Libertas !
Itulah tema konser Ananda Sukarlan yang mengawali tahun 2010. Tema yang diambil dari kosa kata bahasa Latin itu memiliki makna yang begitu luas dan mendalam, sehingga membuat saya tidak ingin mengambil judul lain bagi tulisan berikut ini.
Bersama kedua orang tua, saya kembali berkesempatan menyaksikan Jakarta New Year’s Concert 2010 di Taman Ismail Marzuki pada hari ke 3 di bulan pembuka tahun ini. Konser musik klasik tahunan ini menampilkan komposisi-komposisi buah karya Ananda Sukarlan, seorang komposer penuh bakat milik negeri ini yang telah memiliki reputasi mendunia. Walau kali ini minus adik sepupu saya yang tengah mengikuti kuliah di UGM – Yogyakarta, namun seorang sahabat saya berhasil ’’terpengaruh’’ untuk ikut menyaksikan konser Ananda tahun ini, yang berhasil pula mempengaruhi seorang temannya lagi untuk turut bergabung bersama kami.
Kemerdekaan! Kebebasan! Agaknya memang makna itulah yang ingin diusung oleh Ananda saat menyaksikan sajian demi sajian dalam konsernya kali ini. Sebuah kata yang mengandung arti universal yang begitu kuat dengan semangat dan jiwa kemerdekaan, sungguh terasa menyentak nurani saat kita kembali merenungkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi di negeri tercinta ini dalam setahun yang telah berlalu. Setidaknya bagi saya. Aah..! Sudahkah negeri ini benar-benar merdeka? Terbebas dari segala bentuk penjajahan dan belenggu apapun? Terlepas dari setiap jenis penindasan dan intimidasi? Terhindar dari semua rasa takut dan tertekan? Apakah yang telah kita perbuat untuk mengisi kemerdekaan ini?
Seperti konsernya yang sudah-sudah, Ananda selalu mengawali konsernya di sesi pertama dengan suguhan-suguhan pembuka yang indah, sebelum masuk ke dalam tema konser pada sesi ke dua. Membuka sesi pertama dengan permainan pianonya yang ciamik, komposer berbakat ini memainkan sebuah karyanya yang diberi tajuk ’’Rapsodia Nusantara no.1’’ yang diciptakannya berdasarkan beberapa lagu daerah milik bangsa ini. Sekian lama melanglang buana, menjelajahi berbagai belahan dunia, hingga bermukim di Spanyol, tidak pernah membuat Ananda melupakan kekayaan dan keindahan budaya tanah kelahirannya.
Repertoir ini dilanjutkan dengan sebuah duet manis antara Andy (panggilan kecil Ananda) dengan seorang gadis belia yang baru berusia 15 tahun. Melalui permainan biolanya yang cantik, Inez Raharjo mengalunkan sebuah gubahan berjudul ’’Sweet Sorrow’’ bersama sang pemilik komposisi. Terinspirasi dari sebuah puisi karya William Shakespeare yang bercerita mengenai perpisahan Romeo dengan Julliet, komposisi ini sengaja dibuat oleh Andy untuk dapat dimainkan oleh mereka yang menyandang cacat pada jari tangan kanan. Gubahannya ini dapat dimainkan dengan menggunakan 2 jari kanan saja, disamping jari-jemari tangan kiri yang normal. Sebuah bentuk keperdulian Andy kepada mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Setelah tahun lalu iapun mempersembahkan sebuah komposisi yang dibuatnya khusus untuk dimainkan dengan tangan kiri saja.
’’Bibirku bersujud di bibirmu’’ menjadi persembahan berikutnya. Mengalun indah melalui permainan piano Ananda Sukarlan, ditingkahi oleh gesekan biola Inez Raharjo, tiupan flute Elizabeth Ashford, yang dipercantik pula oleh tarian latar karya Chendra Panatan, komposisi yang disuguhkan perdana dalam konser ini diangkat dari puisi berjudul sama karya Hasan Aspahani. Syair pada puisi inipun melantun lewat beningnya suara soprano Aning Katamsi, di setengah paruh ke 2 gubahan ini. Berkisah mengenai bencana Tsunami yang melanda berbagai belahan bumi, termasuk Aceh, yang merenggut ratusan ribu jiwa. Sang penyair dengan apik menggambarkan bencana yang timbul saat bibir ombak menyentuh bibir pantai beberapa tahun silam itu dalam bait-bait puisinya.
Menutup rangkaian sesi pertama persembahan ini, Ananda memainkan komposisi Rhapsody Nusantara no. 5, yang kembali diangkatnya dari berbagai lagu daerah negeri ini. Pertemuannya dengan Gubernur Sulawesi Selatan membuat lagu Anging Mamiri dari Makasar yang terdengar sangat akrab di telinga saya sejak masa kanak-kanak, menjadi bagian dari Rhapsody ini.
Libertas!
Tema ini melekat kuat pada seluruh sajian di sesi ke dua konser awal tahun ini. Ananda pun mengangkat tema ini secara universal. Tidak hanya arti kemerdekaan bagi negeri ini, namun makna kemerdekaan bagi seluruh umat manusia di penjuru muka bumi ini. Ya, karena sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak seluruh bangsa, sebagaimana juga telah tercantum sejak puluhan tahun lalu dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 45, yang semestinya menjadi landasan tegaknya hukum di negeri ini.
Coba simak komposisi yang diangkat dari puisi ciptaan Ilham Malayu sebagai pembuka sesi ke dua ini. Mengambil judul ’’Bentangkan Sayapmu, Indonesia!’’, Ilham mengajak bangsa tercintanya untuk berbuat lebih banyak dalam mengisi kemerdekaan yang telah direnggut dengan bayaran jiwa dan raga para pahlawan bangsa. Melepaskan setiap bentuk belenggu penjajahan dan penindasan, agar dapat meraih kemerdekaan yang hakiki.
Suguhan berikut digubah Ananda dari puisi karya Walt Whitman. Berjudul ’’I Understand the Large Hearts of Heroes’’ bait demi bait dalam puisi ini menggambarkan kebesaran jiwa, keteguhan hati dan keberanian para pahlawan, tanpa pernah mengenal kata mundur demi memperjuangkan setiap inci tanah tumpah darahnya, walau kematian sebagai taruhannya. Perpaduan suara penuh harmoni keindahan dari paduan suara Paragita UI dan ITB serta alunan musik Jakarta String Ensemble yang dipandu oleh Indra Listiyanto selaku konduktor, turut mengiringi komposisi ini.
’’Palestina’’ sebuah puisi karya cipta Hasan Aspahani menjadi dasar bagi gubahan Ananda berikutnya. Lewat lantunan suara bariton Joseph Kristanto, puisi ini bercerita mengenai penderitaan rakyat Palestina menghadapi serangan pesawat tentara Israel. Dengan suram, syair dalam puisi inipun berkisah tentang pilunya hati seorang ayah tatkala mengafani anaknya yang mati tertembus mortir Israel, hanya dengan kafayehnya.
Arti pengorbanan jiwa para pejuang tertuang dalam persembahan berikutnya. Puisi berjudul ’’The Young Dead Soldiers Do Not Speak’’ karya Archibald Macleis, telah menginspirasi Ananda untuk membuat sebuah komposisi yang sangat menyentuh hati. Suara bariton Joseph Kritianto dengan iringan string ensemble dan paduan suara sungguh menghentakkan kesadaran kita akan betapa besar pengorbanan yang telah diberikan oleh para pejuang bangsa. Bahkan para pahlawan tanpa nama yang telah rela mati muda demi kemerdekaan negerinya.
Seberapa besarkah nilai pengorbanan mereka yang telah gugur di medan perang? Tentu bukan mereka yang dapat menjawabnya, karena mereka tidak lagi dapat menjawabnya. Tubuh mereka telah lama diam membisu, terbujur kaku, seiring dengan tembusan peluru dan jasad yang terkubur. Besarnya arti pengorbanan para pejuang bangsa memang terletak dari seberapa besar kita dapat menghargai dan memaknai kemerdekaan yang telah direnggut dengan segenap jiwa dan raga serta gelimangan darah mereka. Akankah kita menyia-nyiakannya dan menganggapnya sekedar sebagai ’’telah semestinya’’ ataukah kita akan mengisinya dengan nilai-nilai yang jauh lebih bermakna?
Sebuah puisi buah karya Luis Cernuda menjadi judul dari karya Anada selanjutnya. Joseph Kristanto kembali melantunkan suara baritonnya pada gubahan berjudul ’’A Un Poeta Muerto’’ atau ’’kematian seorang pujangga’’ (The poetry of Luis Cernuda), berkisah tentang kebebasan jiwa seorang penyair. Puisi berbahasa Spanyol ini mengalun diiringi permainan piano sang komposer.
’’Ia telah Pergi’’ karya WS Rendra, mengilhami komposisi Ananda berikutnya. Puisi tentang pengorbanan para serdadu yang pergi meninggalkan ibu mereka untuk maju ke medan perang, walau dengan resiko mati sekalipun. Suara bariton Joseph Kristanto kembali terdengar mengantarkan puisi ini hanya dengan iringan denting piano Ananda.
Kemerdekaan harus diperjuangkan! Kemerdekaan mutlak diciptakan! Itulah makna yang terkandung dalam bait-bait puisi ''Kita Ciptakan Kemerdekaan'' karya Sapardi Djoko Damono. Jutaan makna yang terkandung dalam kata kemerdekaan itu mengalir lewat sajian paduan suara yang apik. Ya, melalui syairnya, Sapardi hendak menggelorakan arti dan semangat kemerdekaan.
Sejatinya kemerdekaan memang harus diupayakan, karena tanpa kemerdekaan maka orang akan terbebat dalam belenggu keterbatasan. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat berbuat banyak. Tanpa kemerdekaan, sebuah bangsa tidak dapat menggapai asa. Maka ciptakanlah kemerdekaan, yang akan membebaskan setiap jiwa, yang mampu menggerakkan setiap raga untuk meraih sejuta impian. Kemerdekaan mampu membuat setiap renungan dan gagasan menjadi maha karya, mewujudkan setiap angan dan harapan menjadi nyata.
Jakarta New Year's Concert di awal tahun ini ditutup dengan sebuah komposisi Ananda yang digubah berdasarkan puisi lawas ’’Karawang-Bekasi’’ ciptaan Chairil Anwar. Siapa yang tak mengenal puisi tersohor ini? Sebuah puisi yang kembali bercerita mengenai nilai-nilai pengorbanan para pahlawan bangsa. Meresapi makna yang terkandung di dalamnya, saya kembali tersentak. Betapa para pejuang bangsa yang telah gugur, tanpa pernah sempat menikmati indahnya kemerdekaan yang diperjuangkan dengan tumpahan darah dan serakan tulang-belulang mereka. Sudahkah kita memberi arti bagi pengorbanan mereka yang sedemikian besar? Memenuhi keinginan mereka untuk meneruskan perjuangan mengisi kemerdekaan ini?
Seakan tidak hanya ingin sekedar menghimbau melalui konser awal tahunnya, Ananda Sukarlan mengumumkan berdirinya Yayasan Musik Sastra Indonesia di awal bulan Februari tahun lalu. Yayasan ini didirikannya bersama dengan Dedi Sjahrir Panigoro, Pia Alisjahbana dan Chendra Panatan, orang-orang yang selalu setia mengawal setiap konser tahunannya dan membantu mewujudkan mimpi-mimpinya. Didedikasikan khusus untuk memberi kesempatan bermusik bagi anak-anak muda penuh bakat, penerus bangsa ini, yang kurang mampu maupun yang memiliki keterbatasan, sehingga mereka dapat menyalurkan bakat atau setidaknya memperkaya jiwa dengan keindahan musik.
Dengan harapan agar musik dapat dinikmati oleh semua usia dan lapisan masyarakat, maka siapapun dapat turut berpartisipasi dan berkontribusi pada yayasan ini. Sebuah wujud nyata dalam memaknai dan mengisi kemerdekaan negeri ini, yang tidak hanya sebatas pada wacana semata.
¡Felicitaciones Ananda!
Keep on creating…
¡Feliz año nuevo!
y... hasta el año que viene
-PriMora Harahap-
5 Januari 2010
note:
tulisan ini diunggah dan dimuat juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar