Hingar bingar berita seputar pilpres di berbagai media memborbardir publik dengan berbagai informasi. Tak
pelak sejumlah media yang jelas terafiliasi dengan partai atau kubu
capres-cawapres tertentu menyajikan berita2 yg telah disesuaikan dengan
agenda kepentingan masing-masing melalui proses pembingkaian informasi. Bahkan beb erapa media tampak acap menyimpang dari kode etik jurnalistik dalam proses pengolahan beritanya.
Entah apa yg sedang terjadi pada media negeri ini.
Entah apa pula yg merasuki para pekerja media yg dengan mudahnya
menanggalkan ‘jubah’ profesionalitasnya dalam menjalankan profesinya.
Puncaknya adalah terbit dan edarnya tabloid Obor
Rakyat yg dipersiapkan dan dibuat oleh mereka yg masih dan pernah
berprofesi sebagai jurnalis. Mereka meng-claim tabloid besutannya
sebagai produk jurnalistik, yg lahir sebagai sebuah bentuk perjuangan
dan peran media sebagai watch dog.
Benarkan demikian ???
Dewan Pers dan AJI telah jelas menyatakan bahwa
tabloid Obor Rakyat sama sekali bukan produk jurnalistik, karena proses
pengerjaannya tidak mengikuti mekanisme kerja jurnalis dan tidak mengacu
pada kode etik jurnalistik.
Ditilik dari penjelasan Darmawan Sepriosa mengenai
proses kerja yg dilakukannya maka tabloid Obor Rakyat ini tidak ubahnya
dari sekedar Klipping informasi2 yg simpangsiur di berbagai media berbasis
interner, yg dilakukan tanpa proses verifikasi sumber berita dan
validasi kebenaran berita. Tidak ada proses check dan recheck maupun
cover both side kepada pihak2 yg dijadikan subjek berita dalam pemuatan
berita di dalamnya.
Uraian permakluman Darmawan yg menyamakan tabloid
besutannya itu dengan Suara Independen terbitan AJI di masa rezim Orde
Baru masih berkuasa juga menjadi sangat tidak masuk akal sehat manusia
waras manapun.
Suara Independen jelas mencantumkan alamat redaksi
yg sesungguhnya, sedangkan tabloid Obor Rakyat mencantumkan alamat
palsu. Apa tujuannya ???
Jajaran redaksi Suara Independen juga tidak
bersembunyi di balik nama samaran ataupun alias, hingga beb erapa bahkan
sempat mendekam di balik jeruji bui, di era kebebasan pers dan
berpendapat hanyalah sebatas angan-angan.
Sedangkan tabloid Obor Rakyat yg ‘terbit’ di era
demokrasi dengan kebebasan pers sudah bukanlagi sebuah hal yg tabu,
Darmawan Sepriosa justru menggunakan nama samaran dengan dalih agar
tidak diketahui oleh media tempatnya resmi bekerja.
Dalih Darmawan Sepriosa yg mengatakan tabloid
terbitannya itu sebagai bentuk perjuangan dan penerapan fungsi watch dog
oleh media juga tidak dapat dimaklumi.
Dimanakah letak nilai perjuangan seorang Darmawan
bagi kemaslahatan negeri ini bila sekedar untuk menghadapi resiko
kemungkinan dipecat dari media tempatnya bekerja saja tidak berani ???
Fungsi watch dog yg dijalankan hanya sepihakpun
menjadi sebuah tanda tanya besar, karena peran watch dog semestinya
dilakukan secara berimbang kepada semua kandidat. Sejatinya media harus
berperan untuk memberikan informasi yg berimbang kepada publik.
Pola distribusi secara diam-diam hanya ke segmen
target tertentu saja merupakan perbedaan tabloit Obor Rakyat berikutnya
dengan Suara Independen. Dalam manajemen pemasaran, pemilihan segmen
target secara spesifik tentu memiliki pertimbangan tertentu yg dirasakan
akan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yg diharapkan. Maka
apakah tujuan dari pemilihan segment target tabloid Obor Rakyat ini ?
Dalam
proses kerjanya jurnalis bahkan tidak diperbolehkan memasukkan
preferensinya untuk menjaga objektivitas produk medianya. Namun jurnalis
dapat menuangkan pendapatnya dalam kolom opini, ataupun editorial yang
disediakan ruang khusus. Media seyogyanya harus melakukan pemisahan
ruang antara produk jurnalistik yang objektif, opini redaktur dan
produk iklan. Artikel yang mengandung unsur iklan dan dibiayai oleh
pengiklan tetap harus diberikan judul atau tanda khusus seperti
Infotorial atau Advertorial untuk tidak menyesatkan publik pembacanya
dan demi tetap menjaga tingkat independensi media dalam fungsi dan
perannya sebagai penyaji informasi.
Karya tulis dari seorang jurnalis tentu saja tidak
serta merta dapat digolongkan sebagai produk jurnalistik bila tidak
memenuhi kaidah2 dalam kode etik jurnalistik. Sehingga sebuah karya yang
hanya berisi opini sang penulis apalagi tanpa didukung oleh fakta yang
akurat tentu tidak dapat disebut sebagai produk jurnalistik.
Meningkatnya berbagai penyimpangan kode etik
jurnalistik oleh sejumlah jurnalis dan media partisan ini, besarnya
intervensi para pemilik modal ataupun pihak2 berkuasa terhadap
pengambilan keputusan di dalam news room telah merusak fungsi dan peran
media sebagai pemb eri informasi yang faktual dan berimbang, yang
semestinya independen dari pihak manapun. Bila hal ini tidak mendapat
perhatian serius, tidak mustahil bangsa ini suatu saat akan menancapkan
papan bertuliskan : RIP Jurnalistik Indonesia.
7 Juli 2014
-PriMora Harahap-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar