Kamis, 07 Januari 2010

De Nosotros Para Nosotros

‘’De Nosotros Para Nosotros’’ sebuah kalimat dari bahasa Spanyol yang berarti ’’Dari Kami Untuk Kami’’, memang terasa memberi semangat dan warna pada reuni akbar SD Mexico Pagi Jakarta, sejak dari masa persiapan hingga terselenggaranya acara itu. Perhelatan yang diadakan pada pertengahan Desember 2009 silam berhasil mempertemukan teman-teman lama, para alumni sekolah dasar ini dari lulusan pertama di tahun 1962 hingga lulusan tahun 2000 dengan guru-guru purna bakti yang pernah mengajar maupun yang masih aktif mengajar hingga saat ini. Reuni yang diadakan setelah sekian tahun bahkan puluhan tahun kami meninggalkan sekolah formal pertama yang menempa kami dengan berbagai ilmu pengetahuan, mampu melayangkan kembali ingatan kami ke masa kanak-kanak.

Sekolah dasar yang terletak di jalan Hanglekir, bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini memang telah berdiri sejak lama. Bahkan di lingkungan keluarga saya, beberapa tante dan oom sayapun dulu bersekolah di sana. Konon, gedung yang digunakan sebagai sekolah dasar tersebut adalah bekas gymnasium di masa pendudukan Belanda, yang berlanjut menjadi asrama tentara Jepang dan akhirnya dialihfungsikan sebagai sekolah oleh pemerintah Indonesia.

Di awal berdirinya, sekolah dasar ini mendapat nama ’’Escuela Republica de Mexico’’ atau ’’SD Republik Mexico’’. Nama itu memang membuat banyak orang mengira bahwa sekolah tersebut adalah sekolah swasta atau sekolah di bawah pengelolaan kedutaan besar Mexico. Namun, sesungguhnya sejak awal berdirinyapun sekolah tersebut telah berstatus sekolah negeri. Penamaan bernuansa Mexico diberikan sebagai bentuk persahabatan antara Republik Indonesia dan Republik Mexico. Sebagaimana halnya dengan SD Republik Argentina yang berlokasi di wilayah Menteng. Sehingga menurut kabar yang kami dengar, di negara Mexico maupun Argentina juga berdiri sekolah dasar dengan nama Sekolah Republik Indonesia.

Seperti kebanyakan sekolah negeri di republik ini, karena keterbatasan gedung sekolah, maka umumnya setiap gedung digunakan 2 kali dalam sehari oleh 2 sekolah yang berbeda. Ya, benar-benar berbeda murid, guru dan kepala sekolah. Demikian halnya dengan SD Mexico (begitu kami menyebutnya), sekolah itupun terbagi atas SD Mexico Pagi dan SD Mexico Petang.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu berbeda dengan sekolah-sekolah negeri lain. Hanya saja sebagaimana penamaannya, murid-murid yang bersekolah di sana mendapatkan ekstrakurikuler tambahan berupa tari-tarian Mexico, yang mendapat dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Mexico di Jakarta. Disamping drumband, angklung dan berbagai kegiatan lainnya yang dapat menjadi pilihan, setidaknya ada 2 jenis tarian Mexico yang kami pelajari selama bersekolah di sana.

Setiap upacara di hari Seninpun kami selalu mengibarkan 2 bendera, Indonesia dan Mexico. Disertai iringan lagu kebangsaan dari setiap negara, membuat kami sejak lama telah fasih menyanyikan ’’Hymne Mexicanos’’, walau saat itu kami tidak mengerti satu baitpun arti dalam lagu kebangsaan Mexico tersebut. Hari proklamasipun kami rayakan 2 kali dalam setahun. Seingat saya, Duta Besar Rep. Mexico untuk Indonesia selalu menyempatkan diri untuk datang ke sekolah kami, disetiap perayaan hari proklamasi Mexico yang jatuh pada tanggal 15 September. Biasanya kamipun menyiapkan diri dengan berbagai pertunjukan tari-tarian Mexico dan drumband untuk merayakan hari tersebut.

