Sebuah
keheningan di masyarakat ataupun sebuah komunitas dapat terbangun dan
dibangun oleh kondisi dan situasi tertentu. Seringkali keheningan itu
menciptakan suasana yang mencekam sehingga membungkam setiap perbedaan
pendapat yang ada di tengah masyarakat.
Keheningan
itu tidak jarang diciptakan melalui pembentukan opini publik sesuai
pendapat segolongan kelompok yang berkuasa ataupun masyarakat mayoritas,
melalui dukungan peran media, yang kemudian terasa berputar
mengelilingi kehidupan masyarakat secara luas dan membuat mereka yang
berbeda pendapat memiliki rasa takut untuk menyuarakan perbedaannya.
Kondisi inilah yang membuat keheningan seakan bagaikan spiral yang
mengungkung dan memagar, bahkan tak jarang menyerupai sebuah pusaran
spiral tornado yang menggulung habis, mematikan kebebasan bersuara masyarakat.
Kondisi
keheningan yang membungkam perbedaan pendapat ini sejatinya dapat
terbentuk pada lingkungan masyarakat yang sudah memiliki cukup akses
yang baik kepada media dengan sistim demokrasi yang sudah mulai
terbangun. Sehingga keengganan sekelompok masyrakat untuk berbeda
pendapat dengan opini publik yang berkembang lebih disebabkan oleh
ketakutan akan dikucilkan atau diisolir oleh lingkungannya.
Tidak
jarang pula suasana keheningan ini dikondisikan atau dikonstruksikan
oleh para penguasa dengan menggunakan media untuk membangun opini publik
sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa. Keheningan semacam ini
sesungguhnya bukanlah dampak keheningan yang terjadi sebagaimana teori
spiral keheningan hasil penelitian Elisabeth Noelle-Neumann. Namun
keheningan yang tercipta dalam bentuk keterbungkaman masyarakat akan
opini yang berbeda sebagai akibat dari rasa takut yang mencekam ini
telah menghasilkan dampak yang sama. Kondisi yang dikonstruksikan oleh
pihak penguasa telah melahirkan suasana keheningan yang mencekam dan
membungkam setiap perbedaan pendapat. Walaupun bungkamnya kelompok
masyarakat akan pendapat yang tidak sama dengan opini yang dibangun
penguasa bukan disebabkan oleh rasa takut akan ancaman isolasi dari
lingkungan masyarakatnya, tetapi lebih karena rasa takut yang mendalam
akan ancaman dan tindakan represif dari pihak yang berkuasa.
Kondisi
keterbungkaman masyarakat pada era orde baru (Orba) dapat terlihat pada
sejumlah kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembreidelan
beberapa media massa yang menyuarakan pendapat berbeda dari penguasa.
Tidak munculnya perbedaan pendapat ke permukaan lapisan masyarakat pada
saat itu lebih disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan kondisi
atas suatu peristiwa yang sesungguhnya terjadi, yang merupakan dampak
dari dibatasinya kebebasan media maupun akses masyarakat kepada media,
baik sebagai konsumen informasi maupun bagian dari produsen (narasumber)
berita. Keheningan yang mencekam masyarakat dan membuat mereka tidak
berani menyuarakan pendapat yang berbeda pada saat itu juga disebabkan
oleh adanya ketakutan terhadap ancaman keselamatan jiwa dari sistim yang
dibangun oleh penguasa.
Tulisan
ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana spiral
keheningan ini dapat terbentuk dan dibentuk, peran serta media dalam
pembentukannya serta dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat di sebuah
negara terhadap sistim kontrol pihak yang berkuasa maupun kelompok
masyarakat mayoritas. Sekaligus memberikan gambaran bagaimana sebuah
kondisi dapat dikonstruksikan untuk menciptakan keheningan yang mencekam
dan membungkam masyarakat untuk tidak berani berbeda pendapat.
Landasan Berpikir dan Pengaruh Media pada Spiral Keheningan
Teori
spiral keheningan yang awalnya lahir dari penelitian Elisabeth
Noelle-Neumann ini membahas adanya interaksi antara beberapa elemen
yaitu media massa, komunikasi antar pribadi, hubungan sosial, pernyataan
pendapat individual serta adanya persepsi dimana seseorang memiliki
iklim opini yang terbentuk dari opini masyarakat. Menurutnya opini
seseorang mengenai sebuah peristiwa dapat berubah dari waktu ke waktu
karena opini bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Dan media berperan
dalam perubahan opini pada diri seseorang. Dengan teori ini dijelaskan
bahwa orang yang yakin mempunyai sudut pandang yang
minoritas atau berbeda dengan sudut pandang mayoritas masyarakat
mengenai sebuah isu publik cenderung tidak bersedia menyuarakan opininya
dan merasa komunikasi mereka akan dibatasi. Sedangkan mereka yang yakin
memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih berani menyatakan opininya.
Media
yang lebih berfokus pada pandangan publik yang dominan membuat
orang-orang dengan pandangan berbeda akan menjadi tidak asertif dalam
mengomunikasikan opini mereka. Hal ini yang menyebabkan pandangan
dominan akan lebih disuarakan oleh media dengan memberi ruang bagi opini
maupun kegiatan dari kelompok bersudut pandang mayoritas.
Penyuaraan
sudut pandang mayoritas (dominan) oleh media membuat kelompok
masyarakat yang memiliki sudut pandang tersebut memiliki keberanian dan
kepercayaan diri untuk mengemukakan pendapat mereka. Bahkan seringkali
pandangan tersebut disuarakan pula melalui mimbar-mimbar dan penggunaan
atribut pendukung seperti pemasangan spanduk, stiker, emblem dan lain
sebagainya, baik di lingkungan mereka maupun di kendaraan-kendaraan.
Adapun kelompok yang memegang pandangan berbeda akan lebih berhati-hati
dalam mengeluarkan pendapat mereka bahkan cenderung menjadi diam dan
tidak bersedia mengutarakan pendapatnya karena perasaan takut akan
diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya.
Dalam
teorinya Noelle-Neumann berpendapat terdapat 3 makna publik. Pertama
adalah publik mengandung arti keterbukaan bagi semua orang seperti dalam
pengertian tanah publik, ranah publik ataupun wilayah publik. Kedua,
kata publik berkaitan dengan konsep yang berhubungan dengan isu-isu di
tengah banyak orang atau masyarakat. Dan terakhir, publik mewakili sisi
psikologis dalam diri manusia dimana orang tidak hanya berpikir ke dalam
dirinya saja tapi juga memikirkan hubungannya dengan orang-orang lain
di sekitarnya.
Dengan
demikian seseorang dapat merasa apakah pandangannya membuat dirinya
akan terlindungi atau disorot oleh tatapan masyarakat. Orang akan
merespon kesadarannya ini dengan menyesuaikan diri terhadap pandangan
dan tatapan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, teori ini
mengatakan bahwa opini publik adalah sikap atau perilaku yang harus
diekspresikan seseorang di depan publik agar dapat diterima oleh
masyarakat, tanpa risiko dikucilkan atau diisolasi dari lingkungannya.
Dapat
dikatakan bahwa opini publik mengacu pada sentimen kolektif dari sebuah
populasi terhadap sebuah isu ataupun subyek tertentu, yang merupakan
suatu proses sosial. Dan media berperan mengangkat serta menonjolkan
subyek atau isu apa yang menarik bagi masyarakat yang akan berlaku
sebagai pandangan umum.
Pandangan
dominan (mayoritas) yang diangkat dan ditonjolkan oleh media semakin
menguat dan berkembang menjadi opini publik sedangkan pandangan yang
berbeda menjadi semakin bungkam dan kelompok minoritas ini semakin tidak
bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga terbentuklah spiral
keheningan.
Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori spiral keheningan ini yaitu :
- · Masyarakat menekan dan mengancam individu yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan publik melalui tindakan pengisolasian.
- · Individu dapat merasa sangat khawatir dan takut akan ancaman isolasi masyarakat, yang dilakukan secara intensif (terus menerus).
- · Rasa cemas akan terisolasi dari lingkungan masyarakatnya membuat setiap individu selalu mencoba untuk menilai iklim opini yang berkembang di masyarakat.
- · Perilaku individu di publik, khususnya mengenai kesediaannya untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka atau tidak, akan dipengaruhi oleh penilaiannya terhadap opini publik.
Dengan
adanya pengaruh media yang menyuarakan pandangan dominan yang
berkembang pada mayoritas publik seakan mengarahkan banyak individu
untuk menyesuaikan perilaku dan pandangannya pada opini yang diangkat
oleh media. Dalam hal ini media memberi dukungan pada spiral keheningan
karena media dianggap sebagai sebuah wadah komunikasi publik. Dengan
demikian kesediaan orang untuk mengemukakan pendapat tergantung dengan
opini yang disuarakan oleh media. Tanpa dukungan dari orang lain yang
memiliki pengaruh bagi pandangan yang berbeda dengan opini publik maka
orang akan tetap bersikap konsonan atau sejalan dengan pandangan yang
ditawarkan oleh media.
Umumnya
televisi merupakan media yang dianggap paling berpengaruh dalam
mengangkat dan menyuarakan opini publik, walaupun media cetak dan kini
media baru (internet) juga dianggap memiliki peran cukup
penting. Melalui pemberitaan media yang luas namun acap tidak berimbang
karena hanya mewakili opini mayoritas yang mendominasi, maka publik
diberi pandangan mengenai realitas yang terbatas. Pendekatan yang
terbatas dalam pemberitaan sebuah isu ini terkadang mempersempit
persepsi dan pandangan seseorang.
Dengan
tiga karakteristik khasnya yaitu ubikuitas, kekumulatifan dan
konsonansi, media telah mempengaruhi pandangan setiap individu dalam
masyarakat. Ubikuitas mengacu pada kenyataan bahwa media merupakan
sumber informasi yang memiliki kekuatan dan kuasa. Individu akan menilai
opini yang berkembang melalui pemberitaan yang muncul di media. Setiap
orang akan berusaha menyesuaikan pandangannya dan mengukur iklim opini
melalui opini yang diangkat oleh media. Kekumulatifan merupakan karakter
yang menunjukkan bahwa media dalam proses pengangkatan berita kerap
melakukan pengulangan-pengulangan di setiap program dan setiap waktu,
sehingga terjadi pengaruh resiprokal dalam membentuk kerangka referensi
masyarakat yang berkembang menjadi opini publik. Dan karakter konsonansi
berhubungan dengan kesamaan keyakinan, sikap dan nilai yang dipegang
oleh media. Konsonansi ini dilahirkan dari tendensi media untuk
menginformasikan sebuah opini yang dianggap dominan. Ketiga karakter ini
memberi ruang sangat besar bagi pandangan mayoritas untuk tersebar
luas, memiliki pengaruh dan didengarkan, sehingga mereka yang merasa
memiliki pandangan berbeda tidak bersedia mengekspresikan pandangannya
dan tetap bungkam.
Informasi
yang seringkali disaring oleh media membuat isu dan pandangan yang
ditampilkan dan dipersepsikan mungkin saja merupakan gambaran realitas
yang tidak sepenuhnya akurat. Jika media cukup sering mengangkat sebuah
isu dan pandangan melalui berita-beritanya maka hal ini dapat saja
dikatakan bahwa media sedang melakukan agenda berita, mengidentifikasi
dan menonjolkan apa yang harus diperhatikan dan menentukan apa yang
semestinya berjalan di masyarakat.
Dengan
demikian orang mendapatkan iklim opini publik melalui media massa. Dan
kekuatan maupun pengaruh media massa dalam menyuarakan opini publik
mempengaruhi pergeseran pandangan seseorang serta terbungkamnya
pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas. Ketika orang melihat
pada media untuk mendapatkan gambaran dan persepsi dari populasi, maka
terdapat kecenderungan untuk menerima apa yang direpresentasikan oleh
persepsi tersebut. Dan seringkali terjadi iklim ganda dari opini yaitu
iklim yang dipersepsikan secara langsung oleh mayoritas populasi dan
iklim dari liputan media, dimana iklim ganda ini akan semakin membungkam
mereka yang merasa berpandangan berbeda (minoritas).
Namun
tidak selamanya kaum minoritas selalu terbungkam. Adakalanya mereka
bangkit. Kelompok minoritas yang mencoba bangkit dan mendobrak pandangan
mayoritas ini disebut sebagai hardcore yang tetap berusaha
menyuarakan pandangan mereka tanpa memedulikan sanksi sosial berupa
ancaman terisolasi dari masyarakat luas. Para hardcore ini menyadari bahwa ada risiko dari tindakan mereka namun tetap berpegang teguh pada keyakinan dan pandangan mereka. Peran para hardcore menjadi penting dalam mengubah opini publik yang mendominasi masyarakat.
Faktor yang Turut Menentukan
Teori
ini bermula dari pengujian dengan kondisi sebuah masyarakat di negara
maju dimana tingkat pendidikan sudah cukup tinggi dan akses masyarakat
kepada saluran media sudah sangat baik. Pada awalnya Noelle-Neumann
mengembangkan teori ini di Jerman untuk menjelaskan opini publik yang
berkembang saat berlangsung pemilihan umum di negara maju tersebut.
Berdasarkan
penelitian Noelle-Neumann, teori ini berjalan dalam kondisi masyarakat
yang berpendidikan, memiliki akses kepada media dengan iklim demokrasi
yang sudah baik. Seberapa besar nilai atau moral yang terkandung dalam
sebuah isu juga turut mempengaruhi berjalannya teori spiral keheningan.
Tingginya nilai atau moral dari sebuah isu akan lebih membuat orang
tidak bersedia mengekspresikan pendapat yang berbeda karena rasa malu
dan khawatir diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya.
Pada
negara-negara dengan kondisi alam demokrasi yang sedang berkembang
terdapat pula beberapa karakteristik atau faktor lain yang turut
mempengaruhinya yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah
isu, kedekatan masyarakat dengan sebuah isu (seperti pada isu yang dekat
dengan kehidupan keseharian masyarakat) serta tingkat akurasi seseorang
dalam memprediksi opini publik yang akan berkembang dan mendominasi,
sebagaimana penelitian lebih mendalam oleh Eriyanto terhadap teori ini.
Kondisi
demokasi yang sudah berjalan baik membuat kebebasan berpendapat dan
beropini di masyarakat maupun kebebasan pers (media) juga berjalan baik.
Negara-negara maju dengan iklim demokrasi yang baik memberi ruang dan
kesempatan kepada masyarakat maupun media untuk mengangkat isu-isu
melalui penyuaraan aspirasi masyarakat serta peliputan dan pemberitaan
media tanpa adanya tekanan dari penguasa negara. Iklim ini membuat
masyarakat dapat lebih bebas mengutarakan pendapatnya dan media dapat
berperan lebih aktif dalam mengangkat isu-isu yang dianggap penting di
masyarakat.
Pendidikan
masyarakat yang cukup tinggi serta akses masyarakat ke saluran-saluran
media mempengaruhi proses pembentukan opini publik. Tingkat pendidikan
masyarakat yang tinggi juga membuat setiap individu mampu untuk
melakukan penilaian terhadap opini publik yang berkembang dan
dikembangkan oleh media melalui sejumlah pemberitaan-pemberitaan yang
diangkat dan ditonjolkan oleh media. Melalui indra kuasi statistik (quasi statistical sense) setiap
orang mampu untuk mengevaluasi opini publik dan memperkirakan
kekuatan-kekuatan pandangan yang berkembangan dalam masyarakat. Walaupun
terkadang terdapat ketidaksadaran pluralistik, pada dasarnya setiap
individu mampu melakukan penilaian atau evaluasi ini melalui
berita-berita yang mereka ikuti dan menggabungkannya dengan pandangan
mereka sendiri menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Akan tetapi
berdasarkan penelitian Eriyanto, faktor ketidaksadaran pluralistik (pluralistic ignorance)
yang menyebabkan kesalahan individu dalam memprediksi opini publik
memberi pengaruh yang besar pada masyarakat di negara dengan iklim
demokrasi yang sedang berkembang.
Akses
masyarakat terhadap saluran-saluran berita membuat paparan atau terpaan
berita maupun informasi media menjadi sangat tinggi kepada setiap
individu dalam populasi yang sudah maju. Hal ini membantu setiap
individu mendapatkan berita dan informasi mengenai opini publik yang
berkembang di masyarakat. Adanya akses masyarakat kepada media juga
berperan memberi ruang yang sangat besar kepada pendapat dan pandangan
kelompok mayoritas untuk lebih menyuarakan opininya melalui media. Di
sisi lain juga membuat media lebih dapat merekam apa yang menjadi
pandangan mayoritas di masyarakat dan mengangkatnya menjadi sebuah opini
publik. Dimana opini publik melalui pemberitaan di media ini kemudian
menjadi alat bagi individu untuk mengukur iklim opini yang berkembang.
Konstruksi Keheningan Sistemik yang Mencengkam dan Membungkam
Bila
mengacu pada teori spiral keheningan yang dilahirkan berdasarkan
penelitian Elisabeth Noelle-Neumann, maka kegagalan penerapan teori ini
disebabkan oleh tidak adanya demokrasi, kurangnya pendidikan dan
pemahaman masyarakat maupun kebebasan dan akses media yang dibatasi.
Kondisi ini membuat sebagian kelompok masyarakat tidak berani
menyuarakan pendapat yang berbeda lebih karena ketidaktahuannya akan
situasi yang sesungguhnya terjadi dan kurangnya informasi mengenai
sebuah permasalahan yang menyebabkan rasa takut akan dikucilkan oleh
lingkungan masyarakatnya yang lebih luas. Sehingga terciptalah
keheningan sebagai akibat dari bungkamnya masyarakat yang tidak memiliki
keberanian untuk berbeda pendapat.
Akan
tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kondisi keheningan
melalui pembungkaman masyarakat pada pendapat yang bertentangan dengan
opini penguasa juga kerap dikonstruksikan oleh pihak yang berkuasa.
Kondisi ini jelas terlihat dalam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang terjadi selama rezim Orde Baru di Indonesia. Beberapa
peristiwa Pelanggaran HAM seperti Tanjung Priok, Petrus, Penyerangan
Kantor Pusat PDI di Jakarta, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi 1 dan 2
oleh kalangan militer di bawah rezim yang berkuasa saat itu merupakan
sebagian contoh pengonstruksian kondisi keheningan yang membungkam
masyarakat. Iklim demokrasi di Indonesia pada masa itu belum berkembang
baik, dimana rezim Order Baru memakai istilah demokrasi terpimpin, yang
oleh sebagian pengamat bahkan tetap digolongkan ke dalam iklim
otoritarian.
Ketidakbersediaan
seseorang untuk mengutarakan pandangan yang bertentangan dengan opini
yang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa lebih disebabkan oleh risiko
bahaya yang mengancam keselamatan pribadi sebagai akibat dari tidak
berjalannya iklim demokrasi, tidak adanya kebebasan berpendapat serta
tekanan dari penguasa negara daripada sekedar rasa malu akan diisolasi
oleh lingkungan. Apalagi mayoritas opini dimunculkan dan didominasi oleh
kekuatan penguasa negara yang juga memiliki kekuatan dan kekuasan
terhadap pemberitaan di media-media massa. Sehingga pemberitaan atas
isu-isu yang diangkat oleh media-media massa pada saat itu dapat
dikatakan seragam dengan opini dominan dari pihak penguasa negara.
Kenyataan para hardcore
(penyuara pendapat berbeda dari kalangan minoritas) yang selalu
mendapat tekanan bahkan ancaman dari penguasa negara, dimana sebagian
dari mereka diculik dan tidak jelas nasibnya hingga kini seperti kasus
penyair Wiji Tukul (yang kerap mengritisi sikap dan kebijakan pemerintah
melalui pusi-pusinya) maupun peristiwa yang menimpa Munir (aktivis Hak
Asasi Manusia), telah menimbulkan rasa kekhawatiran lebih
besar pada mereka yang memiliki pandangan berbeda dengan opini
mayoritas. Hal ini membuat kian tidak munculnya pendapat yang berbeda
dengan pandangan penguasa pada masa itu.
Kurangnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah isu yang berkembang
serta minimnya akses media dari masyarakat maupun ke masyarakat,
disamping iklim demokratisasi yang tidak berkembang membuat teori ini
juga tidak berjalan. Pemberontakan gerakan 30 September yang kemudian
dikenal sebagai G30S/PKI dapat menggambarkan kondisi tidak munculnya
pendapat yang berbeda dengan pendapat dominan kala itu sebagai akibat
rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan isu maupun latar
belakang permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Tidak adanya akses
media yang berpendapat bebas ke masyarakat, tekanan penguasa negara
kepada media, membuat kurangnya paparan maupun terpaan berita dari media
mengenai sisi kebenaran akan peristiwa tersebut kepada masyarakat.
Proses isolasi terhadap mereka yang dicap sebagai antek PKI diberikan
oleh penguasa negara lebih untuk tujuan politik rezim berkuasa.
Iklim
dan kondisi yang dikonstruksikan oleh penguasa ini telah menciptakan
keheningan yang mencekam masyarakat luas sehingga membuat masyarakat
tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda dengan opini yang
dibangun oleh pihak berkuasa. Keterbungkaman masyarakat lebih disebabkan
oleh rasa takut akan keselamatan jiwa mereka di bawah berbagai bentuk
ancaman, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari rezim yang
berkuasa. Fakta ‘hilangnya’ para hardcore atau mereka yang menyuarakan perbedaan pendapat kian membangun suasana mencekam di tengah masyarakat.
Kontrol
pihak penguasa terhadap kebebasan isi berita media serta fakta adanya
pembreidelan terhadap media-media yang mengangkat opini berbeda dengan
keinginan pemerintah telah memperkokoh konstruksi sistim yang kian
membangun keheningan yang semakin dalam. Ketiadaan opini yang mampu
mengimbangi opini yang dibentuk oleh penguasa serta minimnya informasi
mengenai kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi di masa itu juga
menjadi faktor yang telah membuat masyarakat tidak dapat mengeluarkan
pendapat berbeda karena ketidaktahuan akan situasi yang berkembang.
Berjalannya Teori Spiral Keheningan di era Demokratisasi
Perkembangan
iklim demokratisasi di Indonesia dewasa ini memang telah mendorong
kebebasan masyarakat untuk berpendapat dalam arti sesungguhnya, yaitu
kebebasan untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka tanpa rasa
khawatir akan tekanan pemerintah. Kebebasan pers (media) juga telah
semakin membaik. Kebebasan yang dilahirkan oleh iklim demokrasi ini
membuat media mampu secara aktif dan bebas menjalankan perannya dalam
menyoroti dan memberitakan pandangan mayoritas masyarakat akan setiap
isu yang berkembang. Iklim inilah yang membuat teori spiral keheningan
sebagaimana yang dihasilkan oleh penelitian Elisabeth Noelle-Neumann
terlihat berjalan dalam lingkungan masyarakat. Dimana keengganan
sekelompok masyarakat untuk mengeluarkan pendapat yang berbeda
disebabkan karena rasa khawatir akan diisolasi dari lingkungan
masyarakatnya.
Namun
kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas masih berpendidikan relatif
rendah serta kondisi belum terhubungnya seluruh masyarakat dengan akses
ke berbagai media yang sama besarnya menjadi faktor tersendiri yang
mempengaruhi berjalannya penerapan teori spiral keheningan ini.
Kasus
Ahmadiyah di berbagai wilayah menjadi contoh paling tepat dari
pembuktian (penerapan) teori spiral keheningan ini. Nilai muatan (moral)
dalam kasus ini tergolong sangat tinggi karena menyangkut nilai akan
sebuah keyakinan. Sehingga ketidaksesuaian dengan nilai keyakinan
mayoritas akan menimbulkan rasa malu. Demikian pula halnya dengan kasus
Syiah yang terjadi di Sampang – Madura.
Pendapat
dominan dan pandangan mayoritas masyarakat dalam kasus ini mengganggap
bahwa aliran Ahmadiyah dan Syiah sebagai aliran yang sesat, menyimpang
dari nilai-nilai keyakinan sehingga harus dibubarkan atau dipindahkan
(diusir) dari wilayah asalnya. Penolakan kuat terhadap pendapat yang
berbeda membuat pandangan mayoritas mengenai kesesatan aliran-aliran ini
dengan dukungan peran media berkembang menjadi opini publik.
Pada
mulanya memang terdapat pandangan yang berbeda dari segelintir orang
yang mengatakan bahwa aliran tersebut tidaklah sesat dan tidak perlu
dibubarkan ataupun diusir dari wilayah kelahiran mereka. Namun peristiwa
yang menyangkut nilai-nilai keyakinan dan moral ini membuat orang-orang
dengan pendapat minoritas khawatir untuk menyuarakan pendapatnya karena
rasa malu dianggap sesat atau menyimpang dari nilai-nilai keyakinan
yang semestinya, sehingga memunculkan rasa takut (khawatir) akan
dikucilkan ataupun mendapat penolakan keras dari mayoritas masyarakatnya
yang dapat mengakibatkan pengusiran dari tempat tinggalnya.
Hal
ini membuat kelompok dengan pendapat minoritas cenderung untuk diam,
tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga opini yang
berseberangan menjadi semakin tidak terdengar dan akhirnya opini yang
dominanlah yang semakin menguat di masyarakat. Pada kenyataannya
terlihat kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki opini dominan
semakin berani untuk mengekspresikan pendapatnya, melalui mimbar-mimbar
diskusi, media maupun melalui tindakan yang mencoba mengusik,
mengucilkan dan bahkan mengusir para pengikut kelompok minoritas, baik
dalam kasus Ahmadiyah di berbagai wilayah maupun Syiah di Sampang –
Madura.
Peristiwa
meledaknya sejumlah besar tabung gas elpiji berbobot 3 kg di saat
proses transisi penggunaan gas elpiji sebagai pengganti minyak tanah
yang sempat menelan korban jiwa juga dapat menggambarkan berjalannya
teori spiral keheningan. Pada kasus dengan isu yang memiliki tingkat
kedekatan cukup tinggi dengan kehidupan keseharian masyarakat membuat
timbulnya kesediaan orang untuk mengutarakan pendapatnya yang berproses
menjadi pembentukan opini publik. Rasa malu karena dianggap tidak
berpihak pada kepentingan dan kehidupan rakyat kecil menerpa mereka yang
memiliki pandangan berbeda. Sehingga mereka yang berpandangan
berseberangan, khususnya di wilayah padat penduduk dimana mayoritas
masyarakatnya telah membentuk opini tertentu, menjadi tidak berani untuk
menyuarakan perbedaan pendapatnya karena rasa takut dikucilkan oleh
lingkungan masyarakatnya.
Gerakan
koin Prita menjadi salah satu contoh dimana masyarakat berhasil
menyuarakan pandangan dan pendapat mereka melawan pihak pemilik rumah
sakit (pengusaha). Pendapat masyarakat yang berangkat dari jejaring
sosial di media baru ini dengan dukungan peran media konvensional
kemudian berkembang menjadi opini publik yang berhasil meraih simpati
dan menggalang dukungan masyarakat luas.
Dalam
kasus ini berkembangnya opini publik diawali oleh rasa kedekatan publik
terhadap kasus yang menimpa individu yang dianggap mewakili masyarakat
perorangan tanpa kekuasan dan kekuatan. Disamping itu terdapat nilai
atau moral dengan kadar cukup sedang dalam peristiwa ini.
Namun
pada kasus ini, ketidakbersediaan segelintir orang untuk mengungkapkan
opini yang berbeda lebih disebabkan oleh sekedar keengganan dianggap
sebagai orang yang tidak berpihak dan tidak berempati pada warga biasa
dan bukan karena rasa takut akan terisolasi dari lingkungannya.
Berkembangnya
pemberitaan kasus Cicak dan Buaya, yang diangkat sebagai sebuah proses
kriminalisasi oleh ketua Kabareskrim Susno Duadji dari Polri terhadap
Bibit dan Chandra selaku ketua Komite Pemberantasan Korupsi kala itu,
tidak membuktikan penerapan teori spiral keheningan. Kesediaan ataupun
keengganan seseorang untuk mengemukakan pendapatnya dalam kasus ini
lebih disebabkan oleh ada atau tidaknya pengetahuan dan pemahaman yang
cukup baik (seperti pengetahuan dan kesadaran akan politik dan hukum)
tentang isu ini, dan bukan karena rasa takut akan diisolasi oleh
lingkungannya. Kebutuhan akan adanya pengetahuan yang cukup luas untuk
dapat memahami isu yang terjadi membuat terdapat kesukaran untuk
menentukan (membaca) opini yang dominan di masyarakat. Hal ini
disebabkan setiap orang dapat memberikan pendapat berdasarkan
pengetahuan dan pemahamannya sehingga terdapat porsi yang relatif
berimbang antara pendapat yang pro maupun kontra terhadap status Bibit
dan Chandra saat itu.
Terlihat
bahwa gema akan dominasi kasus ini lebih bersifat elitis di perkotaan.
Hal ini menyebabkan suasana keheningan yang mampu membungkam pendapat
yang berbeda di lingkungan masyarakat menjadi tidak terbentuk dengan
sempurna.
Dampak Keheningan pada Keterbungkaman Masyarakat
Kondisi
keheningan, baik yang terjadi sesuai teori spiral keheningan maupun
sebagai hasil dari sebuah konstruksi keadaan, memberi dampak
keterbungkaman kelompok masyarakat yang enggan untuk memberikan pendapat
yang berbeda dari opini yang telah terbangun. Hal ini membuat opini
yang berkembang adalah opini publik yang memang diterima oleh mayoritas
masyarakat ataupun pihak penguasa.
Pada
kondisi dimana demokratisasi telah berjalan dengan baik dan akses
masyarakat ke media telah terbangun dengan tingkat pengetahuan yang
memadai maka keheningan yang terbentuk suatu saat dapat terdobrak dengan
munculnya pemberitaan akan opini yang berbeda yang mampu mengimbangi
opini publik yang telah terbentuk. Di sinilah peran media terlihat
sangat menentukan pembentukan opini di tengah masyarakat.
Kasus
Syiah di Sampang – Madura, merupakan contoh dimana opini publik yang
sempat terbangun mengenai kesesatan aliran ini yang telah sempat
terbentuk dan terangkat melalui berbagai pemberitaan media, yang
menyebabkan para penganut aliran ini terisolir dari masyarakatnya,
bahkan sempat menimbulkan konflik horisontal, pada akhirnya runtuh
dengan adanya opini berimbang yang diangkat oleh sebagian media lainnya.
Keheningan yang sempat tercipta karena ketakutan mereka yang berbeda
untuk menyuarakan pendapatnya, kini telah tersalurkan melalui beberapa
media yang berhasil menangkap dan menyuarakannya ke ranah publik. Media
telah berperan penting untuk mendengar dan mengangkat opini-opini yang
berkembang di berbagai lapisan masyarakat.
Tetapi
keheningan yang dikonstruksikan secara sistemik sebagai akibat dari
paksaan rezim yang berkuasa, tidak berjalannya iklim demokratisasi dan
kontrol ketat terhadap kebebasan media justru telah melahirkan
keterbungkaman masyarakat yang sangat sulit diterabas. Rasa ketakutan
yang disebabkan oleh ancaman terhadap keselamatan jiwa terasa lebih
mencekam masyarakat sehingga mampu membuat pihak penguasa membungkam
setiap pendapat yang berbeda. Keheningan sistemik semacam ini pada
hakikatnya memberikan dampak negatif yang lebih permisif dan masif di
tengah-tengah kehidupan masyarakat dari kemungkinan adanya kontrol dan
pengawasan dari masyarakat maupun media terhadap pihak yang berkuasa
dalam menggunakan wewenangnya dan menjalankan kekuasaannya mengelola
negara.
Berbagai
kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama rezim
Orde Baru telah menjadi contoh bagaimana keheningan yang sistemik
sebagai hasil dari kondisi yang dikonstruksikan oleh pemerintah saat itu
telah melahirkan keterbungkaman masyarakat secara luas. Kontrol yang
ketat terhadap akses pemberitaan media serta rasa takut akan keselamatan jiwa telah menghilangkan ruang akan munculnya pendapat yang berbeda dari opini penguasa.
Iklim
demokratisasi, akses kebebasan media serta pendidikan masyarakat memang
dapat menghasilkan keheningan sebagai akibat dari keenganan kelompok
minoritas untuk bersuara menentang kaum mayoritas hanya karena rasa
khawatir akan dikucilkan lingkungannya. Tetapi bagaimanapun kondisi
masyarakat yang demokratis serta adanya akses media dan masyarakat lebih
mampu untuk mendobrak keheningan yang tercipta yang memungkinkan
masyarakat untuk tetap bersuara melalui berbagai saluran media,
dibandingkan dengan keterbungkaman masyarakat yang lahir dari
pembentukan keheningan secara sistemik oleh ketiadaan alam demokrasi
yang sengaja dikonstruksikan pihak penguasa sehingga membuat masyarakat
tidak berani bersuara karena rasa takut akan ancaman keselamatan jiwa.
Akankah
kita kembali ke alam represif dengan keheningan sistemik yang
dikonstruksikan oleh pihak penguasa tanpa adanya ruang kebebasan untuk
berpendapat ?
Ataukah
kita tetap mendambakan kebebasan berdemokrasi dengan peluang masyarakat
untuk membentuk opini yang berkembang melalui peran dan akses media ?
Pilihan mana yang akan diambil tentu terpulang pada masyarakat sendiri.
Berlangsungnya
kontestasi politik dalam ajang perhelatan pesta demokrasi di negeri ini
akan membuktikan kondisi manakah yang akan dipilih oleh masyarakat
negeri ini, setidaknya untuk masa 5 tahun mendatang.
Pemilihan
pemimpin tertinggi negara yang menjunjung tinggi hak asasi setiap warga
negara dalam segala aspek kehidupan serta menjamin akses media dalam
menyuarakan opini publik akan sangat menentukan arah kebebasan
berpendapat di negeri ini dan fungsi opini masyarakat sebagai pengimbang
dan pengawas bagi pemegang kuasa dalam menjalankan wewenang dan
tanggungjawabnya mengelola republik ini.
Pemimpin
negara yang tidak mampu menghargai hak asasi dan hak hidup rakyatnya
serta tidak bersedia mendengarkan adanya perbedaan pendapat, hanya akan
membangun ‘tembok-tembok tinggi’ yang memenjarakan warganya dalam
cengkeraman ketakutan akan keselamatan jiwa yang membungkam setiap suara
yang berbeda, memberangus setiap ruang gerak, menciptakan keheningan
yang mencekam tanpa batas dan tanpa peluang untuk dapat mendobrak
dinding-dinding kesenyapan yang mengungkung.
Jakarta, 28 April 2014
-PriMora Harahap-
(dipersiapkan untuk memenuhi tugas take home test
untuk ujian akhir semester mata kuliah Perspektif dan Teori Komunikasi
Massa pada Program studi Manajemen Komunikasi, Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, dengan sedikit penyesuaian pada situasi dan
kondisi terkini)
Referensi :
- Denis Mc Quail (2010), “Mass Communication Theory”
- Robin L Nabi and Mary Beth Oliver, “The SAGE Handbook of Media Process and Effect”
- Marianne Dainton and Elaine D Zelley, “Applying Communication Theory for the Professional Life”
- Richard West and Lynn H Turner, “Introducing Communication Theory, Analysis and Application”
- EM Griffin, “A first look at Communication Theory”
-
Eriyanto, Jurnal Komunikasi Indonesia (April 2012), “Teori Spiral
Kesunyian dan Negara Transisi Demokrasi : Sebuah Pengujian di Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar