Selasa, 30 Desember 2008

Waktu (Selamat Tahun Baru)


Waktu…

kadang tak lebih dari sekedar satuan

penanda panjang pendeknya proses berjalan

Waktu…

kerap menjadi batas-batas

penanda sebuah pembaharuan dicanangkan

Waktu…

sering tak disadari

tlah berlalu tanpa arti

Waktu…

acap diagungkan demikian penting

hingga dimaknai layaknya investasi

Waktu…

akankah dapat manusia sadari

bila waktu untuknya kan berakhir

Waktu…

mungkinkan dapat terbayangkan

berapa lama masih tersisa

Waktu…

sejatinya sebuah misteri tak berbatas

yang diperlakukan sebagai pembatas

Waktu…

semestinya tak membatasi

setiap resolusi tuk diawali

Karena…


Waktu…

tak kan pernah berhenti

menanti manusia bersiap diri


Waktu…

kan tetap trus berjalan

tanpa dapat tertahankan

Kini…


Waktu…

penanda penghujung tahun

kan bermulanya awal tahun

Waktu…

ah… berapa banyak tlah terbuang

tanpa makna bagi sesama

Namun…


Waktu…

adalah pula alat pembenaran

tuk kegagalan yang tercipta

Waktu…

pun alibi yang jitu

tuk penundaan ke tahun yang baru

Waktu…

bila tlah berlalu

berujung pada sesal nan pilu

Waktu…

jangan jadikan penghalang

tuk setiap kebajikan & pertobatan

Waktu…

tlah tiba di penghujung tahun yang biru

jelang tahun yang baru

Waktu…

harapkan tak lagi membelenggu

pengekang daya tak berwujud

Waktu…

citakan sbagai pemicu

setiap langkah tuk maju


-PriMora Harahap-


30 Des 2008


note:
dipostingkan juga di Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Renungan Akhir Tahun


Sungguh tahun yang sendu

penuh guratan kelabu

berkubang pilu

Sungguh tahun sarat gambaran

hikayat akan ketamakan

tirani nafsu tak terkekang

Sungguh tahun penuh derita

penindasan tak berdasar

atas nama penyelamatan

Sungguh tahun sesak potret buram

sejarah peradaban manusia

dengan segala keangkuhannya

Sungguh dunia kini terpaku

dalam bisu dan kelu

ratapi sesal menggayut

Sungguh sebuah kedigdayaan

tlah berganti keterpurukan

saat semesta alam tebarkan amarah

Sungguh sebuah kenistaan

tatkala manusia dipaksa menyerah

diujung ketakberdayaannya

Begitupun…


Sungguh manusia tak pernah bisa berkaca

akan apa yang tlah mendera

sangkal semua yang tlah melanda

Sungguh sebuah catatan kelam

akan kepongahan manusia

kembali tertoreh di penghujung kala

Sungguh akankah hanya berakhir

bila laknat tlah menghampiri

dan murka Sang Maha Penguasa sadarkan diri


-PriMora Harahap-


30 Des 2008


note:

didedikasikan bagi mereka yang menjalani tahun dengan penuh derita, khususnya bagi mereka yang menutup tahun dalam gelimang darah & derai air mata di Gaza.

Rabu, 24 Desember 2008

Puisi dan Lagu Sarat Makna…

Sebuah catatan masih tercecer dari acara yang diselenggarakan semalam sebelum penutupan program World Music Festival 2008 – GKJ. Tepat pada malam ke 16 di bulan Desember lalu, sebuah kolaborasi pembacaan puisi & nyanyian, diberi titel ‘’Generasi Dalam Dialog’’, hadir dengan iringan Skolastika Ansamble yang dikomandani oleh Marusya Nainggolan.

Binu Sukaman, salah satu penyanyi seriosa terbaik milik negeri ini, membuka acara dengan lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu tersebut terasa begitu menggambarkan kondisi negeri tercinta ini. Betapa Ibu Pertiwi kini sedang bersusah hati… merintih dan berdo’a… melihat proses penzaliman tanpa kendali atas simpanan kekayaan alam negeri ini… hutan, gunung, sawah & lautan… yang acap hanya untuk kemakmuran segelintir golongan… tanpa pernah kembali untuk dinikmati oleh bangsanya…


kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang

hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa

kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu

ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa


Duhai ibu pertiwi… takkan heran pabila dikau bersusah hati… berlinang air mata… menyaksikan betapa kini lebih banyak yang merambah harta pusaka ketimbang menjaganya…

Pada penggalan pertama acara ini, serangkaian puisi bertema kepedulian lingkungan, keprihatinan serta kritik sosial karya Taufik Ismail dibacakan sendiri oleh empunya.

Taufik Ismail dengan lantang membacakan puisi pertamanya berjudul ‘’Beri Aku Sumba’’ yang bercerita tentang keindahan alam Sumba. Kerinduan ribuan kuda-kuda Sumba akan pegunungan yang indah… menyadarkan kembali akan betapa indahnya alam negeri ini. Negeri yang dikaruniai dengan begitu banyak kekayaan alam & pemandangan alam yang begitu indah. Tidak kalah indah, bahkan jauh lebih indah dari negeri lainnya.

Sebuah lagu lawas ciptaan Ibu Sud berjudul ‘’Tanah Airku’’ yang terlantun lewat bening suara Binu Sukaman jelas menggambarkan keindahan negeri ini lewat lirik demi liriknya.


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan


Sejatinya dengan menjaga kelestarian alam negri inilah, bangsa ini dapat menghargainya. Hanya yang terjadi, kerap kali keserakahan duniawi meluruhlantakkan keindahannya. Hingga tinggalah hutan-hutan gundul, lubang-lubang tambang menganga hasil eksploitasi alam tanpa batas…

Sejatinya pula negeri ini subur makmur… gemah ripah loh jinawi… sebelum bentangan & hamparan sawan nan hijau berubah rupa berganti belantara beton nan menjulang tinggi, yang atas nama pembangunan seakan ''merestui'' setiap langkah pemuka negeri ini untuk mengkomersilkan setiap jengkal lahan yang ada.

Kiranya petinggi negeri ini perlu meresapi kembali bait demi bait lagu ‘’Serumpun Padi’’ karya Maladi yang mahsyur itu.


Serumpun padi tumbuh disawah
Hijau menguning daunnya
Tumbuh di sawah penuh berlumpur
Dipangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci
Hidupnya nista abadi
Serumpun padi mengandung janji
Harapan ibu pertiwi


Puisi berikut yang diberi tajuk “Saya Mendengar Orang-orang Bernyanyi” dimaksudkan untuk menggambarkan dedikasi segelintir seniman pada dunia kesenian. Harry Roesli yang (semasa hidupnya) rajin – tanpa pernah putus semangat – selalu berupaya ‘menjahit setiap robekan akibat luka politik’ menggunakan benang-benang notasi musik dan bait-bait lagunya. Iwan Fals yang kerap menunjukkan kepedulian & kritik sosialnya. Begitu pula dengan kehadiran Franky S, Chrisye (yang kerap menyadarkan kita akan cinta kasih), Ebiet G Ade yang acap bercerita tentang alam dan kehidupan maupun Bimbo yang dengan kerinduan dan kecintannya pada Tuhan. Mereka, melalui cara bermusik masing—masing telah menghadirkan begitu banyak warna & makna… bila saja kita dapat meresapinya…

“Sajak Tentang Anak Muda Serba Sebelah’’ merupakan ungkapan keprihatinan Taufik Ismail akan dunia pendidikan negeri ini. Bercerita mengenai mimpi seorang anak muda dengan segala keterbatasannya untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri... untuk sekedar dapat mewujudkan mimpinya yang sederhana… menjadi seorang supir… Tapi apa daya… keterbatasan telah membatasi dirinya untuk menggapai mimpi-mimpinya… Begitulah kiranya gambaran pengembangan generasi muda negeri ini.

Program pencerdasan bangsa kiranya berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan program ‘’pembodohan’’ bangsa. Tak heran bila melihat begitu banyak terjadi degradasi moral. Guru yang melecehkan muridnya, murid yang mengancam sesama murid, sudah bukan berita aneh lagi.

Cerita mengenai tauladan kedermawanan orang-orang besar di jamannya, dalam bentuk penggambaran warisan yang mereka tinggalkan saat kembali ke haribaan Illahi, dituangkan dalam ‘’Sajak Tentang Kedermawanan’’. Melalui sajak ini, Taufik Ismail bertutur bagaimana pemimpin-pemimpin terhormat di masa lampau di saat wafatnya hanya meninggalkan warisan yang sangat sedikit karena telah mendermakan begitu banyak harta mereka sepanjang hidup. Bahkan Sultan Salahudin tidak meninggalkan apapun di hari ‘’kepulangannya’’. Sesuatu yang sulit ditemui di zaman yang penuh dengan Hedonisme ini. Zaman di mana para konglomerat & pejabat berlomba-lomba sibuk menimbun harta dengan menghalalkan segala cara, agar dapat mewarisi kekayaan hingga lebih dari tujuh turunan.

‘’Sajadah Panjang’’, sebuah karya Taufik Ismail yang popular sebagai syair lagu Bimbo, bertutur mengenai ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, di sepanjang hidupnya, sejak dari masih dalam buaian hingga tepi kuburan... ketaatan seorang hamba akan perintah Tuhannya karena teringat bahwa suatu saat akan menuju ke tepi kuburan…

Keprihatinan Taufik pada kebakaran hutan yang kerap terjadi tanpa ada pihak yang perduli untuk melakukan upaya menanggulanginya, digambarkannya melalui sajak “Air Kopi Menyiram Hutan’’. Sungguh sebuah gambaran nelangsa… tentang kebakaran hutan… atau ‘’pembakaran hutan’’ negeri ini…

Sebuah sajak dengan aura sarat kegetiran, perihal buruknya kualitas materi program-program tayangan di stasiun-stasiun televisi yang semakin bertambah banyak, diberi judul ‘’Pelajaran Membunuh Orang’’. Melalui sajak ini Taufik menggambarkan betapa melalui siaran televisi berbagai saluran, orang dapat belajar apa saja – termasuk belajar cara membunuh orang. Saat mendengarkan sajak ini, masih terekam jelas di benak saya, berita-berita mutilasi yang semakin marak terjadi, ternyata terinspirasi dari siaran-siaran televisi.

Bagaimana seorang wanita dengan nada yang datar namun sangat jelas terdengar mengakui bahwa dia tergerak untuk memutilasi suaminya setelah melihat suatu siaran di televisi.

Belum lagi lagak gaya anak-anak usia sekolah yang saling menggertak sesamanya karena mencontoh adegan bullying yang bertebaran di berbagai sinetron-sinetron itu. Bukan… bukan hanya pelajaran menggertak sesama pelajar… namun juga ketidaksantunan menggertak orang yang lebih tua kerap tersaji lewat layar kaca.

Tawuran yang telah menjadi ‘’budaya’’ bangsa ini, acap pula tertayang di televisi. Tidak lagi terbatas pada anak sekolah, tapi telah merambah menjadi tawuran antar warga... antar orang-orang tua yang sejatinya harus memberi contoh tauladan bagi generasi yang lebih muda.

Sesungguhnyalah telah berjalan sebuah program ‘’pembodohan’’ bangsa yang berkesinambungan... setiap hari… tanpa henti… lewat layar kaca di rumah setiap penduduk negeri ini… Oooh… kiranya mau dibawa kemana bangsa ini ?

Kebesaran Laksamana Cheng Ho tertuang dalam sajak “Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho’’. Berkisah tentang seorang pelaut Tionghoa beragama Islam yang telah menjelajahi begitu banyak daratan, begitu luas samudra… namun tak pernah sekalipun berniat untuk menjajah… karena sadar bahwa setiap bangsa berhak memiliki kebebasannya. Sajak ini ditulis oleh Taufik Ismail 14 tahun lalu dan sempat dibacakannya di sebuah Masjid di kota kelahiran Cheng Ho.

‘’Kupu-kupu Dalam Buku’’ merupakan sajak terakhir pada penggalan pertama acara ini. Mengungkapkan kerinduan Taufik akan menjadi bagian dari sebuah bangsa yang sadar membaca. Ilustrasi mengenai anak-anak muda yang dilihatnya membaca buku di stasiun-stasiun, di dalam kendaraan umum, dimanapun mereka berada. Antrian orang-orang muda di toko-toko buku, yang mengular sepanjang waktu. Hingga pertanyaan seorang anak tentang kupu-kupu kepada ibunya yang dijawab setelah sang ibu membaca ensiklopedia... tertuang dalam sajak ini. Dimana setiap bait sajak selalu di akhirinya dengan kalimat “Di negeri mana aku berada ?’’ Sepertinya Taufik Ismail ingin menyampaikan bahwa kondisi negeri itu bukanlah kondisi yang dapat ditemui di negeri ini.

Bagian ke dua di isi oleh sajak-sajak bertema Kepahlawanan ini dibuka dengan pembacaan sajak ‘’Ziarah ke Kubur Syekh Yusuf’’, seorang sufi pemberani, pahlawan negeri ini yang tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi imam di Masjidil Haram – Makkah. Begitu gigih berjuang melawan Belanda memperebutkan kemerdekaan tanah air tercinta hingga akhirnya dibuang ke Seylon & Afrika Selatan.

‘’Resepsi Baca Puisi di Balai Kota Rotterdam’’ merupakan puisi berikutnya yang berkisah tentang kegalauan hati Taufik akan kubur Haji Miskin, pejuang asal Sumatra Barat, yang tak ketahuan kuburnya hingga saat ini. Kegalauannya itu dituangkannya dengan halus namun gamblang melalui bait-bait sajaknya pada sebuah resepsi di Rotterdam, di mana berkumpul penyair-penyair dari seluruh dunia. Simak gambaran satir yang coba disampaikan dengan jenaka… ‘’Attention… attention… seraya mengetuk gelas untuk meminta perhatian seluruh hadirin’’. Lalu diikuti oleh tanya menggugat… ‘’Apakah ada kakek-kakek kalian yang pernah ikut bertempur saat perang Padri di negeri saya dan mengetahui mengenai penggantungan kakek datuk saya ?’’. Seraya buru-buru menambahkan, bahwa sungguh tidak ada dendam yang dibawanya, hanya sekedar ingin tahu letak kuburnya.

Sajak mengenai Pangeran Diponegoro terinspirasi dari sebuah lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, yang dibuat 27 tahun setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda melalui sebuah pengkhianatan. Sebuah lukisan padat isyarat yang menggambarkan perjuangan & kewibawaan Pangeran Diponegoro serta kekerdialan Belanda menghadapi keberaniannya, dilukiskan kembali oleh Taufik Ismail melalui keindahan bait demi bait sajak ini.

Arti sebuah Afrika yang lebih dari sekedar benua bagi seorang Taufik Ismail, dituangkannya dalam sajak “Apa Arti Afrika Untukku ?”. Melalui sajak ini Taufik mengilustrasikan Syeikh Yusuf dari Aceh dan Tuan Guru dari Tidore yang dibuang Belanda ke Afrika sebagai akibat dari perlawanan mereka terhadap Belanda.

Pada puisi tentang Syeikh Pante Kolo, seorang pejuang asal Aceh, Taufik Ismail berkisah tentang kekuatan sebuah puisi yang ditulis oleh Syeikh Pante Kolo disepanjang pelayaran dari Jedah ke tanah air dalam perjalanan pulangnya setelah menunaikan ibadah haji. Puisi yang bercerita tentang Hikayat Perang Sabit itu lalu diserahkannya kepada Teuku Cik Di Tiro setibanya di Aceh. Puisi ini ternyata berhasil membangkitkan semangat rakyat Aceh bergerak melawan penjajahan Belanda. Betapa perjuangan dapat dilakukan melalui banyak cara, dalam berbagai medium... melalui sebuah puisi, sebuah karya sastra sekalipun…

Puisi terakhir yang sekaligus menutup rangkaian pembacaan puisi Taufik Ismail diberinya judul ‘’Rindu Pada Stelan Jas Putih & Pantalon Putih Bung Hatta’’. Lewat syair-syairnya, Taufik Ismail ingin bercerita mengenai kerinduannya akan sosok tauladan yang memiliki sifat seperti Bung Hatta. Seorang yang selalu tepat waktu, ringkas janji, hemat bicara, bersahaja, sederhana & lurus jujur. Bung Hatta dengan stelan jas & pantaloon putihnya, yang terbuat dari bahan sederhana, adalah seorang yang tidak suka berhutang. Tidak pernah berhutang!! Jauh dari sifat hedonisme yang saat ini mendominasi negeri ini. Bung Hatta dengan jiwa & semangat kebangsaannya yang tulus tanpa pamrih, adalah sosok yang sangat sulit ditemukan di zaman ini. Bung Hatta yang selalu tepat waktu & pegang janji menjadi sebuah gambaran sosok yang ganjil di tengah bangsa yang senang akan keterlambatan (Taufik dengan jenaka mengilustrasikan bahwa satu-satunya sifat tepat waktunya hanya kalau berbuka puasa). Sosok seperti Bung Hatta dengan sifat jujur & ringkas bicaranya menjadi sangat langka di bumi tercinta ini, ditengah riuh rendahnya janji-janji manis yang kerap diumbar oleh para petinggi negeri ini. Sungguh sebuah kerinduan akan sosok yang telah demikian didamba.

Namun… kiranya siapa sekarang yang benar-benar rela – tanpa pamrih - memberikan tenaga & bahkan jiwanya demi kemakmuran bangsanya ??? Berjuang dengan gigih, demi kemajuan rakyatnya ??? Bagai perjuangan para pahlawan di masa silam yang tanpa gentar membela kehormatan bangsanya, merebut kemerdekaan yang hakiki… Demi menjaga negeri yang sungguh merupakan karya indah Tuhan Yang Maha Kuasa…

Sebagaimana dapat disimak dalam syair lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki yang – entah mengapa selalu membuat hati saya trenyuh – begitu pula saat mendengar didendangkan kembali malam itu.

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Reff :
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi


Adakah syair lagu & bait puisi itu masih dapat berlaku di negeri ini ?


-PriMora Harahap-

23 Des 2008


note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Kamis, 18 Desember 2008

Surprisingly, Beyond Your Imagination !

Penutup dari rangkaian program World Music Festival 2008 milik GKJ di penghujung tahun ini yang diselenggarakan pada malam ke 17 bulan ini, berupa pertunjukan musik Nita Aartsen Quarto bertajuk ‘’Welcome to Our Home”.

Saya pernah mendengar ihwal Quarto ini sebelumnya, yang bermain di alur latin jazz. Nita Aartsen, sang pianis, pernah beberapakali tampil bersama berbagai orkestra negeri ini. Ia pun pernah mengisi pelbagai festival jazz tanah air, semacam JakJazz dan Java Jazz. Awalnya saya mengira ini hanyalah sebuah pertunjukan musik jazz sebagaimana lazimnya saya saksikan pada perhelatan musik jazz.

Namun… yang saya temukan sungguh di luar dugaan saya.

Surprise… Surprise…

Sebuah pertunjukan musik di luar imajinasi saya… tersuguhkan dengan sangat cantik sepanjang 2 jam malam itu. Nita dengan ke 3 teman bermusiknya berhasil menghantarkan komposisi-komposisi klasik yang abadi hingga saat ini, buah karya komposer-komposer ternama yang sangat mahsyur di zamannya, menjadi sebuah suguhan musik bernafaskan latin jazz dengan rhythm dinamis namun manis terdengar.

Ini bukanlah sebuah pertunjukan musik klasik seperti yang kerap saya hadiri di gedung-gedung pertunjukan dengan format formal, penuh dengan pakem-pakem bermusik yang sudah baku.

Ini juga bukan sebuah pagelaran musik jazz biasa yang sekedar menampilkan kepiawaian musisinya, yang dengan bebas dapat melakukan improvisasi sana-sini.

Ini sebuah pertunjukkan musik yang dengan jeniusnya mengemas ulang komposisi-komposisi musik klasik yang terdengar anggun, dengan ritme latin jazz nan rancak. Irama dasar dari setiap komposisi klasik yang dimainkan masih terdengar jelas pada dentingan piano bagai sebuah lukisan nan indah. Namun hentakan bass, dentuman drum dan tabuhan perkusi yang sangat khas latin jazz berpadu serasi membingkainya.

Terkadang perkusi terdengar menghadirkan nuansa samba brazilian, namun di saat lain dentingan piano menyuguhkan irama salsa ataupun alunan cha-cha.

More than just an ordinary music!

Perpaduan antara 2 genre musik berbeda kutub, yang terkemas apik dan indah menjadi satu kesatuan rasa…

Hmmm…. tanpa sadar jari jemari saya turut bergerak ‘memainkan tuts-tuts piano’ saat mendengar komposisi-komposisi klasik yang begitu akrab di telinga saya. Namun bersamaan dengan itu terasa sulit menahan kaki untuk tidak berdansa salsa, mengalun cha-cha, bergoyang samba dan merentak merengue.

Bila saja pagelaran ini tidak diadakan di ruang pertunjukan GKJ yang berbungkus atmosfir keanggunan sebuah gedung kesenian nan megah… bila saja pagelaran ini berlangsung di sebuah cafĂ© tempat saya biasa melantai bersama teman-teman… mungkin saya sudah tidak dapat menahan diri.....

Nita mengawali pertunjukkannya di atas pentas dengan mengantarkan prolog bagi hadirin, yang lebih merupakan sambutan selamat datang bagi tamu-tamu yang hadir mengunjungi ‘’Rumah’’ tempatnya berkesenian. ‘’Friendly Persuasion’’ melanjutkan prolog tersebut sebagai sebuah introduction. Gubahan yang merupakan adaptasi dari ‘’Caruso’’, sebuah komposisi klasik yang sangat mahsyur.

Sebuah kemasan ulang dari komposisi klasik karya Schubert berjudul ‘’Serenade’’ dibawakan dalam bentuk lagu berjudul ‘’Windows of The Night” yang dinyanyikan oleh Anda, seorang vocalis pria muda.

‘’Fur Elise’’ karya Beethoven yang sangat kondang merupakan komposisi yang menjadi dasar bagi sebuah instrumentalia berjudul “Good Times’’. Ditampilkan melalui dentingan piano dalam format ketukan Cha-cha pada bait-bait tertentu, yang dilanjutkan oleh permainan perkusi a la Brazilian yang sangat lincah oleh Iwan Wiradz (mengingatkan saya akan musik pengiring Capoeira). Kemasan yang sangat kental dengan nuansa latin jazz, membuat komposisi ini terasa sungguh berbeda dari biasanya.

Steven Wilson, vocalis asal Belanda, menjadi penampil yang membawakan sebuah lagu berbahasa Inggris : ‘’Let’s Dance’’ dengan nada-nada penuh riang. Sebuah hasil adaptasi dari ‘’Frohlicher Landmann’’ karya Schumann.

Sebuah lagu yang diberi judul ‘’Usai’’, merupakan hasil adaptasi dari sebuah karya Bach. Lagu dengan nada-nada sendu ini digubah Nita untuk ayahandanya tercinta. Dinyanyikan oleh Dira, seorang vocalis muda berbakat, lagu ini terdengar begitu menyentuh hati.

Komposisi “Minuet in G” dari Bach yang tidak kalah mahsyur itu tersaji dalam bingkai Salsa yang cantik. Sebuah lagu berjudul “Selamanya” digubah oleh Nita di atas komposisi ini. Tiga bahasa - Indonesia, Inggris dan Spanyol - digunakan sebagai perpaduan lirik yang manis dalam lagu ini.

Gubahan berjudul “Ring My Bell’’ merupakan adaptasi yang ciamik dari ‘’Blue Rondo a la Turca’’. Adapun ‘’Knock On My Door” dikemas ulang dengan apik di atas komposisi “Plasier D’Amor”.

‘’Symphony 40’’ karya Mozart dijadikan dasar adaptasi bagi gubahan yang diberi tajuk ‘’De Javu’’. Mendengar komposisi ini, bagi saya memang terasa ‘’De Javu’’, namun dalam nuansa berbeda.

Marusya Nainggolan tampil sebagai featuring, memainkan piano untuk komposisi “Moon Light Sonata” karya Beethoven, mengiringi pembacaan sebuah sajak pendek Nita. Komposisi ini dilanjutkan dengan halus, tanpa jeda, oleh permainan piano dan alunan indah suara Nita pada lagu “Baciami Tanto”, sebuah versi Italy dari lagu “Besame Mucho” yang kondang dinyanyikan dalam bahasa Spanyol.

Ditutup dengan sebuah gubahan berjudul ‘’On Fire’’, adaptasi dari ‘’Turkish March’’, buah karya seorang composer jenius, Mozart. Komposisi ini dimainkan berselang-seling dalam sentuhan klasik & latin jazz. Sebuah perpaduan yang menakjubkan.

Di akhir acara, Duta Besar Switzerland dan Wakil Duta Besar Nederland yang hadir malam itu, diminta untuk berkenan naik ke atas pentas memberikan rangkaian bunga kepada para pengisi acara.

Akhirnya… pagelaranpun usai sudah…

Namun, keindahan alunan komposisi klasik dalam kemasan berbingkai latin jazz yang baru saja saya saksikan terasa tidak pernah usai dari hati saya…

Sungguh… sebuah pertunjukkan musik yang menimbulkan decak kagum…


-PriMora Harahap-

18 Des 2008


Note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Kamis, 11 Desember 2008

Yang Peduli pada Yang Terabaikan...

Bravo ! Salut ! Kagum !

Sungguh… ke 3 kata tsb spontan terbersit di hati & pikiran saya saat saya berkesempatan melihat pertunjukan Batuan Ethnic Fussion kemarin malam, pada malam ke 10 di bulan penutup tahun ini, berlokasi di Gedung Kesenian Jakarta.

Kelompok musik yang tampil sebagai bagian dari rangkaian program ''World Music Festival 2008'' milik GKJ di bulan Desember ini, digawangi oleh I Wayan Balawan, seorang gitaris asal Bali.

Komposisi demi komposisi nan rancak nian, merupakan hasil kolaborasi dari 2 kelompok intrumen musik berbeda format – modern & tradisional. Sungguhpun saya sangat yakin tidaklah mudah untuk menciptakan harmoni nada-nada yang merupakan perpaduan basis Pentatonic & Diatonic, namun mereka berhasil menyajikan repertoire demi repertoire dengan ringan & ceria. Sangat jauh dari kesan berat, monoton & membosankan, yang selama ini sering didapati orang dari musik-musik tradisional. Kerumitan irama musik Bali dan kepiawan Balawan memadukannya dengan irama musik modern – fussion jazz – yang juga tidak mudah, lengkap dengan improvisasinya, patut mendapat acungan jempol.

Saya sendiri, bukanlah seorang yang mahir memainkan alat musik ataupun paham benar hal ihwal bermusik. Saya hanyalah seorang penikmat musik. Tapi ternyata telinga saya yg terbiasa mendengar sesuatu yg ''easy-listening'', malam itu dapat menikmati setiap nada yang disuguhkan, yang serta merta terasa langsung bersahabat dengan telinga saya.

Kagum saya kian bertambah ketika Balawan menuturkan latar belakang dia mendirikan kelompok musik ini, yang bisa jadi juga merupakan obsesinya atas kecintaannya terhadap budaya leluhur. Balawan sengaja membentuk kelompok musik tersebut yang sebagian besar melibatkan teman-teman masa kecilnya guna dapat melestarikan & mengangkat budaya Bali sebagai budaya tradisional.

“Saya mencoba untuk melestarikan budaya Bali dengan mengajak teman-teman saya tetap memainkan musik tradisional Bali. Saya prihatin karena banyak anak muda di Bali lebih tertarik untuk terjun ke bidang pariwisata. Mereka lebih memilih untuk bekerja di hotel-hotel daripada mempelajari kesenian Bali sendiri”, begitu kurang lebih penuturannya memberitahukan alasannya untuk mencoba bertahan di jalur musik yang boleh dibilang idealis ini.

Wuiiih...! Betapa membanggakan mendengar pernyataan seperti keluar dari mulut seorang anak muda Indonesia.

Yaaa… itulah kenyataan saat ini… tidak hanya di Bali, tapi saya yakin menggejala di seluruh daerah di nusantara ini.

Negeri ini tidak hanya kekurangan musikus penerus musik tradional, tapi juga penerus seni kebudayaan lainnya termasuk pengrajin kain tradisional seperti batik, ulos, songket, tenun ikat… Sungguh jarang ditemukan anak muda yang mau mempelajari keahlian2 tsb.

Guru les membatik saya pun pernah bercerita bahwa di Yogya dan Solo sendiri generasi mudanya sudah enggan belajar membatik, khususnya batik tulis yang memerlukan ketekunan. Banyak kaum muda di daerah kini lebih memilih berbondong-bondong hijrah ke kota besar, khususnya Jakarta, bekerja di pabrik-pabrik, ketimbang memajukan seni budaya daerahnya masing-masing.

Diakui pula oleh Balawan, sangatlah sulit untuk mengusung & bertahan pada jalur musik idealis di negeri ini. Sehingga kompromi dengan pasar tak pelak harus juga dilakukan sesekali, agar musiknya dapat diterima publik. Ya… mereka tentu harus tetap memikirkan pula selera pasar & beragam upaya agar public mau menerima musik mereka, karena bila tidak, tentu mubazir sajalah segala jerih payah mereka mengusung musik tradisional ini di tengah-tengah hiruk-pikuknya gempuran musik modern.

Mereka harus memutar otak lebih keras agar musik tradisional dapat diterima dan dinikmati oleh generasi muda bangsa ini yang diharapkan dan seharusnyalah menjadi penerus budaya lokal.Sebuah perjuangan yang tidak sesederhana membalik telapak tangan tentu, menyimak betapa generasi muda bangsa ini telah sedemikian sering ‘’dicekoki’’ oleh budaya-budaya barat dalam kesehariannya, sehingga merasa lebih akrab dengan budaya-budaya dari luar tersebut.

Tengok, bagaimana riuh & ramainya setiap pagelaran musik yang mendatangkan musisi manca negara walau berbayar amat sangat mahal sekalipun, hingga ratusan ribu bahkan tak jarang mencapai bilangan juta rupiah. Sungguh gegap gempita !

Tapi berapa banyak yang hadir pada pertunjukkan musik tradisional – atau setidaknya ‘’semi tradisional’’?
Semalam saya lihat, tidak sampai 2/3 tempat duduk terisi.

Itupun diakui oleh Balawan, bahwa kenyataan berbicara selama ini kelompok musiknya lebih sering mendapat tawaran manggung di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Masyarakat luar Indonesia justru memberi tempat dan apresiasi lebih tinggi bagi musik tradisional ini. Acap memang saya menjumpai beberapa duta besar asing datang menghadiri pertunjukan sejenis di GKJ maupun di TIM, sementara sangat jarang – bila tidak bisa dibilang tiada - petinggi negeri ini yang terlihat.

Miris…

Betapapun apa yang mereka lakukan sungguh suatu upaya mulia !
Dan terasa begitu mulia, tatkala beberapa tahun terakhir bangsa kita dihentakkan oleh kenyataan betapa banyaknya warisan budaya leluhur bangsa ini yang terabaikan... atau... diabaikan...

Hati ini terasa semakin miris dan trenyuh, saat pikiran melayang sesaat mengingat berita demi berita yang mengabarkan lagu-lagu daerah negeri ini ‘’dicuri’’ & ‘’diakui’’ oleh negara lain. Bahkan tidak terbatas lagu, tapi juga busana dan kain tradisional, motif perhiasan tradisional hingga benda-benda purbakala – pedang, arca, keris, kendi dan masih banyak artefak-artefak lainnya - yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa ini, kini justru menjadi kebanggaan bangsa lain. Lebih menyedihkan lagi, ketika penelusuran membuktikan sebagian besar ‘’perpindahan’’ benda-benda purbakala bangsa ini ke pihak asing justru difasilitasi oleh rakyat negeri ini sendiri yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Gubrak !!!

Sontak pemerintah dan pejabat dari tingkat pusat hingga tingkat daerah tiba-tiba ramai urun suara. Menyatakan ‘’keprihatinan’’ mereka dan ‘’mengutuk’’ para pelaku pencurian budaya. Seperti biasa, mereka kemudian selalu terlihat sibuk ‘’beraksi’’ manakala masalah besar telah terkuak. Sungguh sebuah kebiasaan buruk bangsa ini yang lebih sering reaktif ketimbang antisipatif.

Kalaupun ada, selalu dan selalu hanya sebatas pada program peningkatan pariwisata secara instan, sekedar mengkatrol jumlah kunjungan wisatawan yang berujung pada pamrih peningkatan devisa negara. Selalu & selalu ditinjau dari aspek komersil semata, olahan angka-angka statistik yang menggambarkan peningkatan wisatawan & hunian hotel. Tapi belum terlihat upaya sepenuh daya untuk melestarikan & meningkatkan kesadaran serta kebanggaan masyarakat akan beragam budaya bangsa ini.

Tidak pernah disadari, betapa sebuah penggalakan program pariwisata haruslah dibangun dari hulu ke hilir. Dimulai dengan pengembangan & pelestarian budaya local berikut dengan situs-situs maupun artefak bersejarah, mengajarkan bangsa ini untuk dapat menghargai & menjaga budayanya, memfasilitasi masyarakat dengan berbagai pelatihan budaya dan instrumen pendukung lainnya yang diperlukan, justru pada akhirnya akan menarik wisatawan mancanegara bertandang ke negeri ini, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan & taraf kehidupan masyarakat di setiap daerah.

Sebuah peran pelestarian budaya yang seharusnya dilakoni – setidaknya dimotori - oleh para petinggi & pemuka negeri ini, ternyata justru dijalankan oleh segelintir kecil anak-anak muda yang lebih menyadari arti kebesaran bangsanya dengan langsung bertindaknyata. Beruntung negeri ini masih memiliki sejumlah perancang busana kondang yang kemudian tergerak untuk berkreasi menciptakan busana dari beragam bahan dasar kain tradisional agar dapat menjadi tren di kalangan anak muda.

Sementara para pemangku jabatan, yang kerap menggaung-gaungkan arti kebangsaan disetiap perhelatan acara nasional negeri ini, entah di acara peringatan proklamasi, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, hari pahlawan dan sejumlah hari-hari nasional lainnya, sering hanya berhenti di sebatas Slogan & terlena dalam seremonial perhelatan megah Pencanangan ini itu.

Sepulang dari GKJ, otak saya tak jua bisa diajak untuk berhenti berpikir mengenai kebesaran sejarah budaya bangsa ini dan ancaman kepunahan yang sudah di depan mata, sekalipun sejatinya badan ini telah teramat letih setelah bekerja seharian di kantor.

Akhirnya saya hanya bisa berharap, semoga anak-anak muda seperti Balawan, Dwiki Dharmawan dengan Krakatau-nya, Ananda Sukarlan yang kerap ‘’pulang kampung’’ menggelar repertoire hasil gubahannya maupun aransemen ulang atas komposisi dan karya sastra seniman-seniman besar negeri ini atau… siapapun yang masih peduli, tetap bersemangat mengangkat karya seni tradisional tanah air tercinta ini, tidak patah arang dengan kondisi yang ada.

Masih banyak kesenian & kebudayaan tradisional yang harus mendapat perhatian & perlu diangkat ke permukaan. Negeri ini begitu luas, dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari begitu banyak pulau, tentunya menyimpan begitu banyak keindahan budaya di dalamnya. Kiranya siapakah nanti yg akan mewarisi & meneruskannya ?

Harapkan masih ada asa…

-PriMora Harahap-

11 Des 2008


Note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.