intangible Cost. Dimana tangible cost adalah biaya yang langsung terasa dan dikeluarkan saat penyelenggaraan, dalam bentuk lembar-lembar uang yang dibayarkan. Adapun intangible cost adalah segala bentuk pengorbanan lain yang menyertainya.


Lalu ‘’biaya’’ apa sajakah yang potensial akan menjadi beban masyarakat dari perhelatan ini? Dari sisi tangible cost tentulah tidak perlu diuraikan lagi mengenai besarnya dana yang dibutuhkan untuk mengadakan Pemilu, sejak masa persiapan dalam beberapa bulan terakhir ini hingga puncak pelaksanaannya nanti. Namun, rakyat sering melupakan bahwa ada potensi intangible cost yang akan menjadi beban tanggungan rakyat, tidak hanya pada masa penyelenggaraan Pemilu, tapi sepanjang 5 tahun mendatang.


Pada Pemilu kali ini yang mulai menerapkan system pemenangan caleg berdasarkan raihan suara terbanyak, maka sebuah ‘’ intangible cost’’ berupa ‘’polusi’’ keindahan tata kota, dalam bentuk kesemrawutan pemandangan sebagai akibat dari tidak adanya aturan dan mekanisme penempatan berbagai atribut kampanye, tebaran jutaan poster, sudah jelas di depan mata. Sebuah pengorbanan yang harus ''dibayar'' masyarakat, jauh sebelum Pemilu terlaksana.


Berkaca dari sejarah perjalanan bangsa ini pada hasil dari beberapa kali Pemilu di masa lampau, maka telah dapat diinvetarisir dengan baik segala bentuk intangible cost yang mengintai bangsa ini:

- Kebobrokan system pengelolaan negara yang tidak professional.

- Tidak adanya mekanisme fungsi control atas setiap aktivitas penyelenggara negara. Korupsi, pelanggaran norma-norma kesusilaan, perjudian, narkoba, gaya hidup hiperhedonisme yang kerap ‘’tertangkap bukti’’ dilakukan oleh mereka yang bekerja mengatasnamakan wakil rakyat dan pengelola negara, memberi contoh buruk yang dapat ‘’menginspirasi’’ masyarakat untuk menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Tak pelak, degradasi moral bangsa menjadi pertaruhan dan pengorbanan berikutnya.

- Pemimpin bangsa yang urung menelurkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan kerap terbelenggu dalam ‘’balas budi’’ kepada segilintir ‘’golongan pemilik modal’’.

- Merosotnya tingkat kesejahteraan sebagian besar rakyat, sebagai akibat dari tidak berjalannya fungsi penataan negara yang menjadi kemakmuran bagi seluruh lapisan rakyat.

- Tidak terpenuhinya kebutuhan, hak dan harapan rakyat, bahkan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan dan hak dasar rakyat, berupa pendidikan murah, fasilitas kesehatan yang terjangkau dan memadai serta berbagai infrastruktur penyangga kehidupan bermasyarakat (seperti air bersih, ketersediaan sumber energi yang stabil dan terjangkau, jalan dan jembatan penghubung antar wilayah), maupun lembaga keuangan pendukung pergerakan perekonomian rakyat.

- Ketiadaan lapangan kerja yang memadai yang dapat menunjang kehidupan masyarakat secara layak.

- Peningkatan kriminalitas yang semakin tinggi sebagai dampak dari belum teratasinya masalah kemiskinan dan jurang kesenjangan yang semakin lebar antar kalangan masyarakat.

- Eksploitasi sumber daya alam milik negara oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi, tanpa tingkat imbalan / pengembalian yang nyata dirasakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apalagi bila mengingat kemungkinan besarnya kecenderungan para petarung yang sudah ‘’menginvestasikan’’ sedemikian besar dana dalam perjalanan kampanyenya untuk segera meraih kembali modal dan mendapatkan keuntungan sebesar mungkin (baca artikel Kampanye – Investasi VS ROI)

- Masih kerap terjadinya keberpihakan aparat hukum pada kalangan tertentu dan golongan incumbent, sebagai akibat dari lemahnya penegakkan hukum.

- dan mungkin masih banyak lagi ‘’potensi’’ pengorbanan ‘’biaya’’ yang harus ditanggung oleh rakyat negeri ini selepas Pemilu nanti, setidaknya selama 5 tahun mendatang.


Itu baru berupa intangible cost dari segi dampak yang akan terasa. Dari segi waktu, maka kegagalan Pemilu untuk menghasilkan para wakil rakyat, pemimpin dan pengelola negara yang bersih, berkualitas, serta memiliki kapasitas dan integritas yang baik, akan memberi beban intangible cost tersendiri berupa opportunity loss (hilangnya peluang) untuk maju.


‘’Time is money’’, demikian bunyi sebuah slogan dalam ranah ekonomi. Ya, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Namun waktu tidak dapat dihentikan dari gulirannya. Waktu tidak mungkin dibekukan sekedar menunggu sebuah bangsa dapat bersiap diri dan membenahi semua centrang prenang yang ada. Sehingga kelalaian dan pengabaian yang timbul akan membuat bangsa dan negara ini mengalami kerugian waktu yang sangat besar. Bangsa yang terus menerus gagal untuk bangkit dari kondisi keterpurukan, negara yang selalu menunda pembenahan system untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, akan membayar mahal atas waktu yang terbuang percuma.

Di saat banyak bangsa dan negara lain telah melangkah lebih maju dan semakin maju, bangsa ini tetap berselimut data kemajuan yang semu, berkutat dengan persoalan kemiskinan yang nyata, berkubang pada ketertinggalan di hampir setiap bidang, dan tidak pernah bersiap diri untuk melangkah maju. Sehingga ketika tahun demi tahun bergulir, negeri ini semakin dan semakin tertinggal jauh, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga serumpun sekalipun.


Sebagaimana hukum alam pada umumnya, dalam hukum ekonomi, juga berlaku azas perimbangan. Bila ada sisi yang di debit, pasti ada sisi yang mendapat kredit. Ketika satu pihak berhutang, berarti ada pihak yang memberikan piutang.


Dengan demikian, dari setiap biaya (cost) yang dikeluarkan, tentu ada keuntungan (benefit) yang dihasilkan. Letak permasalahan yang penting untuk dicermati sekarang adalah siapa yang akan menanggung beban biaya, dan siapa yang akan menangguk keuntungan??


Pada sebuah Pemilu yang gagal melahirkan orang-orang yang kompeten dan bersedia berjuang untuk kepentingan rakyat, maka sudah jelaslah bahwa rakyat yang akan menanggung beban biaya (tangible cost maupun intangible cost) berupa pembayaran pajak rakyat yang hingga kini masih belum terlihat tingkat akuntabilitas dari penggunaannya bagi peningkatan kemakmuran rakyat, serta penderitaan yang harus dirasakan akibat taraf kehidupan kebanyakan rakyat yang masih jauh dari memadai. Sementara mereka yang mewakili rakyat serta pejabat pengelola negaralah yang kerapkali terbukti meraup keuntungan demi keuntungan.

Sebuah Pemilu yang berlangsung dengan sukses, tidak sekedar dalam konteks pelaksanaan Pemilu yang berlangsung damai, tanpa kerusuhan, dan sekedar melahirkan nama-nama mereka yang akan duduk di dewan perwakilan rakyat maupun di istana negara. Namun, haruslah Pemilu yang dapat menghasilkan system bernegara yang lebih baik, yang dapat menciptakan kesehjateraan bagi seluruh rakyatnya, yang ditandai dengan adanya sejumlah keuntungan (benefit) yang dirasakan oleh rakyat.


Keuntungan (benefit) yang seyogyanya dapat dirasakah oleh rakyat selepas Pemilu yang telah meminta pengorbanan biaya demikian besar, setidaknya mencakup:

- Peningkatan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya Income per-Capita (dan bukan sekedar pada GDP, yang dapat menggelembung sejalan dengan populasi negeri ini yang sedemikian besar).

- Terpenuhinya kebutuhan, hak dan harapan rakyat yang dapat memberi nilai lebih pada kehidupan mereka.

- Kebijakan pengelola negara yang harus selalu berkiblat pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak (termasuk pemenuhan Domestic Market Obligation untuk menjamin kehidupan rakyat, dan tidak sekedar tergiur pada pasar luar negeri yang dapat memberi imbal hasil lebih tinggi).

- Tegaknya hukum bagi semua kalangan, tanpa kecuali, tanpa harus menunggu masa-masa berakhirnya periode jabatan sekedar untuk menaikkan kembali popularitas dan citra.

- Pengelolaan sumber daya alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD ’45.

- Peningkatan integritas bangsa yang diawali dengan teladan sikap, perilaku dan moral dari para wakil rakyat dan pengelola negara.

- Tegaknya demokrasi dan berjalannya mekanisme fungsi control masyarakat, tanpa hambatan.

- Pembangunan fondasi perekonomian bangsa yang kokoh, dengan bertumpu pada ketangguhan ekonomi rakyat, yang dapat mengurangi tingkat ketergantungan bangsa ini pada negara lain maupun lembar-lembar mata uang asing dan meningkatkan daya tahan perekonomian negara terhadap hempasan badai krisis.


Sudah saatnya bangsa ini tidak lagi menunda dan membuang waktu untuk mendapatkan sebuah negara yang sungguh-sungguh berdaulat bagi rakyatnya sendiri. Sudah waktunya bagi rakyat negeri ini untuk mulai mempertimbangkan setiap biaya (cost) dan keuntungan (benefit) yang akan tercipta dari setiap penggunaan hak pilihnya pada ajang Pemilu nanti.

Sangatlah penting untuk memastikan memilih mereka yang akan memberi lebih banyak keuntungan bagi seluruh lapisan rakyat dan bukan beban tanggungan yang selalu meminta pengorbanan lebih besar dari masyarakat. Yakinilah bahwa mereka yang dipilih bukanlah orang-orang yang hanya akan menimbun keuntungan pribadi, yang mengabaikan nasib rakyat dalam 4 tahun masa jabatannya dan hanya ‘’bekerja’’ pada 1 tahun terakhir saja.


-PriMora Harahap-

20 Maret 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)


Kamis, 19 Maret 2009

Kampanye – Citra VS Content

Ragam kampanye para caleg & partai jelang Pemilu mendatang semakin menarik untuk disimak. Minggu ini periode kampanye terbuka (hard campaign) mulai resmi berlangsung, yang akan menjadi penutup dari bulan-bulan kampanye tertutup (soft campaign), sebelum diakhiri dengan puncak perhelatan akbar Pesta Demokrasi. Dalam minggu ini hampir seluruh stasiun televisi tak putus menyiarkan berbagai bentuk hard campaign yang dilakukan oleh sekian banyak partai yang akan bertarung di ajang Pemilu.


Pada soft campaign kita telah menjumpai begitu banyak jenis kampanye, mulai dari poster, spanduk, hingga iklan-iklan di berbagai media cetak maupun elektronik, baik yang tersurat maupun tersirat di balik selubung program sosial maupun kebijakan populis. Tingkat ‘’kreativitas’’ para caleg dan partai di kampanye kali inipun tampaknya semakin meningkat dibandingkan dengan kampanye 5 tahun silam.


Di masa hard campaign, lagi-lagi berbagai ‘’inovasi’’ dipertunjukkan oleh para caleg dan partai untuk meraih simpati masyarakat. Ada yang tetap menggunakan kampanye tradisional khas negeri ini dalam bentuk gelaran dangdut di lapangan terbuka yang tentunya dijejali dengan ‘’jualan’’ janji para juru kampanye maupun tokoh partai. Ada yang merasa lebih afdol bila mengunjungi langsung konstituennya, masyarakat di daerah pilihan masing-masing, dengan menebar pesona melalui program-program sosial sesaat (entahlah, apakah program-program itu akan tetap berlanjut bila telah terpilih nanti).


Ada juga yang lebih kreatif menyelenggarakan berbagai bentuk lomba di wilayah pencalonannya (mulai dari lomba memancing, lomba menyanyi di karaoke dan aneka lomba lainnya) seraya membagi-bagi hadiah kepada peserta lomba (sebuah ‘’strategi politik’’ baru untuk menghindar dari tuduhan ‘’money politic’’ karena pembagian hadiah diberikan dalam konteks perlombaan). Tentu tak lupa disertai dengan berbagai ‘’pesan sponsor’’ agar mencontreng namanya saat pemilihan nanti.


Seluruh daya dan upaya yang dikerahkan dengan sepenuh harap itu tentunya bertujuan untuk dapat meraih sebesar-besarnya simpati rakyat sehingga dapat beroleh sebanyak-banyaknya contrengan pada namanya. Berbagai ragam kampanye itu, entah dalam format yang jelas terhubung dengan atribut kepartaian maupun tokoh utama sebuah partai, atau dalam bentuk ‘’banjirnya’’ aneka kebijakan populis justru di saat-saat masa jabatan akan berakhir oleh para pejabat dari kubu incumbent, mendadak rajin bersilaturahmi ke berbagai kalangan masyarakat, tak lain dan tak bukan digelar dalam rangka meningkatkan citra sang tokoh sekaligus partai yang menjadi kendaraan politiknya, memberi kesan kedekatan dan keberpihakan kepada rakyat.


Mengapa demikian?? Tentulah karena sang caleg dan kandidat pemimpin bangsa masih merasa memerlukan sejumlah ‘’daya dongkrak’’ (leverage) bagi citra diri (personal image) yang dapat mendukung ‘’jualan politiknya’’.


Walaupun ragam jenis kampanye makin semarak dengan berbagai ‘’kreativitas’’ baru, namun gelaran kampanye di republik ini tetaplah masih bersifat dangkal. Pada dasarnya, tidak ada sesuatu yang baru, yang memberi nilai lebih dan solusi konkrit bagi pengembangan bangsa dan negara ini dalam 5 tahun ke depan.


Tengok materi ‘’jualan’’ dalam setiap kampanye. Hampir seluruhnya hanya sekedar menawarkan program-program artificial yang umumnya hanya akan menutupi gejala ekonomi sosial yang ada, sekedar meredam agar tidak menggejolak, tanpa mampu menawarkan ‘’obat’’ yang jitu kepada ‘’penyakit’’ bangsa ini yang sesungguhnya.


Simaklah, sebuah partai mengumbar janji berupa perbaikan nasib para TKI di luar negeri, tidak adanya penggusuran pemukiman rakyat kecil serta pembukaan lapangan kerja. Lain partai menjual program pengentasan kemiskinan. Partai lainnya lagi bersumpah setia akan memperhatikan kehidupan rakyat miskin dan memajukan pendidikan. Namun sepengamatan saya, nyaris tidak ada satupun partai yang melengkapi jualannya dengan konsep yang komprehensif.


Menyimak janji-janji muluk tersebut, maka terbersit pertanyaan di benak saya? Sadarkah mereka betapa sulit tugas yang akan mereka hadapi? Tahukah mereka seberapa besar dan dalam permasalahan yang dihadapi bangsa ini? Dengan cara apa mereka akan membenahinya?


Janji tidak ada lagi penggusuran pemukiman rakyat kecil memang sungguh mulia. Namun, bagaimana dengan penataan pemukiman kumuh? Akankah mereka tidak digusur tapi tetap dibiarkan tinggal di kolong-kolong jembatan, di bantaran-bantaran sungai, beralaskan tanah, tanpa jaminan peningkatan kesejahteraan? Tanpa pemenuhan akan kebutuhan dasar mereka yang merupakan hak warga negara ini? Tanpa pendidikan yang memadai? Tanpa layanan kesehatan yang mudah dan terjangkau? Tanpa infrastuktur pendukung roda perekonomian dan kehidupan bermasyarakat?


Niat memperbaiki nasib TKI di negeri orangpun sangat agung. Tapi patut disadari bahwa pelecehan yang kerap menimpa TKI lebih banyak disebabkan oleh lemahnya posisi tawar (bargaining power) mereka, akibat dari minimnya tingkat kemampuan. Pembekalan dan pelatihan untuk mempersiapkan TKI yang memiliki nilai jual sangat penting untuk diperhatikan.


Program pengentasan kemiskinan juga sungguh indah terdengar. Lalu bagaimana cara untuk mengentaskannya? Sedangkan bukan rahasia lagi, hingga kini masalah kemiskinan tidak jua dapat teratasi dengan tuntas. Tidak perlu menutup mata, betapa rakyat jelata yang belum terpenuhi hak-hak dasarnya masih terlihat jelas di depan mata. Bahkan bertaruh nyawa hanya demi memperebutkan zakat sebesar Rp.30.000,-!!. Sudah rahasia umum bahwa lapangan kerja yang tersedia bagi penduduk negeri ini sangat tidak memadai. Tingkat pendidikan yang rendah, yang diperparah dengan semakin mahalnya akses ke pendidikan tinggi, membuat masih banyak rakyat negeri ini yang tidak mungkin memperoleh pekerjaan yang mampu memberi penghidupan layak. Dan kondisi tersebut telah berlangsung jauh sebelum krisis ekonomi global melanda dunia.


Sekedar membuat rakyat menjadi tidak buta aksara bukanlah ukuran sukses dalam program mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi republik ini. Sekedar membagi-bagikan uang kepada rakyat miskin, tanpa solusi lapangan kerja, tanpa membekali mereka dengan pendidikan dan kemampuan untuk bekerja, hanya akan menjadikan bangsa ini bermental pengemis!!


Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lainnya, yang tidak mudah untuk diatasi. Tidak semudah pengucapannya!!


Haruslah disadari, begitu banyak dan sungguh kompleks permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Tidak mudah menata dan mengelola negara yang demikian besar dengan demikian banyak sumber daya serta keragaman yang terkandung di dalamnya.. Sehingga visi dan misi yang secanggih apapun, tanpa dilengkapi dengan rincian perencanaan yang strategis akan sulit terpenuhi hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Itu sebabnya, sejarah bangsa ini kerap mencatat betapa pemimpin bangsa acapkali gagal memenuhi janji-janji yang diumbarkannya saat kampanye dulu.


Dengan sedemikian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tanpa adanya skala prioritas, alih-alih dapat memberikan solusi terbaik, justru menjadi terbengkalai, keteteran. Pada akhirnya tidak ada satu permasalahanpun yang dapat terselesaikan dengan tuntas. Semua menjadi sekedar program tambal sulam.


Dapat dikatakan bahwa berbagai bentuk kampanye yang digelar hanya bertujuan sebatas upaya meningkatkan citra, tanpa disertai dengan content (isi) berupa strategi dan target pencapaian maupun skala prioritas yang jelas, yang dilengkapi dengan critical check point untuk dapat mengukur setiap pencapaian target dan menjaganya agar tidak menyimpang dalam pelaksanaannya. Kampanye hanya memberikan serangkaian program dalam proposal politik, tanpa penjelasan rinci bagaimana program tersebut dapat dijalankan. Hal yang sama dikeluhkan oleh sejumlah pengusaha selepas mendengarkan paparan tim ekonomi beberapa partai. Sekedar umbaran janji yang muluk-muluk. Terlalu muluk bila titik tolak langkah mereka adalah carut-marut kondisi bangsa dan negara saat ini.


Sebagaimana kata pepatah, besar pasak daripada tiang. Mungkin seperti itulah gambaran janji-janji selama masa kampanye ini. Begitu banyak janji ditebarkan hanya untuk mengejar perolehan suara, tanpa mengukur seberapa besar kemampuan dan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi janji-janji itu.


Tentu masih ingat heboh kasus susu asal Cina yang bermelamin beberapa waktu lampau. Hasil penyelidikan membuktikan bahwa campuran melamin dalam komposisi susu tersebut memang disengaja, dengan tujuan memberi kesan tingginya kandungan protein dalam susu tersebut. Tapi apakah susu tersebut benar-benar berprotein tinggi? Tentu tidak!! Karena campuran melamin hanya mampu memberi ‘’kesan’’. Alih-alih mendapat asupan protein tinggi sebagai pelengkap gizi, pengonsumsi susu bermelamin tersebut justru beroleh penyakit, yang bahkan berujung pada kematian beberapa konsumennya.


Citra adalah gambaran yang memberi kesan!! Kesan yang ingin ditampilkan kepada publik. Hanya kesan. Sebatas membangun persepsi. Belum tentu kualitas dari isi yang menyertainya selaras dan seindah citra yang dikesankan.


Dan dalam ranah komunikasi, citra dapat diciptakan, mudah direkayasa, tak sulit untuk dibangun. Karena citra sejatinya adalah gambar, lukisan. Bagai sebuah lukisan, citra dapat dipesan dan dibuat seindah mungkin. Sehingga tidaklah heran bila begitu banyak orang yang terpesona oleh tampilan citra.


Begitupun dengan kampanye yang mengutamakan citra. Melalui citra yang dibangun, partai politik dan para tokoh pemimpin bangsa berupaya memberi gambaran indah untuk membuat masyarakat terkesan. Begitu sibuknya membenahi citra hingga tak jarang melupakan hal-hal yang lebih penting untuk ditangani karena seluruh daya upaya telah habis tercurah membangun citra dari waktu ke waktu. Membuat saya teringat tag line sebuah produk : “Kesan pertama (dibuat) begitu menggoda! Selanjutnya, terserah anda!’’


Tak pelak, wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang hanya berbekal citra, tanpa dilengkapi isi yang selaras berupa kemampuan nalar, memimpin dan mengelola, justru dapat memperparah ‘’penyakit’’ bangsa, yang tidak mustahil dapat berujung pada ‘’kematian’’ pula. Kematian proses berbangsa dan bernegara, kematian demokrasi, dan pada akhirnya kematian kesejahteraan rakyat.


Janji memang diperlukan dalam setiap kampanye, karena janji adalah juga sebuah bentuk komunikasi. Melalui janji yang diberikan, para caleg, partai dan kandidat pemimpin bangsa mengkomunikasikan apa yang menjadi perhatian (concern) dan tekadnya bagi perbaikan bangsa ini. Dengan mendengar janji, rakyat pemilih dapat mengetahui apa yang akan diperjuangkan oleh mereka yang bertarung.


Namun janji haruslah realistis. Janji semestinyalah disertai isi yang bernas. Karena janji yang terlalu muluk akan memperbesar kemungkinan memperpanjang daftar pemimpin bangsa yang gagal memenuhi janji kampanyenya. Dan penambahan panjang sejarah kegagalan tersebut dapat menjadi bumerang, di saat rakyat negeri ini mencapai titik jenuh, apatis dan tidak lagi memiliki kepercayaan pada mereka yang memimpin bangsa. Pengabaian janji memberi resiko meningkatnya angka golput pada Pemilu berikutnya.


Sangatlah penting bagi para caleg dan kandidat pemimpin bangsa untuk lebih berhati-hati dalam mengumbar janji. Menyadari kemampuan diri untuk dapat mewujudkannya. Bukan sekedar penunjang citra, penebar kesan keberpihakan. Silahkan memberi janji... tapi penuhilah setiap janji yang terlontar.


Dan sangatlah penting bagi rakyat ini untuk mulai menanyakan kepada mereka yang mencalonkan diri di ajang pertarungan pemilu, mengenai langkah-langkah konkrit dan realistis untuk dapat mewujudkan janji yang telah diumbar. Atau… akankah bangsa ini hidup hanya dari mimpi dan janji ''kosong''?


-PriMora Harahap-

18 Maret 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)


Selasa, 17 Maret 2009

Kampanye – Kualitas Diri VS Kilau Tampilan

Pemilu di republik ini kerap digaungkan sebagai sebuah Pesta Demokrasi. Sehingga laiknya orang akan berpesta, setiap petarung yang laksana among tamu dalam pesta ini tentu telah mempersiapkan diri berdandan semaksimal mungkin demi menarik perhatian para tamu yang akan hadir di saat puncak perhelatan nanti. Terlebih lagi ajang pemilu di negeri ini lebih mirip ajang kompetisi ataupun kontes-kontes yang semakin marak mengisi acara di stasiun-stasiun televisi ketimbang sebuah ajang sakral yang akan menentukan nasib bangsa. Sehingga sebagai sebuah ajang kompetisi, para kontestanpun berupaya tampil semenarik mungkin untuk dapat mengambil hati para pemirsa.


Dalam ajang lomba-lomba yang sedang menjadi tren di pelbagai stasiun televisi, kemenangan ditentukan oleh hasil ‘’voting’’ jumlah perolehan SMS pemirsa dan bukan oleh hasil penilaian juri yang memang berkompeten di bidangnya. Sehingga tak jarang sering terjadi kontestan yang lebih berkualitas dan berkompeten dalam bidang yang dilombakan justru tidak keluar sebagai pemenang. Bahkan kerap terjadi juri yang hanya bertugas sebagai komentator merasa kecewa atas hasil pilihan pemirsa. Namun mereka tak berdaya untuk mengubah hasil karena kemenangan berdasarkan pilihan pemirsa.


Demikian pula halnya dengan Pemilu, dimana kemenangan ditentukan oleh ‘’voting’’ jumlah perolehan contrengan. Sehingga hasil penilaian masyarakat sebagai ‘’pemirsa’’ sejumlah poster yang terpampang di tepi-tepi jalan, maupun iklan-iklan politik yang tayang hampir setiap hari, cenderung lebih didasarkan pada tampilan dan umbaran janji semata.


Tidak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun kesan pertama akan sebuah produk sangat dipengaruhi oleh apa yang pertama kali secara kasat mata dapat terlihat oleh publik ataupun konsumen. Kemasan yang indah inilah yang akan menjadi daya tarik pertama bagi konsumen.Tampilan yang menariklah yang akan menjadi pertimbangan awal bagi pemirsa. Namun, sebuah produk yang tidak memiliki kualitas lambat laun akan ditinggalkan konsumen, karena bagaimanapun isi yang berkualitaslah yang menjalankan fungsi memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Bukan kemasan yang pada akhirnya akan dibuang.


Dalam dunia pemasaran, sebuah produk dengan jenis, kandungan, fungsi dan manfaat yang sama, bila dikemas dengan berbeda memang dapat menghasilkan tingkat penjualan yang berbeda. Bahkan kerap dijumpai, produk yang lebih berkualitas namun terbungkus dalam kemasan yang kurang menarik cenderung tidak selaku produk berbalut kemasan menawan walaupun dengan mutu di bawah standar.


Impresi pertama melalui kemilau kemasan ataupun tampilan memang sangat menentukan. Konsumen akan tergiur untuk membeli dan mencoba produk dengan kemasan nan indah. Bila menjumpai kenyataan bahwa kualitas produk yang dipilih tidak sesuai dengan harapannya, biasanya konsumen tidak akan melakukan pembelian kembali terhadap produk tersebut. Sehingga hanya ‘’bad experience’’ yang dapat membuat konsumen menghentikan pembeliannya terhadap sebuah produk.


Pengalaman pahit (‘’bad experience’’) memang hanya terasa saat konsumen telah mencoba sebuah produk. Namun hal itu dapat dihindari dengan mencari tahu kualitas produk dari para pengguna sebelumnya.


Pada ajang kontes di televisi, pemenang yang di kemudian hari terbukti tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan, ‘’hukumannya’’ telah jelas. Seiring berjalannya waktu, sang pemenang yang hanya mengandalkan ‘’jualan’’ penampilan menawan & raihan simpati pemirsa, perlahan akan hilang tergilas mekanisme pasar. Sebuah hukuman yang langsung menimpa sang pelaku sebagai produk kontes tsb.


Untuk sebuah produk konsumsi yang hanya menawarkan keindahan kemasan semata, tanpa disertai dengan kualitas produk yang terjaga, ‘’hukumannya’’pun jelas, yaitu penurunan tingkat pembelian produk, yang bila tidak segera dibenahi dapat berujung pada kebangkrutan produsen penghasil produk tersebut.


Namun sungguh naas, pada tataran Pemilu, ‘’bad experience’’ dari kesalahan memilih kandidat yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas, terpulang kembali kepada masyarakat pemilih. Sementara sang wakil rakyat dan pengelola negara, sebagai produk hasil pemilu, seringkali justru tidak merasakan dampak kepahitan apapun dari ketidakmampuan dan ketidakbecusannya.


Celakanya, ‘’hukuman’’ akibat salah pilih masyarakat yang memberi kemenangan bagi para caleg / kandidat pengelola negara dengan hanya menilai tampilan dan popularitas semata, justru menghancurkan masa depan bangsa. Bukan partai selaku ‘’produsen’’ penghasil caleg dan kandidat.


Rakyatlah yang merasakan dampak pahit akibat salah pilih saat pemilu, yang tidak mustahil akan berujung pada ‘’kebangkrutan’’ negara dan merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat.

Dampak yang dihasilkan akibat salah pilih dalam pemilu, tidak dapat dihentikan dengan seketika, sulit untuk dibenahi dengan segera, karena ‘’kebobrokan system’’ telah berjalan, sedikitnya dalam 5 tahun mendatang. Sungguh sebuah ‘’pengorbanan’’ waktu yang tidak sebentar dan pertaruhan rusaknya masa depan bangsa akan menghadang bila rakyat salah menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk mewakili harapannya dan pengelolaan seluruh kekayaan negara pada mereka yang tidak terbukti berkualitas.

Bila diresapi lebih dalam, sejatinya tugas dan tanggungjawab seorang wakil rakyat, pengelola dan pemimpin negara tidaklah ringan. Setelah keriaan dan eforia Pesta usai, maka sang wakil rakyat maupun pejabat terpilihpun harus sudah bersiap dengan serentetan tugas mengelola negara berikut seluruh sumber daya di dalamnya, baik berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Sepanjang 5 tahun masa baktinya, para wakil rakyat dan pengelola negara tidak cukup sekedar menghadiri rapat demi rapat, mengisi daftar absensi, sebagai formalitas pemenuhan kewajiban saja. Berbagai rancangan undang-undang yang harus dikaji, ditelaah dan diputuskan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat membutuhkan kemampuan yang sangat mumpuni.

Popularitas sebagai kemasan berkilau semata tidak cukup untuk dapat menggodok dan memecahkan semua persoalan negara yang sangat kompleks. Seorang wakil rakyat dan pejabat negarapun dituntut untuk cepat tanggap dalam setiap situasi yang dihadapinya, memiliki empati serta integritas yang tinggi agar dapat menghasilkan solusi yang terbaik bagi seluruh rakyat negeri ini.


Dengan demikian seyogyanya seorang wakil rakyat, pengelola terlebih pemimpin negara dituntut untuk tidak sekedar memiliki penampilan yang sedap dipandang mata (Outer Beauty), tapi yang lebih penting adalah memiliki IQ, EQ dan SQ (Inner Beauty) yang sudah teruji, agar benar-benar mampu menjalankan seluruh tugas dan tanggungjawab yang diamanatkan rakyat kepadanya.


Pada ilmu pemasaran dikenal istilah ‘’Branded Product’’. Brand adalah sebuah janji yang diberikan kepada konsumen bahwa produk yang ditawarkan adalah produk yang terjamin mutunya, dapat memenuhi harapan konsumen yang tinggi sehingga layak untuk dipilih dan dihargai cukup mahal. Sehingga Branded Product kerap dijual pada harga premium karena nilai tambah yang diberikannya.

Sejatinya diperlukan serangkaian proses panjang untuk menghasilkan sebuah produk unggulan, apalagi bila masuk dalam kategori Branded Product. Mulai dari proses penelitian dan pengembangan (R&D), pemahaman akan kebutuhan dan harapan konsumen, inovasi dan pengayaan produk dengan berbagai nilai tambah, hingga proses produksi itu sendiri.


Bila sebuah produsen tidak dapat memberi jaminan mutu dan nilai tambah, maka tidak perlu bersusah payah mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan serangkaian upaya menciptakan dan mengembangkan Brand. Cukup menjual saja produknya sebagai komoditas dengan harga standar.


Gedung Dewan dan Istana dimana para wakil rakyat dan pemimpin negara akan bertugas merupakan sebuah tempat yang diagungkan oleh bangsa ini. Jabatan yang mereka sandang merupakan jabatan yang bergengsi dan terhormat, yang menjadi Brand tersendiri bagi penyandangnya. Tak heran begitu banyak orang berlomba mengejar jabatan ini. Gaji yang mereka terimapun tidak dapat dikategorikan pada gaji pegawai biasa, yang sungguh jauh di atas tingkat UMR. Belum lagi berbagai tunjangan yang mereka terima. Seluruhnya dibayar dari uang rakyat, melalui pajak yang dipungut pengelola negara.


Dengan demikian, para wakil rakyat dan pemimpin negara terpilih dapat dikategorikan sebagai sebuah Branded Product. Sebagai Branded Product yang digaji (‘’dihargai’’) mahal, seluruh wakil rakyat dan pengelola negara ini wajib untuk memenuhi tidak sekedar kebutuhan, tapi juga keinginan dan harapan rakyat selaku ‘’konsumen’’ yang telah memilih (‘’membeli’’) mereka pada ajang Pemilu, dengan biaya penyelengaraan berasal dari uang rakyat. Sebagai Branded Product, mereka harus mampu merumuskan perundangan, menelurkan kebijakan dan mewujudkan program yang memberi nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat di negeri ini.


Dalam konteks Pemilu, para caleg dan kandidat sudah ‘’diproduksi’’. Sebagaimana produk berkualitas, sejatinya kualitas diri seseorang tidak dapat dibangun dalam sekejap, hanya dengan polesan di sana-sini. Sehingga tugas masyarakat pemilihlah untuk menjalankan fungsi Quality Control (QC) guna memastikan bahwa caleg dan kandidat terpilih adalah manusia-manusia unggulan yang sudah melewati serangkaian proses tempaan. Apakah itu berbentuk latar belakang pendidikan, wawasan dan pengalaman, empati yang terasah, kredibilitas dan integritas diri yang tercermin dalam keseharian dan tindakan nyata di sepanjang kiprah kehidupannya.


Sangatlah penting bagi rakyat negeri ini untuk segera mencari tahu lebih dalam kualitas setiap caleg maupun kandidat yang akan dipilihnya agar terhindar dari pengalaman pahit dan kebangkrutan negara.


-PriMora Harahap-

17 Maret 2009

note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Kampanye – Investasi VS Return On Investment (ROI)

Pemilu yang digemakan sebagai Pesta Demokrasi di negeri ini sudah semakin dekat. Tinggal menghitung hari. Kampanye yang dilakukan, mulai dari tingkat caleg, partai hingga kandidat pemimpin negara, semakin gencar terlihat. Beragam bentuk dan media kampanye digunakan untuk mendongkrak popularitas demi menangguk perolehan suara sebanyak-banyaknya. Apalagi sejak system pemenangan berubah dari nomer urut menjadi perolehan suara terbanyak. Popularitas tentulah menjadi hal yang sangat menentukan peraihan kemenangan.
Ajang ‘’kompetisi’’ perebutan kursi jabatan hingga kekuasaan 5 tahunan itu akhir-akhir ini semakin menyita perhatian dan memenuhi berita-berita seluruh media di Indonesia. Kini hampir setiap hari tayangan di berbagai stasiun televisi, maupun isi cetakan harian negeri ini berisi berita mengenai segala bentuk persiapan menjelang perhelatan akbar pegelaran demokrasi bangsa ini, hingga promosi dan iklan para petarung di ajang kompetisi itu.
Seluruh pihak yang berkepentingan atas pemenangan ‘’kompetisi’’ itu sejak jauh hari telah menggelar beragam bentuk kampanye. Tengok saja jutaan lembar poster yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, dari sekitar 20 ribu caleg yang siap bertarung di tingkat pusat maupun daerah. Belum lagi iklan-iklan sekian banyak partai di berbagai media massa, entah dalam bentuk cetak hingga elektronik.
Terbayangkah berapa banyak dana yang digelontorkan untuk seluruh upaya pemenangan itu?? Ratusan juta, bahkan mungkin milyaran hingga trilyunan rupiah!! Terutama sejak hitungan pemenangan didasarkan pada raihan suara terbanyak. Maka tak pelak lagi, setiap peserta ajang kompetisi ini wajib meningkatkan popularitasnya demi mendapatkan suara rakyat sebanyak-banyaknya. Segala daya upaya, berbagai bentuk program promosipun ditempuh.
Dalam liputan sebuah media massa, terbaca betapa mahalnya biaya yang harus di’’bayar’’ oleh seorang caleg, baik untuk kegiatan pendekatan kemasyarakat, poster, spanduk, atribut-atribut kampanye lainnya seperti kaus dan topi hingga pembelian slot ataupun kolom pada sejumlah media (media buying). Ya, beragam bentuk iklan, baik dalam bentuk hardpromo maupun softpromo (yang bersifat terselubung di balik kemasan sebuah artikel seperti sebuah advertorial), tentulah tidak bersifat cuma-cuma. Dibutuhkan sejumlah dana besar untuk ‘’membeli’’ slot pelbagai media.
Dana yang dikeluarkan akan semakin besar apabila coverage serta oplah media tersebut tergolong besar. Tumpukan rupiah yang harus digelontorkanpun akan semakin tebal bila frekuensi penayangan iklan semakin sering dan memakan ruang ataupun waktu tayang utama (main page / prime time). Ditambah lagi bila sang caleg ataupun kandidat memiliki kemampuan financial sangat besar hingga mampu menempatkan sisipan (insertion) dalam bentuk media yang kental beraroma ‘’propaganda’’, sebagai suplemen di harian terkemuka berskala nasional dan beroplah besar. Hitung saja berapa jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk biaya cetak sebuah media sisipan dengan format menyerupai tabloid untuk disertakan dalam ratusan ribu oplah sebuah surat kabar, ditambah biaya penyisipan yang dibayarkan kepada surat kabar yang bersangkutan.
Pada tayangan sebuah stasiun televisi mengenai liputan kampanye, seorang caleg diberitakan mengeluarkan biaya hingga hitungan milyar rupiah ‘’hanya’’ demi menaikkan popularitasnya. Seorang caleg lain dengan nada ringan berujar bahwa dana kampanye yang digelontorkannya termasuk sedikit, hanya berkisar ratusan juta rupiah saja.
Kisaran sedikit-banyaknya jumlah dana yang dikeluarkan tentulah menjadi sangat relative dalam hal ini. Bilangan ratusan juta rupiah bagi sang caleg mungkin tidak seberapa demi sebuah tujuan lebih besar yang tengah disasarnya. Namun bagi sebagian besar rakyat, tentunya angka tersebut sangatlah berarti bagi modal kelanjutan hidup dan masa depan seluruh keluarganya. Dengan jumlah tersebut, sebuah rumah yang sangat memadai sudah dapat dimiliki. Sebuah mobil kategori mewah telah dapat terparkir di garasi. Sebuah ‘’kemewahan’’ yang bagi kebanyakan rakyat kecil di negeri ini, yang masih bergulat dengan kesulitan menyambung hidup hari demi hari, hanya merupakan angan yang mustahil untuk tergapai.
Itu baru dana kampanye seorang caleg di tingkat pusat maupun daerah. Bilangan dana yang dikucurkan oleh sebuah partai dan kandidat pemimpin negara untuk beroleh kemenangan tentu lebih fantastis lagi. Tayangan iklan pada slot waktu-waktu utama (prime time) dengan frekuensi tayang yang cukup tinggi di berbagai stasiun televisi berskala nasional tentunya memakan biaya tidak sedikit. Milyaran rupiah pastilah tercapai.
Menyaksikan seluruh eforia kampanye, gempita penyambutan Pesta Demokrasi, serta anggaran dana yang sungguh mencengangkan itu, saya tergelitik untuk meniliknya dari sisi sebuah investasi. Menurut hemat saya, dengan ‘’pengorbanan’’ dana yang sedemikian besarnya, tentu tak heran bila dana kampanye akan diperlakukan bagai sebuah investasi bernilai tinggi oleh siapapun yang mengucurkannya. Dan layaknya sebuah investasi maka sang investor tentulah mengharapkan nilai pengembalian atas rupiah demi rupiah yang telah ditanamkannya.
Dalam ilmu ekonomi-keuangan, objektivitas dasar dari sebuah investasi adalah berusaha memperoleh pengembalian dan keuntungan sebesar mungkin atas setiap modal yang ditanamkannya, dalam batas toleransi resiko yang dapat diterima, dengan tetap konsisten pada tujuan awal investasi.
Prosentasi tingkat pengembalian investasi atau biasa disebut Return On Invesment (ROI), yang merupakan rasio antara laba bersih (net profit) dengan besarnya modal (equitas) yang telah ditanamkan, memang sangat ditentukan oleh harapan investor dan tingkat toleransi yang dapat diterimanya. Sehingga pada setiap akhir periode investasi yang telah ditetapkannya, investor selalu menghitung besarnya tingkat pengembalian investasinya yang secara sederhana dapat diperoleh dengan formula sbb:
ROI = Laba bersih/Modal
Dalam kerangka pemikiran tersebut maka ada tiga objektivitas dasar dari sebuah investasi yaitu :
- pendapatan (income)
- pertumbuhan modal (capital growth)
- mempertahankan modal (capital preservation)
Seorang investor setidaknya memiliki satu dari tiga objektivitas dasar tersebut.
Untuk seorang investor yang berorientasi pada pendapatan (income), tentu akan sangat memperhatikan tingkat pendapatan sekarang terhadap keseluruhan jumlah modal yang sudah ditanamkannya.
Adapun seorang investor yang memiliki orientasi pertumbuhan modal (capital growth) akan menetapkan jangka waktu pencapaian objektivitasnya, dengan selalu melakukan evaluasi atas pertumbuhan kapitalnya dari waktu ke waktu.
Sedangkan bagi seorang investor dengan orientasi mempertahankan nilai kapital akan mencari diversifikasi portfolio yang lebih banyak dalam upaya menjaga agar nilai kapitalnya tidak mengalami penurunan, dengan menjaga tingkat resiko seminimal mungkin dan perolehan margin yang wajar dan dalam batas toleransi penerimaannya.
Jelaslah bahwa setiap investor dengan tingkat toleransi resiko dan harapan apapun, pada dasarnya memiliki objektivitas (tujuan) yang sama yaitu :
- tingkat pengembalian modal
- hasil (yield) yang diharapkan dari modal yang diinvestasikan
Dengan pengertian ini berarti tidak ada satupun investor yang menginginkan nilai modalnya berkurang, bahkan selalu mengupayakan agar modal yang telah ditanamkan dapat meningkat.
Sebuah investasi dipengaruhi oleh berbagai factor yang harus dipertimbangkan oleh seorang investor karena dapat mempengaruhi besarnya tingkat pengembalian nilai investasinya. Disamping besar modal yang diinvestasikan, waktu juga sangat berperan penting dalam sebuah investasi. Panjang pendeknya rentang waktu pengembalian modal investasi, cepat lambatnya investasi ditanamkan, semua akan sangat berpengaruh pada besarnya nilai pengembalian itu sendiri.
Kini mari kita simak peran waktu dalam tingkat pengembalian nilai investasi.
Dalam prinsip ekonomi-keuangan maka nilai masa depan (future value) dari sejumlah uang merupakan nilai dari sejumlah dana yang ada saat ini pada suatu tanggal tertentu di masa depan dengan menerapkan bunga majemuk (compound interest) dalam satu periode tertentu. Adapun pengertian bunga majemuk adalah tingkat bunga yang diperoleh atas satu investasi dimana bunga tersebut menjadi bagian dari modal pokok (principal) pada satu periode spesifik.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai uang yang diinvestasikan saat ini diharapkan akan memberi sejumlah nilai uang yang lebih besar di masa depan karena adanya proses bunga berbunga dari nilai uang tersebut. Dalam proses tersebut setiap bunga yang diperoleh ditanamkan kembali sebagai bagian dari modal investasi yang tentunya akan berbunga kembali.
Dengan memperhitungkan tingkat bunga, maka nilai masa depan (future value) dari sejumlah dana saat ini dapat dihitung dengan formula sbb:
FV = PV x (1+i)n
dimana:
FV : Future Value (nilai uang di masa depan)
PV : Present Value (nilai uang saat ini)
i : interest rate per compounding (tingkat suku bunga majemuk)
n : periode investasi
Untuk mudahnya berikut sebuah ilustrasi dari nilai masa depan sejumlah dana yang diinvestasikan saat ini.
Katakanlah seorang caleg menggelontorkan dana sebesar Rp.8.000.000,- pada masa kampanye periode ini dengan harapan akan terpilih untuk masa kerja 5 tahun ke depan. Bila dana sebesar itu ditanamkannya dalam bentuk investasi (semisal deposito) dengan tingkat bunga sebesar 6 % per-tahun untuk jangka waktu 5 tahun, maka pada akhir tahun ke 5 jumlah uang yang didepositokannya tersebut akan menjadi senilai:
PV = Rp. 8.000.000,-
i = 6 %
n = 5 tahun
FV = 8.000.000 x (1+0,06)5 = Rp.10.705.804,-
Dengan kata lain, bila uang sejumlah Rp.8.000.000,- saat ini diinvestasikan dalam bentuk deposito dengan tingkat suku bunga sebesar 6 % per tahun selama 5 tahun, maka investor akan mendapatkan uangnya telah berkembang menjadi Rp.10.705.804,- di akhir tahun ke 5.
Perhitungan tsb hanya untuk modal awal sejumlah Rp.8.000.000,-. Tentu dapat dibayangkan besarnya jumlah dana yang diharapkan akan diraup kembali di akhir tahun ke 5, bila modal awal yang telah ditanamkanpun dalam bilangan ratusan juta, milyaran hingga trilyunan rupiah.

Ilustrasi di atas hanya menggambarkan bagaimana peningkatan modal investasi seseorang bila hanya menanamkan modal di awal periode.
Bagaimana bila dalam periode 5 tahun tersebut, sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan secara rutin di akhir tahun sepanjang periode tsb?
Pada konteks ini maka nilai masa depan di akhir tahun ke 5 dari dana yang ditanamkannya akan dapat dihitung dengan formula anuitas umum (ordinary annuity) sbb:
FVa = PV x [((1+i)n – 1)/i]
dimana:
FVa: future value of an ordinary annuity (nilai uang di masa depan dengan anuitas umum)
PV : present value (nilai uang saat ini)
i : interest rate (tingkat suku bunga)
n : periode investasi
Berikut ilustrasi yang dapat menggambarkannya :
Seseorang menanamkan dana sebesar Rp.1.000.000,- setiap akhir tahun selama 5 tahun ke dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 10 % per-tahun.
Maka dengan perhitungan anuitas umum akan diperoleh nilai investasi tersebut di akhir tahun ke 5 sebesar :
FV5 = 1.000.000 x [((1+0,1)5 – 1)/0,1] = Rp.6.105.100,-
Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang secara rutin menabung sebesar Rp.1.000.000,- di setiap akhir tahun dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 10 % per-tahun selama 5 tahun, akan mendapatkan uang sejumlah Rp.6.105.100,- di akhir tahun ke 5.
Dan bagaimana pula bila sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan di awal tahun sepanjang periode 5 tahun tsb?
Besarnya nilai masa depan dari jumlah investasi tsb di akhir tahun ke 5 dapat dihitung dengan formula annuity due sbb:
FVd = PV x [(((1+i)n+1 - 1)/i) - 1]
Dengan menggunakan formula tsb, apabila seorang investor secara rutin menabungkan uang sejumlah Rp.1.000.000,- di setiap awal tahun, maka besarnya uang di akhir tahun ke 5 menjadi:
FV5 = 1.000.000 x [(((1+0,1)5+1 - 1)/0,1) - 1] = Rp.6.715.610,-
Sehingga dengan dana sebesar Rp.1.000.000,- yang diinvestasikan secara rutin di setiap awal tahun selama periode 5 tahun, seorang investor akan memperoleh dana sejumlah Rp.6.715.610,- di akhir tahun ke 5.
Sekarang mari kita lihat bagaimana seorang investor dapat memperkirakan besarnya jumlah dana yang harus diinvestasikannya saat ini bila ingin mendapatkan sejumlah dana yang sudah diharapkannya pada masa depan.
Dengan menggunakan formula Present Value maka dapat dihitung besarnya investasi saat ini agar dapat memperoleh sejumlah dana di masa depan, sbb:
PV = FV x [1/(1+i)n ]
dimana:
PV : present value (nilai uang yang harus diinvestasikan saat ini)
FV : future value (nilai uang yang diharapkan di masa depan)
i : interest rate (tingkat suku bunga)
n : periode investasi
Ilustrasi berikut dapat menggambarkan hal tsb :
Seorang caleg menginginkan dalam satu tahun sejak dia terpilih, telah dapat mengumpulkan dana (‘’balik modal’’ kampanye) sebesar Rp.3.000.000,-. Seandainya dia menaruh modal yang digunakan untuk kampanye dalam bentuk tabungan (deposito) dengan tingkat suku bunga sebesar 6 % per-tahun, maka agar dapat memperoleh dana sebesar Rp.3.000.000,- di akhir tahun mendatang, saat ini dia harus menginvestasikan sebesar :
PV = 3.000.000 x [1/ (1+0,06)1] = Rp.2.830.188,-
Dengan demikian, untuk dapat memperoleh uang sebesar Rp.3.000.000,- di akhir tahun pertama masa kerjanya, maka saat ini caleg terpilih tsb haruslah menginvestasikan dana sejumlah Rp.2.830.188,-.
Dari beberapa ilustrasi di atas, terlihat jelas betapa nilai uang yang sama bila diinvestasikan dalam waktu yang berbeda akan sangat mempengaruhi hasil perolehan. Dengan nilai uang yang sama yang diperoleh pada saat ini akan memberikan nilai pertambahan yang semakin besar dibandingkan dengan nilai uang yang sama yang diperoleh di masa depan. Hal ini disebabkan semakin tertundanya sejumlah uang diperoleh maka semakin besar kemungkinan hilangnya peluang (opportunity loss) untuk berinvestasi.
Sehingga semakin besar dan semakin dini dana diperoleh untuk dapat diinvestasikan, maka akan semakin besar tingkat pengembalian (yield) yang dapat diraih oleh seorang investor, karena adanya fungsi efek majemuk (multiplier effect) dari peluang menginvestasikan kembali (re-investasi) bunga yang diperoleh.
Bagi sebagian masyarakat yang sudah memiliki asuransi sebagai salah satu bentuk investasi penjamin hari tua tentu telah pernah melihat ilustrasi sejenis yang umumnya dipresentasikan oleh agen asuransi. Berdasarkan pengertian diatas, tak pelak agen asuransi kerap menganjurkan konsumen potensialnya untuk sesegera mungkin mengambil polis asuransi.
Tidaklah mengherankan apabila seorang caleg ataupun para kandidat pemimpin bangsa yang telah mengucurkan sedemikian besar modal pada saat kampanye sebagai bentuk investasi atas ‘’karir politik’’nya, acap terjebak dalam bujukan dan keinginan untuk segera memperoleh kembali modal berikut sejumlah hasil ‘’investasi’’ yang diharapkan. Dapat dipahami bila dalam 5 tahun masa kerja, bagi mereka yang menganggap biaya kampanye sebagai sebuah ‘’investasi’’ (penjamin kehidupan bila sudah tidak lagi menjabat), akan sudah mulai berupaya mengumpulkan kembali modalnya sejak tahun-tahun awal masa jabatannya, agar memperoleh peluang (opportunity) yang lebih besar menginvestasikan (memutar) kembali uang yang diperolehnya. Mudah dimengerti bila seorang caleg ataupun kandidat terpilih yang merasa telah ‘’berkorban’’ dana demikian besar, akan terus menerus berupaya mengumpulkan dana sepanjang masa kerjanya, sehingga secara rutin dapat menginvestasikan kembali rupiah demi rupiah yang diperolehnya. Dan tidaklah sulit untuk dibayangkan bila seorang caleg / kandidat terpilih bahkan sudah dapat menentukan ‘’nilai transaksi’’ yang diinginkannya sekarang, untuk dapat memenuhi target perolehan keuntungan investasi di akhir masa jabatan. Semua dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan modal yang telah dikucurkan dan mendapatkan keuntungan (gain) semaksimal mungkin. Tujuan dasar dari sebuah investasi.
Dalam dunia investasi dikenal istilah High Risk High Gain, yaitu bila resiko yang terkandung dalam investasi semakin besar, maka keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut akan semakin besar pula. Dengan prinsip keuntungan berbanding lurus terhadap resiko, maka tidaklah heran bila cukup banyak para caleg terpilih yang tergiur untuk menempuh ‘’resiko’’ lebih besar, bahkan melalui cara-cara illegal sekalipun, guna mendapatkan perolehan keuntungan lebih besar.
Prinsip dan konsep investasi yang telah diuraikan di atas tidak hanya berlaku bagi caleg terpilih. Pada dasarnya semua basis ilmu pengetahuan berlaku umum (general) dalam penerapannya. Begitupun dengan prinsip dan konsep investasi yang berakar dari cabang ilmu ekonomi.
Sehingga bila dana yang digunakan oleh seorang caleg, partai ataupun kandidat pejabat apapun berasal dari pihak penyandang dana lain (bukan dari pundi-pundi pribadi), tentulah para penyandang dana juga mengharapkan pengembalian atas sejumlah dana yang sudah ‘’diinvestasikan’’ pada caleg / kandidat tersebut. Semakin besar dana yang diberikan untuk menyokong kemenangan sang caleg, maka semakin besar pula pengembalian investasi (Return On Investment / ROI) yang diharapkan.
Tak pelak, sejumlah kemudahan (privilege), baik dalam bentuk proyek, prosedur maupun perizinan lalu diberikan oleh sang penguasa / pejabat / wakil rakyat terpilih kepada para ‘’donatur’’ kampanyenya, sebagai upaya untuk menjamin perolehan ROI yang diharapkan dan disepakati dalam ‘’kontrak sokongan dana politik’’ di awal masa kampanye.
Kampanye biaya tinggi yang memerlukan ‘’penanaman modal’’ tidak sedikit inilah yang meningkatkan kecenderungan pergeseran dalam ranah politik di negeri ini dari politik Transformasional (yang sejatinya harus mampu membawa bangsa & negara ini bertransformasi ke arah peningkatan kondisi kesejahteraan, kemakmuran rakyat dan kehidupan demokrasi yang lebih baik) menjadi politik Transaksional, dimana setiap tindakan yang diambil oleh mereka yang terpilih acap didasarkan pada perhitungan Untung & Rugi (Profit & Loss) atas sejumlah besar dana yang telah ditanamkan pada masa-masa kampanye.
‘’No Free Lunch’’, demikian bunyi motto di negara yang cenderung berkiblat ke bentuk ekonomi kapitalis, yang menjadikan modal sebagai factor utama yang menentukan setiap keputusan. Sehingga tak dapat dipungkiri, sejatinya di ‘’tangan’’ para pemilik modal arah & masa depan bangsa ini ‘’diputuskan’’, walau berbungkus perpanjangan tangan melalui mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat ataupun pengelola negara. Hal ini tak lain dan tak bukan karena semua bentuk sokongan dana tentu tidak dikucurkan oleh para pemodal secara cuma-cuma, tapi dengan pamrih ROI.

Perubahan system pemenangan dari nomer urut menjadi suara terbanyak memang belum terbukti keunggulannya, karena system tersebut baru akan diterapkan pada Pesta Demokrasi tahun ini. Satu hal yang sudah terlihat jelas dalam masa kampanye ini adalah system baru tersebut telah membuat dana kampanye yang dibutuhkan setiap caleg, partai maupun kandidat untuk meraih popularitas, menjadi sangat tinggi. Namun apapun bentuk system yang diterapkan, tetap dapat memberi peluang terhadap setiap bentuk penyimpangan bila tidak ada fungsi control.
Sangat penting disadari oleh rakyat negeri ini untuk selalu menjalankan fungsi control sosial atas penyelenggaraan negara untuk mencegah semakin mengakarnya bentuk politik transaksional menjadi sebuah budaya politik di negeri ini. Alur dan pencatatan perolehan (sumber) dan besarnya dana kampanye yang jelas, transparan & terbuka pada seluruh rakyat merupakan salah satu kunci utama untuk dapat menjalankan fungsi control sosial masyarakat atas pengelolaan negara yang bersih & professional serta tegaknya demokrasi di republik ini.

-Indarti Primora Barlianta Harahap-
12 Maret 2009

note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)