Entah sejak kapan, sekolah itupun kemudian berganti nama. Saya tidak tahu persis, karena di ijasah kelulusan SD saya masih tercantum SD Rep. Mexico Pagi. Kini sekolah tersebut bernama SDN Gunung 05 Pagi sebagai pengganti nama SD Rep. Mexico Pagi dan SDN Gunung 06 Petang untuk pengganti SD Rep. Mexico Petang. Khas penamaan sekolah negeri di Indonesia, yang diurutkan berdasarkan kelurahan tempat sekolah berada. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan nama tersebut. Saya menduga, pemerintah tidak ingin ada ’’kecemburuan’’ ataupun salah pengertian lagi mengenai status sekolah tersebut oleh masyarakat umum, karena SD Rep. Argentina juga mengalami nasib yang sama, berubah nama menjadi SDN Gondangdia, sesuai dengan kelurahan tempat sekolah tersebut berada.

Begitupun, ketika kami berkunjung ke sana, papan nama bertuliskan ’’Escuela Republica de Mexico’’ yang sudah mulai menguning masih terpampang di tembok depan sekolah. Tari-tarian Mexico juga masih diajarkan. Sehingga kami tetap menganggap bahwa seluruh lulusan sekolah itu, angkatan berapapun, adalah bagian dari keluarga besar alumni SD Rep. Mexico Pagi.

Dimulai sejak pukul 09.00 pagi, reuni akbar yang bertema ’’De Nosotros Para Nosotros’’ dan mengambil tempat di Golden Ballroom, Hotel Sultan, Jakarta itu berlangsung meriah. Nuansa Mexico sangat terasa sejak pintu masuk hingga dalam ruangan. Kain-kain berwarna merah-putih-hijau yang merupakan warna dasar bendera Mexico membentang di sepanjang dinding ruangan. Berbagai atribut seperti Topi Sombrero, badge seragam saat masih bernama SD Rep. Mexico Pagi, hingga peralatan drumband turut dipajang di sudut-sudut ruangan. Begitu tiba, para alumni langsung mendapatkan kaos berwarna merah-putih-hijau dengan tulisan ’’Una Grande Reunión de Escuela Republica de Mexico’’. Kaos yang wajib kami pakai selama acara berlangsung itu membuat keakraban dan rasa persahabatan begitu terasa sebagai sesama alumni dari sekolah dasar yang sama. Kamipun dapat puas berfoto dengan latar belakang berbagai atribut khas Mexico.

Berbagai acarapun digelar. Kami tertawa geli saat melihat pertunjukan operet ’’Hari-hariku di SD Mexico’’. Terbayang kembali segala tingkah lucu dan kenakalan kami saat bersekolah dulu. Demo angklung dan marching band – salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi kebanggaan kami – turut memeriahkan acara ini. Tari-tarian Mexico yang memberi kebanggaan kepada kami sebagai alumni dari sekolah ini dipentaskan kembali oleh murid-murid sekolah ini. Demikian bangganya kami dapat menarikan beberapa tarian Mexico, sehingga saat beberapa diantara kami bertemu kembali di sekolah menengah, biasanya kami – para alumni SD Mexico – kerap menyuguhkan tarian ini di pentas seni sekolah, yang membuat kami tampil beda dengan alumni dari sekolah dasar lainnya.

Kegiatan demi kegiatan dipentaskan oleh murid-murid SD tersebut. Menyaksikan peragaan semua kegiatan ekstrakurikuler itu membuat seluruh kenangan manis masa lalu melintas kembali di benak kami. Aah...! Rasanya seperti baru kemarin kami yang melakukan seluruh kegiatan itu dengan gembira.

Setiap angkatanpun diberi kesempatan untuk berfoto bersama. ¡Dios Mio! Angkatan kami sempat terkikik geli kala melihat angkatan yang jauh di atas kami dengan penuh semangat dan antusiasme tinggi berfoto bersama di atas panggung, persis sesudah angkatan kami mendapat giliran berfoto. Pasalnya angkatan tersebut telah lulus SD pada saat kami baru lahir!! Tidak perduli dengan usia yang telah menua, tingkah mereka saat berkumpul tak ubahnya seperti saat masih bersekolah dulu.

Rekaman kegiatan reuni yang pernah diadakan setiap angkatanpun menjadi tayangan yang melatari sesi foto bersama. Tak lupa pula foto-foto dokumentasi saat masa sekolah yang dapat dikumpulkan dari setiap angkatan. Untuk angkatan-angkatan tahun 60-70an, tentulah foto-foto tersebut masih hitam putih. Seakan tak percaya waktu tlah berlalu demikian cepat, ketika melihat kembali wajah-wajah polos kami tertayang di layar sana.

Bertemu dan bercengkerama kembali bersama teman-teman yang sudah demikian lama tidak berjumpa, serta guru-guru yang pernah mengajar kami dengan penuh kesabaran membuat kami merasa tidak ingin mengakhiri reuni ini. Rasa sedih tak pelak terasa saat menyadari bahwa beberapa guru dan bahkan teman-teman kami telah ’’pergi’’ mendahului kami. Ooh...! Andai saja waktu dapat berputar kembali ke masa kanak-kanak saat dunia selalu terasa demikian indah.

Sebagai tanda terima kasih atas jasa para guru yang telah mendidik kami, sejumlah penghargaan diberikan kepada mereka. Tentu nilai penghargaan ini tidak ada artinya dibandingkan dengan jerih payah dan kesabaran yang telah mereka berikan kepada kami.

¡Felicitaciones para todos los comités por la grande reunión!

Tentu bukan perkara mudah mengumpulkan sekian banyak alumni dari puluhan angkatan. Diperlukan niat dan kesungguhan untuk melaksanakan acara reuni sedemikian indah, lengkap dengan berbagai atribut pendukung yang membuat kami dapat mengenang kembali masa-masa silam.

Muchas gracias para nuestro profesores.

Sesungguhnya budi baik dan kesabaran kalian mengajari kami membaca, menulis, berhitung sejak awal kami belum mengerti apapun hingga membuat kami mampu memahami dunia, tidak mungkin dapat kami balas dengan apapun. Hanya ucapan terima kasih dan do’a setulus hati yang dapat kami berikan.

Never say Adios, karena semua tentu berharap acara ini bukan satu-satunya reuni. Semoga masih akan ada reuni-reuni berikutnya yang kian mempererat ikatan yang telah terbentuk dalam keluarga besar alumni sekolah ini.

Hasta la otra reunión...

Salam De Nosotros Para Nosotros


-PriMora Harahap-

5 Januari 2010

note:
tulisan ini diunggah dan dimuat juga di blog Kompasiana Kompas.com) dan Detik blog Detik.com) pada kategori sosial dan persahabatan, serta di PriMora’s blog
(@ http://primoraharahap.blogspot.com/)

Selasa, 05 Januari 2010

Libertas !

Libertas !
Itulah tema konser Ananda Sukarlan yang mengawali tahun 2010. Tema yang diambil dari kosa kata bahasa Latin itu memiliki makna yang begitu luas dan mendalam, sehingga membuat saya tidak ingin mengambil judul lain bagi tulisan berikut ini.

Bersama kedua orang tua, saya kembali berkesempatan menyaksikan Jakarta New Year’s Concert 2010 di Taman Ismail Marzuki pada hari ke 3 di bulan pembuka tahun ini. Konser musik klasik tahunan ini menampilkan komposisi-komposisi buah karya Ananda Sukarlan, seorang komposer penuh bakat milik negeri ini yang telah memiliki reputasi mendunia. Walau kali ini minus adik sepupu saya yang tengah mengikuti kuliah di UGM – Yogyakarta, namun seorang sahabat saya berhasil ’’terpengaruh’’ untuk ikut menyaksikan konser Ananda tahun ini, yang berhasil pula mempengaruhi seorang temannya lagi untuk turut bergabung bersama kami.

Kemerdekaan! Kebebasan! Agaknya memang makna itulah yang ingin diusung oleh Ananda saat menyaksikan sajian demi sajian dalam konsernya kali ini. Sebuah kata yang mengandung arti universal yang begitu kuat dengan semangat dan jiwa kemerdekaan, sungguh terasa menyentak nurani saat kita kembali merenungkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di negeri tercinta ini dalam setahun yang telah berlalu. Setidaknya bagi saya. Aah..! Sudahkah negeri ini benar-benar merdeka? Terbebas dari segala bentuk penjajahan dan belenggu apapun? Terlepas dari setiap jenis penindasan dan intimidasi? Terhindar dari semua rasa takut dan tertekan? Apakah yang telah kita perbuat untuk mengisi kemerdekaan ini?

Seperti konsernya yang sudah-sudah, Ananda selalu mengawali konsernya di sesi pertama dengan suguhan-suguhan pembuka yang indah, sebelum masuk ke dalam tema konser pada sesi ke dua. Membuka sesi pertama dengan permainan pianonya yang ciamik, komposer berbakat ini memainkan sebuah karyanya yang diberi tajuk ’’Rapsodia Nusantara no.1’’ yang diciptakannya berdasarkan beberapa lagu daerah milik bangsa ini. Sekian lama melanglang buana, menjelajahi berbagai belahan dunia, hingga bermukim di Spanyol, tidak pernah membuat Ananda melupakan kekayaan dan keindahan budaya tanah kelahirannya.

Repertoir ini dilanjutkan dengan sebuah duet manis antara Andy (panggilan kecil Ananda) dengan seorang gadis belia yang baru berusia 15 tahun. Melalui permainan biolanya yang cantik, Inez Raharjo mengalunkan sebuah gubahan berjudul ’’Sweet Sorrow’’ bersama sang pemilik komposisi. Terinspirasi dari sebuah puisi karya William Shakespeare yang bercerita mengenai perpisahan Romeo dengan Julliet, komposisi ini sengaja dibuat oleh Andy untuk dapat dimainkan oleh mereka yang menyandang cacat pada jari tangan kanan. Gubahannya ini dapat dimainkan dengan menggunakan 2 jari kanan saja, disamping jari-jemari tangan kiri yang normal. Sebuah bentuk keperdulian Andy kepada mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Setelah tahun lalu iapun mempersembahkan sebuah komposisi yang dibuatnya khusus untuk dimainkan dengan tangan kiri saja.

’’Bibirku bersujud di bibirmu’’ menjadi persembahan berikutnya. Mengalun indah melalui permainan piano Ananda Sukarlan, ditingkahi oleh gesekan biola Inez Raharjo, tiupan flute Elizabeth Ashford, yang dipercantik pula oleh tarian latar karya Chendra Panatan, komposisi yang disuguhkan perdana dalam konser ini diangkat dari puisi berjudul sama karya Hasan Aspahani. Syair pada puisi inipun melantun lewat beningnya suara soprano Aning Katamsi, di setengah paruh ke 2 gubahan ini. Berkisah mengenai bencana Tsunami yang melanda berbagai belahan bumi, termasuk Aceh, yang merenggut ratusan ribu jiwa. Sang penyair dengan apik menggambarkan bencana yang timbul saat bibir ombak menyentuh bibir pantai beberapa tahun silam itu dalam bait-bait puisinya.

Menutup rangkaian sesi pertama persembahan ini, Ananda memainkan komposisi Rhapsody Nusantara no. 5, yang kembali diangkatnya dari berbagai lagu daerah negeri ini. Pertemuannya dengan Gubernur Sulawesi Selatan membuat lagu Anging Mamiri dari Makasar yang terdengar sangat akrab di telinga saya sejak masa kanak-kanak, menjadi bagian dari Rhapsody ini.

Libertas!
Tema ini melekat kuat pada seluruh sajian di sesi ke dua konser awal tahun ini. Ananda pun mengangkat tema ini secara universal. Tidak hanya arti kemerdekaan bagi negeri ini, namun makna kemerdekaan bagi seluruh umat manusia di penjuru muka bumi ini. Ya, karena sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak seluruh bangsa, sebagaimana juga telah tercantum sejak puluhan tahun lalu dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 45, yang semestinya menjadi landasan tegaknya hukum di negeri ini.

Coba simak komposisi yang diangkat dari puisi ciptaan Ilham Malayu sebagai pembuka sesi ke dua ini. Mengambil judul ’’Bentangkan Sayapmu, Indonesia!’’, Ilham mengajak bangsa tercintanya untuk berbuat lebih banyak dalam mengisi kemerdekaan yang telah direnggut dengan bayaran jiwa dan raga para pahlawan bangsa. Melepaskan setiap bentuk belenggu penjajahan dan penindasan, agar dapat meraih kemerdekaan yang hakiki.

Suguhan berikut digubah Ananda dari puisi karya Walt Whitman. Berjudul ’’I Understand the Large Hearts of Heroes’’ bait demi bait dalam puisi ini menggambarkan kebesaran jiwa, keteguhan hati dan keberanian para pahlawan, tanpa pernah mengenal kata mundur demi memperjuangkan setiap inci tanah tumpah darahnya, walau kematian sebagai taruhannya. Perpaduan suara penuh harmoni keindahan dari paduan suara Paragita UI dan ITB serta alunan musik Jakarta String Ensemble yang dipandu oleh Indra Listiyanto selaku konduktor, turut mengiringi komposisi ini.

’’Palestina’’ sebuah puisi karya cipta Hasan Aspahani menjadi dasar bagi gubahan Ananda berikutnya. Lewat lantunan suara bariton Joseph Kristanto, puisi ini bercerita mengenai penderitaan rakyat Palestina menghadapi serangan pesawat tentara Israel. Dengan suram, syair dalam puisi inipun berkisah tentang pilunya hati seorang ayah tatkala mengafani anaknya yang mati tertembus mortir Israel, hanya dengan kafayehnya.

Arti pengorbanan jiwa para pejuang tertuang dalam persembahan berikutnya. Puisi berjudul ’’The Young Dead Soldiers Do Not Speak’’ karya Archibald Macleis, telah menginspirasi Ananda untuk membuat sebuah komposisi yang sangat menyentuh hati. Suara bariton Joseph Kritianto dengan iringan string ensemble dan paduan suara sungguh menghentakkan kesadaran kita akan betapa besar pengorbanan yang telah diberikan oleh para pejuang bangsa. Bahkan para pahlawan tanpa nama yang telah rela mati muda demi kemerdekaan negerinya.

Seberapa besarkah nilai pengorbanan mereka yang telah gugur di medan perang? Tentu bukan mereka yang dapat menjawabnya, karena mereka tidak lagi dapat menjawabnya. Tubuh mereka telah lama diam membisu, terbujur kaku, seiring dengan tembusan peluru dan jasad yang terkubur. Besarnya arti pengorbanan para pejuang bangsa memang terletak dari seberapa besar kita dapat menghargai dan memaknai kemerdekaan yang telah direnggut dengan segenap jiwa dan raga serta gelimangan darah mereka. Akankah kita menyia-nyiakannya dan menganggapnya sekedar sebagai ’’telah semestinya’’ ataukah kita akan mengisinya dengan nilai-nilai yang jauh lebih bermakna?

Sebuah puisi buah karya Luis Cernuda menjadi judul dari karya Anada selanjutnya. Joseph Kristanto kembali melantunkan suara baritonnya pada gubahan berjudul ’’A Un Poeta Muerto’’ atau ’’kematian seorang pujangga’’ (The poetry of Luis Cernuda), berkisah tentang kebebasan jiwa seorang penyair. Puisi berbahasa Spanyol ini mengalun diiringi permainan piano sang komposer.

’’Ia telah Pergi’’ karya WS Rendra, mengilhami komposisi Ananda berikutnya. Puisi tentang pengorbanan para serdadu yang pergi meninggalkan ibu mereka untuk maju ke medan perang, walau dengan resiko mati sekalipun. Suara bariton Joseph Kristanto kembali terdengar mengantarkan puisi ini hanya dengan iringan denting piano Ananda.

Kemerdekaan harus diperjuangkan! Kemerdekaan mutlak diciptakan! Itulah makna yang terkandung dalam bait-bait puisi ''Kita Ciptakan Kemerdekaan'' karya Sapardi Djoko Damono. Jutaan makna yang terkandung dalam kata kemerdekaan itu mengalir lewat sajian paduan suara yang apik. Ya, melalui syairnya, Sapardi hendak menggelorakan arti dan semangat kemerdekaan.

Sejatinya kemerdekaan memang harus diupayakan, karena tanpa kemerdekaan maka orang akan terbebat dalam belenggu keterbatasan. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat berbuat banyak. Tanpa kemerdekaan, sebuah bangsa tidak dapat menggapai asa. Maka ciptakanlah kemerdekaan, yang akan membebaskan setiap jiwa, yang mampu menggerakkan setiap raga untuk meraih sejuta impian. Kemerdekaan mampu membuat setiap renungan dan gagasan menjadi maha karya, mewujudkan setiap angan dan harapan menjadi nyata.

Jakarta New Year's Concert di awal tahun ini ditutup dengan sebuah komposisi Ananda yang digubah berdasarkan puisi lawas ’’Karawang-Bekasi’’ ciptaan Chairil Anwar. Siapa yang tak mengenal puisi tersohor ini? Sebuah puisi yang kembali bercerita mengenai nilai-nilai pengorbanan para pahlawan bangsa. Meresapi makna yang terkandung di dalamnya, saya kembali tersentak. Betapa para pejuang bangsa yang telah gugur, tanpa pernah sempat menikmati indahnya kemerdekaan yang diperjuangkan dengan tumpahan darah dan serakan tulang-belulang mereka. Sudahkah kita memberi arti bagi pengorbanan mereka yang sedemikian besar? Memenuhi keinginan mereka untuk meneruskan perjuangan mengisi kemerdekaan ini?

Seakan tidak hanya ingin sekedar menghimbau melalui konser awal tahunnya, Ananda Sukarlan mengumumkan berdirinya Yayasan Musik Sastra Indonesia di awal bulan Februari tahun lalu. Yayasan ini didirikannya bersama dengan Dedi Sjahrir Panigoro, Pia Alisjahbana dan Chendra Panatan, orang-orang yang selalu setia mengawal setiap konser tahunannya dan membantu mewujudkan mimpi-mimpinya. Didedikasikan khusus untuk memberi kesempatan bermusik bagi anak-anak muda penuh bakat, penerus bangsa ini, yang kurang mampu maupun yang memiliki keterbatasan, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat atau setidaknya memperkaya jiwa dengan keindahan musik.

Dengan harapan agar musik dapat dinikmati oleh semua usia dan lapisan masyarakat, maka siapapun dapat turut berpartisipasi dan berkontribusi pada yayasan ini. Sebuah wujud nyata dalam memaknai dan mengisi kemerdekaan negeri ini, yang tidak hanya sebatas pada wacana semata.

¡Felicitaciones Ananda!

Keep on creating…

¡Feliz año nuevo!

y... hasta el año que viene


-PriMora Harahap-

5 Januari 2010

note:
tulisan ini diunggah dan dimuat juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog