Minggu, 14 September 2014

Spiral Keheningan - Senyap yang Mencekam dan Membungkam


Sebuah keheningan di masyarakat ataupun sebuah komunitas dapat terbangun dan dibangun oleh kondisi dan situasi tertentu. Seringkali keheningan itu menciptakan suasana yang mencekam sehingga membungkam setiap perbedaan pendapat yang ada di tengah masyarakat. 

Keheningan itu tidak jarang diciptakan melalui pembentukan opini publik sesuai pendapat segolongan kelompok yang berkuasa ataupun masyarakat mayoritas, melalui dukungan peran media, yang kemudian terasa berputar mengelilingi kehidupan masyarakat secara luas dan membuat mereka yang berbeda pendapat memiliki rasa takut untuk menyuarakan perbedaannya. Kondisi inilah yang membuat keheningan seakan bagaikan spiral yang mengungkung dan memagar, bahkan tak jarang menyerupai sebuah pusaran spiral tornado yang menggulung habis, mematikan kebebasan bersuara masyarakat.

Kondisi keheningan yang membungkam perbedaan pendapat ini sejatinya dapat terbentuk pada lingkungan masyarakat yang sudah memiliki cukup akses yang baik kepada media dengan sistim demokrasi yang sudah mulai terbangun. Sehingga keengganan sekelompok masyrakat untuk berbeda pendapat dengan opini publik yang berkembang lebih disebabkan oleh ketakutan akan dikucilkan atau diisolir oleh lingkungannya.

Tidak jarang pula suasana keheningan ini dikondisikan atau dikonstruksikan oleh para penguasa dengan menggunakan media untuk membangun opini publik sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa. Keheningan semacam ini sesungguhnya bukanlah dampak keheningan yang terjadi sebagaimana teori spiral keheningan hasil penelitian Elisabeth Noelle-Neumann. Namun keheningan yang tercipta dalam bentuk keterbungkaman masyarakat akan opini yang berbeda sebagai akibat dari rasa takut yang mencekam ini telah menghasilkan dampak yang sama. Kondisi yang dikonstruksikan oleh pihak penguasa telah melahirkan suasana keheningan yang mencekam dan membungkam setiap perbedaan pendapat. Walaupun bungkamnya kelompok masyarakat akan pendapat yang tidak sama dengan opini yang dibangun penguasa bukan disebabkan oleh rasa takut akan ancaman isolasi dari lingkungan masyarakatnya, tetapi lebih karena rasa takut yang mendalam akan ancaman dan tindakan represif dari pihak yang berkuasa. 

Kondisi keterbungkaman masyarakat pada era orde baru (Orba) dapat terlihat pada sejumlah kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembreidelan beberapa media massa yang menyuarakan pendapat berbeda dari penguasa. Tidak munculnya perbedaan pendapat ke permukaan lapisan masyarakat pada saat itu lebih disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat akan kondisi atas suatu peristiwa yang sesungguhnya terjadi, yang merupakan dampak dari dibatasinya kebebasan media maupun akses masyarakat kepada media, baik sebagai konsumen informasi maupun bagian dari produsen (narasumber) berita. Keheningan yang mencekam masyarakat dan membuat mereka tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda pada saat itu juga disebabkan oleh adanya ketakutan terhadap ancaman keselamatan jiwa dari sistim yang dibangun oleh penguasa.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana spiral keheningan ini dapat terbentuk dan dibentuk, peran serta media dalam pembentukannya serta dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat di sebuah negara terhadap sistim kontrol pihak yang berkuasa maupun kelompok masyarakat mayoritas. Sekaligus memberikan gambaran bagaimana sebuah kondisi dapat dikonstruksikan untuk menciptakan keheningan yang mencekam dan membungkam masyarakat untuk tidak berani berbeda pendapat.


Landasan Berpikir dan Pengaruh Media pada Spiral Keheningan 

Teori spiral keheningan yang awalnya lahir dari penelitian Elisabeth Noelle-Neumann ini membahas adanya interaksi antara beberapa elemen yaitu media massa, komunikasi antar pribadi, hubungan sosial, pernyataan pendapat individual serta adanya persepsi dimana seseorang memiliki iklim opini yang terbentuk dari opini masyarakat. Menurutnya opini seseorang mengenai sebuah peristiwa dapat berubah dari waktu ke waktu karena opini bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Dan media berperan dalam perubahan opini pada diri seseorang. Dengan teori ini dijelaskan bahwa orang yang yakin mempunyai sudut pandang yang minoritas atau berbeda dengan sudut pandang mayoritas masyarakat mengenai sebuah isu publik cenderung tidak bersedia menyuarakan opininya dan merasa komunikasi mereka akan dibatasi. Sedangkan mereka yang yakin memiliki sudut pandang mayoritas akan lebih berani menyatakan opininya.

Media yang lebih berfokus pada pandangan publik yang dominan membuat orang-orang dengan pandangan berbeda akan menjadi tidak asertif dalam mengomunikasikan opini mereka. Hal ini yang menyebabkan pandangan dominan akan lebih disuarakan oleh media dengan memberi ruang bagi opini maupun kegiatan dari kelompok bersudut pandang mayoritas. 

Penyuaraan sudut pandang mayoritas (dominan) oleh media membuat kelompok masyarakat yang memiliki sudut pandang tersebut memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk mengemukakan pendapat mereka. Bahkan seringkali pandangan tersebut disuarakan pula melalui mimbar-mimbar dan penggunaan atribut pendukung seperti pemasangan spanduk, stiker, emblem dan lain sebagainya, baik di lingkungan mereka maupun di kendaraan-kendaraan. Adapun kelompok yang memegang pandangan berbeda akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat mereka bahkan cenderung menjadi diam dan tidak bersedia mengutarakan pendapatnya karena perasaan takut akan diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya.

Dalam teorinya Noelle-Neumann berpendapat terdapat 3 makna publik. Pertama adalah publik mengandung arti keterbukaan bagi semua orang seperti dalam pengertian tanah publik, ranah publik ataupun wilayah publik. Kedua, kata publik berkaitan dengan konsep yang berhubungan dengan isu-isu di tengah banyak orang atau masyarakat. Dan terakhir, publik mewakili sisi psikologis dalam diri manusia dimana orang tidak hanya berpikir ke dalam dirinya saja tapi juga memikirkan hubungannya dengan orang-orang lain di sekitarnya.

Dengan demikian seseorang dapat merasa apakah pandangannya membuat dirinya akan terlindungi atau disorot oleh tatapan masyarakat. Orang akan merespon kesadarannya ini dengan menyesuaikan diri terhadap pandangan dan tatapan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, teori ini mengatakan bahwa opini publik adalah sikap atau perilaku yang harus diekspresikan seseorang di depan publik agar dapat diterima oleh masyarakat, tanpa risiko dikucilkan atau diisolasi dari lingkungannya. 

Dapat dikatakan bahwa opini publik mengacu pada sentimen kolektif dari sebuah populasi terhadap sebuah isu ataupun subyek tertentu, yang merupakan suatu proses sosial. Dan media berperan mengangkat serta menonjolkan subyek atau isu apa yang menarik bagi masyarakat yang akan berlaku sebagai pandangan umum. 

Pandangan dominan (mayoritas) yang diangkat dan ditonjolkan oleh media semakin menguat dan berkembang menjadi opini publik sedangkan pandangan yang berbeda menjadi semakin bungkam dan kelompok minoritas ini semakin tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga terbentuklah spiral keheningan. 

Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori spiral keheningan ini yaitu :
  • · Masyarakat menekan dan mengancam individu yang dianggap bertolak belakang dengan pandangan publik melalui tindakan pengisolasian.
  • · Individu dapat merasa sangat khawatir dan takut akan ancaman isolasi masyarakat, yang dilakukan secara intensif (terus menerus).
  • · Rasa cemas akan terisolasi dari lingkungan masyarakatnya membuat setiap individu selalu mencoba untuk menilai iklim opini yang berkembang di masyarakat.
  • · Perilaku individu di publik, khususnya mengenai kesediaannya untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka atau tidak, akan dipengaruhi oleh penilaiannya terhadap opini publik.

Dengan adanya pengaruh media yang menyuarakan pandangan dominan yang berkembang pada mayoritas publik seakan mengarahkan banyak individu untuk menyesuaikan perilaku dan pandangannya pada opini yang diangkat oleh media. Dalam hal ini media memberi dukungan pada spiral keheningan karena media dianggap sebagai sebuah wadah komunikasi publik. Dengan demikian kesediaan orang untuk mengemukakan pendapat tergantung dengan opini yang disuarakan oleh media. Tanpa dukungan dari orang lain yang memiliki pengaruh bagi pandangan yang berbeda dengan opini publik maka orang akan tetap bersikap konsonan atau sejalan dengan pandangan yang ditawarkan oleh media. 

Umumnya televisi merupakan media yang dianggap paling berpengaruh dalam mengangkat dan menyuarakan opini publik, walaupun media cetak dan kini media baru (internet) juga dianggap memiliki peran cukup penting. Melalui pemberitaan media yang luas namun acap tidak berimbang karena hanya mewakili opini mayoritas yang mendominasi, maka publik diberi pandangan mengenai realitas yang terbatas. Pendekatan yang terbatas dalam pemberitaan sebuah isu ini terkadang mempersempit persepsi dan pandangan seseorang. 

Dengan tiga karakteristik khasnya yaitu ubikuitas, kekumulatifan dan konsonansi, media telah mempengaruhi pandangan setiap individu dalam masyarakat. Ubikuitas mengacu pada kenyataan bahwa media merupakan sumber informasi yang memiliki kekuatan dan kuasa. Individu akan menilai opini yang berkembang melalui pemberitaan yang muncul di media. Setiap orang akan berusaha menyesuaikan pandangannya dan mengukur iklim opini melalui opini yang diangkat oleh media. Kekumulatifan merupakan karakter yang menunjukkan bahwa media dalam proses pengangkatan berita kerap melakukan pengulangan-pengulangan di setiap program dan setiap waktu, sehingga terjadi pengaruh resiprokal dalam membentuk kerangka referensi masyarakat yang berkembang menjadi opini publik. Dan karakter konsonansi berhubungan dengan kesamaan keyakinan, sikap dan nilai yang dipegang oleh media. Konsonansi ini dilahirkan dari tendensi media untuk menginformasikan sebuah opini yang dianggap dominan. Ketiga karakter ini memberi ruang sangat besar bagi pandangan mayoritas untuk tersebar luas, memiliki pengaruh dan didengarkan, sehingga mereka yang merasa memiliki pandangan berbeda tidak bersedia mengekspresikan pandangannya dan tetap bungkam. 

Informasi yang seringkali disaring oleh media membuat isu dan pandangan yang ditampilkan dan dipersepsikan mungkin saja merupakan gambaran realitas yang tidak sepenuhnya akurat. Jika media cukup sering mengangkat sebuah isu dan pandangan melalui berita-beritanya maka hal ini dapat saja dikatakan bahwa media sedang melakukan agenda berita, mengidentifikasi dan menonjolkan apa yang harus diperhatikan dan menentukan apa yang semestinya berjalan di masyarakat. 

Dengan demikian orang mendapatkan iklim opini publik melalui media massa. Dan kekuatan maupun pengaruh media massa dalam menyuarakan opini publik mempengaruhi pergeseran pandangan seseorang serta terbungkamnya pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas. Ketika orang melihat pada media untuk mendapatkan gambaran dan persepsi dari populasi, maka terdapat kecenderungan untuk menerima apa yang direpresentasikan oleh persepsi tersebut. Dan seringkali terjadi iklim ganda dari opini yaitu iklim yang dipersepsikan secara langsung oleh mayoritas populasi dan iklim dari liputan media, dimana iklim ganda ini akan semakin membungkam mereka yang merasa berpandangan berbeda (minoritas).

Namun tidak selamanya kaum minoritas selalu terbungkam. Adakalanya mereka bangkit. Kelompok minoritas yang mencoba bangkit dan mendobrak pandangan mayoritas ini disebut sebagai hardcore yang tetap berusaha menyuarakan pandangan mereka tanpa memedulikan sanksi sosial berupa ancaman terisolasi dari masyarakat luas. Para hardcore ini menyadari bahwa ada risiko dari tindakan mereka namun tetap berpegang teguh pada keyakinan dan pandangan mereka. Peran para hardcore menjadi penting dalam mengubah opini publik yang mendominasi masyarakat. 

Faktor yang Turut Menentukan

Teori ini bermula dari pengujian dengan kondisi sebuah masyarakat di negara maju dimana tingkat pendidikan sudah cukup tinggi dan akses masyarakat kepada saluran media sudah sangat baik. Pada awalnya Noelle-Neumann mengembangkan teori ini di Jerman untuk menjelaskan opini publik yang berkembang saat berlangsung pemilihan umum di negara maju tersebut. 

Berdasarkan penelitian Noelle-Neumann, teori ini berjalan dalam kondisi masyarakat yang berpendidikan, memiliki akses kepada media dengan iklim demokrasi yang sudah baik. Seberapa besar nilai atau moral yang terkandung dalam sebuah isu juga turut mempengaruhi berjalannya teori spiral keheningan. Tingginya nilai atau moral dari sebuah isu akan lebih membuat orang tidak bersedia mengekspresikan pendapat yang berbeda karena rasa malu dan khawatir diisolasi oleh lingkungan masyarakatnya. 

Pada negara-negara dengan kondisi alam demokrasi yang sedang berkembang terdapat pula beberapa karakteristik atau faktor lain yang turut mempengaruhinya yaitu pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah isu, kedekatan masyarakat dengan sebuah isu (seperti pada isu yang dekat dengan kehidupan keseharian masyarakat) serta tingkat akurasi seseorang dalam memprediksi opini publik yang akan berkembang dan mendominasi, sebagaimana penelitian lebih mendalam oleh Eriyanto terhadap teori ini.

Kondisi demokasi yang sudah berjalan baik membuat kebebasan berpendapat dan beropini di masyarakat maupun kebebasan pers (media) juga berjalan baik. Negara-negara maju dengan iklim demokrasi yang baik memberi ruang dan kesempatan kepada masyarakat maupun media untuk mengangkat isu-isu melalui penyuaraan aspirasi masyarakat serta peliputan dan pemberitaan media tanpa adanya tekanan dari penguasa negara. Iklim ini membuat masyarakat dapat lebih bebas mengutarakan pendapatnya dan media dapat berperan lebih aktif dalam mengangkat isu-isu yang dianggap penting di masyarakat. 

Pendidikan masyarakat yang cukup tinggi serta akses masyarakat ke saluran-saluran media mempengaruhi proses pembentukan opini publik. Tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi juga membuat setiap individu mampu untuk melakukan penilaian terhadap opini publik yang berkembang dan dikembangkan oleh media melalui sejumlah pemberitaan-pemberitaan yang diangkat dan ditonjolkan oleh media. Melalui indra kuasi statistik (quasi statistical sense) setiap orang mampu untuk mengevaluasi opini publik dan memperkirakan kekuatan-kekuatan pandangan yang berkembangan dalam masyarakat. Walaupun terkadang terdapat ketidaksadaran pluralistik, pada dasarnya setiap individu mampu melakukan penilaian atau evaluasi ini melalui berita-berita yang mereka ikuti dan menggabungkannya dengan pandangan mereka sendiri menggunakan pengetahuan yang mereka miliki. Akan tetapi berdasarkan penelitian Eriyanto, faktor ketidaksadaran pluralistik (pluralistic ignorance) yang menyebabkan kesalahan individu dalam memprediksi opini publik memberi pengaruh yang besar pada masyarakat di negara dengan iklim demokrasi yang sedang berkembang.
Akses masyarakat terhadap saluran-saluran berita membuat paparan atau terpaan berita maupun informasi media menjadi sangat tinggi kepada setiap individu dalam populasi yang sudah maju. Hal ini membantu setiap individu mendapatkan berita dan informasi mengenai opini publik yang berkembang di masyarakat. Adanya akses masyarakat kepada media juga berperan memberi ruang yang sangat besar kepada pendapat dan pandangan kelompok mayoritas untuk lebih menyuarakan opininya melalui media. Di sisi lain juga membuat media lebih dapat merekam apa yang menjadi pandangan mayoritas di masyarakat dan mengangkatnya menjadi sebuah opini publik. Dimana opini publik melalui pemberitaan di media ini kemudian menjadi alat bagi individu untuk mengukur iklim opini yang berkembang.


Konstruksi Keheningan Sistemik yang Mencengkam dan Membungkam

Bila mengacu pada teori spiral keheningan yang dilahirkan berdasarkan penelitian Elisabeth Noelle-Neumann, maka kegagalan penerapan teori ini disebabkan oleh tidak adanya demokrasi, kurangnya pendidikan dan pemahaman masyarakat maupun kebebasan dan akses media yang dibatasi. Kondisi ini membuat sebagian kelompok masyarakat tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda lebih karena ketidaktahuannya akan situasi yang sesungguhnya terjadi dan kurangnya informasi mengenai sebuah permasalahan yang menyebabkan rasa takut akan dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya yang lebih luas. Sehingga terciptalah keheningan sebagai akibat dari bungkamnya masyarakat yang tidak memiliki keberanian untuk berbeda pendapat. 

Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kondisi keheningan melalui pembungkaman masyarakat pada pendapat yang bertentangan dengan opini penguasa juga kerap dikonstruksikan oleh pihak yang berkuasa. Kondisi ini jelas terlihat dalam berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama rezim Orde Baru di Indonesia. Beberapa peristiwa Pelanggaran HAM seperti Tanjung Priok, Petrus, Penyerangan Kantor Pusat PDI di Jakarta, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi 1 dan 2 oleh kalangan militer di bawah rezim yang berkuasa saat itu merupakan sebagian contoh pengonstruksian kondisi keheningan yang membungkam masyarakat. Iklim demokrasi di Indonesia pada masa itu belum berkembang baik, dimana rezim Order Baru memakai istilah demokrasi terpimpin, yang oleh sebagian pengamat bahkan tetap digolongkan ke dalam iklim otoritarian.

Ketidakbersediaan seseorang untuk mengutarakan pandangan yang bertentangan dengan opini yang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa lebih disebabkan oleh risiko bahaya yang mengancam keselamatan pribadi sebagai akibat dari tidak berjalannya iklim demokrasi, tidak adanya kebebasan berpendapat serta tekanan dari penguasa negara daripada sekedar rasa malu akan diisolasi oleh lingkungan. Apalagi mayoritas opini dimunculkan dan didominasi oleh kekuatan penguasa negara yang juga memiliki kekuatan dan kekuasan terhadap pemberitaan di media-media massa. Sehingga pemberitaan atas isu-isu yang diangkat oleh media-media massa pada saat itu dapat dikatakan seragam dengan opini dominan dari pihak penguasa negara. 

Kenyataan para hardcore (penyuara pendapat berbeda dari kalangan minoritas) yang selalu mendapat tekanan bahkan ancaman dari penguasa negara, dimana sebagian dari mereka diculik dan tidak jelas nasibnya hingga kini seperti kasus penyair Wiji Tukul (yang kerap mengritisi sikap dan kebijakan pemerintah melalui pusi-pusinya) maupun peristiwa yang menimpa Munir (aktivis Hak Asasi Manusia), telah menimbulkan rasa kekhawatiran lebih besar pada mereka yang memiliki pandangan berbeda dengan opini mayoritas. Hal ini membuat kian tidak munculnya pendapat yang berbeda dengan pandangan penguasa pada masa itu.

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan sebuah isu yang berkembang serta minimnya akses media dari masyarakat maupun ke masyarakat, disamping iklim demokratisasi yang tidak berkembang membuat teori ini juga tidak berjalan. Pemberontakan gerakan 30 September yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI dapat menggambarkan kondisi tidak munculnya pendapat yang berbeda dengan pendapat dominan kala itu sebagai akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan isu maupun latar belakang permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Tidak adanya akses media yang berpendapat bebas ke masyarakat, tekanan penguasa negara kepada media, membuat kurangnya paparan maupun terpaan berita dari media mengenai sisi kebenaran akan peristiwa tersebut kepada masyarakat. Proses isolasi terhadap mereka yang dicap sebagai antek PKI diberikan oleh penguasa negara lebih untuk tujuan politik rezim berkuasa.

Iklim dan kondisi yang dikonstruksikan oleh penguasa ini telah menciptakan keheningan yang mencekam masyarakat luas sehingga membuat masyarakat tidak berani menyuarakan pendapat yang berbeda dengan opini yang dibangun oleh pihak berkuasa. Keterbungkaman masyarakat lebih disebabkan oleh rasa takut akan keselamatan jiwa mereka di bawah berbagai bentuk ancaman, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari rezim yang berkuasa. Fakta ‘hilangnya’ para hardcore atau mereka yang menyuarakan perbedaan pendapat kian membangun suasana mencekam di tengah masyarakat.
Kontrol pihak penguasa terhadap kebebasan isi berita media serta fakta adanya pembreidelan terhadap media-media yang mengangkat opini berbeda dengan keinginan pemerintah telah memperkokoh konstruksi sistim yang kian membangun keheningan yang semakin dalam. Ketiadaan opini yang mampu mengimbangi opini yang dibentuk oleh penguasa serta minimnya informasi mengenai kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi di masa itu juga menjadi faktor yang telah membuat masyarakat tidak dapat mengeluarkan pendapat berbeda karena ketidaktahuan akan situasi yang berkembang. 


Berjalannya Teori Spiral Keheningan di era Demokratisasi

Perkembangan iklim demokratisasi di Indonesia dewasa ini memang telah mendorong kebebasan masyarakat untuk berpendapat dalam arti sesungguhnya, yaitu kebebasan untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka tanpa rasa khawatir akan tekanan pemerintah. Kebebasan pers (media) juga telah semakin membaik. Kebebasan yang dilahirkan oleh iklim demokrasi ini membuat media mampu secara aktif dan bebas menjalankan perannya dalam menyoroti dan memberitakan pandangan mayoritas masyarakat akan setiap isu yang berkembang. Iklim inilah yang membuat teori spiral keheningan sebagaimana yang dihasilkan oleh penelitian Elisabeth Noelle-Neumann terlihat berjalan dalam lingkungan masyarakat. Dimana keengganan sekelompok masyarakat untuk mengeluarkan pendapat yang berbeda disebabkan karena rasa khawatir akan diisolasi dari lingkungan masyarakatnya.

Namun kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas masih berpendidikan relatif rendah serta kondisi belum terhubungnya seluruh masyarakat dengan akses ke berbagai media yang sama besarnya menjadi faktor tersendiri yang mempengaruhi berjalannya penerapan teori spiral keheningan ini.

Kasus Ahmadiyah di berbagai wilayah menjadi contoh paling tepat dari pembuktian (penerapan) teori spiral keheningan ini. Nilai muatan (moral) dalam kasus ini tergolong sangat tinggi karena menyangkut nilai akan sebuah keyakinan. Sehingga ketidaksesuaian dengan nilai keyakinan mayoritas akan menimbulkan rasa malu. Demikian pula halnya dengan kasus Syiah yang terjadi di Sampang – Madura.

Pendapat dominan dan pandangan mayoritas masyarakat dalam kasus ini mengganggap bahwa aliran Ahmadiyah dan Syiah sebagai aliran yang sesat, menyimpang dari nilai-nilai keyakinan sehingga harus dibubarkan atau dipindahkan (diusir) dari wilayah asalnya. Penolakan kuat terhadap pendapat yang berbeda membuat pandangan mayoritas mengenai kesesatan aliran-aliran ini dengan dukungan peran media berkembang menjadi opini publik.

Pada mulanya memang terdapat pandangan yang berbeda dari segelintir orang yang mengatakan bahwa aliran tersebut tidaklah sesat dan tidak perlu dibubarkan ataupun diusir dari wilayah kelahiran mereka. Namun peristiwa yang menyangkut nilai-nilai keyakinan dan moral ini membuat orang-orang dengan pendapat minoritas khawatir untuk menyuarakan pendapatnya karena rasa malu dianggap sesat atau menyimpang dari nilai-nilai keyakinan yang semestinya, sehingga memunculkan rasa takut (khawatir) akan dikucilkan ataupun mendapat penolakan keras dari mayoritas masyarakatnya yang dapat mengakibatkan pengusiran dari tempat tinggalnya. 

Hal ini membuat kelompok dengan pendapat minoritas cenderung untuk diam, tidak bersedia mengutarakan pendapatnya sehingga opini yang berseberangan menjadi semakin tidak terdengar dan akhirnya opini yang dominanlah yang semakin menguat di masyarakat. Pada kenyataannya terlihat kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki opini dominan semakin berani untuk mengekspresikan pendapatnya, melalui mimbar-mimbar diskusi, media maupun melalui tindakan yang mencoba mengusik, mengucilkan dan bahkan mengusir para pengikut kelompok minoritas, baik dalam kasus Ahmadiyah di berbagai wilayah maupun Syiah di Sampang – Madura.
Peristiwa meledaknya sejumlah besar tabung gas elpiji berbobot 3 kg di saat proses transisi penggunaan gas elpiji sebagai pengganti minyak tanah yang sempat menelan korban jiwa juga dapat menggambarkan berjalannya teori spiral keheningan. Pada kasus dengan isu yang memiliki tingkat kedekatan cukup tinggi dengan kehidupan keseharian masyarakat membuat timbulnya kesediaan orang untuk mengutarakan pendapatnya yang berproses menjadi pembentukan opini publik. Rasa malu karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan dan kehidupan rakyat kecil menerpa mereka yang memiliki pandangan berbeda. Sehingga mereka yang berpandangan berseberangan, khususnya di wilayah padat penduduk dimana mayoritas masyarakatnya telah membentuk opini tertentu, menjadi tidak berani untuk menyuarakan perbedaan pendapatnya karena rasa takut dikucilkan oleh lingkungan masyarakatnya.

Gerakan koin Prita menjadi salah satu contoh dimana masyarakat berhasil menyuarakan pandangan dan pendapat mereka melawan pihak pemilik rumah sakit (pengusaha). Pendapat masyarakat yang berangkat dari jejaring sosial di media baru ini dengan dukungan peran media konvensional kemudian berkembang menjadi opini publik yang berhasil meraih simpati dan menggalang dukungan masyarakat luas. 

Dalam kasus ini berkembangnya opini publik diawali oleh rasa kedekatan publik terhadap kasus yang menimpa individu yang dianggap mewakili masyarakat perorangan tanpa kekuasan dan kekuatan. Disamping itu terdapat nilai atau moral dengan kadar cukup sedang dalam peristiwa ini.
Namun pada kasus ini, ketidakbersediaan segelintir orang untuk mengungkapkan opini yang berbeda lebih disebabkan oleh sekedar keengganan dianggap sebagai orang yang tidak berpihak dan tidak berempati pada warga biasa dan bukan karena rasa takut akan terisolasi dari lingkungannya. 

Berkembangnya pemberitaan kasus Cicak dan Buaya, yang diangkat sebagai sebuah proses kriminalisasi oleh ketua Kabareskrim Susno Duadji dari Polri terhadap Bibit dan Chandra selaku ketua Komite Pemberantasan Korupsi kala itu, tidak membuktikan penerapan teori spiral keheningan. Kesediaan ataupun keengganan seseorang untuk mengemukakan pendapatnya dalam kasus ini lebih disebabkan oleh ada atau tidaknya pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik (seperti pengetahuan dan kesadaran akan politik dan hukum) tentang isu ini, dan bukan karena rasa takut akan diisolasi oleh lingkungannya. Kebutuhan akan adanya pengetahuan yang cukup luas untuk dapat memahami isu yang terjadi membuat terdapat kesukaran untuk menentukan (membaca) opini yang dominan di masyarakat. Hal ini disebabkan setiap orang dapat memberikan pendapat berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya sehingga terdapat porsi yang relatif berimbang antara pendapat yang pro maupun kontra terhadap status Bibit dan Chandra saat itu. 

Terlihat bahwa gema akan dominasi kasus ini lebih bersifat elitis di perkotaan. Hal ini menyebabkan suasana keheningan yang mampu membungkam pendapat yang berbeda di lingkungan masyarakat menjadi tidak terbentuk dengan sempurna.


Dampak Keheningan pada Keterbungkaman Masyarakat

Kondisi keheningan, baik yang terjadi sesuai teori spiral keheningan maupun sebagai hasil dari sebuah konstruksi keadaan, memberi dampak keterbungkaman kelompok masyarakat yang enggan untuk memberikan pendapat yang berbeda dari opini yang telah terbangun. Hal ini membuat opini yang berkembang adalah opini publik yang memang diterima oleh mayoritas masyarakat ataupun pihak penguasa.
Pada kondisi dimana demokratisasi telah berjalan dengan baik dan akses masyarakat ke media telah terbangun dengan tingkat pengetahuan yang memadai maka keheningan yang terbentuk suatu saat dapat terdobrak dengan munculnya pemberitaan akan opini yang berbeda yang mampu mengimbangi opini publik yang telah terbentuk. Di sinilah peran media terlihat sangat menentukan pembentukan opini di tengah masyarakat. 

Kasus Syiah di Sampang – Madura, merupakan contoh dimana opini publik yang sempat terbangun mengenai kesesatan aliran ini yang telah sempat terbentuk dan terangkat melalui berbagai pemberitaan media, yang menyebabkan para penganut aliran ini terisolir dari masyarakatnya, bahkan sempat menimbulkan konflik horisontal, pada akhirnya runtuh dengan adanya opini berimbang yang diangkat oleh sebagian media lainnya. Keheningan yang sempat tercipta karena ketakutan mereka yang berbeda untuk menyuarakan pendapatnya, kini telah tersalurkan melalui beberapa media yang berhasil menangkap dan menyuarakannya ke ranah publik. Media telah berperan penting untuk mendengar dan mengangkat opini-opini yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat. 

Tetapi keheningan yang dikonstruksikan secara sistemik sebagai akibat dari paksaan rezim yang berkuasa, tidak berjalannya iklim demokratisasi dan kontrol ketat terhadap kebebasan media justru telah melahirkan keterbungkaman masyarakat yang sangat sulit diterabas. Rasa ketakutan yang disebabkan oleh ancaman terhadap keselamatan jiwa terasa lebih mencekam masyarakat sehingga mampu membuat pihak penguasa membungkam setiap pendapat yang berbeda. Keheningan sistemik semacam ini pada hakikatnya memberikan dampak negatif yang lebih permisif dan masif di tengah-tengah kehidupan masyarakat dari kemungkinan adanya kontrol dan pengawasan dari masyarakat maupun media terhadap pihak yang berkuasa dalam menggunakan wewenangnya dan menjalankan kekuasaannya mengelola negara.

Berbagai kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru telah menjadi contoh bagaimana keheningan yang sistemik sebagai hasil dari kondisi yang dikonstruksikan oleh pemerintah saat itu telah melahirkan keterbungkaman masyarakat secara luas. Kontrol yang ketat terhadap akses pemberitaan media serta rasa takut akan keselamatan jiwa telah menghilangkan ruang akan munculnya pendapat yang berbeda dari opini penguasa.

Iklim demokratisasi, akses kebebasan media serta pendidikan masyarakat memang dapat menghasilkan keheningan sebagai akibat dari keenganan kelompok minoritas untuk bersuara menentang kaum mayoritas hanya karena rasa khawatir akan dikucilkan lingkungannya. Tetapi bagaimanapun kondisi masyarakat yang demokratis serta adanya akses media dan masyarakat lebih mampu untuk mendobrak keheningan yang tercipta yang memungkinkan masyarakat untuk tetap bersuara melalui berbagai saluran media, dibandingkan dengan keterbungkaman masyarakat yang lahir dari pembentukan keheningan secara sistemik oleh ketiadaan alam demokrasi yang sengaja dikonstruksikan pihak penguasa sehingga membuat masyarakat tidak berani bersuara karena rasa takut akan ancaman keselamatan jiwa. 

Akankah kita kembali ke alam represif dengan keheningan sistemik yang dikonstruksikan oleh pihak penguasa tanpa adanya ruang kebebasan untuk berpendapat ?

Ataukah kita tetap mendambakan kebebasan berdemokrasi dengan peluang masyarakat untuk membentuk opini yang berkembang melalui peran dan akses media ?

Pilihan mana yang akan diambil tentu terpulang pada masyarakat sendiri. 

Berlangsungnya kontestasi politik dalam ajang perhelatan pesta demokrasi di negeri ini akan membuktikan kondisi manakah yang akan dipilih oleh masyarakat negeri ini, setidaknya untuk masa 5 tahun mendatang.
Pemilihan pemimpin tertinggi negara yang menjunjung tinggi hak asasi setiap warga negara dalam segala aspek kehidupan serta menjamin akses media dalam menyuarakan opini publik akan sangat menentukan arah kebebasan berpendapat di negeri ini dan fungsi opini masyarakat sebagai pengimbang dan pengawas bagi pemegang kuasa dalam menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya mengelola republik ini. 

Pemimpin negara yang tidak mampu menghargai hak asasi dan hak hidup rakyatnya serta tidak bersedia mendengarkan adanya perbedaan pendapat, hanya akan membangun ‘tembok-tembok tinggi’ yang memenjarakan warganya dalam cengkeraman ketakutan akan keselamatan jiwa yang membungkam setiap suara yang berbeda, memberangus setiap ruang gerak, menciptakan keheningan yang mencekam tanpa batas dan tanpa peluang untuk dapat mendobrak dinding-dinding kesenyapan yang mengungkung.

Jakarta, 28 April 2014

-PriMora Harahap-
(dipersiapkan untuk memenuhi tugas take home test untuk ujian akhir semester mata kuliah Perspektif dan Teori Komunikasi Massa pada Program studi Manajemen Komunikasi, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan sedikit penyesuaian pada situasi dan kondisi terkini)


Referensi :
-        Denis Mc Quail (2010), “Mass Communication Theory”
-        Robin L Nabi and Mary Beth Oliver, “The SAGE Handbook of Media Process and Effect”
-        Marianne Dainton and Elaine D Zelley, “Applying Communication Theory for the Professional Life”
-        Richard West and Lynn H Turner, “Introducing Communication Theory, Analysis and Application”
-        EM Griffin, “A first look at Communication Theory”
-        Eriyanto, Jurnal Komunikasi Indonesia (April 2012), “Teori Spiral Kesunyian dan Negara Transisi Demokrasi : Sebuah Pengujian di Indonesia”

Tidak ada komentar: