Kamis, 29 Januari 2009

Negara VS Perusahaan - sebuah Analogi

“Tujuan utama dibentuk dan dikelolanya perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran para pemegang saham’’, demikian salah satu materi yang saya dapatkan saat berkesempatan mengikuti sebuah pelatihan manajemen. Saat itu kemudian terbayangkan oleh saya proses pengelolaan sebuah negara. Walaupun dalam lingkup yang lebih luas dan pada tataran yang lebih tinggi, menurut hemat saya, pengelolaan sebuah negara tak ubahnya dengan pengelolaan sebuah perusahaan, tentu dengan pengertian yang lebih mendalam.

Dalam perusahaan dikenal istilah Dewan Direksi, berisi sekelompok professional yang dikomandoi oleh seorang Presiden Direktur, ditunjuk oleh para pemegang saham untuk mengelola asset perusahaan dan menjalankan roda usaha guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya yang akan dikembalikan kepada para pemegang saham. Maka pada tataran Negara, mari kita ambil contoh republik ini, Presiden sebagai pemimpin tertinggi yang terpilih lewat mekanisme pemilu, bersama dengan seluruh menteri pada jajaran kabinetnya bertugas sebagai pengelola negara. Mereka, sebut saja sebagai Dewan Pengelola Negara, mendapat tugas dan mandat untuk mengelola jalannya negara ini, tak ubahnya seperti Dewan Direksi yang diberi tugas oleh pemegang saham untuk mengelola jalannya usaha.

Sebuah perusahaan yang didukung oleh banyak sumber daya (baik teknologi, keahlian sumber daya manusia, maupun sumber daya alam berupa lahan, perkebunan dsb), jamak untuk membentuk unit-unit usaha yang berkoordinasi di bawah induk perusahaan. Tujuannya adalah agar pengelolaan setiap sumber daya yang dimiliki maupun strategi bisnis yang diterapkan dapat lebih focus pada masing-masing bidang, sehingga dapat mencapai hasil yang terbaik (keuntungan yang maksimal).

Begitupun halnya dengan sebuah Negara yang dikarunia begitu banyak sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pembentukan lini-lini usaha milik negara atau yang acap disebut BUMN (Badan Usaha Milik Negara) di republik ini juga didirikan dengan tujuan yang sama, untuk memaksimalkan daya kelola dan hasil yang dapat dicapai. Dengan kata lain, BUMN dibentuk untuk dapat mengelola asset dan sumber daya milik negara secara professional agar diperoleh hasil semaksimal mungkin.

Pada jenjang perusahaan, umumnya Dewan Direksi dari induk perusahaan duduk sebagai wakil pemegang saham di setiap unit usaha yang berada di bawah lingkup bisnisnya. Dalam cakupan Negara, maka pemerintah sebagai pengelola utama negara kerap duduk di jajaran komisaris sebagai wakil pemegang saham di lini-lini usaha negara (BUMN).

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tujuan utama pengelolaan perusahaan adalah untuk meningkatkan kemakmuran seluruh pemegang saham atau dalam terminology ekonomi – manajemen sering disebut dengan istilah share holder, sebagaimana umumnya tercermin dalam AD/ART yang merupakan landasan konstitusi dari sebuah perusahaan.

Saya tidak ingin menguraikannya dari sudut pandang ekonomi, yang tentunya akan menjadi cukup rumit untuk dijelaskan. Namun dasar berpikir penetapan tujuan utama tersebut sebenarnya sederhana saja. Bila kemakmuran para pemegang saham meningkat, tentu prospek perusahaan tersebut dapat dikatakan cemerlang, memperoleh laba yang cukup dan bahkan dapat bertumbuh atau melakukan ekspansi usaha yang lebih besar. Dengan demikian, maka pertumbuhan dan pendapatan perusahaan tersebut menjadi dasar bagi perbaikan kesejahteraan seluruh karyawan yang terlibat di dalamnya.

Bila kita mencoba menarik ke tataran pengelolaan Negara, maka semestinya pengelolaan asset-asset Negara, berikut seluruh sumber daya yang dimilikinya juga memiliki tujuan utama untuk meningkatkan sepenuh-penuhnya kemakmuran para pemegang saham Negara tersebut. Namun seringkali pengertian para pemegang saham pada jenjang pengelolaan asset Negara disalahartikan, kerap diterjemahkan dalam lingkup BUMN hanya sebatas pengertian lingkup sebuah perusahaan.

Siapakah sebenarnya para pemegang saham sebuah Negara?
Jelas Bukan Pemerintah !! Dalam tataran Negara maka pemerintah hanyalah bertindak sebagai Dewan Pengelola Negara. Mirip seperti Dewan Direksi pada tingkat perusahaan, yang diberi kepercayaan untuk mengelola jalannya perusahaan secara profesional.

Tentu bukan pula BUMN !! Fungsi BUMN hanyalah sebagai unit-unit usaha yang berinduk pada Negara seperti laiknya sebuah induk perusahaan, dengan tugas mengelola asset dan sumber daya milik Negara secara professional dan terarah sesuai dengan bidangnya masing-masing, sehingga dengan lingkup pengelolaan yang lebih focus diharapkan dapat memberikan upaya yang lebih maksimal untuk meningkatkan hasil. Adapun fungsi pemerintah yang duduk dalam jajaran komisaris di BUMN, harus dimaknai sebagai wakil dari pemegang saham dari ‘’induk perusahaan’’ yang ditempatkan pada unit-unit usaha milik Negara tersebut.

Sejatinya, rakyatlah yang menjadi pemegang saham di Negara ini, karena keberadaan dan kedaulatan sebuah Negara ditentukan oleh rakyat, sebagaimana keberadaan sebuah perusahaan yang didirikan oleh para pemegang sahamnya. Pada tataran Negara, cakupan pemegang saham bukanlah sebatas pengertian SHARE Holder (mereka yang tercantum namanya dalam akta notaris pendirian perusahaan), namun dalam lingkup yang juga lebih luas berupa STAKE Holder, yaitu seluruh pihak (segenap elemen masyarakat, tanpa kecuali) yang berkepentingan dan menumpukan hidupnya pada kelangsungan Negara ini. Laiknya para pemegang saham yang mendirikan perusahaan dengan tujuan sebagai tumpuan hidupnya.

Dengan demikian, Presiden yang dipilih (ditunjuk) dan diberikan kepercayaan (mandat) oleh rakyat, beserta seluruh jajaran kabinetnya wajib menunaikan tangungjawab dan tugasnya sebagai pengelola negara untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum pada konstitusi negara dalam bentuk Undang-Undang Dasar. Persis seperti Dewan Direksi yang wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya pada Rapat Umum Pemegang Saham sesuai amanat yang diterimanya untuk menjalankan perusahaan sebaik-sebaiknya berdasarkan AD/ART yang merupakan konstitusi bagi perusahaan.

Peran BUMN sebagai unit usaha juga harus diartikan sebagai pengelola asset dan sumber daya milik Negara, dimana hasilnya haruslah dikembalikan dalam bentuk peningkatan kemakmuran seluruh pemegang saham Negara, yaitu seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya. Kenyataan bahwa seringkali pengelolaan BUMN ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah adalah sebuah pengertian yang salah kaprah. Dengan mengelola asset dan sumber daya milik Negara maka pada tataran ini, keberadaan BUMN bukan lagi dalam lingkup pengertian sebuah unit usaha saja, namun telah memasuki domain kenegaraan.

Kita harus dapat membedakan antara pendapatan pemerintah yang dapat digunakan sebagai biaya operasional pengelola Negara dengan kekayaan milik Negara berikut keuntungan bersih hasil operasional pengelolaan asset dan sumber daya Negara. Sejatinya kekayaan milik Negara, bukanlah merupakan kekayaan pemerintah.

Seyogyanya harus dapat dibedakan antara keuntungan hasil pengelolaan kekayaan milik Negara dengan anggaran dana operasional pemerintah. Begitupun dana operasional yang dibutuhkan pemerintah untuk mengelola negara dalam bentuk APBN ataupun APBD, harus jelas terinci sesuai kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya.

Bila asset dan sumber daya yang dikelola berada pada tingkat kepemilikan Negara, maka tentu tidak relevan bila pengelolaan, pertanggungjawaban dan sekaligus pengembalian hasil yang diperoleh BUMN hanya dikembalikan untuk dinikmati oleh pemerintah selaku share holder yang tercantum dalam AD/ART, karena bila demikian telah terjadi pengerdilan lingkup BUMN menjadi sebatas lingkup pengertian sebuah perusahaan saja.

Keuntungan bersih hasil operasional sebuah BUMN atas pengelolaan asset dan sumber daya milik Negara haruslah kembali kepada seluruh lapisan rakyat selaku stake holder, tentunya dengan telah memperhitungkan biaya operasional yang diperlukan oleh pengelola negara, yang wajib dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada seluruh rakyat, selayaknya Dewan Direksi yang wajib dapat mempertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaan dana bagi jalannya operasional perusahaan.

Kedudukan pemerintah dalam BUMN hanyalah sebagai wakil para pemegang saham dari induk perusahaan (dalam hal ini berarti jajaran komisaris sebuah BUMN sejatinya adalah orang yang ditunjuk untuk mewakili seluruh rakyat negara ini selaku pemegang saham), yang diberi kepercayaan dan digaji oleh rakyat untuk mengawasi jalannya pengelolaan asset dan sumber daya milik negara. Adapun Dewan Direksi BUMN digaji untuk mengelola jalannya usaha BUMN. Dengan pengertian tersebut maka hasil pengelolaan setiap BUMN yang didirikan di Negara ini, tentu harus dikembalikan demi peningkatan sepenuh-penuh kemakmuran rakyat.

Pada sebuah perusahaan, setiap unit maupun departemen yang terdapat di dalamnya haruslah berkerja seoptimal mungkin demi mencapai tujuan dan target utama perusahaan yaitu menjamin kelangsungan dan perkembangan perusahaan. Maka pada tataran yang lebih tinggi di lingkup Negara (sebagai sebuah ‘induk perusahaan’), maka setiap departemen maupun instansi yang dibentuk oleh pemerintah selaku pengelola negara haruslah memiliki tujuan utama yang sama, yaitu mengelola jalannya negara secara professional untuk menjamin kelangsungan dan kemajuan negara ini. Sebagaimana halnya fungsi departemen pada lingkup perusahaan, seluruh departemen dan instansi tersebut seyogyanya menyamakan visi dan misi dalam mengelola negara ini, yang dikoordinasikan dengan baik oleh pemimpin tertinggi dewan pengelola negara, yang dalam republik ini dipegang oleh Presiden selaku penerima amanat.

Bila pada jenjang induk perusahaan, seluruh share holder bertindak sebagai pengawas atas jalannya pengelolaan perusahaan oleh Dewan Direksi, maka pada tataran pengelolaan Negara, diperlukan peran aktif seluruh rakyat negara ini selaku stake holder untuk mengawasi jalannya pengelolaan negara oleh Pemerintah, berikut seluruh asset dan sumber daya yang terkandung di dalamnya, serta memastikan bahwa hasil pengelolaan tersebut kembali kepada rakyat dalam bentuk peningkatan sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 33 UUD, pada 45, yang merupakan dasar konstitusi negara ini.

Sebuah perusahaanpun jamak melakukan pola kerjasama dengan mitra kerja hingga menyerahkan sebagian proses pengolahan kepada pihak lain. Namun semua bentuk kontrak kerjasama tetap dilakukan dalam kerangka mencapai tujuan utama perusahan berupa peningkatan kemakmuran pemegang saham. Dewan Direksi berkewajiban untuk menjaga seluruh asset perusahaan yang dikelolanya, sehingga setiap bentuk aksi korporasi yang ditempuh oleh Dewan Direksi dengan melibatkan penggunaan asset-asset perusahaan haruslah dengan sepengetahuan, persetujuan dan pengawasan pemegang saham.

Demikian halnya pada lingkup Negara. Seyogyanya setiap bentuk keputusan, kebijakan dan tidakan yang diambil oleh pemerintah dengan melibatkan pemanfaatan sumber daya alam maupun kekayaan bumi dan laut yang merupakan asset Negara, hanya dapat dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan rakyat, dengan hasil yang dikembalikan dalam bentuk pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tentunya diperlukan pengawasan rakyat untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang dapat merugikan negara.

Alangkah menyedihkan ketika berita demi berita menguak berbagai penyimpangan dalam bentuk rekening-rekening liar di berbagai departemen maupun instansi di bawah koordinasi pemerintah. Milyaran, bahkan trilyunan pendapatan negara (bukan pendapatan pemerintah) ‘’menguap’’ entah kemana, tanpa dapat dinikmati sedikitpun oleh sebagian besar rakyat di negara ini. Sungguh trenyuh saat menerima kenyataan demi kenyataan terungkapnya kasus aliran dana dari sejumlah BUMN kepada segelintir golongan demi kepentingan pribadi para pengelola negara, bahkan sekedar untuk mempertahankan kedudukannya dalam kancah politik. Betapa memilukan tatkala kontrak demi kontrak karya pengolahan sumber daya alam oleh pihak asing terbukti hanya mengeksploitasi asset-asset negara tanpa adanya pengembalian manfaat kepada rakyat negeri ini.

Kekayaan negara ‘’digadaikan’’ hanya untuk kepentingan segelintir orang yang sedang berkuasa. Sementara begitu banyak rakyat, yang sesungguhnya merupakan ‘pemegang saham mayoritas’ di negara ini, menjalani kehidupan jauh di bawah ambang batas kemakmuran.

Betapa trenyuh mendapatkan kenyataan bahwa laporan keuangan republik ini mendapat catatan Disclaimer selama 5 tahun berturut-turut selepas proses audit, pertanda masih carut marutnya pengelolaan dan penggunaan keuangan negeri ini. Sedangkan seluruh keuangan negara selayaknya harus digunakan dan dikelola dengan penuh tanggungjawab oleh Dewan Pengelola Negara dan wajib dipertanggungjawabkan setiap rupiah penggunaannya kepada seluruh rakyat negeri ini.

Sudah waktunya rakyat negara ini mengaktifkan peran mereka sebagai ‘pemegang saham pengendali’, dengan selalu mengawasi setiap kebijakan maupun tindakan Dewan Pengelola dalam menjalankan Negara ini serta meminta pertangungjawaban mereka atas hasil pengelolaan setiap asset dan sumber daya milik Negara. Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat di negara ini memegang kendali dengan menjalankan fungsi kontrol atas penyelenggaraan seluruh BUMN.

Telah tiba saatnya bagi seluruh warga negara ini untuk menyadari peran mereka sebagai pemegang saham yang memiliki hak penuh untuk meminta pertanggungjawaban dari Pemerintah selaku Dewan Pengelola Negara. Adalah pada tempatnya bila rakyat selaku pemegang saham atas seluruh aset negeri ini untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah sehingga dapat memutuskan akan meneruskan masa jabatan Pemerintah atau bahkan menggantinya bila memang terbukti tidak memiliki kinerja yang baik.

Dalam pemilu yang sudah diambang mata inilah saatnya rakyat selaku pemegang saham Negara ini menilai kinerja dari Pimpinan Pengelola Negara berikut Dewan Pengelola Negara yang berada di bawah koordinasinya, yakni Presiden serta seluruh mentri kabinet yang membantunya. Kini saatnya rakyat mengevaluasi kinerja dari setiap pengelola BUMN serta menagih hasil atas pengelolaan asset Negara yang wajib dikembalikan kepada seluruh rakyat.

Tak dapat dipungkiri, kenyataan masih membuktikan bahwa tingkat kemakmuran masih sangat jauh dirasakan oleh sebagian besar rakyat, bahkan sekedar pemenuhan kebutuhan dasar. Disclaimer sepanjang kurun waktu 5 tahun, sepenuh satu masa pemerintahan, telah dapat mencerminkan bagaimana kinerja dan tingkat tanggungjawab Pemerintah di sepanjang masa itu. Rangkaian catatan kelam laporan keuangan negara itu telah memberi gambaran bagaimana tingkat keseriusan sang Pemimpin Dewan Pengelola Negara dalam mengarahkan, membina dan bila perlu menegur seluruh jajaran pengelola negara yang berada di bawah tanggungjawabnya, untuk tetap focus dalam mencapai tujuan utama pengelolaan negara yaitu peningkatan sepenuh-penuh kemakmuran seluruh lapisan rakyat sebagai pemegang saham negara ini.

Namun, realitas yang terjadi saat ini, pengelolaan negara acap masih digemakan hanya sebatas pembangunan gedung-gedung bertingkat dan data-data peningkatan sektor keuangan yang hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu saja. Di sisi lain, jabatan sebagai pengelola asset dan sumber daya negara maupun wakil rakyat yang dipercayakan sebagai wakil ‘pemegang saham’ di lembaga-lembaga tinggi negara ini masih kerap disalahgunakan sebagai lahan ‘usaha’ untuk menyokong kepentingan politik sejumlah pengelola negara serta untuk meningkatkan kemakmuran pribadi.

Sehingga sudah saatnya rakyat negeri ini menyadari perannya sebagai pemegang saham Negara ini, dan dapat menjalankan peran lebih aktif untuk mengawasi jalannya pengelolaan negara berikut seluruh asset yang terkandung di dalamnya.

Pemilu, terutama PilPres tak ubahnya ajang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dimana Pemerintah sebagai Dewan Pengelola Negara atau Board of Management mempertanggungjawabkan kinerja dan prestasinya dalam mengelola dan memajukan roda kehidupan negara kepada seluruh rakyat selaku pemegang saham. Bila pada RUPS, pemegang saham memiliki hak untuk mengevaluasi dan memutuskan untuk memecat atau melanjutkan kelangsungan dari Dewan Direksi maka pada Pemilu, rakyat memiliki sepenuh-penuh hak untuk mengevaluasi dan memutuskan akan meneruskan ''mempekerjakan'' Pemerintahan yang sama atau menggantinya dengan yang lain.

Dalam tataran perusahaan, RUPS diadakan setiap tahunnya sebagai ajang pertanggungjawaban Presiden Direktur beserta seluruh jajaran Direksi atas kinerja dan hasil yang dicapai dihadapan seluruh Dewan Komisaris selaku pemegang saham sebuah perusahaan. Pada ajang RUPS, para pemegang saham berhak untuk memberikan penilaian serta keputusan untuk mengangkat dan meneruskan kembali jabatan Presiden Direktur serta Dewan Direksi pada periode setahun berikutnya atau justru memberhentikan dan menggantinya bila dianggap gagal untuk memenuhi tujuan utama perusahaan yaitu peningkatan kemakmuran para pemegang sahamnya.

Maka dalam tataran Negara, ajang Pemilihan Presiden yang akan berujung pada pemilihan dan pembentukan Kabinet yang akan membantunya menjalankan roda pengelolaan negara, sudah sewajibnya seluruh rakyat menjalankan fungsi sebagai pemegang saham Negara untuk mengevaluasi kembali kinerja serta hasil yang telah dicapai oleh Presiden beserta Kabinetnya dalam memenuhi dan meningkatkan kemakmuran rakyat. Dalam Pemilihan Presiden ini pulalah, rakyat berkesempatan untuk memutuskan akan memilih dan memberi kesempatan kembali kepada Presiden terdahulu ataukah justru ingin menggantinya bila dinilai gagal untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Tidak ada satupun pemegang saham yang menginginkan kerugian dari hasil pengelolaan perusahaannya. Begitupun seyogyanya, rakyat negeri ini jangan pernah mau lagi dirugikan oleh kinerja Pemerintahan yang tidak becus dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bila para pemegang saham sebuah perusahaan selalu mempelajari dengan cermat nilai aset dan perkembangannya dari waktu ke waktu, maka rakyat negara inipun harus mulai aktif mencari tahu nilai dari setiap aset berharga negara ini serta memantau dengan cermat perkembangan nilainya yang harus pula kembali dalam bentuk peningkatan kemakmuran seluruh lapisan rakyat.

Adalah sifat dasar manusia untuk cenderung menjadi tamak dan serakah, bila dihadapkan pada kekuasaan dan jabatan. Sehingga pengelolaan tanpa pengawasan hanya akan membuka peluang untuk sekedar ‘usaha’ memperkaya diri sendiri. Peran aktif seluruh rakyat sebagai pengawas sangat diperlukan untuk menjamin jalannya pengelolaan Negara berikut seluruh asset dan kekayaan yang terkandung di dalamnya secara professional dan bertanggungjawab oleh Presiden terpilih beserta jajaran kabinetnya.

Di tangan rakyatlah pola kelola negara ini beserta seluruh aset kekayaan yang terkandung di dalamnya ditentukan. Dalam ajang PilPres mendatang inilah rakyat harus mengevaluasi dengan cermat dan memilih Pengelola Negara yang tepat.

Pola kelola apakah yang sesungguhnya kita harapkan? Pengelola Negara yang seperti apakah yang ingin kita pilih?

Pengelola Negara yang berusaha dengan sepenuh tanggungjawab dalam mengelola aset negara untuk sebesar-besar kepentingan dan kemakmuran rakyatnya, atau sekedar kembali memberikan peluang demi peluang kepada para pengelola negara untuk dapat melakukan ‘Usaha’ demi sekedar memupuk kekuasan dan kekayaan diri semata?

-PriMora Barlianta Harahap-

29 Jan 2009


note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Kamis, 22 Januari 2009

(ber) Pesta Demokrasi

Pemilu yang sering digaungkan sebagai Pesta Demokrasi bagi republik ini sudah di depan mata. Tak lama lagi seluruh rakyat negeri ini akan menggunakan hak pilihnya guna menentukan siapa kiranya yang dianggap cakap untuk mewakilinya maupun orang yang dirasa tepat untuk memimpin negara ini.


Jelang pemilu tahun mendatang, setiap kandidat, entah itu caleg maupun partai sampai calon pemimpin negara, kini sudah mulai sibuk menggelar program TTP, alias Tebar-Tebar Pesona. Kampanye dilakukan melalui semua media, mulai dari cara tradisional seperti pasang poster, pamflet, bagi-bagi kaus dan topi, hingga cara ''modern'' yang sedang trend saat ini dengan beriklan di media cetak dan elektronik. Tak jarang terlihat partai yang menjalankan program bantuan bagi masyarakat, guna mendapat simpati rakyat. Jelang Pemilu, tiba-tiba seluruh kandidat ‘turun ke bumi’, mengunjungi konstituennya hingga ke pelosok-pelosok desa.


Layaknya orang akan berpesta, maka semua yang akan terlibatpun mulai sibuk ‘berdandan’. Senyum ditebar sana-sini, untuk memikat dan menyenangkan hati para calon pemilih. Coba lihat, hamparan poster para caleg itu. Semua berpose dalam balutan pakaian yang mempesona, senyum tersungging di wajah, tak lupa umbaran janji-janji politik sebagai kalimat penyambut para ‘tetamu’.


Berbagai upaya untuk menjadi terkenalpun dilakukan. Terutama sejak standar peraihan kursi telah diubah, tidak lagi berdasarkan nomer urut, namun berdasarkan suara terbanyak. Popularitas!! Ya, hal ini tentu menjadi tolok ukur sangat penting untuk dapat meraih suara terbanyak. Maka tak heran, bila tebaran poster para caleg tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan kampanye lima tahun silam. Menurut sumber di sebuah talkshow politik, untuk periode kampanye kali ini jumlah yang akan bertarung memperebutkan kursi wakil rakyat di republik ini hampir mendekati bilangan 20.000 caleg! Sungguh sebuah angka yang fantastis dari segi kuantitas. Semoga saja kualitas, kredibilitas dan integritas yang mereka tawarkan kepada rakyat juga dapat menimbulkan decak kagum.


Sistem peraihan kursi berdasarkan nomer urut memang terbukti memiliki banyak kelemahan, memberi peluang bagi penyelewengan. Namun, benarkah penetapan standar suara terbanyak sebagai ukuran peraihan kursi akan menjamin hasil yang terbaik??


Belum dapat dibuktikan. Standar itu baru ditetapkan berlaku dalam proses pemilu mendatang. Belum teruji keampuhannya untuk meningkatkan kualitas, kredibilitas dan integritas mereka yang terpilih. Masih perlu pembuktian.


Menurut berita di berbagai media, dengan system peraihan kursi berdasarkan suara terbanyak, begitu banyak dana yang harus digelontorkan oleh para caleg untuk menjadi popular.‘Biaya’ menjadi caleg menjadi sungguh sangat mahal.


Dalam sebuah berita di Kompas.com pada hari Minggu (1 Feb 2009) maupun dalam ulasan di majalah Gatra (pada salah satu edisi bulan Jan 2009), disebutkan bahwa seorang caleg harus mengeluarkan biaya jutaan hingga bilangan ratusan juta rupiah. Dikabarkan seorang caleg ada yang menganggarkan biaya hingga 700 juta rupiah untuk mempopulerkan dirinya, termasuk untuk mencetak segala bentuk atribut promosi. Sebuah jumlah yang tidak sedikit tentunya. Bahkan ada caleg yang dikabarkan menunggak biaya sekolah anaknya selama beberapa bulan karena biaya yang ada sudah terpakai untuk mempromosikan diri. Ada pula kabar mengenai caleg yang meminjam dana puluhan juta rupiah ke sana-sini, hasil urunan keluarga hingga teman dan kerabat. Caleg lainnya mengatakan bahwa biaya promosi dia ’paling rendah’, karena 'hanya' berkisar 10 juta rupiah. Wow!! Sementara bagi banyak rakyat yang masih hidup jauh di bawah garis kemakmuran, jumlah 10 juta rupiah tidak bisa dianggap sedikit. Bahkan untuk seorang pegawai tingkat menengah bilangan itu bisa sama artinya dengan gaji hasil bekerja membanting tulang selama sebulan penuh!


Modal yang diperlukan seorang caleg, yang hanya ’wajib’ meraih popularitas di tingkat Dapil (daerah pilihan), sudah sedemikian besar. Tentu diperlukan modal yang jauh lebih menakjubkan oleh seorang kandidat pemimpin negara untuk dapat meraih simpati seluruh rakyat negeri ini, dari Sabang hingga Merauke.


Tak mengherankan kalau ternyata banyak mereka yang setelah terpilih menjadi wakil rakyat maupun para pemimpin di republik ini, menjadi ‘blingsatan’ menempuh segala cara agar dapat kembali modal. Apalagi kalau menilik kenyataan, ternyata banyak mereka yang menggunakan modal hasil pinjaman ataupun sumbangan sana-sini. Tentunya banyak pihak yang akan ‘menagih’ hutang budi di kemudian hari, entah dalam bentuk natura maupun berbagai jenis privilege.


Sesungguhnya sistem apapun yang diterapkan akan tetap memberi peluang bagi penyimpangan bila tidak ada fungsi kontrol yang kuat. Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap mereka yang mencalonkan diri maupun yang telah mendapat mandat untuk memimpin negeri ini.


Proses pengenalan secara sepintas, melalui poster, iklan di radio dan televisi ataupun anjangsana dan kunjungan sejenak ke masyarakat, tidak akan memberi waktu yang cukup untuk dapat mengenal kualitas kompetensi yang dimiliki dan terlebih penting niat & kesungguhan dari para caleg serta kandidat pemimpin bangsa. Pengenalan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui poster, iklan dan janji semata.


Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Memang benar. Tapi hanya sekedar mengenal tampak mukanya saja belumlah cukup untuk menentukan sebuah pilihan yang berat. Rakyat negeri ini harus segera menyadari bahwa di balik setiap pilihannya selalu terkait dengan konsekwensi. Akankah mereka yang terpilih nanti benar-benar tulus memperjuangkan nasib seluruh rakyat, ataukah hanya akan berpihak kepada segelintir golongan atas nama balas budi?


Sehingga setiap hak pilih yang digunakan harus dipikirkan dengan cermat, karena suara yang diberikan setiap rakyat akan sangat menentukan:

seperti apa wakil yang akan dipercaya untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib rakyat

seperti apa pemimpin yang akan mengelola negeri ini, berikut dengan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya, melalui kebijakan-kebijakannya.

ke arah mana negara ini akan dibawa dalam 5 tahun mendatang.

bagaimana nasib bangsa ini dalam 5 tahun kedepan


Sebelum menentukan pilihan, yakinkanlah sekali lagi, apakah kita sudah benar-benar mengenal kandidat yang akan dipilih.


Selidiki !
Carilah informasi lebih mendalam mengenai mereka yang akan dipilih. Apa latar belakang mereka? Dengan apa mereka mendanai seluruh aktivitas kampanye? Hal ini penting diperhatikan, agar tidak terikat pada ‘kewajiban’ balas budi, yang justru akan melunturkan nilai-nilai demokrasi.


Adakah ‘’track record’’ yang membuktikan keperdulian mereka terhadap rakyat kecil? Tidak perlu melakukan survey besar-besaran. Umumnya, mereka yang memang memiliki karakter yang tulus, kompetensi yang berkualitas, kredibilitas serta integritas yang tinggi, (yang saya rasa merupakan syarat mutlak yang wajib dimiliki oleh seorang kandidat), telah terbiasa menunjukkan sikap keperdulian dan memberi sumbangsih nyata, setidaknya bagi lingkungan terkecil di sekitar mereka, di hampir sepanjang kehidupan mereka. Bukan sekedar tebar pesona dan umbaran janji menjelang pemilu.


Ketulusan sesungguhnya tidak dapat dibuat-buat. Kualitas diri & integritas sejatinya tidak mungkin dipoles sesaat. Sehingga karakter & kualitas yang diharapkan semestinya telah tercermin sejak lama dalam kehidupan serta keseharian sikap & tindakan.


Sadari !
Di balik setiap pilihan, terdapat konsekwensi yang teramat sangat berat. Jangan sampai terjadi lagi rakyat mempercayakan suaranya kepada mereka yang mengincar status ‘wakil rakyat’ hanya sebagai lapangan pekerjaan, sekedar mendapatkan lahan matapencaharian, bahkan untuk mengeruk keuntungan semata. Jangan sampai ada lagi pemimpin yang hanya menunjukkan keberpihakannya pada saat menjelang pemilihan umum, dengan tujuan meningkatkan citra diri untuk meraih popularitas. Bila demikian, maka dalam 5 tahun masa bertugasnya, keberpihakan itu hanya akan ada di tahun terakhir masa jabatan, sedangkan 4 tahun pertama akan sulit untuk diharapkan. Pemimpin yang hanyut dalam bingkai citra yang indah, hanya akan menyajikan ilusi dan bukan realitas.


Ingatlah !
Keberpihakan kepada rakyat adalah Kewajiban ! Bukan Pencapaian, apalagi Prestasi. Sudah sewajibnya bagi siapapun yang terpilih memimpin negara ini menunjukkan keperduliannya kepada seluruh rakyat di sepanjang masa tugasnya, bukan hanya di akhir masa jabatan dalam kentalnya balutan politik pencitraan. Sudah semestinya bagi siapapun yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin dan mengelola negara ini, menjalankan amanat dengan penuh tanggungjawab untuk memenuhi sepenuh-penuh kebutuhan publik. Sudah sepatutnya bagi siapapun yang mendapatkan mandat itu, berdiri tegak di atas seluruh kepentingan rakyat, tanpa kecuali. Karena untuk tujuan itulah mereka dipilih oleh rakyat.


Alangkah naif, bila tugas yang seyogyanya menjadi kewajiban dalam mengemban amanat rakyat, kemudian digembar-gemborkan sebagai sebuah prestasi berlebihan, berselimutkan ‘jualan’ politik. Sungguh aneh, bila kebijakan-kebijakan ‘populis’ terlihat beruntun dikeluarkan di akhir masa jabatan.


Sekedar mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat adalah sebuah Kewajiban. Sejatinya predikat Prestasi hanya layak diberikan pada pemimpin yang sunguh-sunguh berhasil meningkatkan kemakmuran bangsa secara signifikan, yang nyata dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat.


Kebijakan penurunan harga BBM yang ‘dicicil’ hingga 3 kali, (disaat harga keekonomiannya sudah jauh terlampaui di kali pertama penurunan harga dilakukan), menunjukkan budaya para pemimpin bangsa yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Kebijakan yang dikeluarkan, manakala sudah begitu banyak pihak yang menyerukan penurunan harga sejak harga pasar minyak dunia melorot jauh di bawah US $100 per barel, menggambarkan lambannya tindakan pengelola negara ini. Kebijakan yang diluncurkan secara ‘bertahap’, memberi kesan sekedar untuk mengimbangi frekuensi kebijakan menaikan harga yang telah mengalami 3 kali kenaikan sejak pemilu 5 tahun silam. Kenyataannya, total nominal 3 kali penurunan harga tersebut tidak jauh berbeda dari nominal sekali kenaikan harga. Sehingga total prosentase kenaikan harga BBM (telah lebih dari 124%) sesungguhnya jauh lebih besar daripada total prosentase penurunannya (hanya sekitar 30%).


Sebuah proses pembodohan publik telah terjadi. Sungguh sebuah ironi, ketika seharusnya seorang pemimpin perduli pada proses pencerdasan bangsanya. Sehingga sudah saatnya rakyat di negara ini mencari pemimpin yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.


Cermati !
Jangan terbuai popularitas semata. Jangan tergiur oleh tampilan indah sesaat. Jangan terlena oleh berbagai bentuk ‘keberpihakan semu’. Apakah rakyat dapat hidup sepanjang 5 tahun mendatang, hanya dengan kaus dan topi ataupun beberapa lembar rupiah dan bungkus-bungkus sembako yang dibagikan saat kampanye?


Republik ini memerlukan para pemimpin yang memiliki konsep yang kuat disertai program yang jelas. Pemimpin yang dapat meningkatkan kemakmuran bagi seluruh lapisan rakyat. Bukan sekedar peningkatan perekonomian dalam bentuk olahan data-data dan sajian angka-angka, yang bahkan tidak dapat dipahami oleh sebagian besar rakyat yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi.


Sebuah berita di salah satu media cetak, telah menghentak saya. Dalam uji desertasi untuk meraih gelar Doktornya, Idrus Marham (wakil ketua komisi II DPR RI) menyatakan bahwa ‘’Lebih dari 60% anggota DPR tidak berkualitas. Sehingga dalam setiap proses pengambilan keputusan yang teramat penting dan menentukan nasib rakyat banyak di negara ini, tidak dilakukan melalui proses perdebatan yang konseptual. Mayoritas anggota DPR hanya menjalankan tugas-tugas konstitusional, tanpa ada kontribusi pemikiran yang berbobot’’.


Apakah hal ini dapat diartikan, mereka hanya datang rapat, duduk, sekedar memenuhi absensi, bincang-bincang sejenak, lalu pulang? Tidak memiliki konsep atas setiap permasalahan yang dirumuskan?


Sebuah kenyataan yang menyedihkan ketika menyadari bahwa di pundak merekalah amanat rakyat dipercayakan, di tangan merekalah aspirasi rakyat diwakilkan. Betapa mengkhawatirkan, bila tugas yang demikian berat dan mulia telah dibebankan kepada mereka yang sesungguhnya tidak memiliki kemampuan – terlebih lagi kemauan - untuk menjalankannya. Bila tidak memiliki kesanggupan dan kemauan untuk memperjuangkannya, maka tidak sepatutnya mereka menerima amanat itu. ‘’Janganlah kau terima amanat yang tidak sanggup kau penuhi, karena di dalam amanat terkandung sebuah kewajiban’’, demikian ajaran dalam agama yang saya anut.


Sebaliknya, hak pilih atau kerap disebut juga sebagai hak suara sejatinya memiliki arti sebagai sebuah kesempatan yang diberikan kepada warga negara yang telah memenuhi persyaratan, untuk dapat memilih calon yang diharapkan dapat mewakili aspirasinya.


Berdasarkan pengertian tersebut, maka penggunaan hak dilakukan atas dasar keinginan dan kesadaran seseorang. Tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun di dalamnya, karena pengertian hak sangat berbeda dengan kewajiban. Dengan demikian, seyogyanya tidak ada ukuran halal dan haram yang melekat padanya. Sangatlah naïf bila nilai-nilai agama kemudian dikaitkan untuk kepentingan politik semata, sekedar untuk ‘’memaksa’’ setiap orang memberikan hak suaranya atas pilihan-pilihan yang tidak mereka kenal dan yakini dengan baik, yang tidak mereka ketahui dengan pasti akankah pemimpin yang dipilih nanti dapat membawa kemaslahatan (atau justru kemudharatan)?. Sebuah bentuk pemaksaan dalam kemasan apapun, sejatinya telah mencederai nilai-nilai luhur berdemokrasi.


Cukup sudah untuk terus menerus melakukan proses pembodohan publik. Pengelompokan halal dan haram dengan mengatasnamakan nilai-nilai agama pada tataran politik hanyalah sebuah ‘’jembatan pintas'' untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Sesungguhnya tingkat partisipasi politik dapat menjadi cermin keyakinan ataupun keraguan rakyat atas sistem yang berjalan, yang seharusnya disikapi sebagai sinyal introspeksi.


Setiap warga negara di republik ini semestinya diberi kesadaran dan kecerdasan berpolitik. Sehingga penggunaan hak pilih disertai dengan rasa tanggungjawab untuk digunakan dengan tepat, karena masa depan bangsa ini akan dipercayakan kepada mereka yang terpilih. Memutuskan untuk memilih atau tidak memilih adalah bagian dari pilihan, dimana setiap individu bebas untuk menentukan sikap politiknya.


Perhelatan besar yang digemakan sebagai Pesta Demokrasi itu hampir tiba. Pilihan itu terletak di tangan kita. Apakah kita akan menjadikan Pesta Demokrasi ini sebagai proses untuk menegakkan demokrasi yang hakiki di negeri ini? Ataukah kita hanya akan sekedar ‘Berpesta’ pora, menghabiskan dana hingga trilyunan rupiah? Berbondong-bondong datang ke TPU sekedar untuk menggunakan hak pilih, tanpa mengetahui dengan pasti siapa yang akan kita pilih?


Jangan jadikan negara ini hanya sebagai panggung sandiwara, yang sekedar menawarkan ilusi belaka. Jalannya pemilu sebagai mesin demokrasi yang akan menentukan nasib negara ini akan sangat tergantung pada pilihan rakyat. Masa depan bangsa ini harus dibentuk dari sekarang.


Bila kita memutuskan untuk menggunakan hak pilih, maka gunakanlah dengan cerdas, cermat dan bertanggungjawab. Kenali dengan baik pilihan yang akan diambil. Sadari benar konsekwensi di balik setiap pilihan.


Jangan jadikan Pemilu, hanya sekedar untuk ’Berpesta’, menebar eforia sesaat. Karena bila pesta telah usai, yang tersisa hanyalah tumpukan ‘piring & gelas kotor’ bekas mereka yang berpesta, yang harus kembali dibersihkan. Telitilah sebelum Memilih.


Apa yang akan kita pilih? Berdemokrasi atau sekedar Berpesta?


-PriMora Harahap-

22 Jan 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Rabu, 21 Januari 2009

Republik... Terakhir...

Pentas terakhir dari seri Republik persembahan Teater Koma di bulan pembuka tahun ini, diberi judul ‘’Republik Petruk’’. Sebagai bagian terakhir dari sebuah trilogy, formatnya tampak agak berbeda dengan dua bagian terdahulu, Republik Bagong dan Republik Togog. Nano Riantiarno mengemasnya dengan format yang lebih ringan dan popular. Gaya rambut harajuku dipilih sebagai pelengkap kostum kisah pewayangan ini. Agaknya Nano memang sengaja merubah kemasan pentasnya untuk menarik segmen pemula, khususnya anak-anak muda, agar dapat menyukai dunia teatrikal.


Bagi para penikmat kisah perwayangan tentu akan segera memahami bahwa cerita ini diangkat dari lakon ‘’Petruk Dadi Ratu’’. Sebagaimana kisah aslinya, Nanopun mengemas pentas ini dalam nafas komedi.

Lakon di babak pertama pentas ini dibuka dengan hadirnya Petruk sebagai narator. Ia mengisahkan latar belakang Mustakaweni yang ingin mencuri jimat Kalimasada milik Pandawa agar dapat membunuh Arjuna sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Diikuti oleh adegan berkumpulnya seluruh keluarga Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Arjuna, Krisna, Bima dan si kembar, Nakula dan Sadewa di kedaton Amarta, yang tampak prihatin atas pembangunan Candi Eka yang selalu gagal setiap kali hampir rampung. Para ksatria itupun dirundung rasa bingung melihat kelumpuhan Gatot Kaca sehingga tak mampu menunaikan tugas untuk mencari Semar.


Adegan demi adegan lalu mengalir, menggambarkan bagaimana Mustakaweni berhasil mencuri jimat Kalimasada dari Drupadi (istri Yudistira) dengan menyamar sebagai Gatot Kaca. Jimat dalam genggaman Mustakaweni ini membuatnya mampu melumpuhkan Srikandi (salah seorang istri Arjuna) saat berupaya merebut Kalimasada dari tangannya. Kedatangan Priambada, seorang pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai anak Arjuna dan ingin bertemu dengan ayahandanya, membuat Srikandi meminta pertolongannya untuk merebut kembali jimat Kalimasada dari tangan Mustakaweni dengan imbalan akan mempertemukannya dengan Arjuna.


Singkat cerita, babak pertama ditutup dengan kisah keberhasilan Priambada merebut jimat tersebut tanpa perlawanan berarti dari Mustakaweni yang jatuh hati kepadanya. Priambada yang juga terpanah asmara Mustakaweni, menyerahkan jimat tersebut kepada Petruk yang selalu menyertainya.


Dengan jimat di tangan, Petruk mengalami pergolakan batin, antara berbuat jujur menyerahkan jimat kembali kepada Drupadi atau memanfaatkan tuahnya untuk membangun kekuasaan sendiri. Atas hasutan dari Btara Guru dan Btara Narada, yang membisikkan bahwa peluang takkan datang dua kali, akhirnya Petruk tergoda. Iapun berhasil menaklukkan Ratu Jin – penguasa Kerajaan Lojitengara dan diangkat sebagai Raja bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tong Tong Sot.


Di bawah kepemimpinan Petruk, dikisahkan Lojitengara mengalami reformasi politik. Dia menjalankan kerajaan dengan prinsip demokrasi SBY (Semua Boleh Yee…), asalkan tidak ketahuan dan semua masih berjalan lancar. Alkisah, Lojitengara tumbuh makmur. Pejabat menjadi takut untuk korupsi. Polisipun berubah santun melayani masyarakat. Pendek kata, semua serba terkendali walaupun KKN tetap marak terjadi. Situasi yang terkendali membuat Sang Prabu Petruk memiliki banyak waktu untuk menari dan menyanyi.


Babak ke dua lakon ini mengisahkan Amarta yang menerima surat tantangan dari Lojitengara untuk takluk menjadi sekutu. Pandawa lalu memutuskan untuk datang menerima tantangan. Garengpun ditunjuk sebagai panglima perang Amarta dan dianugerahi kerajaan fiktif oleh Btara Krisna.


Peperanganpun terjadi yang berakhir dengan kemenangan pasukan perang Amarta. Petrukpun kembali menjejak realitas, menjadi panakawan kembali. Seluruh kerajaan dan kekuasaannya hilang lenyap. Jimat Kalimasada kembali ke para Pandawa.


Secara keseluruhan pentas ini cukup menghibur karena tampil dalam format komedi. Celetukan-celetukan kocak Semar dan anak-anaknya sempat menerbitkan senyum. Namun ‘petuah’ dan ‘wejangan’ Btara Guru silihberganti dengan Semar selama beberapa menit, yang dijejalkan di akhir lakon terasa sungguh menyesakkan.


Berbagai pesan Btara Guru tentang indahnya ke Bhinekaan pada suatu negara yang tidak perlu lebur menjadi ke Ekaan (sebagai moral cerita dari tidak juga terbangunnya Candi Eka), diikuti oleh sindiran sangat tersurat oleh Semar mengenai seorang pemimpin sebuah negeri yang gemar mencari citra melalui berbagai cara termasuk dengan mengarang lagu dan menerbitkan CD, serta nasihat bahwa sebuah amanat adalah titipan yang suatu saat dapat diambil kembali, terasa sesak digemakan di penghujung lakon ini.


Kesan ‘menggurui’ di akhir pentas menjadi sangat kental. Sebuah kesan yang semestinya dihindari dalam sebuah konsep teater. Nano seakan tidak yakin bahwa penonton dapat menarik sendiri benang merah dari keseluruhan pesan yang disampaikan. Sehingga penonton seakan harus dijejali kembali dengan pelbagai pesan yang begitu tersurat, untuk memastikan penonton mendapat moral cerita dari lakon ini.


Alangkah lebih apik bila pesan-pesan tersebut tidak dijejalkan di penutup lakon. Namun disampaikan secara tersirat dalam bentuk kalimat-kalimat sindiran yang tajam dan kocak di setiap bagian lakonnya, sejak cerita dimulai hingga akhir, dengan benang merah yang menghubungkan setiap lakon dan sindiran menjadi sebuah keutuhan moral cerita.


Entah kenapa, hal ini tampaknya hilang pada pentas kali ini. Sebuah pentas di luar format dan kebiasaan Teater Koma. Sangat berbeda dengan pentas ‘’Kenapa Leonardo?’’ yang digelar tahun lalu, dengan pesan-pesan kejiwaan yang mengalir dan disampaikan dengan halus dari awal hingga akhir.


Sepanjang bagian pertama pentas ini, pesan-pesan yang semestinya disampaikan justru tidak terlalu terlihat. Membuat pada saat jeda istirahat terdengar penonton berujar tidak mengerti jalan cerita lakon tersebut. Bagi orang awam pewayangan, lakon di bagian pertama memang hanya sarat kisah pewayangan, yang mengisahkan dendam Mustakaweni dan memperkenalkan seluruh anggota keluarga Pandawa serta para Dewa (Btara). Terlihat bagai lakon wayang orang biasa, hanya dengan tampilan kostum yang tidak biasa. Tak pelak sempat menimbulkan rasa jenuh bagi yang tidak memahami dunia pewayangan.


Kalimat-kalimat sindiran yang tiba-tiba dihadirkan saat Petruk menggelar ‘’morning meeting’’ di ruang tidurnya yang mewah, menjadi terasa janggal, karena tidak ada benang merah yang dapat ditarik dari awal kisah. Penonton sulit untuk menangkap korelasi sindiran dalam cerita tersebut.


Nano terlihat baru memasukkan pesan-pesannya dalam bentuk sindiran di akhir babak pertama (itupun disampaikan ‘’terlalu gamblang’’ secara verbal, bagi sebuah pentas berkonsep teatrikal). Sehingga penonton baru mulai dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan di babak kedua.


Pernyataan Btara Krisna di penghujung lakon yang mengungkapkan bahwa para Dewa dan Pandawa telah kembali ke negeri Indonesia, tanpa ada cerita yang melatarinya, membuat lakon menjadi terasa ganjil. Kenapa tiba-tiba harus berpindah ke Indonesia? Apa hubungan antara Amarta dan Indonesia? Dan kenapa kepindahan itu hanya di akhir lakon, yang tidak ada korelasinya sama sekali dengan para Pandawa dari Amarta yang berhasil mengalahkan Lojitengara? Bila mengikuti konteks yang telah terbangun dari awal cerita, mestinya para Pandawa akan kembali membawa jimat Kalimasada ke Amarta. Sungguh sebuah akhir lakon yang membuat penyampaian pesan pada pentas ini menjadi terasa dipaksakan dan ‘’kasar’’, tidak mengalir ‘’halus’’.


Penggambaran kondisi sebuah ‘’negeri’’ dalam lakon teater semestinya tidak perlu dengan menegaskan negeri mana yang dimaksud. Akan lebih indah, bila penggambaran lokasi itu dibiarkan tetap berada dalam konteks dunia pewayangan. Dengan pilihan kalimat-kalimat sindiran yang tepat dan sesuai dengan situasi yang digambarkan, penonton akan tetap tahu negara mana yang dimaksud. Bagi yang mencermatinya, lirik mars Amarta yang dinyanyikan di penghujung acarapun merupakan adaptasi dari lirik lagu Indonesia Pusaka, sehingga seyogyanya sudah mencerminkan apa tujuan dari keseluruhan lakon ini.


Bagaimanapun pentas ini cukup menghibur dan dapat menjadi alternatif hiburan bagi pemula yang mulai menikmati hiburan teater.


-PriMora Harahap-

20 Jan 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Senin, 19 Januari 2009

Sudah Tradisi...

Selamat datang… Banjir ! Sepertinya banjir sudah menjadi agenda tahunan. Begitu musim hujan tiba, banjirpun melanda. Hampir seluruh wilayah dikunjunginya. Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan… Tidak ada yang luput dari kehadirannya. Dan ‘’anehnya’’… negeri ini seakan pasrah kedatangan ‘’tamu’’ langganan itu. Tidak ada upaya berarti untuk mencegahnya datang lagi.

Rasa malupun seakan tidak lagi dimiliki, biarpun banjir sudah melanda ibukota negara sekalipun. Beberapa tahun silam bahkan banjir sempat melumpuhkan kegiatan di bandar udara internasional dan membuat macet parah jalan menuju ke sana. Genangan air melimpah di jalur pintu gerbang republik ini.

Begini mungkin bunyi maklumat (pemakluman) yang seharusnya diumumkan:

‘’Selamat datang di Bandar Udara Soekarno Hatta. Saat ini anda sudah tiba di Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Maaf, perjalanan anda menjadi terhambat karena genangan air cukup tinggi di depan bandara. Maklum, Indonesia negara Maritim’’.

Bukan rahasia lagi, banjir yang melanda dari tahun ke tahun semakin parah. Dan sudah rahasia umum, penyebab tambah parahnya banjir karena ulah manusia juga. Pendangkalan sungai, penyempitan daerah resapan air, buruknya saluran air, perambahan dan penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan hijau, penambangan liar… semua berkontribusi pada perusakan alam yang mengundang berbagai balabencana… Banjir (mulai dari yang sekedar genangan sampai yang bandang) hingga tanah longsor yang menimbun rumah-rumah penduduk. Frekuensi tanah longsor bahkan sudah hampir mengejar 'rekor' yang dicapai bencana banjir. Sudah menjadi 'ritual' tahunan.

Tapi alih-alih melakukan pembenahan lingkungan, penyuluhan intensif, atau membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat, pemerintah terbiasa menyalahkan alam… Siklus alam 4 tahunan akhir-akhir ini biasa dijadikan ‘’kambing hitam’’… (Heran… Kenapa sekarang siklus itu diributkan ya…? Negara ini kan umurnya sudah puluhan tahun ? Lha, kemana perginya siklus alam itu puluhan tahun yang lalu? Kok baru sekarang membawa banjir bandang…?). Padahal nyatanya banjir datang kembali setiap tahun, karena air sungai yang meluap. Alam memang objek yang paling aman untuk dijadikan alibi… karena alamkan tidak bisa langsung membantah.

Republik ini memang ‘’hebat’’ kok. Hebat rakyatnya, hebat pemerintah yang mengurusinya. Rakyatnya sudah terbukti tahan banting !! Kena musibah apapun, bisa bertahan dengan usaha swadaya, biarpun bantuan pemerintah lebih sering telat datang… atau bahkan tidak datang… Jangankan bantuan pemerintah, lha bantuan yang terkumpul dari sesama rakyat saja hampir selalu kena ’’sunat’’ kok…

Rakyatnya juga terbukti penyabar dan pemaaf. Dilanda berbagai musibahpun, pada akhirnya akan menerima dengan ‘’legowo’’. Disorot kamera malah kerap melambai-lambaikan tangan sembari tertawa-tawa riang (mungkin rakyat kecil memang butuh hiburan, pelipur lara dikala beban hidup terasa berat mendera). Paling-paling mengeluh dan mengurut dada saja. Kalau ditanya, mereka hanya menjawab sudah biasa dengan banjir yang datang tiap tahun itu, sehingga di awal musim hujan mereka sudah bersiap-siap membenahi harta-benda yang dapat diselamatkan. Seakan-akan banjir adalah sebuah rutinitas yang tidak lagi mengejutkan.

Dan hebatnya lagi, rakyatnya juga terbukti welas asih. Begitu mendengar berita musibah, maka ada saja elemen masyarakat yang bergerak menggalang bantuan, mengambil alih peran negara – walau tak jarang ada juga yang tetap tega mengambil kesempatan untuk menjarah.

Singkat kata, dalam menghadapi banjir, rakyat negeri ini memang tangguh. Mungkin karena Indonesia memang negara Bahari… Nenek moyangnya orang pelaut. Jadi luapan air bukan masalah. Tinggal ‘’berperahu’’, sebagai ganti alat transportasi darat. Tak ada perahu, rakitpun berguna.

Sepertinya memang enak jadi pemerintah di republik ini. Tanggungjawab ‘’ringan’’, tapi ‘’proyek’’ segudang. Tak heran setiap tiba masa berbagaimacam jenis pilkada, mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional, persaingan memperebutkan ‘’kursi’’ jabatan sangat tinggi. Semua berlomba-lomba ingin menjabat. Jalan merebut tampuk kekuasaan memang tidak mudah. Perlu ‘’modal’’ yang cukup besar. Tapi karena prospeknya… sangat menjanjikan, bila perlu sampai ‘’menghalalkan’’ segala cara. Prinsipnya mirip pepatah, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senaaaaaaaaang kemudian’’.

Jadi… pemerintahnya terbiasa tenang-tenang saja… aaah… biasa… Tidak ada masalah ! Nanti toh bantuan datang juga dari sesama masyarakat. Boleh dibilang, pemerintah negeri ini yakin benar dengan kesaktian slogan ‘’dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’’, secara harafiah. Dalam arti, kalau ada sebagian rakyat yang susah, pasti ada bagian rakyat lain yang datang membantu, bahkan bila perlu rakyat juga yang menyalurkan. Pemerintah tidak perlu repot-repot... Rakyat bisa bergerak sendiri.

Yang tidak kalah hebat… pemerintah di republik ini tidak merasa ‘’wajib’’ belajar. Sangatlah wajar kalau kesalahan yang sama terulang kembali. Dapat dimaklumi kalau hambatan yang sama terjadi lagi. Tidak pernah ada upaya untuk belajar dari pengalaman dan berusaha mencari solusi perbaikan yang tuntas. Walau setiap kali terjadi bencana, berarti rakyat yang sudah susah hidupnya, kembali mengalami kerugian materil demikian besar.

Hingga saat inipun berbagai berita banjir masih tersiar di stasiun-stasiun televisi. Lengkap dengan laporan bahwa sudah sekian lama bantuan belum juga tersalurkan ke daerah-daerah yang dilanda banjir karena hambatan Birokrasi !! Di Pati contohnya, banjir sudah melanda sejak seminggu lalu, tapi hingga beritanya disiarkan di salah satu stasiun televisi kemarin, belum ada bantuan yang datang dari pemerintah setempat. Apa gak hebat ?? Di negeri ini, seringkali bantuan sudah terkumpul dari masyarakat, masih saja terhambat proses penyalurannya. Tapi, walaupun hambatan birokrasi bukanlah ‘’barang’’ baru, jangan harap akan ada solusi. Setiap tahun musibah bencana datang, setiap tahun masalah yang sama terulang.

Angka korban yang berjatuhanpun tampaknya tidak menjadi penggerak untuk melakukan perbaikan yang serius dan berkelanjutan. Kalaupun ada, sekedar perbaikan tambal sulam, hanya untuk ‘’menenangkan’’ situasi. Atau sekedar formalitas, untuk keperluan liputan media. Menunjukkan kesan keberpihakan pada rakyat yang sedang terkena musibah. Dimana ada bencana kan biasanya ada media… nah, jangan sampai terliput media, tanpa ada usaha dong… (Hmmm… bagian dari kepentingan politik pencitraan ?) Jadi, begitu suasana kembali normal, musim penghujan usai, tidak ada lagi sorot kamera media, maka usahapun selesai… Sampai jumpa dikunjungan banjir berikutnya…

Atau… Mungkin juga karena penduduk negeri ini sangat banyak, sehingga bencana dapat dianggap sebagai ‘’seleksi alam’’ pengurangan penduduk. Daripada pusing-pusing merencanakan & menggerakkan program Keluarga Berencana yang semakin tahun semakin tidak jelas tingkat keberhasilannya, lumayan sudah terbantu oleh bencana.

Aaah… Banjir kok dipusingkan… Sudah Tradisi…


-PriMora Harahap-

20 Jan 2009

note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori sosial, serta di Mora's blog

Minggu, 18 Januari 2009

Save Our Culture

Judul di atas merupakan tema dari perayaaan 30 tahun sanggar kesenian Sangrina Bunda, pimpinan Elly Kasim. Dalam wawancaranya di sebuah acara infotainment yang ditayangkan stasiun televisi swasta, Elly Kasim mengatakan judul tersebut dipilihnya sebagai bentuk perhatiannya terhadap kelestarian budaya Indonesia. Dalam perayaan itu sejumlah tari-tarian tradisional dipentaskan disertai dengan lagu-lagu daerah yang dibawakan oleh penyanyi-penyayi muda negeri ini. Sebuah upaya yang patut dihargai, mengingat prakarsa ini justru datang dari elemen masyarakat.


Tari dan lagu memang merupakan bagian dari budaya bangsa ini yang wajib dilestarikan. Namun perlu disadari, cakupan budaya sebuah bangsa tidak hanya sebatas pada gerak tari dan lagu. Begitu banyak ragam kebudayaan besar bangsa ini yang perlu sentuhan dan perhatian yang serius, agar terhindar dari kepunahan. Sangat disayangkan, betapa sedikit pihak-pihak yang menyadarinya. Seringkali saya membaca berita mengenai kegiatan promosi pariwisata, baik di dalam negeri hingga menerbangkan duta budaya ke manca negara, apalagi sejak dicanangkannya program ‘’Visit Indonesia Year’’. Hampir seluruhnya sebatas pagelaran-pagelaran tari dan lagu, atau sekedar pameran kerajinan tangan dan kuliner.


Begitupun, belum hilang dari benak & ingatan, berbagai berita mengenai ‘’pencurian’’ tari dan lagu tradisional negeri ini oleh negara lain, hanya karena kelalaian & ketiadaan peran negara sebagai pelindung dan pelestari kebudayaan. Ketidaksigapan negara dalam melakukan proses inventarisasi dan sertifikasi atas peninggalan kebudayaan leluhur di seluruh nusantara telah mengakibatkan sedikit demi sedikit tidak ada lagi kebudayaan yang dapat dinyatakan sebagai milik bangsa ini.


Lalu bagaimana dengan nasib bangunan-bangunan bersejarah, artefak-artefak, situs-situs, arca-arca, kitab-kitab budaya dan masih banyak lagi peninggalan budaya leluhur bangsa ini secara fisik? Sebagian besar dari peninggalan-peninggalan fisik tersebut nyaris tidak mendapat perhatian yang layak dari negara ini, beberapa bahkan justru dapat ditemui di museum-museum besar di luar republik ini.


Berita mengenai apa yang menimpa cagar budaya Trowulan, di Mojokerto, akhir-akhir ini sungguh membuat hati miris. Betapa situs purbakala, bukti kebesaran Majapahit ini mengalami pengrusakan setiap tahunnya akibat dari kecerobohan, kelalaian dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sekitar maupun pemerintah. Aktivitas pembuatan batu bata oleh masyarakat setempat telah mengikis situs arkeologi tersebut. Perlahan namun pasti, pengambilan tanah dengan serampangan sebagai bahan pembuat batu bata telah mengancam keberadaan situs yang diperkirakan merupakan lokasi berdirinya kedaton Majapahit pada zaman kejayaannya. Sebuah cagar budaya bernilai sejarah tinggi nyaris punah hanya karena 'industri' batu bata ! Kondisi yang menunjukkan betapa rendahnya kesadaran budaya bangsa ini.


Proses pembangunan pusat informasi kerajaan Majapahit yang digalakkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan diharapkan dapat menjaga peninggalan bersejarah ini dari kepunahan, justru menambah parah kerusakan yang terjadi . Hal ini dikarenakan proses pembangunan dijalankan tanpa perencanaan yang matang, dengan tidak mengindahkan prosedur dari aspek arkeologis. Balai arkeologi Yogyakarta dalam sebuah berita di media cetak, mengatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan pusat informasi Majapahit ini. Sehingga ditenggarai proyek pembangunan ini dilakukan tanpa adanya proses penelitian secara arkeologis terlebih dahulu.


Begitu beragam berita seputar latar belakang pembangunan yang terkesan dilakukan dengan terburu-buru oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ini. Namun apapun yang melatarbelakangi alasan pembangunan yang tergesa-gesa tersebut, tetaplah tidak dapat dibenarkan bila pengabaian prosedur arkeologis justru memperparah kondisi kehancuran warisan budaya yang menggambarkan kebesaran peradaban leluhur bangsa ini.


Tak ayal, berita Trowulan mengingatkan saya pula akan usaha penggalian sebuah situs di wilayah Jawa Barat beberapa tahun silam, oleh seorang pejabat negara di masa itu. Penggalian yang tak pelak telah mengorbankan sebuah sejarah kebesaran bangsa, dimaksudkan untuk menemukan harta karun yang terpendam di dalamnya, demi penambah kas negara. Namun nyatanya ''harta karun'' yang ditemukan tidak sesuai dengan yang didamba. Sungguh sebuah kenaifan.


Seyogyanya, sebuah program pelestarian budaya haruslah dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehatian-hatian dan menghindari terjadinya kecerobohan yang memunahkan. Kini berbagai benda-benda peninggalan kebesaran kerajaan Majapahit luluh lantak tergilas pembangunan fondasi pusat informasi yang dibangun di atasnya. Sungguh sebuah ironi. Pemerintah yang diharapkan menjaga dan melestarikan warisan budaya dari kepunahan, justru menggelar program pembangunan yang menghancurkan kebesaran budaya itu.


Trowulan hanyalah satu dari sekian banyak peninggalan kebudayaan yang menggambarkan kebesaran peradaban bangsa ini. Begitu banyak warisan-warisan kebudayaan lainnya yang entah bagaimana nasibnya kini. Berbagai kerajaan pernah ada di bumi nusantara ini, membangun peradaban besar yang dikagumi hingga ke negeri lain. Kerajaan Sriwijaya bahkan disinyalir sebagai kerajaan yang mendirikan universitas tertua di dunia. Rekam sejarahpun menyebutkan betapa pelaut-pelaut negeri ini telah berlayar ke penjuru dunia sejak abad ke 5, jauh sebelum Columbus dan dinasti-dinasti China memulai pelayarannya.


Belum lagi, literatur-literatur dalam bentuk kitab suci bersejarah seperti Negara Kertagama, aksara-aksara kuno berbagai suku, seperti Honocoroko dari Jawa, aksara Batak purba dengan kalender tradisionalnya, huruf Bugis, dan masih banyak lagi. Jepang, Korea, China, Rusia, Arab, India dan Thailand adalah contoh negara yang masih melestarikan dan bangga akan aksaranya. Bahkan banyak negara di Eropa seperti Perancis, Spanyol dan Jerman masih mempertahankan bentuk-bentuk aksen tertentu pada aksara latinnya.


Benda-benda fisik bersejarah lainnya semacam keris, tombak, guci, arca dan berbagai jenis lainnya, acap lebih mudah ditemukan di museum-museum maupun balai-balai lelang di luar negeri ini. Pelbagai motif perhiasan dan kain tradisional mulai berpindah hak pengakuan oleh negara lain. Peninggalan budaya berupa arsitektur bangunan & pahatan, kini tenggelam ditelan era modernisasi & geliat komersialisasi lahan dengan gempuran gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.


Begitu banyak negara di dunia ini yang dapat maju berkembang dari segi perekonomian dengan tetap memelihara peninggalan kebudayaan arsitektur mereka. Yunani, Itali, ataupun Peru adalah sedikit contoh negara yang menjaga kebesaran budayanya. Demikian banyak pula negara yang masih mempertahankan bentuk-bentuk arsitektur bangunan bersejarahnya (heritage), di kota-kota besar sekalipun. Namun tidak di negeri ini.


Agaknya salah satu faktor pemicu musnahnya kebesaran kebudayaan dan peradaban bangsa ini dikarenakan proses Indonesianisasi kerap dipahami sebagai sebuah proses penyatuan negara dalam pengertian peleburan total dari seluruh elemen bangsa dengan meninggalkan dan menghilangkan akar budaya masing-masing. Sehingga dalam prosesnya, tercapainya bentuk ke Ekaan menjadi lebih ditekankan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, dibandingkan dengan menyadari adanya bentuk ke Bhinekaan itu sendiri.


Sejatinya dalam proses Indonesianisasi, bangsa ini tidak perlu menghilangkan akar budaya setiap suku pembentuknya, namun tidak juga harus disikapi dengan mempertahankan kebudayaan berdasarkan fanatisme kesukuan. Selayaknya disadari bahwa akar budaya yang beragam di negeri ini haruslah dijadikan fondasi identitas bagi ke Bhinekaan Indonesia, dan bukan dalam bentuk penyeragaman yang mematikan keberagaman budaya tersebut.


Keragaman tidak harus dipaksakan menjadi keseragaman. Keunikan & kearifan lokal semestinya dipertahankan dan dikembangkan untuk memperkaya kehidupan peradaban bangsa ini. Sangat disayangkan, bila kebesaran budaya & peradaban ini punah, dan berakhir hanya sebagai bangsa yang ‘besar’ secara materi, mungkin pesat dari sisi pembangunan namun tak lagi memiliki akar budaya yang kuat, sebagaimana terjadi pada Amerika Serikat.


Paham kebangsaan tidak semestinya mematikan arti kebudayaan, begitupun sebaliknya. Eksistensi kebudayaan tidak seharusnya menghilangkan rasa kebanggaan berbangsa. Punahnya budaya-budaya lokal, dikhawatirkan akan melenyapkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Proses globalisasi dan modernisasi tanpa arah, hanya akan membuat bangsa ini berkembang tanpa jati diri & peradaban yang kuat.


Simak, betapa sebagian besar generasi muda negeri ini begitu bangga dengan segala hal yang berbau ‘’kebarat-baratan’’ atau setidaknya berasal dari ‘’luar negeri’’. Bagaimana tayangan-tayangan sinetron di layar kaca mencontohkan hal-hal yang jauh dari kebanggaan akan menjadi seorang Indonesia. Tidak hanya dalam hal gaya hidup bahkan hingga ke cara bicara dengan aksen yang terkesan dibuat-buat. Penguasaan bahasa asing sebagai bahasa sosialisasi internasional memang tak dapat dihindari, namun hal itu tidak dapat diartikan sebagai sebuah penghilangan jati diri Indonesia, dengan menghilangkan logat & dialek setempat.


Tengok bagaimana rapuhnya kehidupan bermasyarakat yang kini dengan mudah terprovokasi oleh fanatisme tak berdasar, berkembang menjadi tawuran dan perseteruan. Sedangkan sejarah mengatakan bahwa para leluhur bangsa besar ini telah lama menjalin hubungan baik dengan berbagai bangsa di penjuru dunia, bahwa para pelaut negeri ini telah lama berkelana menjelajahi penjuru bumi. Bahkan kerajaan-kerajaan besar di negeri ini telah menjadi kiblat bagi peradaban negara-negara lain di zaman keemasannya dahulu, hidup berdampingan dengan damai & tentram dalam berbagai keragaman.


Lihat pula, betapa sering ditemukan corat-coret tak bertanggungjawab pada sejumlah bangunan budaya bersejarah. Kata-kata tanpa makna ditorehkan oleh anak-anak muda negeri ini, sekedar ungkapan ekspresi keberadaan, yang tanpa mereka sadari telah mengotori sejarah budaya yang tak ternilai harganya.


Sepertinya telah menjadi gejala di republik ini untuk mengambil kebijakan yang bersifat praktis & oportunis, sekedar memenuhi kepentingan yang bersifat temporer, pemenuh kewajiban saat memangku sebuah mandat. Berbagai program kebudayaan hanya dijalankan sebatas pemenuhan jangka pendek yang bersifat instant, yang kerap lebih tepat disebut sekedar proyek ketimbang program yang terencana.


Program pelestarian kebudayaan selalu dikaitkan dengan tujuan pariwisata semata, dan bukan pada pembangunan kebudayaan itu sendiri. Sehingga pencapaian dari setiap program yang dicanangkan hanya bertumpu pada olahan angka-angka statistik peningkatan kunjungan wisatawan dan tingkat hunian hotel, yang berujung pada hitungan perolehan devisa negara.


Sebuah upaya pembinaan dan peningkatan kesadaran budaya sekaligus rasa kebangsaan pada masyarakat tak lagi tersentuh. Pengabaian ini telah membuat masyarakat tumbuh dengan pergeseran peradaban yang tidak lagi memiliki kebanggaan akan budayanya & kesadaran untuk menjaga kelestariannya, namun acap terjebak dalam arti kesukuan yang sempit dan rasa kebangsaan yang dangkal.


Seharusnyalah sebuah program pariwisata dibangun di atas fondasi sebuah program kebudayaan yang kuat dari hulu ke hilir. Kesadaran budaya yang kuat pada masyarakat, diikuti oleh rasa kebangsaan yang tinggi, yang ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang baik serta promosi pariwisata yang bergema, dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Diperlukan program pembinaan sekaligus pengembangan & pelestarian budaya yang komprehensif & terintegrasi.


Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga dapat menghargai dan menjaga kebesaran budaya leluhurnya.


Adakah bangsa ini masih memilikinya?


-PriMora Harahap-

16 Jan 2009

note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog

Selasa, 13 Januari 2009

Ima & Saya - Indahnya Persahabatan

‘’Mor, ya ampuuun… lo kemana aja sih, lama bener gak ada kabarnya? Kirain udah nyungsep kaya’ Index’’, cerocos Ima dengan suara nyaringnya begitu sambungan teleponnya saya terima. Ckckck… saya cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Sahabat saya yang satu ini memang selalu ceplas-ceplos kalau bicara. Dan karena bekerja di sebuah lembaga keuangan, dia acap menggunakan istilah-istilah keuangan.Berhubung Index di berbagai bursa memang sedang merosot turun terus, maka iapun menggunakannya sebagai analogi. Tapi biar suka nyerocos begitu, Ima tergolong sahabat yang baik hati dan perhatian pada teman-temannya.

Saya kenal dia saat mengambil kursus bahasa asing yang kami ikuti bersama. Kami memang tergolong jenis ‘’manusia kurang kerjaan’’, begitu kalau meminjam istilah yang diberikan seorang sahabat saya lainnya. Julukan itu diberikannya karena kami kerap mengikuti berbagai kursus. ‘’Yaaa… iseng-iseng berhadiahlah. Iseng isi waktu luang, tapi paling gak kan ada ‘hadiah’nya, ada ilmunya dikit-dikitlah yang nyantol di kepala’’, begitu alibi kami memberikan alasan perihal perburuan kursus itu.


Tapi seiseng-isengnya kami, jangan harap kalau kami bersedia mengikuti kursus di luar radius Jakarta Selatan, paling jauh ke Jakarta Pusat deh. Yang penting seputaran daerah kekuasaan kami, maklum kami berumah dan berkantor di wilayah Jakarta Selatan. Kalau di luar radius itu… Ih, gak lah yau… Di Jakarta gitu loh, jalanan kan tiap hari macet parah. Bisa tua di jalan. Lagipula yang namanya iseng-iseng berhadiah itu gak boleh terlalu merepotkan. Itu sih judulnya ‘’Killing Me Softly’’.


Ihwal kegiatan kursus-kursus yang kami ikuti itupun, jangan berharap terlalu banyak akan hasilnya. Kami memang mengikutinya dengan penuh riang gembira. Lebih mirip ajang ‘’play ground’’. Tapi sekalipun kami telah mengikuti pelbagai kursus bahasa asing hingga khatam (setidaknya beberapa bahasa asing dari seputaran wilayah Eropa Selatan jadi sasaran program ‘’iseng-iseng berhadiah’’ kami), hingga kinipun kami masih terbata-bata bila berbicara dalam bahasa-bahasa yang bisa bikin lidah kusut itu. ‘’Yaa… namanya juga ‘’iseng-iseng berhadiah’’, kalau ada yang nyantol di kepala, nah… itu hadiahnya. Kalau gak ada, yaaa… namanya juga iseng’’, kembali kami beralibi bila ada yang mempertanyakan hasil kursus kami. Pembenaran lain yang cukup sering kami gunakan adalah ‘’Susah siih… gak ada sparring partner. Namanya juga bahasa, kan baru bisa lancar kalau digunakan sehari-hari. Di sini kan jarang yang bicara bahasa Perancis, Spanyol atau Italy, apalagi kami kerja bukan di perusahaan yang sehari-hari pakai bahasa itu’’ (Heeehhh… Alasan!!).


Perihal kenapa kami memilih bahasa-bahasa itu, karena kriteria yang kami gunakan adalah harus bahasa dari negara yang zaman dahulu kala punya banyak wilayah jajahan, sehingga bahasanya digunakan di banyak negara. Nah, Perancis dan Spanyol kan memang terkenal punya banyak negara jajahan. Jadi rasanya gak rugi deh kalau belajar bahasa itu. Coba kalau kita belajar bahasa Swahili, misalnya. Usaha yang diperlukan sama besarnya, capainya sama saja, harus setengah hidup (saya gak pernah suka menggunakan kata ‘setengah mati’) menghafal kosakatanya, tapi selain di Swahili, mau dipakai ngomong di mana?. Rugi dong…


Sedangkan kenapa akhirnya saya mengikuti juga kursus bahasa Italy, tidak lebih dan tidak kurang karena alasan ‘’tanggung’’. Rasanya tanggung yaa… sudah terlanjur pernah ngerti bahasa Perancis dan Spanyol, kalau gak belajar bahasa Italy. Karena katanya grammar-nya hampir mirip. Hanya sayang, untuk kursus bahasa Italy, Ima malas mengikutinya. ‘’Males ah Mor. Capek-capek belajar, cuma bisa dipakai di Italy aja… Gak ada untungnya’’, begitu kilahnya. ‘’Huh! Dasar! Mentang-mentang orang keuangan. Perhitungan amat sih’’, gerutu saya dalam hati.


Sementara saya masih bercita-cita akan mengikuti kursus satu bahasa lagi. Belanda! Awalnya agak malas juga belajar bahasa yang satu ini. ‘’Ih! Ngapain belajar bahasa penjajah’’, begitu pikir saya. Lebih lagi, melalui hasil penelaahan saya, Belanda adalah contoh penjajah yang sangat buruk. Coba tengok, apa peran & sumbangsihnya bagi pengembangan Indonesia, selain mengeruk & memerah kekayaan bangsa ini selama berabad-abad. Menurut hemat saya nih… Belanda sama sekali tidak mendidik bangsa yang dijajahnya. Bahkan bahasanyapun tidak terwarisi dengan baik di sini sebagai bahasa sehari-hari ke-dua. Kecuali para orangtua yang sudah sangat sepuh (saya menyebutnya ‘’peninggalan’’ zaman penjajahan) atau yang memang sengaja khusus mempelajarinya, siapa sih orang di Indonesia yang fasih berbahasa Belanda? Sedangkan negara-negara jajahan Inggris bisa jauh lebih makmur, berhasil mengembangkan negaranya masing-masing dan sehari-hari menggunakan bahasa internasional itu. Jadi saya selalu berkesimpulan bahwa Indonesia jadi ‘’salah asuhan’’ begini, karena salah (‘’dapat”) penjajah.


Namun akhirnya saya ingin juga belajar bahasa penjajah ini, semata-mata dengan latar belakang supaya bisa mengerti percakapan Ibu saya dengan saudara-saudaranya. Ya, ibu saya yang dibesarkan oleh kakek-nenek saya dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar ke dua di rumahnya kala itu, hingga kini selalu menggunakan bahasa Belanda bila bercakap-cakap dengan tante-tante saya. Sering hal ini menjengkelkan saya, terutama kalau mereka mulai membicarakan anak-anaknya, sengaja dengan bahasa Belanda, dengan tujuan agar kami tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Wah! Rasanya mangkel bener deh, dijadikan bahan pembicaraan tapi kita gak ngerti. Sejak itulah, saya bertekad untuk mempelajari bahasa yang satu ini. Tapi nanti sajalah, setelah bahasa Italy sudah khatam. Bisa pecah kepala saya kalau sekaligus mengambil 2 kursus bahasa asing yang sama-sama bikin pusing.


Selain kursus bahasa, kami juga mengikuti kursus yang berkesenian. ‘’Perlu untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan, sehingga hidup kita juga seimbang’’, begitu Ima berteori. Maka serentetan kursus senipun kami ikuti, mulai dari kursus segala macam dansa (entah itu ballroom dance hingga latin dance) sampai kursus handycraft. Di bidang yang terakhir ini, saya harus akui bahwa ternyata saya lebih ‘’kurang kerjaan’’ ketimbang Ima. Dia saja sampai terlongong-longong saat saya bercerita bahwa saya mengambil kursus ceramic painting, polymer clay, paper tool, pottery (membuat pelbagai keramik dari tanah lempung) hingga jewelry making dan membatik dengan canting.


‘’Wah! Kalau itu gue gak sanggup deh Mor. Lo tau kan, gue orangnya gak sabar-sabar amat. Bisa mumet otak gue kalau disuruh membatik’’, demikian penolakannya atas ajakan saya untuk mengikuti kursus handycraft. ‘’Justru itu Im. Gue ambil kursus handycraft juga tujuannya lebih untuk terapi kesabaran. Bagus tuh untuk melatih kesabaran kita’’, bujuk saya. Namun untuk yang satu ini Ima tetap bergeming. Terpaksalah saya memulai kursus tanpa ditemani oleh Ima. ‘’Gak apalah, toh nanti juga dapet temen baru’’, pikir saya.


Begitupun, tidak semua jenis kursus handycraft saya ikuti. Khusus untuk kursus yang berkaitan dengan kegiatan lukis-melukis serta bersentuhan dengan benang, sejak awal sudah saya hindari. Oh no! Jangankan melukis, saya tidak mempunyai bakat sama sekali dalam bidang menggambar. Saat masih bersekolahpun saya selalu sakit kepala bila sudah tiba pada pelajaran seni lukis. Menggambar hidung orang saja bisa lebih setengah jam lamanya tanpa hasil yang memuaskan. Tiap kali mengikuti psycho test, saya selalu mencoba memohon ke mbak atau mas yang mengawasi, ‘’Boleh gak saya dikasih tes deret hitung atau mencari pola lagi? Hitung-hitungan juga boleh deh, asal jangan menggambar. Please…’’. Dan sudah pasti permintaan saya itu tidak pernah dikabulkan, meskipun saya telah memasang wajah sememelas mungkin. Satu-satunya keberhasilan saya dalam bidang menggambar hanyalah ketika saya dinyatakan lulus matakuliah Menggambar Teknik yang wajib diambil saat menempuh pendidikan di jurusan Teknik Elektro.


Sedangkan untuk handycraft yang berbahan dasar benang… Ampun deh! Pikiran saya bisa sama kusutnya dengan kekusutan benang yang saya buat, seperti ketika tiap kali saya harus mengikuti prakarya merajut (pelajaran ketrampilan khusus bagi murid wanita) saat masih sekolah menengah dulu. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa bersahabat dengan benda itu. Jadi, yang namanya knitting, quilting dan gerombolannya dari awal tegas-tegas saya tolak.


Tapi nyatanya, saya memang ‘’kurang kerjaan’’. Sehingga ketika hampir seluruh jenis handycraft (kecuali melukis dan berbahan benang), yang diadakan oleh tempat kursus itu sudah saya ikuti, akhirnya saya melirik juga ke ‘sepupunya’ benang. Mirip-mirip benang, tapi tetap bukan benang. Saya masih enggan bersentuhan dengan benda yang jelas-jelas diberi nama benang. Sepertinya benda itu mudah sekali kusut bila berada di tangan saya. Jadilah saya mengambil kursus handycraft yang berbahan dasar pita. Ya, kursus ribbon embroidery (pita, bukan benang kan…).


Ada
gunanya juga saya mengikuti kursus-kursus handycraft ini, selain sebagai terapi kesabaran (disamping alasan klasik mengisi waktu luang tentunya), saya jadi semakin dapat menghargai jerih payah para pekerja seni seperti pengrajin maupun pembatik tulis. Ternyata gak gampang lhooo… membuat batik tulis itu. Di tahap-tahap awal belajar, saya nyaris frustasi ‘’mengatasi’’ malam cair dalam canting saya supaya tidak menetes (‘’mbeleber’’) di atas kain. Karena kalau sudah mbeleber… Wah! Dua kali kerjaan untuk ‘’menghapusnya’’ lagi dengan air panas, menunggunya kering hingga baru dapat dikerjakan lagi. Sungguh membutuhkan kesabaran dan ketekunan tingkat tinggi (satu hal yang terkadang tidak saya miliki).


Ima memang sahabat yang setia setiap saat. Tidak perduli hari-hari panas, hari-hari dingin, selalu jadi hari-hari persahabatan kami. Hehehe… kok jadi mirip tag line iklan. Tapi kenyataannya memang demikian. Hebatnya lagi, Ima terkadang mirip seperti ‘’cenayang’’. Sering saat saya sedang diserang bad mood’’ atau mumet dengan urusan kantor yang rasanya gak habis-habis, tiba-tiba datang telepon dari Ima. Dan biasanya, setelah ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari topik yang top & hot sampai yang paling gak penting deh… ketawa-ketiwi sejenak dengan Ima, lalu… Voila! Ajaib! ‘’Mood’’ saya seketika normal kembali.


Begitupun sebaliknya, bila sudah pusing tujuh keliling sama Index yang suka nyungsep, Ima biasanya langsung menelepon saya untuk sekedar mengajak nonton atau makan bareng, seusai jam kantor. Tak perlu pakai rencana! Beberapa kali bahkan kami belum tahu pasti jalan cerita film yang akan kami tonton, asalkan jangan film horror (wah! genre film ini bisa bikin begadang, gak bisa tidur semaleman, alias nightmare). ‘’Terserah deh ceritanya apaan. Gak pentinglah.Yang penting nih yang main itu si Keanu Reaves, Mor. Gila! Keren banget kan dia. Orangnya cool lagi…’’, begitu rayu Ima untuk menemaninya nonton film, apalagi kalau peran utamanya dimainkan oleh aktor idolanya itu. Tapi memang iya sih, belakangan ini saya juga lebih suka melihat gaya ‘’cool’’nya Keanu Reaves ketimbang Tom Cruise yang entah kenapa akhir-akhir ini suka pecicilan. Wuih! Kami paling alergi ngeliat cowo’ yang gayanya pecicilan gak jelas.


Ima juga selalu siap sedia dengan solusi yang jitu atas setiap permasalahan yang saya ceritakan padanya. Seperti saat saya bercerita tentang adik sepupu saya yang diterima di Univ. Gajah Mada – Yogya. ‘’Im, lo kenal Dimas kan ? Dia udah diterima di UGM, lewat jalur penelusuran minat gitu deh’’, cerita saya. ‘’Wah! OK dong. Terus nanti dia di sana kos?”, sambutnya gembira. Ima memang mengenalnya karena Dimas pernah beberapa kali saya ajak nonton bersama. ‘’Ya iyalah, keluarga gue kan gak ada yang tinggal di Yogya. Justru itu, nanti siapa yang bisa mengawasi anak ‘’bengal’’ itu ya… gue takut dia kebanyakan main dan pelajarannya jadi keteteran ‘’, risau saya. ‘’Gak usah pusing, Mor. Kasih aja nama lengkapnya ke gue. Nanti gue titip ke Oom gue yang jadi dosen di UGM supaya diawasi’’, ujarnya memberi solusi. ‘’Wow! Idea yang sungguh brilliant’’, pikir saya senang.


Tentu pendapat saya ini sangat bertolakbelakang dengan tanggapan Dimas. Dia langsung menunjukkan wajah cemberutnya saat saya beritakan solusi ini. ‘’Huh! Kenapa sih, mesti dititip-titip segala’’, sungutnya kesal. ‘’Ya iyalah, kan jadi ada yang mengawasi kamu. Kalau gak, nanti kamu malah kebanyakan main, gak lulus-lulus lagi’’, sambung saya dengan senyum tersungging penuh rasa puas. Saya memang sudah ‘’mencurigai’’ niatnya untuk ‘’melarikan diri’’ dari pantauan keluarga ketika dia mengutarakan maksudnya hanya ingin mengikuti ujian masuk PTN di Yogya dan menolak mentah-mentah anjuran saya untuk mencoba juga ujian masuk PTN di Jakarta. “Coba aja ujian yang di Jakarta juga Dim. Siapa tahu keterima, jadi kan pilihannya lebih banyak. Mama Yuti (sebutan kami untuk ibu saya) kan dulu juga kuliah di UI’’, begitu saran saya kala itu. ‘’Gak usah ah. Kan aku udah diterima di Yogya. Papa Dollar (panggilannya untuk ayah saya) dulu juga kuliah di UGM. Buktinya berhasil kan”, kilah dia yang membuat saya mati kutu tak bisa membalas.


Siang ini Ima kembali menelepon saya. Kali ini dia hendak mengajak saya menonton ‘’Java Jazz’’ yang akan diadakan awal Maret mendatang. Kami memang tidak pernah absen melihat perhelatan Jazz sekali setahun itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tentu langsung menyambut baik ajakannya. Kebetulan kami sudah cukup lama tidak berjumpa, karena kesibukan di kantor masing-masing. Ima lalu bertanya kursus apalagi yang sedang saya ikuti sekarang. “Wah ! Belum ada lagi Im. Puyeng juga nih. Kursus bahasa Italy, baru dapet 2 level, belum bisa lanjut lagi. Gurunya pulang ke Italy, belum ada gantinya’’, begitu keluh saya padanya.


‘’Gimana kalau kita kursus piano aja Mor. Lo kan dulu pernah kursus piano. Nah, dilanjutkan aja lagi, gue mau tuh ikutan’’, tiba-tiba Ima mengajukan sebuah idea. Sontak saya langsung terlonjak dari kursi ketika mendengarnya. Hahh?! Gak salah nih? ‘’MasyaAllah… Imaa… Lo mau kursus piano? Hahahaha… - (maaf, tawa sayapun pecah tak kuasa menahan rasa geli) - Too late…Im… Too late… Jari-jemari lo udah kelewat kaku buat belajar main piano”, respon saya penuh geli bercampur heran. ‘’Yeee… gue kan pernah belajar main piano waktu kecil dulu Mor. Cuma gak dilanjutkan aja’’, balasnya. ‘’Sama dong”, begitu batin saya dalam hati. Begitupun saya penasaran… ‘’Ada apa?? Kok tiba-tiba kepikiran mau belajar main piano?”, selidik saya. ‘’Ya, daripada piano di rumah nganggur, gak ada yang pakai kan…”, begitu alasannya.


Berawal dari cita-cita Ima untuk kembali menekuni kursus piano, sayapun teringat minggu lalu sempat menyaksikan konser piano Ananda Sukarlan yang digelar di awal tahun ini. ‘’Im, setau gue sih, orang bisa mahir main piano kalau dilatih terus-menerus dari kecil. Eh, minggu lalu gue kan nonton konsernya Ananda Sukarlan. Gila Im. Hebat banget euy’’, begitu cerita saya. ‘’Oh iya, Ananda Sukarlan emang hebat, gue denger katanya suaranya bagus banget. Dia soprano kan…?”, Ima langsung menyambut cerita saya dengan semangat… tapi… salah!! ‘’Oh M G !… Ima… Please deh… Por favor… Itu Binu Sukaman lagi, bukan Ananda Sukarlan. Emang kedengerannya hampir mirip sih nama belakangnya, tapi jelas-jelas beda, yang satu cewe’, yang satu cowo’…’’, bombardir saya penuh rasa gemas. Ampun deh sahabatku ini. ‘’Eh, bukan penyanyi ya?’’, tanyanya lagi memastikan. ‘’Bukan lagi, Im. Pianis. Ananda Sukarlan itu pianis. Un grand pianist.’’, jelas saya. ‘’Wah! Coba lo ikutan Im. Bener-bener hebat deh. Selain dia, para finalis & pemenang Ananda Sukarlan’ award juga ikut main piano. Yang dimainkan semua komposisinya dia, tapi yang gila nih… di akhir acara, komposisinya dimainkan sama 6 orang sekaligus. Bayangkan Im! Enam orang kan 60 jari.’’, lanjut saya antusias. ‘’Wow! Hebat juga ya… Enam orang di satu piano. Pasti ribet dong’’, ujarnya. Heepp !! ‘’Ya pasti ribet kalau 6 orang disuruh main di satu piano. Gimana sih?”, keluh saya dalam hati, gak habis pikir, kok bisa salah paham lagi. Tapi salah saya juga sih, tidak menjelaskan dengan detil. ‘’Ya enggaklah Im… Mana bisa 6 orang main di satu piano. Emang mau pangku-pangkuan? Satu piano cuma muat 2 orang lagi. Jadi ada 3 piano Im. Masing-masing dipakai duet’’, saya mencoba menjelaskan dengan sabar.


Berhubung jam istirahat sudah usai dan masih banyak pekerjaan di kantor yang menanti untuk diselesaikan, maka kamipun menyudahi percakapan di telepon dengan janji akan menonton perhelatan ‘’Java Jazz’’ bersama-sama selama 3 hari penuh! ‘’Sekalian aja 3 hari Mor. Jadi lebih murah. Kita beli yang early bird, kan lebih murah lagi - (OK deh… lagi-lagi dasar orang keuangan, cepet banget ngitung untung-ruginya) - Toh hari Seninnya libur. Jadi kalau gubrak (kecapaian, maksudnya, red.) juga gak masalah’’, demikian ajaknya.


Begitulah Ima. Salah seorang dari sahabat-sahabat saya yang baik, ramah, riang, terkadang lucu dan yang pasti selalu memberi warna di kehidupan persahabatan kami. Saya sungguh bersyukur telah berjumpa dengan dia. Sebuah anugerah terindah dalam hidup ini bila dapat memiliki sahabat-sahabat di sekitar kita. Dunia ini terasa begitu damai & membahagiakan, bila dipenuhi dengan banyak sahabat.



-PriMora Harahap-

13 Jan 2009

Senin, 12 Januari 2009

Ketika Nurani Berbias Ganda

Negara itu acap menjerit

menuding terorisme sana-sini

basmi yang tak selini atas nama nurani

walau tiada pernah terbukti

Negara itu kerap jumawa

berlagak bak polisi dunia

berkilah di balik hak asasi manusia

dan peradaban yang berbudaya

Negara itu sering busungkan dada

sebagai pencari keadilan

penegak kebenaran

penghancur kezaliman

Negara itu merasa adidaya

lancarkan agresi ke penjuru jagad

paksakan aturan tak berdasar

sebagai acuan asas kemanusiaan

Saat bumi terhenyak

oleh kenyataan yang ada

sebuah pembunuhan masal

tlah terjadi di depan mata

Saat semesta tergugu

oleh jerit tangis nan sendu

korban kebrutalan menderu

sisakan jasad-jasad membeku

Saat dunia tergerak

coba hentikan kebiadaban

dari sebuah keakuan

yang lahirkan derita tak berkesudahan

Negara itu hanya terdiam

laksana tak berdaya tuk bersikap

nuranipun seakan lenyap

walau sorot mata dunia tertuju padanya

Negara itu hanya membisu

bagai kikuk tak menentu

tak jua sekedar mengutuk

penzaliman keji oleh sang sekutu

Negara itu hanya bungkam

tak lagi bersuara tentang hak kemanusiaan

tatkala saksikan perampasan wilayah

dari sebuah bangsa berdaulat



-PriMora Harahap-

12 Jan 2009


note:
dipostingkan juga di Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Apa yang Kau Cari, Israel ?

Kau tutup tahun dengan dentuman senjata perenggut nyawa

tahunpun kembali kau buka dengan bombardir mesiu pemusnah masal

begitu banyak raga bergelimpang dari jiwa yang teregang di Gaza

Biadab! teramat biadab!

genosida tengah berjalan

pemusnahan sebuah bangsa sedang digelar

Ironis ! sungguh ironis !

saksikan dunia hanya dapat bersedih

terpana tak berdaya, tanpa resolusi berarti

Bahkan upaya penyelamatan krisis ekonomi

tlah sita perhatian seluruh penduduk bumi

sibukkan dunia lebih dari ini

Apa yang kau cari, Israel ?

jerit tangis & ratapan pilu mereka tak jua kau hiraukan

kecaman warga seluruh dunia tak pula kau perdulikan

aaah… aku lupa…

tidak… tentu tidak seantero dunia…

dukungan karib negara adidaya tlah membuatmu pongah merasa berjaya

Apa sesungguhnya yang kau cari, Israel ?

adakah ini hanya sekedar eksistensi wilayah?

ataukah kedigdayaanmu yang kau harap tertoreh dalam sejarah kemanusiaan?

Oooh… ada lagi kudengar…

sebuah pertaruhan tampuk kekuasaan elit politikmu yang sedang diperebutkan?

hingga kau perlukan sebuah permainan politik pencitraan di atas derita Palestina?

Nista… alangkah nista…

kau korbankan beratus bahkan beribu nyawa hanya demi kekuasaan

akankah kau akhiri bila semua tlah punah… musnah…

Betapa orang-orang tak berdosa

kau hantui rasa ketakutan mendalam

hadirnya mesin pembinasa

Lupakah kau akan rasa takut itu?

yang tlah pernah menghantui bangsamu?

saat kematian bergayut di udara yang terhirup?

Lupakah kau betapa dunia tlah mencatat cerita suram di masa silam?

bagaimana pedih perihnya leluhurmu menanggung derita?

tatkala Nazi memusnahkan bangsamu atas nama pemurnian ras?

Akankah kau ulangi sejarah kelam itu?

inikah bentuk kompensasi atas ketidakberdayaanmu di masa lalu?

ataukah keangkuhanmu akan sebuah pengakuan?

Apa yang kau cari, Israel?

sadarkah kau sebagian besar korbanmu adalah mereka yang tak berdaya?

terbayangkah olehmu berapa banyak keluarga tlah tercerai berai?


-PriMora Harahap-

12 Jan 2009


note:
dipostingkan juga di Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.