Senin, 15 September 2014

Sekedar Pilihan Diksi atau Gagal Memahami Data dan Informasi ???

Pilihan kata tak pelak akan mencerminkan maksud dari pesan yang disampaikan. Itu sebabnya maka penting bagi seorang pembicara untuk memilih kosa kata atau diksi yang tepat untuk dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Penggunaan diksi yang berbeda akan memberikan makna yang berbeda pula.

Pada debat capres dan cawapres yang baru lalu pemilihan diksi telah meninggalkan kesan yang ambigu pada pemirsa, sehingga perbedaan interpretasi dengan sang pembicara pemberi pesan kemudian menjadi perbincangan di ruang publik. Dampaknya tentu pesan yang dimaksudkan pembicara tidak tersampaikan dengan baik.

Dalam debat yang dihelat dalam 5 putaran itu, capres dari nomor urut 1 memilih kata “bocor” untuk menyampaikan pesannya di putaran debat pertama. Pilihan kata itu tidak akan menjadi pertanyaan lebih lanjut seandainya data yang menyertainya mendukung pilihan kosa kata tersebut. Namun kejanggalan yang menyertai makna keseluruhan pesan membuat pemilihan kata “bocor” ramai diperbincangkan dan bahkan dipertanyakan ke setiap pihak terkait dengan perolehan data menurut sang capres pembicara. Penggunaan kata “bocor” digunakannya dalam konteks adanya kebocoran di bidang perekonomian negara sebesar Rp. 7 trilliun sesuai data yang diterima timnya dari KPK atau sebesar Rp. 1,2 trilliun berdasarkan olahan data tim suksesnya. Sayangnya, manapun data yang digunakan tetap menyisakan kejanggalan mengingat APBN republik ini hanyalah sebesar Rp. 1,8 trilliun saja. Dengan demikian, makna kata bocor yang digunakannya menjadi sulit untuk direlevansikan dengan besarnya APBN, karena bila disandingkan dengan data Rp. 7 trilliun akan memberi makna besar pasak dari tiang, sebuah hal yang tentu saja tidak masuk akal. Sedangkan bila kata bocor tersebut disandingkan dengan data Rp. 1,2 trilliun juga tetap menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin kebocoran uang negara lebih dari 50 % APBN” ? Karena bila hal itu terjadi maka tentu sulit bagi negara ini menjalankan dan mendanai seluruh kegiatan bernegara, dimana untuk membiaya pengeluaran sumber daya manusia saja tidak akan tercukupi dari sisa kebocoran yang ada.

Tatkala publik dan khususnya media mempertanyakan kebenaran data kebocoran tersebut kepada pihak2 terkait, baik KPK maupun Istana, yang diperoleh adalah penyangkalan. Tentu hal ini menimbulkan perbincangan lebih lanjut yang secara tidak langsung mempengaruhi citra sang capres akan validitas data yang digunakannya. Sehingga membuat cawapres pasangannya maupun tim suksesnya harus sibuk memberi ralat dengan mengatakan bahwa kata yang dimaksud adalah “potensi kebocoran”. Tentu saja terdapat perbedaan makna yang besar antara penggunaan kata “bocor” dengan “potensi kebocoran”. Publikpun bertanya mengenai pilihan kata mana yang sesungguhnya dimaksud pada pesan yang ingin disampaikan sang capres, mengingat sang capres mengucapkan kata “bocor” dengan penuh keyakinan dan bahkan disampaikan berulangkali, tanpa keraguan, tidak hanya pada debat pertama namun juga di debat putaran berikutnya. Dari berbagai elemen komunikasi non verbal, baik gestur maupun intonasi dan artikulasi capres tersebut, tidak ada kesan salah ucap dalam penyampaiannya. Hal inimembuat banyak orang lebih meyakini ucapan sang capre yang terlontar saat sesi debat dibandingkan dengan ralat-ralat yang disampaikan kemudian oleh cawapres dan tim suksesnya. Kerapkali kebenaran ralat yang disampaikan setelah acara berlangsung, ataupun dalam kesempatan lain dan bukan oleh sang pemberi pesan utama diragukan oleh para penerima pesan.

Kesalahan pemilihan diksi berikutnya dilakukan oleh cawapres masih dari pasangan nomor urut yang sama yaitu nomor urut 1. Sang cawapres tampak yakin saat memilih kata “kalpataru” dalam pertanyaan yang dilontarkannya kepada kandidat pesaing. Sayang sekali penggunaan kata “kalpataru” yang diucapkan dalam konteks pertanyaan raihan penghargaan untuk lingkup / skala kompetisi antar kota menjadi salah karena penghargaan untuk lingkup kota disebut dengan penghargaan “adipura”. Kesalahan pemilihan diksi yang kembali berdampak pada perbedaan makna sehingga pesan menjadi tidak tersampaikan.

Melihat terjadinya beberapa kali kekeliruan penggunaan pilihan kata dari pasangan capres-cawapres dengan nomor urut sama tersebut, membuat terbetik pertanyaan di benak saya.

Apakah kesalahan penggunaan kosa kata tersebut memang hanya dikarenakankekeliruan pemilihan diksi ? Ataukah kosa kata yang dipilih memang dimaksudkan demikian oleh sang pembicara pemberi pesan. Namun kemudian menjadi sebuah kesalahan yang lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam membaca dan menginterpretasikan data yang diterimanya.

Bila sang pemberi pesan memang yakin denganpilihan kata yang digunakannya, yang ditunjang pula oleh setiap elemen komunikasi non verbal yang mengiringi pengucapan kata tersebut, maka pertanyaan selanjutnya tentunya mengenai data atau informasi yang menjadi dasar pemberi pesan memilih kosa kata tersebut.

Apakah data / informasi yang diberikan oleh tim sukses kepada pasangan capres-cawapres tersebut sudah benar ? Bisa saja data / informasi yang diterimanya mengandung kesalahan, sehingga menjadi wajar bila sang pemberi pesan juga menggunakan pilihankata yang tidak sesuai. Bagaimanapun bila data / informasi yang disodorkan kepadanya menyebutkan bahwa angka Rp.1,2 trilliun tersebut sebagai kebocoran, maka tentu saja data / informasi tersebut sudah janggal bila mengingat besarnya APBN hanya Rp. 1,8 trilliun. Begitupun halnya dengan informasi seputar penghargaan untuk setiap lingkup yang berbeda.

Seandainya hal ini yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengolahan data yang keliru dalam pemberian konsumsi informasi oleh tim sukses kepada sang capres. Sebuah hal yang harus mendapat perhatian serius dari tim suksesnya agar selanjutnya lebih berhati-hati dalam mengolah dan menyajikan data kepada capres-cawapresnya. Karena tingkat kebenaran pengolahan data dan validitas data yang disajikan merupakan konsumsi informasi yang selanjutnya menjadi dasar bagi setiap tindakan, kebijakan, strategi bahkan keputusan yang diambil oleh jenjang pemangku jabatan yang lebih tinggi. Pengolahan dan penyajian data yang salah untuk konsumsi informasi pejabat pemangku jabatan yang memiliki wewenang dan tanggungjawab kunci (baik dalam lingkup organisasi apalagi pada tataran penyelenggaraan negara) tentu dapat berakibat fatal karena bisa berdampak pada kesalahan dalam pengambilan strategi, kebijakan maupun keputusan. Kecerobohan tim pengolah dan penyaji data / informasi bagi para pejabat kunci (key persons) tidak dapat ditolerir.

Begitupun, seorang pejabat kunci (key person) bahkan pada tingkat pimpinan haruslah memiliki kemampuan membaca dan memahami data / informasi sehingga mempunyai kepekaan terhadap adanya kemungkinan kesalahan data / informasi yang diterimanya. Kemampuan sekedar membaca data / informasi saja tidaklah cukup. Seorang pemangku jabatan tertinggi dan pengambil keputusan haruslah memiliki kemampuan untuk memahami data / informasi yang diperolehnya, yang tentu saja harus ditunjang dengan pengetahuan dan wawasan yang luas. Sehingga bila terdapat kesalahan pengolahan data / informasi oleh tim penyaji data, tidak berdampak fatal tatkala sang pejabat kunci mampu menyadari kejanggalan yang terjadi dan segera melakukan koreksi.

Maka apakah kesalahan penggunaan kosa kata yang terasa janggal dalam konteks permasalahan yang menyertainya itu semata disebabkan karena kekeliruan pemilihan diksi ?
Atau disebabkan karena kesalahan pengolahan dan penyajian data, yang diikuti dengan kegagalan sang penerima data untuk memahami dan menemukan letak kekeliruannya, sehingga menimbulkan kejanggalan makna dalam keseluruhan konteks permasalahan yang diucapkan ?

Penggunaan kosa kata yang tidak tepat karena kegagalan seorang pemimpin untuk memahami data dan informasi yang tersaji tentu dapat berdampak fatal pada pengambilan sikap, kebijakan dan keputusan yang salah.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Minggu, 14 September 2014

Operasi Senyap – Kampanye Gelap Biaya Tinggi Berharap Pamrih

Pilpres yang digemakan sebagai puncak Pesta Demokrasi di negeri ini sudah semakin dekat. Tinggal menghitung hari. Kampanye yang dilakukan semakin gencar terlihat. Beragam bentuk dan media kampanye digunakan untuk mendongkrak popularitas demi meningkatkan elektabilitas kandidat.

Ajang kompetisi perebutan kursi jabatan pimpinan tertinggi republik ini dan kekuasaan 5 tahunan itu akhir-akhir ini semakin menyita perhatian dan memenuhi berita-berita seluruh media di Indonesia.

Tengok saja banyaknya lembar poster, spanduk dan baliho yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Belum lagi iklan-iklan di berbagai media massa, entah dalam bentuk cetak hingga elektronik.

Terbayangkah berapa banyak dana yang digelontorkan untuk seluruh upaya pemenangan itu?? Ratusan juta, bahkan mungkin milyaran hingga trilyunan rupiah!!

Maraknya operasi senyap atau serang fajar atau apapun namanya yang mencoba ‘membeli’ suara rakyat dengan aneka materi dan sejumlah uang tentu saja membuat dana yang dikeluarkan oleh kubu yang melakukannya akan semakin besar.

Tumpukan rupiah yang harus digelontorkanpun akan semakin tebal bila jumlah ‘pintu’ yang disambangi untuk menebar ‘nutrisi’ kampanye itu semakin banyak.

Kisaran sedikit-banyaknya jumlah dana yang dikeluarkan tentulah menjadi sangat relative dalam hal ini. Bilangan puluhan milyar hingga trilyunan rupiah bagi sang kandidat capres-cawapres mungkin tidak seberapa demi sebuah tujuan lebih besar yang tengah disasarnya. Namun bagi sebagian besar rakyat, tentunya angka tersebut sangatlah berarti bagi modal kelanjutan hidup dan masa depan seluruh keluarganya. Dengan jumlah tersebut, sebuah rumah yang sangat memadai sudah dapat dimiliki. Sebuah mobil kategori mewah telah dapat terparkir di garasi. Sebuah kemewahan yang bagi kebanyakan rakyat kecil di negeri ini, yang masih bergulat dengan kesulitan menyambung hidup hari demi hari, hanya merupakan angan yang mustahil untuk tergapai.

Menyaksikan seluruh eforia kampanye, gempita penyambutan Pesta Demokrasi, serta anggaran dana yang sungguh mencengangkan itu, saya tergelitik untuk meniliknya dari sisi sebuah investasi. Menurut hemat saya, dengan pengorbanan dana yang sedemikian besarnya, tentu tak heran bila dana kampanye kerap diperlakukan bagai sebuah investasi bernilai tinggi oleh yang mengucurkannya. Apalagi bila sampai menambah gelontoran dana untuk melakukan operasi senyap. Pelaksanaan operasi senyap menunjukkan bahwa pihak yang melakukannya memiliki ambisi dan motivasi menang untuk meraih kekuasaan yang sangat besar, sehingga akan menempuh cara apapun untuk mendapatkannya. Secara logika, ambisi dan motivasi pencapaian kemenangan yang menghalalkan segala cara tersebut lazim di dasari oleh niat untuk mendapat kekuasaan besar yang memungkinkannya memenuhi setiap target demi target berikutnya.

Sebuah niat yang memotivasi orang untuk menghalalkan cara apapun sangatlah muskil didasari oleh sebuah ketulusan dan keikhlasan. Semua untung – rugi kemudian menjadi perhitungan yang cermat yang akan dipenuhi begitu kekuasaan sudah dalam genggaman. Maka jabatanpun menjadi hitung-hitungan bisnis laiknya sebuah investasi. Dan layaknya sebuah investasi maka sang investor tentulah mengharapkan nilai pengembalian atas rupiah demi rupiah yang telah ditanamkannya.

Ttidak ada satupun investor yang menginginkan nilai modalnya berkurang, bahkan selalu mengupayakan agar modal yang telah ditanamkan terus meningkat.

Sebuah investasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang investor karena dapat mempengaruhi besarnya tingkat pengembalian nilai investasinya. Disamping besar modal yang diinvestasikan, waktu juga sangat berperan penting dalam sebuah investasi. Panjang pendeknya rentang waktu pengembalian modal investasi, cepat lambatnya investasi ditanamkan, semua akan sangat berpengaruh pada besarnya nilai pengembalian itu sendiri.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai uang yang diinvestasikan saat ini diharapkan akan memberi sejumlah nilai uang yang lebih besar di masa depan karena adanya proses bunga berbunga dari nilai uang tersebut. Dalam proses tersebut setiap bunga yang diperoleh ditanamkan kembali sebagai bagian dari modal investasi yang tentunya akan berbunga kembali.

Untuk mudahnya berikut sebuah ilustrasi dari nilai masa depan sejumlah dana yang diinvestasikan saat ini.

Katakanlah seorang kandidat menggelontorkan dana sebesar Rp.8.000.000,- pada masa kampanye periode ini dengan harapan akan terpilih untuk masa kerja 5 tahun ke depan. Bila dana sebesar itu ditanamkannya dalam bentuk investasi (semisal deposito) dengan tingkat bunga sebesar 6 % per-tahun untuk jangka waktu 5 tahun, maka pada akhir tahun ke 5 jumlah uang yang didepositokannya tersebut akan meningkat menjadi senilai Rp.10.705.804,-

Perhitungan tsb hanya untuk modal awal sejumlah Rp.8.000.000,-. Tentu dapat dibayangkan besarnya jumlah dana yang diharapkan akan diraup kembali di akhir tahun ke 5, bila modal awal yang telah ditanamkanpun dalam bilangan ratusan juta, milyaran hingga trilyunan rupiah.

Ilustrasi di atas hanya menggambarkan bagaimana peningkatan modal investasi seseorang bila hanya menanamkan modal di awal periode.

Bagaimana bila dalam periode 5 tahun tersebut, sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan secara rutin di akhir tahun sepanjang periode tsb karena berhasil mendapatkan tambahan dana di luar pendapatan rutinnya ?

Ambil saja contoh seseorang menanamkan dana sebesar Rp.1.000.000,- setiap akhir tahun selama 5 tahun ke dalam bentuk deposito dengan bunga sebesar 10 % per-tahun. Maka dengan perhitungan anuitas umum akan diperoleh nilai investasi tersebut di akhir tahun ke 5 telah meningkat sebesar Rp.6.105.100,-

Dan bagaimana pula bila sang investor selalu menambah jumlah dana yang diinvestasikan di awal tahun sepanjang periode 5 tahun tsb?

Dengan menggunakan formula perhitungan anuitas due, apabila seorang investor secara rutin menabungkan uang sejumlah Rp.1.000.000,- di setiap awal tahun, maka besarnya uang di akhir tahun ke 5 meningkat menjadi Rp.6.715.610,-

Sekarang mari kita lihat bagaimana seorang investor dapat memperkirakan besarnya jumlah dana yang harus diinvestasikannya saat ini bila ingin mendapatkan sejumlah dana yang sudah diharapkannya pada masa depan.

Seseorang kandidat menginginkan dalam satu tahun sejak dia terpilih, telah dapat mengumpulkan dana (balik modal kampanye) sebesar Rp.3.000.000,-. Seandainya dia menaruh modal yang digunakan untuk kampanye dalam bentuk tabungan (deposito) dengan tingkat suku bunga sebesar 6 % per-tahun, maka agar dapat memperoleh dana sebesar Rp.3.000.000,- di akhir tahun mendatang, saat ini dia harus menginvestasikan sebesar Rp.2.830.188,-

Dari beberapa ilustrasi di atas, terlihat jelas betapa nilai uang yang sama bila diinvestasikan dalam waktu yang berbeda akan sangat mempengaruhi hasil perolehan. Dengan nilai uang yang sama yang diperoleh pada saat ini akan memberikan nilai pertambahan yang semakin besar dibandingkan dengan nilai uang yang sama yang diperoleh di masa depan. Hal ini disebabkan semakin tertundanya sejumlah uang diperoleh maka semakin besar kemungkinan hilangnya peluang (opportunity loss) untuk berinvestasi.

Sehingga semakin besar dan semakin dini dana diperoleh untuk dapat diinvestasikan, maka akan semakin besar tingkat pengembalian modal yang dapat diraih oleh seorang investor, karena adanya fungsi efek majemuk (bunga berbunga) dari peluang menginvestasikan kembali (re-investasi) bunga yang diperoleh.

Bagi sebagian masyarakat yang sudah memiliki asuransi sebagai salah satu bentuk investasi penjamin hari tua tentu telah pernah melihat ilustrasi sejenis yang umumnya dipresentasikan oleh agen asuransi. Berdasarkan pengertian diatas, tak pelak agen asuransi kerap menganjurkan konsumen potensialnya untuk sesegera mungkin mengambil polis asuransi. Semakin cepat waktunya memulai maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Tidaklah mengherankan apabila seorang kandidat pemimpin bangsa yang telah mengucurkan sedemikian besar modal pada saat kampanye sebagai bentuk investasi atas karir politiknya, acap terjebak dalam bujukan dan keinginan untuk segera memperoleh kembali modal berikut sejumlah hasil investasi yang diharapkan.

Dapat dipahami bila dalam 5 tahun masa kerja, bagi mereka yang menganggap biaya kampanye sebagai sebuah investasi (penjamin kehidupan bila sudah tidak lagi menjabat), akan sudah mulai berupaya mengumpulkan kembali modalnya sejak tahun-tahun awal masa jabatannya, agar memperoleh peluang (opportunity) yang lebih besar menginvestasikan (memutar) kembali uang yang diperolehnya.

Sudah tentu semakin besar modal yang dikucurkan dalam program kampanyenya (baik yang legal maupun ilegal) maka semakin besar pula keinginannya untuk melipatgandakan keuntungan atas modal yang telah ditanamkan. Dan sudah pasti pula operasi senyap akan meningkatkan besarnya dana kampanye yang digelontorkan.

Mudah dimengerti bila seorang kandidat terpilih yang menghalalkan segala cara untuk meraih kursi kekuasaan dan telah memulai langkahnya dengan rasa telah melakukan pengorbanan dana demikian besar, akan terus menerus berupaya mengumpulkan dana sepanjang masa kerjanya, sehingga secara rutin dapat menginvestasikan kembali rupiah demi rupiah yang diperolehnya.

Dan tidaklah sulit untuk dibayangkan bila seorang kandidat terpilih bahkan sudah dapat menentukan nilai transaksi yang diinginkannya sekarang, untuk dapat memenuhi target perolehan keuntungan investasi di akhir masa jabatan. Semua dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan modal yang telah dikucurkan dan mendapatkan keuntungan (gain) semaksimal mungkin. Tujuan dasar dari sebuah investasi.

Dalam dunia investasi dikenal istilah High Risk High Gain, yaitu bila resiko yang terkandung dalam investasi semakin besar, maka keuntungan yang diperoleh dari investasi tersebut akan semakin besar pula. Dengan prinsip keuntungan berbanding lurus terhadap resiko, maka tidaklah heran bila ada saja yang tergiur untuk menempuh resiko lebih besar, bahkan melalui cara-cara ilegal sekalipun, guna mendapatkan perolehan keuntungan lebih besar.

Tak pelak, sejumlah kemudahan (privilege), baik dalam bentuk proyek, prosedur maupun perizinan lalu diberikan oleh sang penguasa / pejabat / wakil rakyat terpilih kepada para donatur kampanyenya, ataupun para pendukung koalisinya yang telah turut membantu pendanaan kampanye yang tidak sedikit, sebagai upaya untuk menjamin perolehan keuntungan atas investasi (modal) yang telah diberikan dan disepakati dalam kontrak sokongan dana politik di awal masa kampanye.

Kampanye biaya tinggi yang memerlukan penanaman modal tidak sedikit inilah yang meningkatkan kecenderungan pergeseran dalam ranah politik di negeri ini dari politik Transformasional (yang sejatinya harus mampu membawa bangsa & negara ini bertransformasi ke arah peningkatan kondisi kesejahteraan, kemakmuran rakyat dan kehidupan demokrasi yang lebih baik) menjadi politik Transaksional, dimana setiap tindakan yang diambil oleh mereka yang terpilih acap didasarkan pada perhitungan Untung & Rugi (Profit & Loss) atas sejumlah besar dana yang telah ditanamkan pada masa-masa kampanye.

No Free Lunch (tidak ada makan siang yang gratis), demikian bunyi motto di negara yang cenderung berkiblat ke bentuk ekonomi kapitalis, yang menjadikan modal sebagai faktor utama yang menentukan setiap keputusan. Sehingga tak dapat dipungkiri, sejatinya di tangan para pemilik modal arah & masa depan bangsa ini diputuskan, walau berbungkus perpanjangan tangan melalui mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat ataupun pengelola negara. Hal ini tak lain dan tak bukan karena semua bentuk sokongan dana tentu tidak dikucurkan oleh para pemodal secara cuma-cuma, tapi dengan pamrih pengembalian dana investasi dalam bentuk keuntungan sebesar-besarnya.

Peluang terhadap setiap bentuk penyimpangan dapat terjadi bila tidak ada fungsi kontrol dari masyarakat.

Sangat penting disadari oleh rakyat negeri ini untuk selalu menjalankan fungsi control sosial atas penyelenggaraan negara untuk mencegah semakin mengakarnya bentuk politik transaksional menjadi sebuah budaya politik di negeri ini. Alur dan pencatatan perolehan (sumber) dan besarnya dana kampanye yang jelas, transparan & terbuka pada seluruh rakyat merupakan salah satu kunci utama untuk dapat menjalankan fungsi control sosial masyarakat atas pengelolaan negara yang bersih & professional serta tegaknya demokrasi di republik ini.

Waspadai setiap bentuk kampanye ilegal. Kampanye terselubung dalam bentuk operasi senyap atapun serangan fajar yang membagi-bagikan aneka materi dan sejumlah dana untuk mendapatkan suara rakyat. Semakin sering operasi senyap dilakukan, semakin banyak modal dana kampanye yang dikeluarkan maka akan semakin besar pula keuntungan yang direncanakan untuk secepatnya dapat diraup.

Pihak yang bersedia mengeluarkan dana lebih banyak untuk melakukan kampanye ilegal tentu akan memiliki niat tersendiri akan harapan dapat meraih keuntungan yang jauh lebih besar lagi. Tidak akan ada ketulusan dan keikhlasan pada mereka yang telah memulai langkahnya dengan upaya yang tidak halal berdasarkan niat yang tidak mulia.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Framing dan Agenda Setting - Penggiringan Opini Publik

Framing atau pembingkaian informasi lazim terjadi pada penyajian berita di media. Kerap kali sulit dihindari terjadinya proses framing oleh seorang jurnalis dalam mengolah informasi menjadi sebuah berita, sehingga tak pelak menghasilkan bias walau tanpa unsur kesengajaan. Framing dapat dikatakan sebagai cara untuk memberikan penafsiran dengan mengisolasi beberapa fakta-fakta. Sehingga dengan framing, jurnalis memberi bingkai atau rangka dalam mengolah sejumlah fakta-fakta / informasi yang akan disajikan.

Tidak jarang, proses framing dilakukan dengan sengaja , mengacu pada agenda yang telah ditetapkan oleh sebuah media, yang biasa disebut sebagai agenda setting. Tujuannya tentu saja untuk mengarahkan informasi atau berita ke sebuah persepsi ataupun opini publik yang diharapkan, atau dengan sengaja ingin menciptakan bias informasi akan sebuah issue tertentu. Dengan demikian sejumlah fakta yang dirasakan mendukung agenda yang diharapkan akan diangkat sebagai berita. Adapun fakta yang tidak sesuai dengan agenda media tidak akan diolah menjadi berita.

Sepanjang masa kampanye Pilpres, proses framing tampak nyata marak dilakukan oleh sejumlah media yang kepemilikannya jelas berafiliasi dengan partai ataupun capres-cawapres tertentu. Sejumlah media terlihat kerap mengangkat berita-berita positif dari capres-cawapres yang memiliki keterkaitan dengan partai afiliasinya, dimana para jurnalisnya dengan sengaja membingkai atau membuat kerangka pada informasi-informasi tertentu saja yang dapat mendukung peningkatan elektabilitas capres-cawapres andalannya. Sedangkan informasi yang tidak sesuai lainnya tidak akan diangkat menjadi berita. Atau dengan mengambil sudut pandang tertentu saja dari sebuah issue yang dirasakan sesuai dengan agenda yang ditetapkan.

Begitupun, dilakukan secara sengaja ataupun tidak, proses framing tetap harus berdasarkan pada fakta-fakta informasi yang diperoleh dan diolah jurnalis dengan berpegang pada kode etik jurnalistik. Karena berita adalah fakta, dan bukan fiksi. Sehingga dasar informasinya haruslah berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya dan diolah sesuai kaidah-kaidah dalam kode etik jurnalistik, dimana diantaranya mensyaratkan sumber berita telah diverifikasi dan dilakukan pemberitaan berimbang melalui proses cross check maupun cover both side.

Apapun alasannya, seberapapun besarnya kepentingan agenda yang ditetapkan oleh media, seyogyanya proses framing tetap harus mengikuti kode etik jurnalistik dan berpijak pada fakta yang berimbang pada setiap sisi ataupun subjek pemberitaan.

Hal inilah yang membuat, proses framing dalam pemberitaan terkait PDIP oleh stasiun TV One yang tidak mengikuti proses kerja jurnalistik dan telah mengabaikan kode etik jurnalistik dengan tidak dilakukannya proses cross check dan cover both side untuk mendapatkan informasi yang berimbang dari sisi PDIP sebagai subjek pemberitaan, menjadi sebuah langkah yang tidak dapat dibenarkan.

Keinginan dan hasrat teramat besar dari news room TV One untuk memenuhi ‘harapan’ pemilik modal dengan ‘memotong’ gambaran keseluruhan fakta-fakta yang semestinya ada dan hanya mengambil sebagian saja yang dapat masuk ke dalam rangka (frame) yang telah dibentuk sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan, tanpa mengikuti pedoman kerja dalam kode etik jurnalistik, sungguh sebuah langkah blunder yang ditempuh oleh sebuah stasiun televisi yang mengkhususkan dirinya sebagai stasiun tv berita.

Setidaknya telah beberapa kali TV One melakukan kesalahan dalam membingkai informasi yang diberitakannya dengan mengabaikan proses cross check, cover both side maupun verifikasi kualifikasi narasumber. Tatkala memberitakan terbunuhnya pentolan teroris Noordin M Top dengan bungkus berita sedemikian mencekam dan bombastis, dan membingkainya hanya pada informasi tentang adanya teroris yang tewas tertembak dan ingin mengangkatnya dari sudut pandang akan sebuah keberhasilan mendapatkan liputan eksklusif penggerebakan malam itu. Namun ternyata saat itu sang gembong teroris masih bernafas hidup dan menjadi buron, karena korban tewas hanyalah anggota teroris lainnya. Kesalahan ini terjadi karena tidak berjalannya proses cross check ke pihak kepolisian mengenai korban yang tewas tertembak. Demikian pula saat stasiun tv ini menghadirkan narasumber yang ternyata tidak memiliki kualifikasi untuk bidang pembahasan yang diangkat sebagai tema di sebuah acara bincang-bincang, yang pada akhirnya diakui sendiri oleh sang narasumber.

Sejatinya sebuah stasiun tv berita harus sangat memperhatikan kualitas isi berita yang disajikan untuk dapat meraih kepercayaan khalayak pemirsanya. Bila tidak maka lambat laun tingkat kepercayaan publik atas kualitas kebenaran informasi yang disajikan stasiun tv ini akan terkikis yang dapat berakibat pada menurunnya minat publik dan bahkan sikap antipati khalayak terhadap sajian acaranya.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Jerat UU Pers untuk Tabloid Obor Rakyat - “Tanya, Kenapa ???”

Hiruk pikuk beredarnya tabloid Obor Rakyat yang mengandung fitnah terhadap salah satu kandidat capres di ajang perhelatan pilpres 2014 telah menimbulkan kegeraman pada banyak pihak dan desakan untuk mengusut motif maupun dalang di balik terbitnya tabloid yang diedarkan secara diam-diam ke sejumlah pesantren ini. Namun hingga saat ini Polri baru menjerat para tersangka penyebar Tabloid Obor Rakyat dengan UU Pers. Walaupun sejak awal terkuaknya kasus penyebaran tabloid berisi fitnah, berita-berita tidak benar yg menyudutkan Jokowi sebagai salah satu capres telah dinyatakan sebagai selebaran gelap dan bukan produk jurnalistik oleh Dewan Pers. Tak lama berselang AJI pun mengamini pernyataan Dewan Pers tersebut. Ya ! Karena proses pengolahan informasi dan berita yang dilakukan oleh redaksi tabloid Obor Rakyat tidak mengikuti kaidah kode etik jurnalistik. Tabloid itupun tidak berbadan hukum dan mencantumkan alamat redaksi yang palsu.


Namun Polri berkilah bahwa pelanggaran yg dilakukan adalah terhadap UU Pers yang dampaknya hanya akan mengenakan denda Rp 100 juta saja kepada para tersangkanya. Polri pun berdalih belum mendapatkan pasal pidana umum yg tepat dan masih menunggu keterangan ahli. Kendatipun di sejumlah media, beberapa pengamat hukum pidana maupun pengamat media telah turut memberikan penilaian mereka bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pembuat dan penyebar tabloid obor rakyat ini dapat masuk pada kategori pencemaran nama baik, fitnah dan penyebaran berita bohong kepada publik, dimana semestinyalah Polri telah dapat menetapkan dan menjerat tersangka dengan pidana umum. Apalagi yg menjadi korban adalah salah satu capres, calon pemimpin negara, dalam ajang kontestasi demokrasi di republik ini. 

Ada apa dengan Polri ???


Polri seakan mengulur waktu pembongkaran kasus yang melibatkan orang dalam istana ini hingga masa pilpres berlalu. Bahkan Polri tidak tampak menanggapi dengan serius permintaan sejumlah kalangan untuk mengusut tuntas penyandang dana yang berada di balik penerbitan tabloid ini.

Maka ketika kini AJI pun kini telah mengeluarkan permintaan yg sama kepada Polri untuk menggunakan KUHP bagi Tabolit Obor Rakyat, maka masihkah Polri akan berkelit dari penerapan jerat pidana untuk para tersangkanya ? 
 
Mari kita tunggu langkah Polri secepatnya. Mari kita lihat sejauh mana Polri akan menepati komitmennya untuk bersikap netral dalam perhelatan pilpres kali ini. Mari kita amati sesigap apa Polri bertindak untuk memproses kasus ini lebih lanjut ke ranah pidana umum. 

Karena bila Polri tidak memperlihatkan keseriusannya untuk mengusut tuntas kasus ini, maka “Tanya, Kenapa ???”

 

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Ada Apa dengan Jurnalistik Negeri Ini ??

Hingar bingar berita seputar pilpres di berbagai media memborbardir publik dengan berbagai informasi. Tak pelak sejumlah media yang jelas terafiliasi dengan partai atau kubu capres-cawapres tertentu menyajikan berita2 yg telah disesuaikan dengan agenda kepentingan masing-masing melalui proses pembingkaian informasi. Bahkan beb erapa media tampak acap menyimpang dari kode etik jurnalistik dalam proses pengolahan beritanya.

Entah apa yg sedang terjadi pada media negeri ini. Entah apa pula yg merasuki para pekerja media yg dengan mudahnya menanggalkan ‘jubah’ profesionalitasnya dalam menjalankan profesinya.
Puncaknya adalah terbit dan edarnya tabloid Obor Rakyat yg dipersiapkan dan dibuat oleh mereka yg masih dan pernah berprofesi sebagai jurnalis. Mereka meng-claim tabloid besutannya sebagai produk jurnalistik, yg lahir sebagai sebuah bentuk perjuangan dan peran media sebagai watch dog.
Benarkan demikian ???

Dewan Pers dan AJI telah jelas menyatakan bahwa tabloid Obor Rakyat sama sekali bukan produk jurnalistik, karena proses pengerjaannya tidak mengikuti mekanisme kerja jurnalis dan tidak mengacu pada kode etik jurnalistik.

Ditilik dari penjelasan Darmawan Sepriosa mengenai proses kerja yg dilakukannya maka tabloid Obor Rakyat ini tidak ubahnya dari sekedar Klipping informasi2 yg simpangsiur di berbagai media berbasis interner, yg dilakukan tanpa proses verifikasi sumber berita dan validasi kebenaran berita. Tidak ada proses check dan recheck maupun cover both side kepada pihak2 yg dijadikan subjek berita dalam pemuatan berita di dalamnya.

Uraian permakluman Darmawan yg menyamakan tabloid besutannya itu dengan Suara Independen terbitan AJI di masa rezim Orde Baru masih berkuasa juga menjadi sangat tidak masuk akal sehat manusia waras manapun.

Suara Independen jelas mencantumkan alamat redaksi yg sesungguhnya, sedangkan tabloid Obor Rakyat mencantumkan alamat palsu. Apa tujuannya ???

Jajaran redaksi Suara Independen juga tidak bersembunyi di balik nama samaran ataupun alias, hingga beb erapa bahkan sempat mendekam di balik jeruji bui, di era kebebasan pers dan berpendapat hanyalah sebatas angan-angan.

Sedangkan tabloid Obor Rakyat yg ‘terbit’ di era demokrasi dengan kebebasan pers sudah bukanlagi sebuah hal yg tabu, Darmawan Sepriosa justru menggunakan nama samaran dengan dalih agar tidak diketahui oleh media tempatnya resmi bekerja.

Dalih Darmawan Sepriosa yg mengatakan tabloid terbitannya itu sebagai bentuk perjuangan dan penerapan fungsi watch dog oleh media juga tidak dapat dimaklumi.

Dimanakah letak nilai perjuangan seorang Darmawan bagi kemaslahatan negeri ini bila sekedar untuk menghadapi resiko kemungkinan dipecat dari media tempatnya bekerja saja tidak berani ???

Fungsi watch dog yg dijalankan hanya sepihakpun menjadi sebuah tanda tanya besar, karena peran watch dog semestinya dilakukan secara berimbang kepada semua kandidat. Sejatinya media harus berperan untuk memberikan informasi yg berimbang kepada publik.

Pola distribusi secara diam-diam hanya ke segmen target tertentu saja merupakan perbedaan tabloit Obor Rakyat berikutnya dengan Suara Independen. Dalam manajemen pemasaran, pemilihan segmen target secara spesifik tentu memiliki pertimbangan tertentu yg dirasakan akan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yg diharapkan. Maka apakah tujuan dari pemilihan segment target tabloid Obor Rakyat ini ?

Dalam proses kerjanya jurnalis bahkan tidak diperbolehkan memasukkan preferensinya untuk menjaga objektivitas produk medianya. Namun jurnalis dapat menuangkan pendapatnya dalam kolom opini, ataupun editorial yang disediakan ruang khusus. Media seyogyanya harus melakukan pemisahan ruang antara produk jurnalistik yang objektif, opini redaktur dan produk iklan. Artikel yang mengandung unsur iklan dan dibiayai oleh pengiklan tetap harus diberikan judul atau tanda khusus seperti Infotorial atau Advertorial untuk tidak menyesatkan publik pembacanya dan demi tetap menjaga tingkat independensi media dalam fungsi dan perannya sebagai penyaji informasi.

Karya tulis dari seorang jurnalis tentu saja tidak serta merta dapat digolongkan sebagai produk jurnalistik bila tidak memenuhi kaidah2 dalam kode etik jurnalistik. Sehingga sebuah karya yang hanya berisi opini sang penulis apalagi tanpa didukung oleh fakta yang akurat tentu tidak dapat disebut sebagai produk jurnalistik.

Meningkatnya berbagai penyimpangan kode etik jurnalistik oleh sejumlah jurnalis dan media partisan ini, besarnya intervensi para pemilik modal ataupun pihak2 berkuasa terhadap pengambilan keputusan di dalam news room telah merusak fungsi dan peran media sebagai pemb eri informasi yang faktual dan berimbang, yang semestinya independen dari pihak manapun. Bila hal ini tidak mendapat perhatian serius, tidak mustahil bangsa ini suatu saat akan menancapkan papan bertuliskan : RIP Jurnalistik Indonesia.


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Visi dan Misi Kandidat - Pentingkah Kelengkapan Strategi ?

Sebuah organisasi memerlukan visi untuk dapat mengarahkan seluruh anggota dan sumber daya di dalamnya bergerak bersama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Begitupun halnya dengan sebuah negara. Dalam prakteknya, negara tidak berbeda dengan sebuah organisasi yang sangat besar. Visi yang telah dirumuskan selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk pernyataan misi yang berisi tujuan perusahaan, dilengkapi dengan keunggulan dan kekuatan yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut.
  Sebuah visi dan misi memang haruslah menjanjikan, penuh dengan harapan, mampu memotivasi dan memompa semangat serta optimistis. Namun sebuah visi juga harus cukup realistis untuk dapat di’bumikan’ dalam pelaksanaannya. Begitupun halnya dengan misi. Oleh sebab itu agar sebuah visi dan misi dapat diimplementasikan dengan baik maka seorang pemimpin harus dapat mencerminkan dan menjalankan apa yang terkandung dalam visi organisasi pada setiap perilaku, tindak tanduk, laku langkah, ucapan, pemikiran hingga kebijakan dan keputusan yang diambilnya. Seorang pemimpin haruslah memiliki kesesuaian antara tindakan / sikap dan perbuatan dengan ucapannya, sehingga mendapat kepercayaan penuh dan menjadi keteladanan bagi seluruh anggota organisasi yang dipimpinnya. Begitupun dalam tataran kenegaraan. Kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin sangat ditentukan dari sikap dan perilakunya.

Bahasa yang digunakan dalam merumuskan visipun harus mudah dipahami. Tidak ada gunanya menggunakan pilihan kosa kata yang rumit dan canggih bila tidak dapat dimengerti oleh seluruh rakyat. Visi dan misi juga harus relevan dengan potensi dan kemampuan serta sumber daya yang dimiliki oleh sebuah negara, serta mempertimbangkan lingkungan yang mempengaruhi negara tersebut.

Apakah sekedar merumuskan visi dan misi saja telah cukup bagi seorang pemimpin bangsa?? Tentu tidak !! Visi dalam tataran makro saja akan sulit diimplementasikan dalam pengelolaan negara di setiap bidang / aspek yang berbeda-beda. Ada banyak hal yang harus dikelola dalam sebuah organisasi sebesar negara ini.

Sebagaimana halnya dengan pemimpin organisasi lainnya, maka visi dan misi tersebut harus diturunkan / diterjemahkan ke dalam bentuk strategi yang lebih mikro, yang mampu menjelaskan secara lebih detil bagaimana cara-cara yang akan ditempuh untuk dapat mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang pemimpin yang baik tidak cukup hanya mampu memahami konsep namun perlu mengerti bagaimana proses implementasi ataupun eksekusi dari konsep tersebut. Sebuah konsep ataupun rencana sebagus apapun tidak akan berguna bila tidak diikuti oleh proses ekseskusi yang bagus pula. Tak jarang pula terbetik kisah kegagalan seorang pemimpin karena tidak tahu apa yang harus dikerjakannya, dari mana memulainya dan bagaimana melakukannya. Dan untuk itu diperlukan pengetahuan, pengalaman yang mumpuni serta pemahaman akan bidang dan permasalahan yang akan dihadapi.

Untuk itulah seorang pemimpin negara setidaknya harus dapat memahami aspek makro dan mikro agar dapat mengikuti perkembangan dan melakukan pengawasan atas setiap kerja pengelolaan yang dilakukan oleh segenap jajaran kabinet pembantunya. Kemampuan seorang pemimpin negara dalam mengelola dan menyelenggarakan negara akan dapat tercermin dari kemampuannya memahami semua keunggulan, daya saing, kemampuan, potensi, sumber daya sekaligus juga kelemahan dan ancaman terhadap negaranya dan dapat menerjemahkannya ke dalam visi, misi dan rincian strategi dengan cukup baik. Dengan demikian dia mengetahui dengan pasti bagaimana langkah mewujudkan visi dan misi untuk mencapai tujuan yang ditargetkan guna meningkatkan kesejahteraan bangsa.


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Kampanye Hitam – How Far Can U Go ???

Ajang kontestasi pilpres kali ini diwarnai persaingan yang sengit. Kampanye diluncurkan ke ruang publik oleh tim sukses setiap kandidat untuk dapat meraih perhatian publik. Tak terbatas pada kampanye yang menonjolkan aspek positif dari capres dan cawapres, namun kampanye negatif hingga kampanye hitampun marak terjadi.

Kampanye negatif masih dapat dipahami karena tetap didasari oleh fakta. Jenis kampanye ini justru dapat membantu masyarakat pemilih mengenali lebih dalam karakter dan rekam jejak setiap kandidat.
Namun yang tak kalah gencar adalah beredarnya kampanye hitam yang dihembuskan oleh lawan kandidat ke kandidat lainnya. Kampanye ini jelas tidak dapat dibenarkan karena tidak berdasarkan fakta bahkan dapat digolongkan sebagai fitnah.

Sejauh Presiden mendatang mmg Terpilih melalui Cara2 Terhormat, Beradab, Berbudaya dan Berakhlak, maka tidak perlu risau siapapun capres yg terpilih…

Tapi bila cara yang ditempuh melalui bentuk2 kampanye hitam tentu sungguh disayangkan karena masih ada manusia2 - yg semestinya menjadi makhluk paling mulia di muka bumi ini yg dianugerahi dgn akal budi, nalar dan nurani shg dapat membedakannya dari seekor binatang - melakukan tindakan hina spt menebar fitnah, yang bahkan dilakukan oleh manusia2 di Indonesia - yg konon masyarakat yg mengaku beradab, berbudaya dan beragama (entahlah kalau berTuhan) - namun ternyata masih menempuh cara2 yg nista, biadab dan menjijikkan dgn menghalalkan segala hal hanya untuk sebuah kemenangan dan kekuasaan fana – tanpa harga diri.

Adanya penyebaran kampanye hitam ke salah satu kandidat tentu saja akan mencerminkan betapa rendahnya tingkat keimanan dan keyakinan akan adanya Tuhan Sang Maha Penguasa dari pihak yang memperoleh keuntungan atas kampanye hitam tersebut. Bagaimanapun keyakinan seseorang akan kuasa dari Sang Maha Pemilik Kehidupan akan mencegahnya dari perbuatan hina tersebut. 

Tindakan keji serupa fitnah hanya mampu dilakukan oleh mereka yang tidak memahami dan gagal memaknai nilai-nilai keagamaan, sehingga dengan ringan menghalalkan segala cara, tanpa rasa takut akan turunnya laknat dari Sang Maha Pencipta.

Bagi mereka yang meyakini keberadaan Tuhan Sang Maha Agung akan menyadari bahwa segala sesuatu di muka bumi ini berb atas karena Tuhan tidak pernah tidur. Dia yang Maha Mengetahui apa yang terjadi di muka bumi dan semesta alam, bahkan yang tidak diketahui oleh manusia dan yang masih diniatkan sekalipun, yang akan menetapkan batasan sekaligus ganjaran bagi setiap tindakan manusia. 

How far can U go ???


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Kenali Khalayak Anda ! – In Bahasa, Please… :)

Mengamati debat capres-cawapres meninggalkan sebuah catatan tersendiri. Dalam pakem berkomunikasi di depan publik (public speaking) dikenal sebuah motto pamungkas yg wajib dipahami oleh setiap pembicara yaitu Kenali Khalayak Anda !

Debat capres-cawapres tak ubahnya sebagai bentuk presentasi para kandidat calon pemimpin negeri ini di hadapan seluruh rakyat (tentu saja melalui bantuan media siar) yang menjadi penentu. Debat tersebut dapat dianggap sebagai sebuah ajang dimana rakyat sebagai pemegang saham pengendali dan utama di negeri ini akan menilai kandidat manakah yang layak dipilih sebagai pimpinan tertinggi para penyelenggara negara dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Penilaian tentu saja didasari pada visi, misi, tujuan, strategi dan bahkan program yang diajukan setiap kandidat untuk dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali.

Agar pesan-pesan dari sebuah presentasi dapat dipahami oleh khalayak maka sangatlah penting bagi para pembicara untuk lebih dulu mengenali dan memahami profil khalayaknya.

Dalam konteks debat capres-cawapres tentu saja khalayak dari setiap pasangan kandidat adalah seluruh rakyat negeri ini yang akan menjadi penentu, apakah akan memilih mereka atau pesaingnya. Tentu saja rakyat negeri ini semakin cerdas seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi. Namun tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa masih relatif sedikit prosentase rakyat di republik ini yang beruntung dapat mengenyam pendidikan tinggi, apalagi sejak biaya pendidikan tidak lagi mudah terjangkau oleh semua kalangan.

Maka dengan profil demikian, seberapa pentingkah menunjukkan kecanggihan dan ‘kepintaran’ kandidat dengan memakai begitu banyak istilah ilmiah dan kosa kata asing ? Sedangkan efektivitas dari sebuah pesan tentu diukur dari seberapa jelas dan tepatnya penerimaan pesan maupun persepsi yang diterima oleh khalayaknya.

Penggunaan istilah-istilah yang terlalu ‘tinggi’ dan ilmiah, pemilihan kosa kata asing yang terlalu sering hanya akan membingungkan khalayak, yang pada akhirnya membuat pesan yang ingin disampaikan menjadi tidak efektif. Alih-alih ingin terlihat cerdas justru hanya memusingkan sebagian besar khalayaknya.


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Pintar, Keren, Tampan, Populer, Kaya ?? – Belum Cukup !!

Catatan ini hanya dimaksudkan untuk memberi sedikit pemahaman mengenai karakter sesungguhnya yang diperlukan dari seorang pemimpin bangsa. Terlepas dari siapapun nanti kandidat capres-cawapres yang akan terpilih, sejauh telah memenuhi kriteria karakter yang memang dibutuhkan bangsa ini dan terpilih melalui cara-cara yang beradab, berbudaya dan berakhlak, maka diharapkan para pemimpin negeri ini mampu membawa seluruh rakyat – tanpa kecuali – ke arah yang jauh lebih baik. 
Sepanjang masa kampanye pilpres yang baru berlalu, acap kita mendengar mereka yang menjadi tim sukses menggaungkan keunggulan karakter dari jagoannya. Ada yang menyerukan agar memilih kandidat dengan kriteria tampan, adapula yang menekankan pentingnya kekayaan dan tak jarang ketegasan dijadikan sebagai anjuran untuk memilih capres-cawapres. Lalu kriteria manakah yang sesungguhnya teramat penting bagi seorang pemimpin bangsa ?

Kriteria pintar memang perlu. Orang yang pintar, dapat diartikan memiliki bekal pengetahuan yang cukup, setidaknya dalam bidang yang digelutinya. Bukan hanya punya pengetahuan tapi orang sungguh-sungguh pintar seharusnya juga mampu untuk mengaplikasikan pengetahuannya. Tanpa bekal ilmu pengetahuan yang cukup, akan lebih sulit bagi seseorang untuk dapat menyelesaikan pelbagai masalah pelik.

Sudah tentu, ilmu pengetahuan tidak hanya melulu dapat diperoleh dari jenjang pendidikan formal. Bagi seorang Pemimpin maka pengalaman juga sangat diperlukan dalam menunjang kelancaran pelaksanaan tugas dan tanggungjawab yang diemban. Pengalaman akan mengajarkannya cara untuk menemukan solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi secara tepat guna. Tak jarang sulit untuk menentukan teori manakah yang diperoleh di jenjang pendidikan formal yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan di lapangan. Itu sebabnya seorang yang baru saja lulus dari bangku perkuliahan dengan sederet gelarpun tidak langsung diberikan tugas, wewenang, tanggungjawab dan kepercayaan yang besar, bila belum dilengkapi dengan pengalaman yang cukup. Diperlukan sentuhan pengalaman dalam penerapan ilmu pengetahuan yang tepat guna.

Begitupula dengan seorang kandidat Pemimpin Bangsa. Tugas dan tanggungjawab yang akan diembannya nanti tidaklah terbilang ringan. Jauh dari ringan. Permasalahan yang akan dihadapi juga tergolong berat. Tuntutan untuk memperjuangkan nasib rakyat dan masa depan negara akan dipercayakan ke pundaknya tatkala terpilih nanti. Sehingga pengetahuan dan pengalaman mutlak diperlukan oleh seorang Pemimpin negeri.

Terbayangkah bila seseorang tidak mengerti apa yang harus dikerjakannya, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, darimana harus memulainya, bahkan tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi karena ketidakmampuan mengenali dan menganalisa kondisi maupun permasalahan yang terjadi ? Tentu solusi yang diberikan hanya menjadi asal jadi, sekenanya saja, sekedar di permukaan, tidak menyentuh akar permasalahan, sehingga pada akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan yang ada.
Lalu bagaimana dengan kriteria Keren, Tampan, Populer dan Kaya ? Oh, itu hanyalah bonus!!
Tidaklah berdampak fatal bagi kelangsungan sebuah negara bila seorang Pemimpin Bangsa tidak terlalu keren dalam penampilannya. Apalagi sekedar penampilan luar yang dapat dengan mudah dipoles oleh sejumlah perancang ternama yang demikian banyak dimiliki oleh negeri ini dan bahkan sudah tersohor hingga ke penjuru dunia. Kekayaanpun tidak menjadi cerminan karakter dan jaminan bagi ketulusan niat seseorang. Telah banyak contoh nyata disodorkan di hadapan kita, betapa mereka yang telah hidup bergelimang harta, di saat gaji yang diperoleh membumbung tinggi, bahkan kerap tak terbayangkan oleh kebanyakan masyarakat, namun tetap terjerumus ke jurang kenistaan dengan melakukan korupsi yang merupakan bentuk pendzaliman atas hak hidup rakyat negeri ini.

Sebaliknya, acap terdengar betapa seorang jelata dengan taraf kehidupan di bawah garis kemiskinan dengan suka rela mengembalikan temuan uang ratusan juta rupiah. Pemahamannya akan nilai-nilai kegamaan dan keyakinannya akan keberadaan Sang Maha Pemilik Kehidupan dan Semesta Alam telah menuntun nuraninya untuk selalu berlaku jujur.

Musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri !! Kalimat bijak tersebut tidaklah pernah usang digerus zaman. Serakah, tamak, loba adalah sifat yang lazim bersemayam dalam diri setiap manusia, tak peduli seberapapun kaya rayanya.

Bagaimana pula dengan kriteria Kesantunan dan Ketegasan ? Tentu perilaku yang santun akan melengkapi gambaran seorang Pemimpin Bangsa yang ideal. Namun hanya sekedar santun tanpa disertai dengan etika dan ketegasan dalam bertindak hanya menghasilkan keputusan dan kebijakan yang tidak bijak dan tidak tepat guna.

Tanpa dipagari oleh etika, maka kesantunan hanya akan menjadi selubung pemanis, kemasan indah yang terkadang mampu membungkus segala bentuk penghalalan cara untuk memenuhi ambisi tak berbatas. Etika sejatinya akan menjadi pagar yang membatasi setiap langkah yang dijejakkan. Sebatas santun tanpa dilengkapi dengan kebesaran jiwa hanya akan menghasilkan sosok yang sulit berintrospeksi dan berproses pada perbaikan diri. Sedangkan sudah menjadi sifat dasar manusia, tidak pernah luput dari kelemahan dan kealpaan. Ketegasan sikap juga diperlukan oleh seorang Pemimpin, karena sejatinya Pemimpin adalah garda terdepan yang akan mengarahkan seluruh barisan penyelenggaran negara dalam sebuah kolaborasi yang solid untuk mengolah segala sumber daya yang dimiliki negeri ini bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sikap tegas tidak berarti tanpa kesantunan. Demikian pula sebaliknya. Sebuah ketegasan sikap haruslah disertai dengan jiwa humanisme yang terpancar dalam setiap laku, langkah, tindak dan ucapannya. Sehingga etika, ketegasan dan kebesaran jiwa sejatinya harus menjadi elemen yang membingkai sebuah kesantunan.
Namun, pada akhirnya semua kriteria itu tidak akan memberi arti bagi perjalanan sebuah bangsa bila sang Kandidat Pemimpin tidak memiliki kepekaan dan keberpihakan terhadap nasib dan masa depan bangsanya.

Dapatkah terbayangkan bila hanya sekedar mengandalkan pengetahuan yang dipelajari sepanjang jenjang gelar demi gelar akademisnya, sang Pemimpin Bangsa menerapkan teori, mazhab ataupun fatsun yang tidak sesuai dengan kondisi maupun kebutuhan bangsa dan negaranya? Terpikirkah oleh kita bila sangat mengutamakan penampilan dan mengejar popularitas lalu sang Pemimpin Bangsa lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk pelbagai kegiatan memoles citra dibandingkan memikirkan bagaimana caranya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat? Terlintaskah di benak kita betapa seseorang yang selalu menjaga sikap santun dalam setiap penampilannya di muka umum ternyata tidak mampu bereaksi saat lingkungan terdekatnya melakukan pelbagai tindakan dan melontarkan beragam pernyataan yang tidak patut, diluar batas-batas etika, yang bahkan melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat ? Atau terbayangkah bila seorang pimpinan hanya mengandalkan ketegasan dalam berucap dan bertindak, tanpa dipagari oleh etika berperilaku yang beradab ?

Kesantunan memang diperlukan oleh seseorang untuk dapat diterima oleh lingkungannya. Sebagai seorang pemimpin tentu kesantunan akan mempermudah dirinya diterima di lingkup internasional. Namun, kesantunan hanyalah kemasan. Ketegasan juga dibutuhkan oleh seorang pemimpin agar dapat mengambil sikap dan arah yang jelas dalam setiap keputusan. Tetapi, ketegasan tanpa etika dan empati hanya akan melahirkan sikap otoriterisme.

Maka sesungguhnya kualitas diri, karakter, kematangan jiwa dan komitmen atas keberpihakannya pada kepentingan rakyat, akan lebih menentukan sikap dan arah yang diambil oleh seorang Pemimpin Bangsa.
Segala sesuatu ditentukan dan berawal dari Niat. Kata-kata bijak itu sangat tepat menggambarkan betapa pentingnya kriteria kepekaan dan keberpihakan kepada rakyat bagi seorang Pemimpin Bangsa. Karena niat seseorang akan sangat menentukan motivasinya dalam bertindak dan mengambil keputusan.

Maka kepekaan dan keberpihakan haruslah menjadi landasan niat saat seseorang memutuskan untuk mengajukan diri sebagai kandidat Pemimpin Bangsa. Niat untuk selalu peka dan berpihak pada kepentingan rakyatnya. Hendak dibawa kemanakah bangsa dan rakyat ini bila terpilih sebagai Pemimpin? Dasar apakah yang akan dipakainya dalam setiap pengambilan keputusan saat memimpin nanti? Untuk kepentingan siapakah kebijakan yang diambil akan ditujukan? Semua diawali dengan niat sang Pemimpin Bangsa.

Kepekaan dan keberpihakan kepada rakyat sejatinya merupakan serangkai kriteria yang tidak boleh dipisahkan. Kepekaan tanpa disertai keberpihakan juga hanya akan menjadi percuma. Kepekaan hanyalah sebuah kesadaran. Sedangkan keberpihakan adalah wujud nyata dari tindakan. Keberpihakan menunjukkan kesediaan seorang Pemimpin Negara untuk mengabdi dan berbakti hanya untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyatnya semata.

Seorang Pemimpin mungkin peka bahwa negara yang dipimpinnya ini memiliki kekayaan alam yang demikian berlimpah ruah. Namun tanpa keinginan untuk berpihak kepada kepentingan rakyat, maka bisa saja sang Pemimpin mengambil kebijakan yang tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sehingga hanya menjadikan setiap asset negara layaknya sebuah komoditas dan bisnis semata, tanpa memikirkan bagaimana hasil dari pengelolaan asset negara tersebut dapat berpulang dalam bentuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Seorang Pemimpin dapat saja menyadari sumber daya manusia yang begitu banyak di negerinya. Namun tanpa keberpihakan untuk memajukan kualitas diri rakyatnya maka sang Pemimpin tidak terpikirkan dan tidak menempuh upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.

Jelaslah sudah bahwa kepekaan dan keberpihakan kepada rakyat menjadi kunci kriteria utama yang wajib dimiliki oleh seorang Pemimpin Bangsa. Didasari oleh kepekaan dan keberpihakan maka setiap langkah yang ditempuh dan program yang dicanangkan akan berujung pada pemenuhan kebutuhan rakyat. Dengan kepekaan dan keberpihakan kepada nasib dan masa depan bangsa dan rakyatnya maka setiap keputusan dan kebijakan yang diambil semata-mata hanya demi peningkatan sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.
Berpegang pada kepekaan dan keberpihakan pada rakyat, seorang pemimpin akan memilki jiwa ksatria.

Dengan selalu berlandaskan pada kepekaan dan keberpihakan maka seorang Pemimpin pada akhirnya akan mampu tampil menjadi seorang Ksatria Sejati yang selalu membela kepentingan bangsa dan negaranya.
Itu sebabnya karakter yang kuat sekaligus kewibawaan dalam diri seorang Pemimpin negara yang diawali dengan niat yang tulus untuk selalu berpihak pada kepentingan rakyatnya merupakan syarat mutlak berhasilnya seorang Pemimpin sejati. Kemampuan untuk memberi teladan, memimpin pasukannya dan meluruskan setiap penyimpangan yang bertendensi merugikan rakyatnya, tanpa pandang bulu, mutlak ada dalam jiwa sang Pemimpin.

Kenali karakter setiap kandidat calon Pemimpin bangsa adalah menjadi hal yang teramat penting, karena karakterlah yang menentukan cara seseorang dalam mengolah pikir dan rasa, untuk berlaku, bertindak, berucap dan bahkan yang mendasari setiap pengambilan keputusannya. Rekam jejak menjadi salah satu cara untuk dapat memahami karakter seseorang. Sejatinya manusia tidak akan mampu memoles terus-menerus secara konsisten perilaku, tindakan dan ucapan yang berlawanan dengan karakternya. Oleh karena itu cermati rekam jejak setiap kandidat dalam rentang waktu yang cukup panjang, agar dapat diperoleh gambaran yang lebih tepat mengenai karakter yang sesungguhnya.

Nasib bangsa dan negara ini terletak pada pundak seluruh rakyat negeri ini. Adalah tugas dan tanggungjawab seluruh rakyat untuk memilih pemimpin dengan karakter yang tepat.

Pemimpin Bangsa dengan kriteria seperti apakah yang kita butuhkan saat ini ??


7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Spiral Keheningan - Senyap yang Mencekam dan Membungkam


Sebuah keheningan di masyarakat ataupun sebuah komunitas dapat terbangun dan dibangun oleh kondisi dan situasi tertentu. Seringkali keheningan itu menciptakan suasana yang mencekam sehingga membungkam setiap perbedaan pendapat yang ada di tengah masyarakat. 

Keheningan itu tidak jarang diciptakan melalui pembentukan opini publik sesuai pendapat segolongan kelompok yang berkuasa ataupun masyarakat mayoritas, melalui dukungan peran media, yang kemudian terasa berputar mengelilingi kehidupan masyarakat secara luas dan membuat mereka yang berbeda pendapat memiliki rasa takut untuk menyuarakan perbedaannya. Kondisi inilah yang membuat keheningan seakan bagaikan spiral yang mengungkung dan memagar, bahkan tak jarang menyerupai sebuah pusaran spiral tornado yang menggulung habis, mematikan kebebasan bersuara masyarakat.

Kondisi keheningan yang membungkam perbedaan pendapat ini sejatinya dapat terbentuk pada lingkungan masyarakat yang sudah memiliki cukup akses yang baik kepada media dengan sistim demokrasi yang sudah mulai terbangun. Sehingga keengganan sekelompok masyrakat untuk berbeda pendapat dengan opini publik yang berkembang lebih disebabkan oleh ketakutan akan dikucilkan atau diisolir oleh lingkungannya.

Tidak jarang pula suasana keheningan ini dikondisikan atau dikonstruksikan oleh para penguasa dengan menggunakan media untuk membangun opini publik sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa. Keheningan semacam ini sesungguhnya bukanlah dampak keheningan yang terjadi sebagaimana teori spiral keheningan hasil penelitian Elisabeth Noelle-Neumann. Namun keheningan yang tercipta dalam bentuk keterbungkaman masyarakat akan opini yang berbeda sebagai akibat dari rasa takut yang mencekam ini telah menghasilkan dampak yang sama. Kondisi yang dikonstruksikan oleh pihak penguasa telah melahirkan suasana keheningan yang mencekam dan membungkam setiap perbedaan pendapat. Walaupun bungkamnya kelompok masyarakat akan pendapat yang tidak sama dengan opini yang dibangun penguasa bukan disebabkan oleh rasa takut akan ancaman isolasi dari lingkungan masyarakatnya, tetapi lebih karena rasa takut yang mendalam akan ancaman dan tindakan represif dari pihak yang berkuasa. 

Kondisi keterbungkaman masyarakat pada era orde baru (Orba) dapat terlihat pada sejumlah kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembreidelan beberapa media massa yang menyuarakan pendapat berbeda dari penguasa. Tidak munculnya perbedaan pendapat ke permukaan lapisan masyarakat pada saat itu lebih disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan kondisi atas suatu peristiwa yang sesungguhnya terjadi, yang merupakan dampak dari dibatasinya kebebasan media maupun akses masyarakat kepada media, baik sebagai konsumen informasi maupun bagian dari produsen (narasumber) berita. Keheningan yang mencekam masyarakat dan membuat mereka tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda pada saat itu juga disebabkan oleh adanya ketakutan terhadap ancaman keselamatan jiwa dari sistim yang dibangun oleh penguasa.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana spiral keheningan ini dapat terbentuk dan dibentuk, peran serta media dalam pembentukannya serta dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat di sebuah negara terhadap sistim kontrol pihak yang berkuasa maupun kelompok masyarakat mayoritas. Sekaligus memberikan gambaran bagaimana sebuah kondisi dapat dikonstruksikan untuk menciptakan keheningan yang mencekam dan membungkam masyarakat untuk tidak berani berbeda pendapat.


Landasan Berpikir dan Pengaruh Media pada Spiral Keheningan 

Teori spiral keheningan yang awalnya lahir dari penelitian Elisabeth Noelle-Neumann ini membahas adanya interaksi antara beberapa elemen yaitu media massa, komunikasi antar pribadi, hubungan sosial, pernyataan pendapat individual serta adanya persepsi dimana seseorang memiliki iklim opini yang terbentuk dari opini masyarakat. Menurutnya opini seseorang mengenai sebuah peristiwa dapat berubah dari waktu ke waktu karena opini bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Dan media berperan dalam perubahan opini pada diri seseorang. Dengan teori ini dijelaskan bahwa orang yang yakin mempunyai sudut pandang yang minoritas atau berbeda dengan sudut pandang mayoritas masyarakat mengenai sebuah isu publik cenderung tidak bersedia menyuarakan opininya dan merasa komunikasi mereka akan dibatasi. Sedangkan mereka yang yakin memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih berani menyatakan opininya.

Media yang lebih berfokus pada pandangan publik yang dominan membuat orang-orang dengan pandangan berbeda akan menjadi tidak asertif dalam mengomunikasikan opini mereka. Hal ini yang menyebabkan pandangan dominan akan lebih disuarakan oleh media dengan memberi ruang bagi opini maupun kegiatan dari kelompok bersudut pandang mayoritas. 

Penyuaraan sudut pandang mayoritas (dominan) oleh media membuat kelompok masyarakat yang memiliki sudut pandang tersebut memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk mengemukakan pendapat mereka. Bahkan seringkali pandangan tersebut disuarakan pula melalui mimbar-mimbar dan penggunaan atribut pendukung seperti pemasangan spanduk, stiker, emblem dan lain sebagainya, baik di lingkungan mereka maupun di kendaraan-kendaraan. Adapun kelompok yang memegang pandangan berbeda akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat mereka bahkan cenderung menjadi diam dan tidak bersedia mengutarakan pendapatnya karena perasaan takut akan diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya.

Dalam teorinya Noelle-Neumann berpendapat terdapat 3 makna publik. Pertama adalah publik mengandung arti keterbukaan bagi semua orang seperti dalam pengertian tanah publik, ranah publik ataupun wilayah publik. Kedua, kata publik berkaitan dengan konsep yang berhubungan dengan isu-isu di tengah banyak orang atau masyarakat. Dan terakhir, publik mewakili sisi psikologis dalam diri manusia dimana orang tidak hanya berpikir ke dalam dirinya saja tapi juga memikirkan hubungannya dengan orang-orang lain di sekitarnya.

Dengan demikian seseorang dapat merasa apakah pandangannya membuat dirinya akan terlindungi atau disorot oleh tatapan masyarakat. Orang akan merespon kesadarannya ini dengan menyesuaikan diri terhadap pandangan dan tatapan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, teori ini mengatakan bahwa opini publik adalah sikap atau perilaku yang harus diekspresikan seseorang di depan publik agar dapat diterima oleh masyarakat, tanpa risiko dikucilkan atau diisolasi dari lingkungannya. 

Dapat dikatakan bahwa opini publik mengacu pada sentimen kolektif dari sebuah populasi terhadap sebuah isu ataupun subyek tertentu, yang merupakan suatu proses sosial. Dan media berperan mengangkat serta menonjolkan subyek atau isu apa yang menarik bagi masyarakat yang akan berlaku sebagai pandangan umum. 

Pandangan dominan (mayoritas) yang diangkat dan ditonjolkan oleh media semakin menguat dan berkembang menjadi opini publik sedangkan pandangan yang berbeda menjadi semakin bungkam dan kelompok minoritas ini semakin tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga terbentuklah spiral keheningan. 

Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori spiral keheningan ini yaitu :
  • · Masyarakat menekan dan mengancam individu yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan publik melalui tindakan pengisolasian.
  • · Individu dapat merasa sangat khawatir dan takut akan ancaman isolasi masyarakat, yang dilakukan secara intensif (terus menerus).
  • · Rasa cemas akan terisolasi dari lingkungan masyarakatnya membuat setiap individu selalu mencoba untuk menilai iklim opini yang berkembang di masyarakat.
  • · Perilaku individu di publik, khususnya mengenai kesediaannya untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka atau tidak, akan dipengaruhi oleh penilaiannya terhadap opini publik.

Dengan adanya pengaruh media yang menyuarakan pandangan dominan yang berkembang pada mayoritas publik seakan mengarahkan banyak individu untuk menyesuaikan perilaku dan pandangannya pada opini yang diangkat oleh media. Dalam hal ini media memberi dukungan pada spiral keheningan karena media dianggap sebagai sebuah wadah komunikasi publik. Dengan demikian kesediaan orang untuk mengemukakan pendapat tergantung dengan opini yang disuarakan oleh media. Tanpa dukungan dari orang lain yang memiliki pengaruh bagi pandangan yang berbeda dengan opini publik maka orang akan tetap bersikap konsonan atau sejalan dengan pandangan yang ditawarkan oleh media. 

Umumnya televisi merupakan media yang dianggap paling berpengaruh dalam mengangkat dan menyuarakan opini publik, walaupun media cetak dan kini media baru (internet) juga dianggap memiliki peran cukup penting. Melalui pemberitaan media yang luas namun acap tidak berimbang karena hanya mewakili opini mayoritas yang mendominasi, maka publik diberi pandangan mengenai realitas yang terbatas. Pendekatan yang terbatas dalam pemberitaan sebuah isu ini terkadang mempersempit persepsi dan pandangan seseorang. 

Dengan tiga karakteristik khasnya yaitu ubikuitas, kekumulatifan dan konsonansi, media telah mempengaruhi pandangan setiap individu dalam masyarakat. Ubikuitas mengacu pada kenyataan bahwa media merupakan sumber informasi yang memiliki kekuatan dan kuasa. Individu akan menilai opini yang berkembang melalui pemberitaan yang muncul di media. Setiap orang akan berusaha menyesuaikan pandangannya dan mengukur iklim opini melalui opini yang diangkat oleh media. Kekumulatifan merupakan karakter yang menunjukkan bahwa media dalam proses pengangkatan berita kerap melakukan pengulangan-pengulangan di setiap program dan setiap waktu, sehingga terjadi pengaruh resiprokal dalam membentuk kerangka referensi masyarakat yang berkembang menjadi opini publik. Dan karakter konsonansi berhubungan dengan kesamaan keyakinan, sikap dan nilai yang dipegang oleh media. Konsonansi ini dilahirkan dari tendensi media untuk menginformasikan sebuah opini yang dianggap dominan. Ketiga karakter ini memberi ruang sangat besar bagi pandangan mayoritas untuk tersebar luas, memiliki pengaruh dan didengarkan, sehingga mereka yang merasa memiliki pandangan berbeda tidak bersedia mengekspresikan pandangannya dan tetap bungkam. 

Informasi yang seringkali disaring oleh media membuat isu dan pandangan yang ditampilkan dan dipersepsikan mungkin saja merupakan gambaran realitas yang tidak sepenuhnya akurat. Jika media cukup sering mengangkat sebuah isu dan pandangan melalui berita-beritanya maka hal ini dapat saja dikatakan bahwa media sedang melakukan agenda berita, mengidentifikasi dan menonjolkan apa yang harus diperhatikan dan menentukan apa yang semestinya berjalan di masyarakat. 

Dengan demikian orang mendapatkan iklim opini publik melalui media massa. Dan kekuatan maupun pengaruh media massa dalam menyuarakan opini publik mempengaruhi pergeseran pandangan seseorang serta terbungkamnya pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas. Ketika orang melihat pada media untuk mendapatkan gambaran dan persepsi dari populasi, maka terdapat kecenderungan untuk menerima apa yang direpresentasikan oleh persepsi tersebut. Dan seringkali terjadi iklim ganda dari opini yaitu iklim yang dipersepsikan secara langsung oleh mayoritas populasi dan iklim dari liputan media, dimana iklim ganda ini akan semakin membungkam mereka yang merasa berpandangan berbeda (minoritas).

Namun tidak selamanya kaum minoritas selalu terbungkam. Adakalanya mereka bangkit. Kelompok minoritas yang mencoba bangkit dan mendobrak pandangan mayoritas ini disebut sebagai hardcore yang tetap berusaha menyuarakan pandangan mereka tanpa memedulikan sanksi sosial berupa ancaman terisolasi dari masyarakat luas. Para hardcore ini menyadari bahwa ada risiko dari tindakan mereka namun tetap berpegang teguh pada keyakinan dan pandangan mereka. Peran para hardcore menjadi penting dalam mengubah opini publik yang mendominasi masyarakat. 

Faktor yang Turut Menentukan

Teori ini bermula dari pengujian dengan kondisi sebuah masyarakat di negara maju dimana tingkat pendidikan sudah cukup tinggi dan akses masyarakat kepada saluran media sudah sangat baik. Pada awalnya Noelle-Neumann mengembangkan teori ini di Jerman untuk menjelaskan opini publik yang berkembang saat berlangsung pemilihan umum di negara maju tersebut. 

Berdasarkan penelitian Noelle-Neumann, teori ini berjalan dalam kondisi masyarakat yang berpendidikan, memiliki akses kepada media dengan iklim demokrasi yang sudah baik. Seberapa besar nilai atau moral yang terkandung dalam sebuah isu juga turut mempengaruhi berjalannya teori spiral keheningan. Tingginya nilai atau moral dari sebuah isu akan lebih membuat orang tidak bersedia mengekspresikan pendapat yang berbeda karena rasa malu dan khawatir diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya. 

Pada negara-negara dengan kondisi alam demokrasi yang sedang berkembang terdapat pula beberapa karakteristik atau faktor lain yang turut mempengaruhinya yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah isu, kedekatan masyarakat dengan sebuah isu (seperti pada isu yang dekat dengan kehidupan keseharian masyarakat) serta tingkat akurasi seseorang dalam memprediksi opini publik yang akan berkembang dan mendominasi, sebagaimana penelitian lebih mendalam oleh Eriyanto terhadap teori ini.

Kondisi demokasi yang sudah berjalan baik membuat kebebasan berpendapat dan beropini di masyarakat maupun kebebasan pers (media) juga berjalan baik. Negara-negara maju dengan iklim demokrasi yang baik memberi ruang dan kesempatan kepada masyarakat maupun media untuk mengangkat isu-isu melalui penyuaraan aspirasi masyarakat serta peliputan dan pemberitaan media tanpa adanya tekanan dari penguasa negara. Iklim ini membuat masyarakat dapat lebih bebas mengutarakan pendapatnya dan media dapat berperan lebih aktif dalam mengangkat isu-isu yang dianggap penting di masyarakat. 

Pendidikan masyarakat yang cukup tinggi serta akses masyarakat ke saluran-saluran media mempengaruhi proses pembentukan opini publik. Tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi juga membuat setiap individu mampu untuk melakukan penilaian terhadap opini publik yang berkembang dan dikembangkan oleh media melalui sejumlah pemberitaan-pemberitaan yang diangkat dan ditonjolkan oleh media. Melalui indra kuasi statistik (quasi statistical sense) setiap orang mampu untuk mengevaluasi opini publik dan memperkirakan kekuatan-kekuatan pandangan yang berkembangan dalam masyarakat. Walaupun terkadang terdapat ketidaksadaran pluralistik, pada dasarnya setiap individu mampu melakukan penilaian atau evaluasi ini melalui berita-berita yang mereka ikuti dan menggabungkannya dengan pandangan mereka sendiri menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Akan tetapi berdasarkan penelitian Eriyanto, faktor ketidaksadaran pluralistik (pluralistic ignorance) yang menyebabkan kesalahan individu dalam memprediksi opini publik memberi pengaruh yang besar pada masyarakat di negara dengan iklim demokrasi yang sedang berkembang.
Akses masyarakat terhadap saluran-saluran berita membuat paparan atau terpaan berita maupun informasi media menjadi sangat tinggi kepada setiap individu dalam populasi yang sudah maju. Hal ini membantu setiap individu mendapatkan berita dan informasi mengenai opini publik yang berkembang di masyarakat. Adanya akses masyarakat kepada media juga berperan memberi ruang yang sangat besar kepada pendapat dan pandangan kelompok mayoritas untuk lebih menyuarakan opininya melalui media. Di sisi lain juga membuat media lebih dapat merekam apa yang menjadi pandangan mayoritas di masyarakat dan mengangkatnya menjadi sebuah opini publik. Dimana opini publik melalui pemberitaan di media ini kemudian menjadi alat bagi individu untuk mengukur iklim opini yang berkembang.


Konstruksi Keheningan Sistemik yang Mencengkam dan Membungkam

Bila mengacu pada teori spiral keheningan yang dilahirkan berdasarkan penelitian Elisabeth Noelle-Neumann, maka kegagalan penerapan teori ini disebabkan oleh tidak adanya demokrasi, kurangnya pendidikan dan pemahaman masyarakat maupun kebebasan dan akses media yang dibatasi. Kondisi ini membuat sebagian kelompok masyarakat tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda lebih karena ketidaktahuannya akan situasi yang sesungguhnya terjadi dan kurangnya informasi mengenai sebuah permasalahan yang menyebabkan rasa takut akan dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya yang lebih luas. Sehingga terciptalah keheningan sebagai akibat dari bungkamnya masyarakat yang tidak memiliki keberanian untuk berbeda pendapat. 

Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kondisi keheningan melalui pembungkaman masyarakat pada pendapat yang bertentangan dengan opini penguasa juga kerap dikonstruksikan oleh pihak yang berkuasa. Kondisi ini jelas terlihat dalam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama rezim Orde Baru di Indonesia. Beberapa peristiwa Pelanggaran HAM seperti Tanjung Priok, Petrus, Penyerangan Kantor Pusat PDI di Jakarta, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi 1 dan 2 oleh kalangan militer di bawah rezim yang berkuasa saat itu merupakan sebagian contoh pengonstruksian kondisi keheningan yang membungkam masyarakat. Iklim demokrasi di Indonesia pada masa itu belum berkembang baik, dimana rezim Order Baru memakai istilah demokrasi terpimpin, yang oleh sebagian pengamat bahkan tetap digolongkan ke dalam iklim otoritarian.

Ketidakbersediaan seseorang untuk mengutarakan pandangan yang bertentangan dengan opini yang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa lebih disebabkan oleh risiko bahaya yang mengancam keselamatan pribadi sebagai akibat dari tidak berjalannya iklim demokrasi, tidak adanya kebebasan berpendapat serta tekanan dari penguasa negara daripada sekedar rasa malu akan diisolasi oleh lingkungan. Apalagi mayoritas opini dimunculkan dan didominasi oleh kekuatan penguasa negara yang juga memiliki kekuatan dan kekuasan terhadap pemberitaan di media-media massa. Sehingga pemberitaan atas isu-isu yang diangkat oleh media-media massa pada saat itu dapat dikatakan seragam dengan opini dominan dari pihak penguasa negara. 

Kenyataan para hardcore (penyuara pendapat berbeda dari kalangan minoritas) yang selalu mendapat tekanan bahkan ancaman dari penguasa negara, dimana sebagian dari mereka diculik dan tidak jelas nasibnya hingga kini seperti kasus penyair Wiji Tukul (yang kerap mengritisi sikap dan kebijakan pemerintah melalui pusi-pusinya) maupun peristiwa yang menimpa Munir (aktivis Hak Asasi Manusia), telah menimbulkan rasa kekhawatiran lebih besar pada mereka yang memiliki pandangan berbeda dengan opini mayoritas. Hal ini membuat kian tidak munculnya pendapat yang berbeda dengan pandangan penguasa pada masa itu.

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah isu yang berkembang serta minimnya akses media dari masyarakat maupun ke masyarakat, disamping iklim demokratisasi yang tidak berkembang membuat teori ini juga tidak berjalan. Pemberontakan gerakan 30 September yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI dapat menggambarkan kondisi tidak munculnya pendapat yang berbeda dengan pendapat dominan kala itu sebagai akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan isu maupun latar belakang permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Tidak adanya akses media yang berpendapat bebas ke masyarakat, tekanan penguasa negara kepada media, membuat kurangnya paparan maupun terpaan berita dari media mengenai sisi kebenaran akan peristiwa tersebut kepada masyarakat. Proses isolasi terhadap mereka yang dicap sebagai antek PKI diberikan oleh penguasa negara lebih untuk tujuan politik rezim berkuasa.

Iklim dan kondisi yang dikonstruksikan oleh penguasa ini telah menciptakan keheningan yang mencekam masyarakat luas sehingga membuat masyarakat tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda dengan opini yang dibangun oleh pihak berkuasa. Keterbungkaman masyarakat lebih disebabkan oleh rasa takut akan keselamatan jiwa mereka di bawah berbagai bentuk ancaman, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari rezim yang berkuasa. Fakta ‘hilangnya’ para hardcore atau mereka yang menyuarakan perbedaan pendapat kian membangun suasana mencekam di tengah masyarakat.
Kontrol pihak penguasa terhadap kebebasan isi berita media serta fakta adanya pembreidelan terhadap media-media yang mengangkat opini berbeda dengan keinginan pemerintah telah memperkokoh konstruksi sistim yang kian membangun keheningan yang semakin dalam. Ketiadaan opini yang mampu mengimbangi opini yang dibentuk oleh penguasa serta minimnya informasi mengenai kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi di masa itu juga menjadi faktor yang telah membuat masyarakat tidak dapat mengeluarkan pendapat berbeda karena ketidaktahuan akan situasi yang berkembang. 


Berjalannya Teori Spiral Keheningan di era Demokratisasi

Perkembangan iklim demokratisasi di Indonesia dewasa ini memang telah mendorong kebebasan masyarakat untuk berpendapat dalam arti sesungguhnya, yaitu kebebasan untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka tanpa rasa khawatir akan tekanan pemerintah. Kebebasan pers (media) juga telah semakin membaik. Kebebasan yang dilahirkan oleh iklim demokrasi ini membuat media mampu secara aktif dan bebas menjalankan perannya dalam menyoroti dan memberitakan pandangan mayoritas masyarakat akan setiap isu yang berkembang. Iklim inilah yang membuat teori spiral keheningan sebagaimana yang dihasilkan oleh penelitian Elisabeth Noelle-Neumann terlihat berjalan dalam lingkungan masyarakat. Dimana keengganan sekelompok masyarakat untuk mengeluarkan pendapat yang berbeda disebabkan karena rasa khawatir akan diisolasi dari lingkungan masyarakatnya.

Namun kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas masih berpendidikan relatif rendah serta kondisi belum terhubungnya seluruh masyarakat dengan akses ke berbagai media yang sama besarnya menjadi faktor tersendiri yang mempengaruhi berjalannya penerapan teori spiral keheningan ini.

Kasus Ahmadiyah di berbagai wilayah menjadi contoh paling tepat dari pembuktian (penerapan) teori spiral keheningan ini. Nilai muatan (moral) dalam kasus ini tergolong sangat tinggi karena menyangkut nilai akan sebuah keyakinan. Sehingga ketidaksesuaian dengan nilai keyakinan mayoritas akan menimbulkan rasa malu. Demikian pula halnya dengan kasus Syiah yang terjadi di Sampang – Madura.

Pendapat dominan dan pandangan mayoritas masyarakat dalam kasus ini mengganggap bahwa aliran Ahmadiyah dan Syiah sebagai aliran yang sesat, menyimpang dari nilai-nilai keyakinan sehingga harus dibubarkan atau dipindahkan (diusir) dari wilayah asalnya. Penolakan kuat terhadap pendapat yang berbeda membuat pandangan mayoritas mengenai kesesatan aliran-aliran ini dengan dukungan peran media berkembang menjadi opini publik.

Pada mulanya memang terdapat pandangan yang berbeda dari segelintir orang yang mengatakan bahwa aliran tersebut tidaklah sesat dan tidak perlu dibubarkan ataupun diusir dari wilayah kelahiran mereka. Namun peristiwa yang menyangkut nilai-nilai keyakinan dan moral ini membuat orang-orang dengan pendapat minoritas khawatir untuk menyuarakan pendapatnya karena rasa malu dianggap sesat atau menyimpang dari nilai-nilai keyakinan yang semestinya, sehingga memunculkan rasa takut (khawatir) akan dikucilkan ataupun mendapat penolakan keras dari mayoritas masyarakatnya yang dapat mengakibatkan pengusiran dari tempat tinggalnya. 

Hal ini membuat kelompok dengan pendapat minoritas cenderung untuk diam, tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga opini yang berseberangan menjadi semakin tidak terdengar dan akhirnya opini yang dominanlah yang semakin menguat di masyarakat. Pada kenyataannya terlihat kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki opini dominan semakin berani untuk mengekspresikan pendapatnya, melalui mimbar-mimbar diskusi, media maupun melalui tindakan yang mencoba mengusik, mengucilkan dan bahkan mengusir para pengikut kelompok minoritas, baik dalam kasus Ahmadiyah di berbagai wilayah maupun Syiah di Sampang – Madura.
Peristiwa meledaknya sejumlah besar tabung gas elpiji berbobot 3 kg di saat proses transisi penggunaan gas elpiji sebagai pengganti minyak tanah yang sempat menelan korban jiwa juga dapat menggambarkan berjalannya teori spiral keheningan. Pada kasus dengan isu yang memiliki tingkat kedekatan cukup tinggi dengan kehidupan keseharian masyarakat membuat timbulnya kesediaan orang untuk mengutarakan pendapatnya yang berproses menjadi pembentukan opini publik. Rasa malu karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan dan kehidupan rakyat kecil menerpa mereka yang memiliki pandangan berbeda. Sehingga mereka yang berpandangan berseberangan, khususnya di wilayah padat penduduk dimana mayoritas masyarakatnya telah membentuk opini tertentu, menjadi tidak berani untuk menyuarakan perbedaan pendapatnya karena rasa takut dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya.

Gerakan koin Prita menjadi salah satu contoh dimana masyarakat berhasil menyuarakan pandangan dan pendapat mereka melawan pihak pemilik rumah sakit (pengusaha). Pendapat masyarakat yang berangkat dari jejaring sosial di media baru ini dengan dukungan peran media konvensional kemudian berkembang menjadi opini publik yang berhasil meraih simpati dan menggalang dukungan masyarakat luas. 

Dalam kasus ini berkembangnya opini publik diawali oleh rasa kedekatan publik terhadap kasus yang menimpa individu yang dianggap mewakili masyarakat perorangan tanpa kekuasan dan kekuatan. Disamping itu terdapat nilai atau moral dengan kadar cukup sedang dalam peristiwa ini.
Namun pada kasus ini, ketidakbersediaan segelintir orang untuk mengungkapkan opini yang berbeda lebih disebabkan oleh sekedar keengganan dianggap sebagai orang yang tidak berpihak dan tidak berempati pada warga biasa dan bukan karena rasa takut akan terisolasi dari lingkungannya. 

Berkembangnya pemberitaan kasus Cicak dan Buaya, yang diangkat sebagai sebuah proses kriminalisasi oleh ketua Kabareskrim Susno Duadji dari Polri terhadap Bibit dan Chandra selaku ketua Komite Pemberantasan Korupsi kala itu, tidak membuktikan penerapan teori spiral keheningan. Kesediaan ataupun keengganan seseorang untuk mengemukakan pendapatnya dalam kasus ini lebih disebabkan oleh ada atau tidaknya pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik (seperti pengetahuan dan kesadaran akan politik dan hukum) tentang isu ini, dan bukan karena rasa takut akan diisolasi oleh lingkungannya. Kebutuhan akan adanya pengetahuan yang cukup luas untuk dapat memahami isu yang terjadi membuat terdapat kesukaran untuk menentukan (membaca) opini yang dominan di masyarakat. Hal ini disebabkan setiap orang dapat memberikan pendapat berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya sehingga terdapat porsi yang relatif berimbang antara pendapat yang pro maupun kontra terhadap status Bibit dan Chandra saat itu. 

Terlihat bahwa gema akan dominasi kasus ini lebih bersifat elitis di perkotaan. Hal ini menyebabkan suasana keheningan yang mampu membungkam pendapat yang berbeda di lingkungan masyarakat menjadi tidak terbentuk dengan sempurna.


Dampak Keheningan pada Keterbungkaman Masyarakat

Kondisi keheningan, baik yang terjadi sesuai teori spiral keheningan maupun sebagai hasil dari sebuah konstruksi keadaan, memberi dampak keterbungkaman kelompok masyarakat yang enggan untuk memberikan pendapat yang berbeda dari opini yang telah terbangun. Hal ini membuat opini yang berkembang adalah opini publik yang memang diterima oleh mayoritas masyarakat ataupun pihak penguasa.
Pada kondisi dimana demokratisasi telah berjalan dengan baik dan akses masyarakat ke media telah terbangun dengan tingkat pengetahuan yang memadai maka keheningan yang terbentuk suatu saat dapat terdobrak dengan munculnya pemberitaan akan opini yang berbeda yang mampu mengimbangi opini publik yang telah terbentuk. Di sinilah peran media terlihat sangat menentukan pembentukan opini di tengah masyarakat. 

Kasus Syiah di Sampang – Madura, merupakan contoh dimana opini publik yang sempat terbangun mengenai kesesatan aliran ini yang telah sempat terbentuk dan terangkat melalui berbagai pemberitaan media, yang menyebabkan para penganut aliran ini terisolir dari masyarakatnya, bahkan sempat menimbulkan konflik horisontal, pada akhirnya runtuh dengan adanya opini berimbang yang diangkat oleh sebagian media lainnya. Keheningan yang sempat tercipta karena ketakutan mereka yang berbeda untuk menyuarakan pendapatnya, kini telah tersalurkan melalui beberapa media yang berhasil menangkap dan menyuarakannya ke ranah publik. Media telah berperan penting untuk mendengar dan mengangkat opini-opini yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat. 

Tetapi keheningan yang dikonstruksikan secara sistemik sebagai akibat dari paksaan rezim yang berkuasa, tidak berjalannya iklim demokratisasi dan kontrol ketat terhadap kebebasan media justru telah melahirkan keterbungkaman masyarakat yang sangat sulit diterabas. Rasa ketakutan yang disebabkan oleh ancaman terhadap keselamatan jiwa terasa lebih mencekam masyarakat sehingga mampu membuat pihak penguasa membungkam setiap pendapat yang berbeda. Keheningan sistemik semacam ini pada hakikatnya memberikan dampak negatif yang lebih permisif dan masif di tengah-tengah kehidupan masyarakat dari kemungkinan adanya kontrol dan pengawasan dari masyarakat maupun media terhadap pihak yang berkuasa dalam menggunakan wewenangnya dan menjalankan kekuasaannya mengelola negara.

Berbagai kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru telah menjadi contoh bagaimana keheningan yang sistemik sebagai hasil dari kondisi yang dikonstruksikan oleh pemerintah saat itu telah melahirkan keterbungkaman masyarakat secara luas. Kontrol yang ketat terhadap akses pemberitaan media serta rasa takut akan keselamatan jiwa telah menghilangkan ruang akan munculnya pendapat yang berbeda dari opini penguasa.

Iklim demokratisasi, akses kebebasan media serta pendidikan masyarakat memang dapat menghasilkan keheningan sebagai akibat dari keenganan kelompok minoritas untuk bersuara menentang kaum mayoritas hanya karena rasa khawatir akan dikucilkan lingkungannya. Tetapi bagaimanapun kondisi masyarakat yang demokratis serta adanya akses media dan masyarakat lebih mampu untuk mendobrak keheningan yang tercipta yang memungkinkan masyarakat untuk tetap bersuara melalui berbagai saluran media, dibandingkan dengan keterbungkaman masyarakat yang lahir dari pembentukan keheningan secara sistemik oleh ketiadaan alam demokrasi yang sengaja dikonstruksikan pihak penguasa sehingga membuat masyarakat tidak berani bersuara karena rasa takut akan ancaman keselamatan jiwa. 

Akankah kita kembali ke alam represif dengan keheningan sistemik yang dikonstruksikan oleh pihak penguasa tanpa adanya ruang kebebasan untuk berpendapat ?

Ataukah kita tetap mendambakan kebebasan berdemokrasi dengan peluang masyarakat untuk membentuk opini yang berkembang melalui peran dan akses media ?

Pilihan mana yang akan diambil tentu terpulang pada masyarakat sendiri. 

Berlangsungnya kontestasi politik dalam ajang perhelatan pesta demokrasi di negeri ini akan membuktikan kondisi manakah yang akan dipilih oleh masyarakat negeri ini, setidaknya untuk masa 5 tahun mendatang.
Pemilihan pemimpin tertinggi negara yang menjunjung tinggi hak asasi setiap warga negara dalam segala aspek kehidupan serta menjamin akses media dalam menyuarakan opini publik akan sangat menentukan arah kebebasan berpendapat di negeri ini dan fungsi opini masyarakat sebagai pengimbang dan pengawas bagi pemegang kuasa dalam menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya mengelola republik ini. 

Pemimpin negara yang tidak mampu menghargai hak asasi dan hak hidup rakyatnya serta tidak bersedia mendengarkan adanya perbedaan pendapat, hanya akan membangun ‘tembok-tembok tinggi’ yang memenjarakan warganya dalam cengkeraman ketakutan akan keselamatan jiwa yang membungkam setiap suara yang berbeda, memberangus setiap ruang gerak, menciptakan keheningan yang mencekam tanpa batas dan tanpa peluang untuk dapat mendobrak dinding-dinding kesenyapan yang mengungkung.

Jakarta, 28 April 2014

-PriMora Harahap-
(dipersiapkan untuk memenuhi tugas take home test untuk ujian akhir semester mata kuliah Perspektif dan Teori Komunikasi Massa pada Program studi Manajemen Komunikasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan sedikit penyesuaian pada situasi dan kondisi terkini)


Referensi :
-        Denis Mc Quail (2010), “Mass Communication Theory”
-        Robin L Nabi and Mary Beth Oliver, “The SAGE Handbook of Media Process and Effect”
-        Marianne Dainton and Elaine D Zelley, “Applying Communication Theory for the Professional Life”
-        Richard West and Lynn H Turner, “Introducing Communication Theory, Analysis and Application”
-        EM Griffin, “A first look at Communication Theory”
-        Eriyanto, Jurnal Komunikasi Indonesia (April 2012), “Teori Spiral Kesunyian dan Negara Transisi Demokrasi : Sebuah Pengujian di Indonesia”