Namanya Enah. Entah siapa nama lengkapnya, saya tidak pernah tahu, Enah pun tidak hendak memberitahu. Perawakannya agak gemuk, tidak terlalu tinggi, dengan kulit hitam legam, tanda keseharian hidupnya lebih sering dihabiskan di bawah terik matahari. Orangnya sigap dan cekatan, mau mengerjakan apa saja dan dapat dipercaya.
Setiap hari dilaluinya dengan membuka warung nasi di pinggir jalan dekat rumah saya di wilayah Cilandak Dalam. Sebenarnya hanya sebuah warung kecil, sedikit lebih besar dari warung rokok, dengan meja yang merupakan kayu penutup warung yang dibuka bila sedang berjualan. Dilengkapi kursi kayu panjang bagi para pengunjung yang datang makan di warung tersebut.
Enah tinggal di sebuah rumah petak kontrakan di jalan yang sama. Rumah petaknya merupakan rumah kontrakan milik ketua RT di wilayah tersebut. Sejak sebelum kepindahan saya dan keluarga ke Cilandak Dalam pada tahun 1996 lampau, Enah sudah berjualan di sana. Bahkan saat rumah kami sedang dalam pembangunan, dia memarkir warungnya tepat di pinggir jalan di seberang rumah kami, karena saat itu dia berniat mengambil ‘’pasar’’ berupa kuli-kuli bangunan yang bekerja di bangunan rumah kami. Tanpa pernah mengecap pendidikan tentang ilmu pemasaran – jangankan pendidikan tinggi bahkan pendidikan SD pun tidak tamat - dia sudah menerapkan konsep ‘’captive market’’ yang dapat diraihnya dengan membuka warung di muka rumah yang sedang dibangun.
Saat ini Enah tinggal sendiri. Ketika saya sempat berbincang-bincang ringan dengannya, mengobrol seputar kehidupannya, dia bercerita bahwa sudah lama dia menjanda. Suaminya pergi kawin lagi saat anak ketiga mereka belum lagi genap berusia 2 tahun. Namun sebagaimana kebanyakan perempuan dari golongan marginal yang tidak memiliki pengetahuan mengenai hak-hak mereka sesuai hukum yang berlaku, maka hingga kini tidak selembar surat ceraipun yang diterimanya dari mantan suaminya itu. Sungguh sebuah ironi, bila menurut penuturannya sang suami bekerja di kantor polisi yang semestinya sudah sadar hukum akan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri. Namun selaku seorang yang bekerja di lingkungan penegak hukum justru memanfaatkan ketidaktahuan istrinya akan hak dan kewajiban tersebut.
Tapi di negara ini banyak sekali terjadi kasus demikian. Entah sudah berapa kali saya mendengar seorang perempuan ditinggal kawin lagi oleh suaminya begitu saja. Tanpa surat cerai, tanpa bertanggungjawab atas nafkah anak-anak yang terlahir dalam perkawinan mereka. Setidaknya cerita Enah sudah menggenapi 4 cerita sejenis yang saya dengar langsung dari para perempuan korban kesewenang-wenangan suami-suami yang tidak bertanggungjawab. Dua cerita saya dapatkan dari bekas pembantu-pembantu kami. Dan satu cerita lagi saya dengar dari mbok tukang pijit langganan ibu saya. Menandakan masih kurang berjalannya program pemberdayaan wanita di negri yang didaulat sebagai negara hukum ini.
Enah pun bercerita bahwa sejak pergi meninggalkannya dengan ketiga anak yang masih kecil-kecil, suaminya itu tidak pernah bertanggungjawab atas nafkah dan kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Maka diapun harus banting tulang mencari nafkah dan biaya bagi pendidikan anak-anaknya.
Awalnya dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. “Dulu saya kerja sama keluarga ibunya Mbak Mita, yang tinggal di Cilandak Tengah. Tapi sekarang ibunya Mbak Mita sudah balik ke Padang, Mbak Mita sendiri sudah kawin dan tinggal di Bintaro. Anak saya yang paling tua ikut dibawa ibunya Mbak Mita ke Padang. Tapi saya denger sih sekarang anak saya itu sudah kawin dan gak kerja di sana lagi. Saya gak pernah dapat kabar lagi dari dia. Maksud saya, anak laki, Non. Kalo sudah kawin pasti pergi dibawa orang”, kata Enah menceritakan awal kisahnya bisa bermukim di wilayah Cilandak ini.
Setelah majikannya pulang kembali ke Padang, dia memutuskan untuk buka warung dan berjualan nasi saja di pinggir jalan perumahan, masih di wilayah yang sama. “Saya diajakin sih sama Mbak Mita untuk ikut ke Bintaro. Tapi saya gak mau ah… Saya ini kan gak tahu jalan. Tahunya cuma daerah sini aja. Paling-paling ke pasar dan ke rumah kakak saya di Pondok Labu. Ntar pindah jauh-jauh malah saya nyasar lagi. Mending di sini saja. Maksud saya, kalo cuma cari kerja, di sini juga bisa. Kerjaan apa saja juga saya mau, asal halal.”, begitu alasannya kenapa dia akhirnya memilih tetap tinggal di Cilandak. Maka jadilah Enah buka warung nasi di pinggir jalan. Pelanggannya saat itu cukup banyak, karena ada beberapa bangunan rumah baru di wilayah tersebut.
Tahun terus berjalan, dan daerah Cilandak kini sudah semakin padat dengan rumah-rumah besar pendatang baru yang membelinya dari penduduk asli Betawi. Apalagi sejak beroperasinya Cilandak Town Square, sebuah pusat entertainment yang dilengkapi dengan Cilandak Sport Center di belakangnya. Bahkan tanah lapang milik Bank Indonesia tepat di depan rumah kami, yang bertahun-tahun terbengkalai, hingga sering digunakan anak-anak dan remaja setempat untuk beraktivitas dan bermain bola, kini telah dialihkan ke sebuah pengembang terkemuka yang segera membangun sebuah town house elit di sana. Enah pun tergusur. Pengembang town house elit tidak berkenan ada warung di depan lingkungan perumahannya. Mereka tidak mau warung-warung ‘’liar’’ menurunkan citra perumahan mewah dengan lingkungan asri yang dibangunnya.
Untungnya Enah adalah seorang yang supel, luwes dalam pergaulan. Dari awal saya mengenalnya di tahun 90-an silam, dia memang ramah. Walaupun bicaranya terkadang sedikit ceplas-ceplos, tanpa sungkan menceritakan perjalanan kehidupan lengkap dengan segala permasalahannya – khas orang yang hidup di pinggir jalan – tapi dia selalu bersedia membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya, sejauh dia mampu.
Tak jarang, ibu saya meminta bantuannya untuk memasak makanan, terutama bila akan mengadakan acara keluarga atau pengajian di rumah. Banyak juga yang memanfaatkan jasanya untuk sekedar membersihkan rumah, menyapu halaman, menjaga rumah, mencuci pakaian hingga memijit dikala pegal atau melulur badan yang sudah mulai terasa dekil.
Hingga saat warungnya harus hengkang dari depan bangunan town house tersebut, dia tidak terlalu khawatir karena langsung ada warga Cilandak Dalam yang memberinya tempat untuk memindahkan warungnya ke depan rumahnya.
‘’Waktu diminta pergi dari depan Casamora, saya pindah ngewarung di depan rumah Pak Dadi, Non. Itu lho yang Jendral itu. Dia kan sudah pindah ke Lebak Bulus. Rumahnya yang di sini dibongkar, mau dibangun dua rumah, bakal anak-anaknya nanti. Dia minta saya sekalian jagain rumahnya. Ya pas ditawarin saya mau saja. Saya bilang ke Pak Dadi, ya itu maksud saya, kalo saya diminta ngejagain rumahnya, saya boleh sekalian ngewarung.”, itu laporannya kepada saya memberi tahu perihal kepindahannya yang hanya berjarak sekian puluh meter itu.
Sambil berdagang nasi di warungnya dari pagi hingga petang, malamnya Enah terbiasa bertandang dari rumah ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan lain, sesuai pesanan. Ada saja warga yang meminta bantuannya dengan tentunya memberi upah atas jasanya. Namun Enah tidak pernah pasang tarif. Orang membayar jasanya sesuai keikhlasan masing-masing. “Buat saya sih pekerjaan apa saja saya lakonin, yang penting halal. Kalo gak halal saya gak mau. Maksud saya, biar saya orang miskin begini tapi saya masih takut sama Tuhan”, demikian jelasnya kepada saya. Sering pula Enah kerja serabutan di hari minggu dan di hari-hari libur dimana dia tidak membuka warungnya. Menurutnya rugi kalau membuka warung di hari libur karena tidak ada kuli bangunan yang bekerja, sehingga pengunjung warungnya juga sangat sedikit.
Dia lanjut bercerita bahwa awalnya dia memang sengaja mengambil kerja serabutan seperti itu di malam hari dan di hari-hari libur untuk membiayai sekolah anaknya yang terkecil. Tantri, demikian nama anak bungsunya itu memang merupakan anak kebanggaan Enah. “Dia itu anaknya nurut, Non. Gak seperti anak saya yang lain. Disuruh sekolah mau. Anak saya yang lain kan gak ada yang mau saya suruh sekolah, maunya cepet kerja trus kawin. Biar deh saya kerja capek begini asal ada anak saya yang jadi orang sekolahan. Supaya pinter, maksud saya jadi ntar bisa dapet kerjaan bagus”.
Tantri memang seorang anak yang manis. Dia sering diajak Enah ke rumah kami kalau ibu saya sedang membutuhkan jasa Enah. Anaknya rajin dan sedikit pendiam. Kulitnya hitam legam, persis seperti ibunya, tapi raut mukanya jauh lebih ayu. Dengan perjuangan Enah banting tulang kerja serabutan, Tantri akhirnya berhasil menyelesaikan SMEA, sebuah jenjang pendidikan yang cukup tinggi untuk kaum marginal seperti mereka. Selesai menamatkan SMEA, lagi-lagi berkat kesupelan Enah dalam bergaul, Tantri ditawari untuk bekerja sebagai kasir di sebuah departemen store terkemuka di Jakarta. Wah!! Enah bangganya bukan main. Dia kerap menceritakan perihal keberhasilannya menyekolahkan Tantri hingga bisa mendapat pekerjaan lebih layak dari dirinya. “Tantri sekarang jadi kasir di mall, Non”, ceritanya. “Hebat dong. Di mall besar lagi. Jadi sekarang dia sudah bisa mandiri ya.”, timpal saya. “Ya itu, maksud saya juga gitu. Pertamanya sih dia ditawarin jadi SPG, apa tuh Non, ya yang disuruh jualan itu. Tapi karena majikannya ngeliat dia jujur dan bisa dipercaya sekarang dia disuruh megang kasir. Dia anaknya emang jujur sih. Dari kecil saya sudah bilang sama dia kalo kerja mesti jujur. Orang itu cuma bisa dipercaya karena jujur. Kaya’ saya saja. Kalo saya gak jujur mana mungkin saya diminta kerja banyak orang. Sampai Nyonya Jerman (maksudnya tetangga sebelah yang istrinya orang Jerman, red.), saja lebih percaya sama saya ketimbang Mbak Darsih yang pembantunya itu. Kalo bersihin kamar dia, pasti saya yang disuruh. Nah, maksud saya gitu, yang penting jujur”, sambungnya panjang lebar mengenai nilai-nilai kejujuran yang kerap ditanamkannya kepada anaknya.
Namun ternyata nasib baik tidak berlama-lama berpihak pada kehidupan Enah. Kira-kira 2 tahun bekerja sebagai kasir, Tantri jatuh sakit. Awalnya demam dan batuk tak berkesudahan. Lambat laun tubuhnya yang memang kurus menjadi semakin kurus. Mukanya yang tirus semakin pucat. Semua orang sudah menyarankan untuk diperiksakan ke dokter. Beberapa warga turut memberi bantuan dana guna sedikit membantu meringankan biaya pengobatan Tantri. Enah kalut sekali saat itu. Dia ingin selalu mendampingi putri kesayangannya, namun dia tidak mungkin meninggalkan warungnya, karena itu merupakan sumber penghasilannya. Apalagi sejak sakitnya semakin parah, Tantri tidak lagi bekerja. Bulan demi bulan berlalu, Tantri terdiagnosa mengidap TBC. Sempat dirawat di RS Fatmawati atas bantuan sejumlah warga, namun kemudian Enah minta supaya dirawat jalan saja. ‘’Saya gak kuat biayanya. Lagian kalo saya mesti terus-terusan nungguin di rumah sakit, saya jadi gak bisa ngewarung. Kalo saya ngewarung, gak ada yang jagain Tantri. Belum lagi bau rumah sakit. Saya gak tahan. Maksud saya lebih baik dirawat di rumah saja. Deket sama warung, jadi saya bisa sekalian ngejagain Tantri. Gak buang-buang biaya. Di rumah sakit kan mahal”, begitu jelasnya. “Gak coba urus surat keterangan tidak mampu Mbak? Kan katanya ada program pengobatan gratis untuk orang miskin?”, tanya saya. “Susah Non ngurusnya. Malah kita yang dimintain duit. Maksud saya, daripada buang-buang duit ngurus ini itu juga belum tentu rumah sakit mau terima. Saya sudah coba, tapi rumah sakit tetap bilang ada biayanya. Lha waktu cuma 3 hari di rumah sakit saja saya sudah mesti bayar ini itu, belum lagi nebus obatnya mahal banget. Saya sempet abis ratusan ribu.”, keluhnya menceritakan pengalaman sulitnya perjuangan orang miskin di negara ini bila jatuh sakit.
Tantri lalu dirawat sendiri oleh Enah di rumah kontrakannya. Setiap minggu Enah membawa anaknya itu ke puskesmas. Tapi sakitnya tidak kunjung sembuh. Bahkan di bulan-bulan terakhir, Tantri sudah tidak mampu berjalan dan hanya bisa duduk terkulai. Fisiknya yang semakin lemah membuat Tantri tidak kuat melawan penyakitnya. Tantri pun meninggal, hanya 2 hari setelah kami paksa untuk dirawat di Rumah Sakit Persahabatan. Di malam Tantri meninggal, Enah yang menungguinya seorang diri di rumah sakit, menelpon ke rumah kami dengan terbata-bata. Suaranya yang biasanya cukup nyaring – bila tidak bisa dikatakan ‘’cempreng’’ – saat itu nyaris tak terdengar, tertelan oleh sedu-sedannya. Warga yang memang mengenalnya lalu bahu membahu membantu mengusahakan penguburan Tantri.
Kini Enah tinggal sendiri. Dia acap cerita kalau dia masih selalu sedih mengingat Tantri. Itu sebabnya walaupun saat ini dia hanya menghidupi dirinya sendiri, tapi dia tetap berusaha menyibukkan diri dengan mengambil kerja serabutan. Kerja yang menumpuk itu untuknya lebih untuk melupakan kesedihannya kehilangan seorang anak yang sangat dibanggakannya, selain menambah penghasilan. “Saya sekarang sih sebetulnya gak perlu kerja ngoyo, Non. Wong udah gak ada yang disekolahin lagi. Paling cuma buat makan sendiri saja. Tapi kalo saya bengong di rumah juga malah jadi sedih. Saya sering inget almarhum (sebutannya untuk Tantri yang telah meninggalkannya selama-lamanya, red). Apalagi kalo sudah malem. Biasanya kan almarhum yang nemenin saya nonton tipi. Mending sekarang saya jangan banyak di rumah. Ya itu maksud saya, kalo saya sibuk kan jadi gak gitu keingetan sama almarhum”, demikian dia mengisahkan kesedihannya akan kematian anaknya itu.
Namanya Enah. Entah siapa nama lengkapnya, semua orang memanggilnya Enah. Sejak awal saya mengenalnya hingga kini tidak terlalu banyak yang berubah dari penampilannya. Tetap ringan tangan membantu setiap warga yang membutuhkan jasanya. Wajahnya memang tampak semakin menua, penuh gurat-gurat kepedihan tanda cobaan demi cobaaan yang dia hadapi selama ini tidaklah ringan, walau sekedar berjuang untuk hidup. Namun bicaranya masih saja ceplas-ceplos, yang acapkali diselipi dengan kata “maksud saya’’, walau sering tanpa makna lebih. Terutama bila saya menanggapi ceritanya atau memberi saran atas persoalannya, maka dia akan langsung menimpali dengan “Ya itu, maksud saya juga gitu……”. Mungkin maksudnya untuk lebih memberi penekanan bahwa sebagai manusia walaupun hidup dalam kemelut kemiskinan namun dia tetap punya pendapat, punya prinsip, punya harga diri.
prepared by PriMora Harahap
for Narasi course homework
23 Nov 2007
sharing opinion / tulisan saya yang lain juga dapat dibaca pada Mora's blog
(@ mora-harahap.blog.co.uk)
Senin, 03 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar