Rabu, 04 Februari 2009

Lemahnya Fondasi

Cadangan Devisa Negara dikabarkan terus merosot turun. Beberapa kali memang cadangan ini diberitakan digunakan untuk aksi intervensi BI menahan laju pelemahan nilai rupiah.

Disamping tentunya berbagai cara lain yang dilakukan BI untuk mengawal rupiah, termasuk strategi menurunkan SBI (tingkat suku bunga) hingga dengan menelurkan pelbagai kebijakan di sektor perbankan dan perdagangan valas.

Berikut saya kutipkan sebagian berita di detik com hari ini (tgl 4 Feb 200):
Cadangan devisa Indonesia kembali turun hingga US$ 739 juta dalam kurun Januari 2009. Cadangan devisa Indonesia per akhir Januari 2009 sebesar US$ 50,9 miliar.

"Cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2009 tercatat sebesar USD 50,9 miliar atau setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah," Direktur Direktorat Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dyah NK Makhijani dalam siaran persnya, Rabu (4/2/2009).

Gubernur BI Boediono sebelumnya memperkirakan cadangan devisa Indonesia hingga akhir 2008 bisa mencapai US$ 51 miliar. Jika pemilu berjalan sukses dan menghasilkan pemerintahan yang stabil, maka diharapkan dana-dana asing yang diparkir di luar negeri bisa kembali ke tanah air.

Hal ini mencerminkan betapa eforia gempita sektor finansial spekulatifpun terbangun dari dana-dana luar negeri yang hanya bersifat temporer. Struktur dan proporsi sektor finansial yang sebagian besar dibangun oleh dana luar negeri yang hanya masuk sesaat dan lebih bersifat untuk tujuan trading dan profit taking semata ketimbang investasi jangka panjang, telah membuat sektor yang selama ini menjadi kebanggaan penggerak perekonomian nasional menjadi rapuh dan goyah. Keluarnya hot money dan kurangnya porsi investasi jangka panjang dalam struktur sektor tersebut telah membuat rontoknya indeks bursa dengan cepat dan cukup sulit untuk mengangkatnya kembali.

Sementara menurut sebuah berita yang hari ini saya baca di kompas.com, menkeu mengatakan bahwa:
Pemerintah juga akan menjaga tingkat permintaan dollar AS yang cukup meningkat lantaran keperluan untuk membayar hutang yang jatuh tempo atau kebutuhan membiayai impor.

Krisis ekonomi yang mengglobal, melanda dunia memang membuat nyaris tak ada sebuah negarapun yang luput dari hantamannya. Kesiapan dan ketangguhan setiap negara untuk dapat bertahan selama krisis hingga berhasil keluar dengan selamat di penghujung krisis nanti tentu sangat berbeda, tergantung dari kekokohan pilar-pilar perekonomian negara tsb.

Terus tergerusnya cadangan devisi negara demi menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, nyatanya tak juga membuat nilai tukar mata uang negeri ini dapat 'terselamatkan', walau BI rate sudah kembali diturunkan pada pagi ini. Pertanyaannya adalah sampai kapan cadangan devisa negara mampu bertahan dan sekaligus menahan merosotnya nilai rupiah?

Pertanyaan berikut yang tak kalah menggelitik saya tentunya adalah mengapa nilai rupiah sampai begitu terpuruk dan sulit untuk segera menguat kembali ?
Pernyataan menkeu bahwa diperlukan cukup banyak lembar-lembar dollar demi pembayaran hutang negara dan korporasi serta pembayaran impor, tentu mengindikasikan salah satu penyebab rentannya nilai rupiah terhadap hantaman krisis.

Sepertinya kerentanan ini disebabkan karena struktur perekonomian bangsa yang demikian lama ''dininabobokkan'' oleh eforia gemilangnya sektor finansial (khususnya yang bersifat spekulatif). Tanpa disadari, pengembangan sektor tersebut telah menciptakan gelembung-gelembung fantasi yang luar biasa indah terlihat. Namun, sebagaimana nature (sifat alami) dari gelembung, sangat rentan terhadap 'tusukan'. Sehingga sedikit tusukan krisis global membuat gelembung tersebut mengempis dan bahkan kemudian pecah.

Kealpaan berikutnya adalah kurangnya perhatian pemerintah selama ini terhadap penguatan sektor riil. Pemerintah seakan baru menyadari (atau tepatnya tersentak dan dipaksa menyadari) pentingnya sektor ini sebagai pembentukan fondasi perekonomian bangsa yang kuat, yang berjejak pada kemampuan bangsa itu sendiri, untuk menggerakkan perekonomian dalam negeri.

Landaan krisis yang demikian hebat, baru menyadarkan pemerintah untuk mulai membangun sektor riil, termasuk infrastruktur penunjang yang sangat diperlukan bagi penggerak perekonomian rakyat. Namun pembangunan sektor riil dan infrastuktur penunjang tentu menjadi jauh lebih sulit dan lebih mahal bila dilakukan saat krisis telah melanda, ketimbang pada saat perekonomian negara dalam kondisi stabil. Modal yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut menjadi lebih besar dikarenakan nilai tukar rupiah juga sudah melemah.

Lagi-lagi sebuah keputusan yang - bisa dikatakan – cukup terlambat. Diperlukan daya upaya lebih besar untuk menggerakkan perekonomian rakyat yang bertumpu pada kekuatan dalam negeri di saat krisis seperti ini, apalagi dalam kondisi infrastuktur yang sama sekali tidak menunjang. Parahnya kondisi jalan-jalan di hampir seluruh wilayah republik ini, bahkan jalan-jalan protokol di ibukota negara sekalipun, yang sangat diperlukan bagi bergeraknya perekonomian bangsa, merupakan sebuah contoh saja buruknya kondisi infrastruktur penunjang di negara ini.

Tampaknya ada kecenderungan negara ini untuk selalu menempuh jalan melakukan program-program instan yang hasilnya dapat langsung terlihat & dibanggakan sebagai ''prestasi'' pengelola negara, ketimbang menjalankan program yang bersifat komprehensif dan terintegrasi. Sebuah jalan pintas selalu terlihat jauh lebih menarik ketimbang harus bersusah payah membangun fondasi yang kuat.

Di bidang pengembangan industri, kecenderungan pola kelola seperti itu telah membuat perhatian dan kebijakan pemerintah hanya ditujukan kepada pembangunan industri hilir, dan kerap mengabaikan industri hulu. Tidak terbangunnya industri yang kuat dari hulu ke hilir, membuat tingkat ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor komponen / bahan baku masih sangat tinggi, yang tentu berujung pada ketergantungan akan lembar-lembar dollar untuk mengimpor bahan baku tersebut.

Pengabaian industri hulu ke hilir yang menyeluruh dan terintegrasi, telah membuat rapuhnya stuktur industri dalam negeri, sehingga sampai saat ini industri dalam negeri masih lebih mirip ''tukang jahit'' daripada designer. Tanpa memiliki kemampuan untuk mengembangkan kualitas hasil produksi dalam negeri.

Tingkat ketergantungan impor yang cukup tinggi tak pelak membuat tingginya biaya produksi yang diperlukan sebagai akibat dari biaya pengadaan bahan baku yang cukup tinggi, yang menyebabkan harga jual produk dalam negeri menjadi sulit bersaing dengan harga produk impor (dalam bentuk barang jadi). Membuat bangsa ini menjadi lebih konsumtif ketimbang produktif.

Tidak adanya upaya serius untuk memperkuat setiap industri (khususnya pengolahan sumber daya alam dan energi-mineral) juga adalah sebuah bentuk pengabaian dalam tata kelola negara ini. Tingkat kemampuan negeri ini yang hanya sampai pada taraf mengeksplorasi dan tanpa kemampuan untuk mengolah, membuat negara ini terbiasa menjual hasil sumber daya alam dan energi dalam bentuk mentah, untuk kemudian ''terpaksa'' harus mengimpor kembali produk jadi bahan bakar energi maupun olahan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kurangnya penguasaan teknologi yang mengakibatkan ketidakmampuan negeri ini untuk mengolah sendiri sumber daya alam dan energinya membuat lagi-lagi negara ini harus bergantung pada kebutuhan lembar-lembar dollar.

Berbagai berita menyajikan kenyataan bahwa sesungguhnya negeri ini memiliki potensi-potensi yang luar biasa hebatnya, tidak hanya dalam bentuk potensi sumber daya alam, tapi juga sumber daya manusia. Bermacam kompetisi dan olimpiade berbagai cabang ilmu pengetahuan bertaraf international mampu dimenangkan oleh anak bangsa ini. Membuktikan sesungguhnya bangsa ini memiliki potensi sumber daya manusia yang demikian unggul.

Tampaknya belum ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memperhatikan dan mengembangkan sejumlah potensi yang dimiliki tersebut. Kerap kali anak-anak muda yang berbakat tidak mendapat perhatian yang serius. Sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya memilih untuk menerima beasiswa maupun bekerja di negara lain karena kurangnya perhatian dan penghargaan di negeri sendiri. Beberapa negara yang sudah lebih maju seperti Singapore bahkan dengan antusias memberi beragam beasiswa dan tawaran kerja bagi anak-anak negeri ini yang berhasil memenangkan berbagai olimpiade ilmu pengetahuan.

Sebuah program pendidikan yang direncanakan dan dikelola dengan baik mestinya akan membuat bangsa ini mampu menguasai dan bahkan mengembangkan sendiri teknologinya. Namun sepertinya negara ini terlihat sudah puas dengan program wajib belajar yang telah bertahun-tahun tidak beranjak dari tingkat sekolah menengah pertama saja. Bahkan akses dan kesempatan mengecap pendidikan tinggi kini semakin sulit terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Menunjukkan betapa kurangnya perhatian dan prioritas pengelola negara terhadap pengembangan fondasi kemampuan bangsa yang kuat. Menyebabkan lemahnya daya saing sumber daya manusia di negara ini, tidak hanya di bursa tenaga kerja internasional tapi bahkan di dalam negeri sendiri.

Lalu sampai kapan pola kelola seperti ini akan terus dipertahankan?
Sehingga negeri ini kerap harus selalu tertatih-tatih berupaya bangun kembali dari ''titik awal'', setiap kali krisis melanda?

Akankah negeri ini membiarkan pengabaian demi pengabaian dan kealpaan demi kealpaan berlangsung terus, tanpa pernah ada upaya evaluasi dan pembenahan yg menyeluruh?
Sampai kapan republik ini akan terus menerus bergantung pada pihak asing dan segala teknologi maupun produk impornya?


-PriMora Harahap-

5 Feb 2009

note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori ekonomi, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Tidak ada komentar: