Kamis, 11 Desember 2008

Yang Peduli pada Yang Terabaikan...

Bravo ! Salut ! Kagum !

Sungguh… ke 3 kata tsb spontan terbersit di hati & pikiran saya saat saya berkesempatan melihat pertunjukan Batuan Ethnic Fussion kemarin malam, pada malam ke 10 di bulan penutup tahun ini, berlokasi di Gedung Kesenian Jakarta.

Kelompok musik yang tampil sebagai bagian dari rangkaian program ''World Music Festival 2008'' milik GKJ di bulan Desember ini, digawangi oleh I Wayan Balawan, seorang gitaris asal Bali.

Komposisi demi komposisi nan rancak nian, merupakan hasil kolaborasi dari 2 kelompok intrumen musik berbeda format – modern & tradisional. Sungguhpun saya sangat yakin tidaklah mudah untuk menciptakan harmoni nada-nada yang merupakan perpaduan basis Pentatonic & Diatonic, namun mereka berhasil menyajikan repertoire demi repertoire dengan ringan & ceria. Sangat jauh dari kesan berat, monoton & membosankan, yang selama ini sering didapati orang dari musik-musik tradisional. Kerumitan irama musik Bali dan kepiawan Balawan memadukannya dengan irama musik modern – fussion jazz – yang juga tidak mudah, lengkap dengan improvisasinya, patut mendapat acungan jempol.

Saya sendiri, bukanlah seorang yang mahir memainkan alat musik ataupun paham benar hal ihwal bermusik. Saya hanyalah seorang penikmat musik. Tapi ternyata telinga saya yg terbiasa mendengar sesuatu yg ''easy-listening'', malam itu dapat menikmati setiap nada yang disuguhkan, yang serta merta terasa langsung bersahabat dengan telinga saya.

Kagum saya kian bertambah ketika Balawan menuturkan latar belakang dia mendirikan kelompok musik ini, yang bisa jadi juga merupakan obsesinya atas kecintaannya terhadap budaya leluhur. Balawan sengaja membentuk kelompok musik tersebut yang sebagian besar melibatkan teman-teman masa kecilnya guna dapat melestarikan & mengangkat budaya Bali sebagai budaya tradisional.

“Saya mencoba untuk melestarikan budaya Bali dengan mengajak teman-teman saya tetap memainkan musik tradisional Bali. Saya prihatin karena banyak anak muda di Bali lebih tertarik untuk terjun ke bidang pariwisata. Mereka lebih memilih untuk bekerja di hotel-hotel daripada mempelajari kesenian Bali sendiri”, begitu kurang lebih penuturannya memberitahukan alasannya untuk mencoba bertahan di jalur musik yang boleh dibilang idealis ini.

Wuiiih...! Betapa membanggakan mendengar pernyataan seperti keluar dari mulut seorang anak muda Indonesia.

Yaaa… itulah kenyataan saat ini… tidak hanya di Bali, tapi saya yakin menggejala di seluruh daerah di nusantara ini.

Negeri ini tidak hanya kekurangan musikus penerus musik tradional, tapi juga penerus seni kebudayaan lainnya termasuk pengrajin kain tradisional seperti batik, ulos, songket, tenun ikat… Sungguh jarang ditemukan anak muda yang mau mempelajari keahlian2 tsb.

Guru les membatik saya pun pernah bercerita bahwa di Yogya dan Solo sendiri generasi mudanya sudah enggan belajar membatik, khususnya batik tulis yang memerlukan ketekunan. Banyak kaum muda di daerah kini lebih memilih berbondong-bondong hijrah ke kota besar, khususnya Jakarta, bekerja di pabrik-pabrik, ketimbang memajukan seni budaya daerahnya masing-masing.

Diakui pula oleh Balawan, sangatlah sulit untuk mengusung & bertahan pada jalur musik idealis di negeri ini. Sehingga kompromi dengan pasar tak pelak harus juga dilakukan sesekali, agar musiknya dapat diterima publik. Ya… mereka tentu harus tetap memikirkan pula selera pasar & beragam upaya agar public mau menerima musik mereka, karena bila tidak, tentu mubazir sajalah segala jerih payah mereka mengusung musik tradisional ini di tengah-tengah hiruk-pikuknya gempuran musik modern.

Mereka harus memutar otak lebih keras agar musik tradisional dapat diterima dan dinikmati oleh generasi muda bangsa ini yang diharapkan dan seharusnyalah menjadi penerus budaya lokal.Sebuah perjuangan yang tidak sesederhana membalik telapak tangan tentu, menyimak betapa generasi muda bangsa ini telah sedemikian sering ‘’dicekoki’’ oleh budaya-budaya barat dalam kesehariannya, sehingga merasa lebih akrab dengan budaya-budaya dari luar tersebut.

Tengok, bagaimana riuh & ramainya setiap pagelaran musik yang mendatangkan musisi manca negara walau berbayar amat sangat mahal sekalipun, hingga ratusan ribu bahkan tak jarang mencapai bilangan juta rupiah. Sungguh gegap gempita !

Tapi berapa banyak yang hadir pada pertunjukkan musik tradisional – atau setidaknya ‘’semi tradisional’’?
Semalam saya lihat, tidak sampai 2/3 tempat duduk terisi.

Itupun diakui oleh Balawan, bahwa kenyataan berbicara selama ini kelompok musiknya lebih sering mendapat tawaran manggung di luar negeri ketimbang di negeri sendiri. Masyarakat luar Indonesia justru memberi tempat dan apresiasi lebih tinggi bagi musik tradisional ini. Acap memang saya menjumpai beberapa duta besar asing datang menghadiri pertunjukan sejenis di GKJ maupun di TIM, sementara sangat jarang – bila tidak bisa dibilang tiada - petinggi negeri ini yang terlihat.

Miris…

Betapapun apa yang mereka lakukan sungguh suatu upaya mulia !
Dan terasa begitu mulia, tatkala beberapa tahun terakhir bangsa kita dihentakkan oleh kenyataan betapa banyaknya warisan budaya leluhur bangsa ini yang terabaikan... atau... diabaikan...

Hati ini terasa semakin miris dan trenyuh, saat pikiran melayang sesaat mengingat berita demi berita yang mengabarkan lagu-lagu daerah negeri ini ‘’dicuri’’ & ‘’diakui’’ oleh negara lain. Bahkan tidak terbatas lagu, tapi juga busana dan kain tradisional, motif perhiasan tradisional hingga benda-benda purbakala – pedang, arca, keris, kendi dan masih banyak artefak-artefak lainnya - yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa ini, kini justru menjadi kebanggaan bangsa lain. Lebih menyedihkan lagi, ketika penelusuran membuktikan sebagian besar ‘’perpindahan’’ benda-benda purbakala bangsa ini ke pihak asing justru difasilitasi oleh rakyat negeri ini sendiri yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Gubrak !!!

Sontak pemerintah dan pejabat dari tingkat pusat hingga tingkat daerah tiba-tiba ramai urun suara. Menyatakan ‘’keprihatinan’’ mereka dan ‘’mengutuk’’ para pelaku pencurian budaya. Seperti biasa, mereka kemudian selalu terlihat sibuk ‘’beraksi’’ manakala masalah besar telah terkuak. Sungguh sebuah kebiasaan buruk bangsa ini yang lebih sering reaktif ketimbang antisipatif.

Kalaupun ada, selalu dan selalu hanya sebatas pada program peningkatan pariwisata secara instan, sekedar mengkatrol jumlah kunjungan wisatawan yang berujung pada pamrih peningkatan devisa negara. Selalu & selalu ditinjau dari aspek komersil semata, olahan angka-angka statistik yang menggambarkan peningkatan wisatawan & hunian hotel. Tapi belum terlihat upaya sepenuh daya untuk melestarikan & meningkatkan kesadaran serta kebanggaan masyarakat akan beragam budaya bangsa ini.

Tidak pernah disadari, betapa sebuah penggalakan program pariwisata haruslah dibangun dari hulu ke hilir. Dimulai dengan pengembangan & pelestarian budaya local berikut dengan situs-situs maupun artefak bersejarah, mengajarkan bangsa ini untuk dapat menghargai & menjaga budayanya, memfasilitasi masyarakat dengan berbagai pelatihan budaya dan instrumen pendukung lainnya yang diperlukan, justru pada akhirnya akan menarik wisatawan mancanegara bertandang ke negeri ini, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan pendapatan & taraf kehidupan masyarakat di setiap daerah.

Sebuah peran pelestarian budaya yang seharusnya dilakoni – setidaknya dimotori - oleh para petinggi & pemuka negeri ini, ternyata justru dijalankan oleh segelintir kecil anak-anak muda yang lebih menyadari arti kebesaran bangsanya dengan langsung bertindaknyata. Beruntung negeri ini masih memiliki sejumlah perancang busana kondang yang kemudian tergerak untuk berkreasi menciptakan busana dari beragam bahan dasar kain tradisional agar dapat menjadi tren di kalangan anak muda.

Sementara para pemangku jabatan, yang kerap menggaung-gaungkan arti kebangsaan disetiap perhelatan acara nasional negeri ini, entah di acara peringatan proklamasi, kebangkitan nasional, sumpah pemuda, hari pahlawan dan sejumlah hari-hari nasional lainnya, sering hanya berhenti di sebatas Slogan & terlena dalam seremonial perhelatan megah Pencanangan ini itu.

Sepulang dari GKJ, otak saya tak jua bisa diajak untuk berhenti berpikir mengenai kebesaran sejarah budaya bangsa ini dan ancaman kepunahan yang sudah di depan mata, sekalipun sejatinya badan ini telah teramat letih setelah bekerja seharian di kantor.

Akhirnya saya hanya bisa berharap, semoga anak-anak muda seperti Balawan, Dwiki Dharmawan dengan Krakatau-nya, Ananda Sukarlan yang kerap ‘’pulang kampung’’ menggelar repertoire hasil gubahannya maupun aransemen ulang atas komposisi dan karya sastra seniman-seniman besar negeri ini atau… siapapun yang masih peduli, tetap bersemangat mengangkat karya seni tradisional tanah air tercinta ini, tidak patah arang dengan kondisi yang ada.

Masih banyak kesenian & kebudayaan tradisional yang harus mendapat perhatian & perlu diangkat ke permukaan. Negeri ini begitu luas, dari Sabang sampai Merauke, terdiri dari begitu banyak pulau, tentunya menyimpan begitu banyak keindahan budaya di dalamnya. Kiranya siapakah nanti yg akan mewarisi & meneruskannya ?

Harapkan masih ada asa…

-PriMora Harahap-

11 Des 2008


Note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Tidak ada komentar: