Rabu, 24 Desember 2008

Puisi dan Lagu Sarat Makna…

Sebuah catatan masih tercecer dari acara yang diselenggarakan semalam sebelum penutupan program World Music Festival 2008 – GKJ. Tepat pada malam ke 16 di bulan Desember lalu, sebuah kolaborasi pembacaan puisi & nyanyian, diberi titel ‘’Generasi Dalam Dialog’’, hadir dengan iringan Skolastika Ansamble yang dikomandani oleh Marusya Nainggolan.

Binu Sukaman, salah satu penyanyi seriosa terbaik milik negeri ini, membuka acara dengan lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu tersebut terasa begitu menggambarkan kondisi negeri tercinta ini. Betapa Ibu Pertiwi kini sedang bersusah hati… merintih dan berdo’a… melihat proses penzaliman tanpa kendali atas simpanan kekayaan alam negeri ini… hutan, gunung, sawah & lautan… yang acap hanya untuk kemakmuran segelintir golongan… tanpa pernah kembali untuk dinikmati oleh bangsanya…


kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang

hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa

kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu

ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa


Duhai ibu pertiwi… takkan heran pabila dikau bersusah hati… berlinang air mata… menyaksikan betapa kini lebih banyak yang merambah harta pusaka ketimbang menjaganya…

Pada penggalan pertama acara ini, serangkaian puisi bertema kepedulian lingkungan, keprihatinan serta kritik sosial karya Taufik Ismail dibacakan sendiri oleh empunya.

Taufik Ismail dengan lantang membacakan puisi pertamanya berjudul ‘’Beri Aku Sumba’’ yang bercerita tentang keindahan alam Sumba. Kerinduan ribuan kuda-kuda Sumba akan pegunungan yang indah… menyadarkan kembali akan betapa indahnya alam negeri ini. Negeri yang dikaruniai dengan begitu banyak kekayaan alam & pemandangan alam yang begitu indah. Tidak kalah indah, bahkan jauh lebih indah dari negeri lainnya.

Sebuah lagu lawas ciptaan Ibu Sud berjudul ‘’Tanah Airku’’ yang terlantun lewat bening suara Binu Sukaman jelas menggambarkan keindahan negeri ini lewat lirik demi liriknya.


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai

Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan


Sejatinya dengan menjaga kelestarian alam negri inilah, bangsa ini dapat menghargainya. Hanya yang terjadi, kerap kali keserakahan duniawi meluruhlantakkan keindahannya. Hingga tinggalah hutan-hutan gundul, lubang-lubang tambang menganga hasil eksploitasi alam tanpa batas…

Sejatinya pula negeri ini subur makmur… gemah ripah loh jinawi… sebelum bentangan & hamparan sawan nan hijau berubah rupa berganti belantara beton nan menjulang tinggi, yang atas nama pembangunan seakan ''merestui'' setiap langkah pemuka negeri ini untuk mengkomersilkan setiap jengkal lahan yang ada.

Kiranya petinggi negeri ini perlu meresapi kembali bait demi bait lagu ‘’Serumpun Padi’’ karya Maladi yang mahsyur itu.


Serumpun padi tumbuh disawah
Hijau menguning daunnya
Tumbuh di sawah penuh berlumpur
Dipangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci
Hidupnya nista abadi
Serumpun padi mengandung janji
Harapan ibu pertiwi


Puisi berikut yang diberi tajuk “Saya Mendengar Orang-orang Bernyanyi” dimaksudkan untuk menggambarkan dedikasi segelintir seniman pada dunia kesenian. Harry Roesli yang (semasa hidupnya) rajin – tanpa pernah putus semangat – selalu berupaya ‘menjahit setiap robekan akibat luka politik’ menggunakan benang-benang notasi musik dan bait-bait lagunya. Iwan Fals yang kerap menunjukkan kepedulian & kritik sosialnya. Begitu pula dengan kehadiran Franky S, Chrisye (yang kerap menyadarkan kita akan cinta kasih), Ebiet G Ade yang acap bercerita tentang alam dan kehidupan maupun Bimbo yang dengan kerinduan dan kecintannya pada Tuhan. Mereka, melalui cara bermusik masing—masing telah menghadirkan begitu banyak warna & makna… bila saja kita dapat meresapinya…

“Sajak Tentang Anak Muda Serba Sebelah’’ merupakan ungkapan keprihatinan Taufik Ismail akan dunia pendidikan negeri ini. Bercerita mengenai mimpi seorang anak muda dengan segala keterbatasannya untuk mendapatkan kesempatan pengembangan diri... untuk sekedar dapat mewujudkan mimpinya yang sederhana… menjadi seorang supir… Tapi apa daya… keterbatasan telah membatasi dirinya untuk menggapai mimpi-mimpinya… Begitulah kiranya gambaran pengembangan generasi muda negeri ini.

Program pencerdasan bangsa kiranya berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan program ‘’pembodohan’’ bangsa. Tak heran bila melihat begitu banyak terjadi degradasi moral. Guru yang melecehkan muridnya, murid yang mengancam sesama murid, sudah bukan berita aneh lagi.

Cerita mengenai tauladan kedermawanan orang-orang besar di jamannya, dalam bentuk penggambaran warisan yang mereka tinggalkan saat kembali ke haribaan Illahi, dituangkan dalam ‘’Sajak Tentang Kedermawanan’’. Melalui sajak ini, Taufik Ismail bertutur bagaimana pemimpin-pemimpin terhormat di masa lampau di saat wafatnya hanya meninggalkan warisan yang sangat sedikit karena telah mendermakan begitu banyak harta mereka sepanjang hidup. Bahkan Sultan Salahudin tidak meninggalkan apapun di hari ‘’kepulangannya’’. Sesuatu yang sulit ditemui di zaman yang penuh dengan Hedonisme ini. Zaman di mana para konglomerat & pejabat berlomba-lomba sibuk menimbun harta dengan menghalalkan segala cara, agar dapat mewarisi kekayaan hingga lebih dari tujuh turunan.

‘’Sajadah Panjang’’, sebuah karya Taufik Ismail yang popular sebagai syair lagu Bimbo, bertutur mengenai ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, di sepanjang hidupnya, sejak dari masih dalam buaian hingga tepi kuburan... ketaatan seorang hamba akan perintah Tuhannya karena teringat bahwa suatu saat akan menuju ke tepi kuburan…

Keprihatinan Taufik pada kebakaran hutan yang kerap terjadi tanpa ada pihak yang perduli untuk melakukan upaya menanggulanginya, digambarkannya melalui sajak “Air Kopi Menyiram Hutan’’. Sungguh sebuah gambaran nelangsa… tentang kebakaran hutan… atau ‘’pembakaran hutan’’ negeri ini…

Sebuah sajak dengan aura sarat kegetiran, perihal buruknya kualitas materi program-program tayangan di stasiun-stasiun televisi yang semakin bertambah banyak, diberi judul ‘’Pelajaran Membunuh Orang’’. Melalui sajak ini Taufik menggambarkan betapa melalui siaran televisi berbagai saluran, orang dapat belajar apa saja – termasuk belajar cara membunuh orang. Saat mendengarkan sajak ini, masih terekam jelas di benak saya, berita-berita mutilasi yang semakin marak terjadi, ternyata terinspirasi dari siaran-siaran televisi.

Bagaimana seorang wanita dengan nada yang datar namun sangat jelas terdengar mengakui bahwa dia tergerak untuk memutilasi suaminya setelah melihat suatu siaran di televisi.

Belum lagi lagak gaya anak-anak usia sekolah yang saling menggertak sesamanya karena mencontoh adegan bullying yang bertebaran di berbagai sinetron-sinetron itu. Bukan… bukan hanya pelajaran menggertak sesama pelajar… namun juga ketidaksantunan menggertak orang yang lebih tua kerap tersaji lewat layar kaca.

Tawuran yang telah menjadi ‘’budaya’’ bangsa ini, acap pula tertayang di televisi. Tidak lagi terbatas pada anak sekolah, tapi telah merambah menjadi tawuran antar warga... antar orang-orang tua yang sejatinya harus memberi contoh tauladan bagi generasi yang lebih muda.

Sesungguhnyalah telah berjalan sebuah program ‘’pembodohan’’ bangsa yang berkesinambungan... setiap hari… tanpa henti… lewat layar kaca di rumah setiap penduduk negeri ini… Oooh… kiranya mau dibawa kemana bangsa ini ?

Kebesaran Laksamana Cheng Ho tertuang dalam sajak “Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho’’. Berkisah tentang seorang pelaut Tionghoa beragama Islam yang telah menjelajahi begitu banyak daratan, begitu luas samudra… namun tak pernah sekalipun berniat untuk menjajah… karena sadar bahwa setiap bangsa berhak memiliki kebebasannya. Sajak ini ditulis oleh Taufik Ismail 14 tahun lalu dan sempat dibacakannya di sebuah Masjid di kota kelahiran Cheng Ho.

‘’Kupu-kupu Dalam Buku’’ merupakan sajak terakhir pada penggalan pertama acara ini. Mengungkapkan kerinduan Taufik akan menjadi bagian dari sebuah bangsa yang sadar membaca. Ilustrasi mengenai anak-anak muda yang dilihatnya membaca buku di stasiun-stasiun, di dalam kendaraan umum, dimanapun mereka berada. Antrian orang-orang muda di toko-toko buku, yang mengular sepanjang waktu. Hingga pertanyaan seorang anak tentang kupu-kupu kepada ibunya yang dijawab setelah sang ibu membaca ensiklopedia... tertuang dalam sajak ini. Dimana setiap bait sajak selalu di akhirinya dengan kalimat “Di negeri mana aku berada ?’’ Sepertinya Taufik Ismail ingin menyampaikan bahwa kondisi negeri itu bukanlah kondisi yang dapat ditemui di negeri ini.

Bagian ke dua di isi oleh sajak-sajak bertema Kepahlawanan ini dibuka dengan pembacaan sajak ‘’Ziarah ke Kubur Syekh Yusuf’’, seorang sufi pemberani, pahlawan negeri ini yang tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi imam di Masjidil Haram – Makkah. Begitu gigih berjuang melawan Belanda memperebutkan kemerdekaan tanah air tercinta hingga akhirnya dibuang ke Seylon & Afrika Selatan.

‘’Resepsi Baca Puisi di Balai Kota Rotterdam’’ merupakan puisi berikutnya yang berkisah tentang kegalauan hati Taufik akan kubur Haji Miskin, pejuang asal Sumatra Barat, yang tak ketahuan kuburnya hingga saat ini. Kegalauannya itu dituangkannya dengan halus namun gamblang melalui bait-bait sajaknya pada sebuah resepsi di Rotterdam, di mana berkumpul penyair-penyair dari seluruh dunia. Simak gambaran satir yang coba disampaikan dengan jenaka… ‘’Attention… attention… seraya mengetuk gelas untuk meminta perhatian seluruh hadirin’’. Lalu diikuti oleh tanya menggugat… ‘’Apakah ada kakek-kakek kalian yang pernah ikut bertempur saat perang Padri di negeri saya dan mengetahui mengenai penggantungan kakek datuk saya ?’’. Seraya buru-buru menambahkan, bahwa sungguh tidak ada dendam yang dibawanya, hanya sekedar ingin tahu letak kuburnya.

Sajak mengenai Pangeran Diponegoro terinspirasi dari sebuah lukisan karya Raden Saleh Syarif Bustaman, yang dibuat 27 tahun setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda melalui sebuah pengkhianatan. Sebuah lukisan padat isyarat yang menggambarkan perjuangan & kewibawaan Pangeran Diponegoro serta kekerdialan Belanda menghadapi keberaniannya, dilukiskan kembali oleh Taufik Ismail melalui keindahan bait demi bait sajak ini.

Arti sebuah Afrika yang lebih dari sekedar benua bagi seorang Taufik Ismail, dituangkannya dalam sajak “Apa Arti Afrika Untukku ?”. Melalui sajak ini Taufik mengilustrasikan Syeikh Yusuf dari Aceh dan Tuan Guru dari Tidore yang dibuang Belanda ke Afrika sebagai akibat dari perlawanan mereka terhadap Belanda.

Pada puisi tentang Syeikh Pante Kolo, seorang pejuang asal Aceh, Taufik Ismail berkisah tentang kekuatan sebuah puisi yang ditulis oleh Syeikh Pante Kolo disepanjang pelayaran dari Jedah ke tanah air dalam perjalanan pulangnya setelah menunaikan ibadah haji. Puisi yang bercerita tentang Hikayat Perang Sabit itu lalu diserahkannya kepada Teuku Cik Di Tiro setibanya di Aceh. Puisi ini ternyata berhasil membangkitkan semangat rakyat Aceh bergerak melawan penjajahan Belanda. Betapa perjuangan dapat dilakukan melalui banyak cara, dalam berbagai medium... melalui sebuah puisi, sebuah karya sastra sekalipun…

Puisi terakhir yang sekaligus menutup rangkaian pembacaan puisi Taufik Ismail diberinya judul ‘’Rindu Pada Stelan Jas Putih & Pantalon Putih Bung Hatta’’. Lewat syair-syairnya, Taufik Ismail ingin bercerita mengenai kerinduannya akan sosok tauladan yang memiliki sifat seperti Bung Hatta. Seorang yang selalu tepat waktu, ringkas janji, hemat bicara, bersahaja, sederhana & lurus jujur. Bung Hatta dengan stelan jas & pantaloon putihnya, yang terbuat dari bahan sederhana, adalah seorang yang tidak suka berhutang. Tidak pernah berhutang!! Jauh dari sifat hedonisme yang saat ini mendominasi negeri ini. Bung Hatta dengan jiwa & semangat kebangsaannya yang tulus tanpa pamrih, adalah sosok yang sangat sulit ditemukan di zaman ini. Bung Hatta yang selalu tepat waktu & pegang janji menjadi sebuah gambaran sosok yang ganjil di tengah bangsa yang senang akan keterlambatan (Taufik dengan jenaka mengilustrasikan bahwa satu-satunya sifat tepat waktunya hanya kalau berbuka puasa). Sosok seperti Bung Hatta dengan sifat jujur & ringkas bicaranya menjadi sangat langka di bumi tercinta ini, ditengah riuh rendahnya janji-janji manis yang kerap diumbar oleh para petinggi negeri ini. Sungguh sebuah kerinduan akan sosok yang telah demikian didamba.

Namun… kiranya siapa sekarang yang benar-benar rela – tanpa pamrih - memberikan tenaga & bahkan jiwanya demi kemakmuran bangsanya ??? Berjuang dengan gigih, demi kemajuan rakyatnya ??? Bagai perjuangan para pahlawan di masa silam yang tanpa gentar membela kehormatan bangsanya, merebut kemerdekaan yang hakiki… Demi menjaga negeri yang sungguh merupakan karya indah Tuhan Yang Maha Kuasa…

Sebagaimana dapat disimak dalam syair lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki yang – entah mengapa selalu membuat hati saya trenyuh – begitu pula saat mendengar didendangkan kembali malam itu.

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa

Reff :
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata

Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya

Reff :
Indonesia ibu pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi


Adakah syair lagu & bait puisi itu masih dapat berlaku di negeri ini ?


-PriMora Harahap-

23 Des 2008


note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya.

Tidak ada komentar: