Kamis, 23 April 2009

Kompetisi atau Aliansi ? - Suatu Kajian Bentuk Industri Telekomunikasi

Tulisan ini telah saya rampungkan pada tahun 2003. Namun saya postingkan di blog ini kembali karena masih terlihat relevansinya.

Dalam semangat globalisasi dewasa ini, semua bentuk industri berlomba-lomba untuk membuka pasarnya ke arah pasar bebas dengan kompetisi terbuka, dimana semua pelaku usaha saling bertarung, bersaing memperlihatkan keunggulan masing-masing dan meninggalkan bentuk-bentuk monopoli, duopoli maupun bentuk-bentuk saling ketergantungan semacam aliansi lainnya. Khusus bagi industri telekomunikasi di Indonesia banyak pengamat menyarankan agar industri ini secepatnya dibuka ke arah pasar yang benar-benar bebas, karena sudah terlalu lama berada dalam bentuk sistem monopoli, yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia. Hal ini sekilas tampak sejalan dengan nafas deregulasi dan privatisasi sejumlah BUMN yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintah, walaupun belum lagi tuntas sepenuhnya. Tapi tidak sedikit pula yang masih menginginkan adanya bentuk-bentuk ‘kerjasama’, sebagaimana yang lazim terjadi di era bergaungnya sistem ekonomi ‘kekeluargaan’, pada zaman orde yang baru berlalu. Kini timbul pertanyaan, “Bentuk sistem pasar seperti apakah yang sebenarnya sesuai untuk industri telekomunikasi?” “Bentuk kompetisi atau aliansi kah?”

Sebenarnya tidak ada yang mutlak salah dengan penerapan ke dua sistem tersebut. Hanya diperlukan kecermatan serta kajian lebih dalam untuk dapat mengimplementasikannya pada aspek-aspek yang tepat, sehingga dapat memberi iklim berusaha yang membangun, dan tidak bersifat destruktif bagi para pelaku usaha yang bermain didalamnya. Sinergi antara keduanya justru bisa memungkinkan lahirnya suatu bentuk industri yang kokoh dengan iklim berusaha yang kondusif. Lalu pertanyaan berikut yang muncul adalah, “Dalam hal apa setiap bentuk sistem tersebut sebaiknya diterapkan?”.

Industri telekomunikasi dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk industri yang cukup unik. Dengan karakteristik perdagangan jasa, maka di satu sisi semangat berkompetisi di antara para pelaku usahanya sangat diperlukan untuk dapat merangsang peningkatan kualitas dan ragam produk maupun jenis layanan, seperti produk aplikasi maupun isi informasi (content) yang ditawarkan kepada masyarakat. Iklim berusaha yang kompetitif pada gilirannya akan memberikan beragam pilihan terbaik dengan harga yang kompetitif dan rasional bagi konsumen penggunanya. Namun di sisi lain, dalam hal keterhubungan setiap bentuk komunikasi melalui media apapun, baik dalam bentuk komunikasi suara maupun data, maka penerapan konsep kompetisi yang mutlak sangatlah tidak tepat. Dalam hal ini, konsep aliansi tetap diperlukan terkait dengan jaminan hubungan komunikasi yang baik antar pelanggan lintas operator.


Konsep Kompetisi

Penerapan bentuk pasar monopoli ataupun duopoli memang tidak menjamin tersedianya tingkat mutu pelayanan (service) yang memuaskan bagi konsumen pengguna jasa tersebut, disebabkan tidak adanya alternatif pilihan bagi konsumen untuk dapat menggunakan jasa dari badan usaha lainnya.

Disamping konsumen juga tidak akan mendapatkan harga atau tarif yang rasional dan berpihak bagi kepentingan konsumen, karena bentuk ini memungkinkan pelaku usaha untuk menerapkan harga ataupun tarif yang tidak rasional, jauh di atas biaya ataupun pendapatan marginal, mengingat tingkat ketergantungan konsumen yang sedemikian besar.

Penerapan tarif yang sewenang-wenang dan irasional memang mungkin diatasi dengan pemberlakukan tarif maksimum (rate of return regulation) oleh pemerintah. Namun hal ini tetap tidak dapat menjamin badan usaha monopoli tersebut untuk memberikan dan meningkatkan mutu layanan kepada konsumen pengguna. Hal ini disebabkan badan usaha yang mendapat kewenangan sebagai badan penyelenggara bertindak sebagai konglomerasi yang menguasai seluruh unit usaha hulu ke hilir, tanpa adanya pesaing, dalam sektor telekomunikasi.

Badan usaha dengan bentuk konglomerasi dari hulu ke hilir, tanpa pesaing ini tidak akan efisien dalam beroperasi maupun memberikan layanannya kepada konsumen karena seluruh kekuatan sumber daya yang dimiliki tidak difokuskan pada peningkatan kemampuan dalam suatu kompetensi inti (core competence) tertentu. Mutu layanan akan lebih terjamin apabila setiap pelaku usaha diberi kebebasan untuk memposisikan dirinya pada suatu kompetensi inti.

Dalam jangka panjang, hambatan berupa terbatasnya kemampuan pengembangan kapasitas dari suatu badan usaha berbentuk konglomerasi hulu ke hilir, tanpa pesaing ini menyebabkan kebutuhan yang sedemikian besar akan layanan telekomunikasi tidak dapat terpenuhi dengan segera. Dengan demikian tingkat inefisiensi akan menjadi semakin besar. Kebutuhan (demand) masyarakat akan sarana telekomunikasi dan informasi yang semakin tinggi memerlukan suatu bentuk pasar lain yang lebih efisien serta dapat menjamin percepatan pemenuhan kebutuhan layanan telekomunikasi bagi negara Indonesia yang berbentuk kepulauan.

Pasar persaingan sempurna merupakan suatu bentuk pasar dimana terdapat banyak pelaku usaha untuk jenis bidang usaha yang sama, dimana setiap pelaku usaha bebas keluar dan masuk pasar tanpa adanya hambatan. Kondisi ini akan selalu menciptakan suatu bentuk keseimbangan (equilibrium) antara permintaan dan penawaran, sehingga tercapai suatu tingkat kepuasan optimal bagi konsumen pengguna maupun para pelaku usaha.

Tidak adanya hambatan masuk (barrier to entry) dalam bentuk perlakuan tidak seimbang maupun diskriminasi regulasi bagi pelaku usaha tertentu membuat bentuk pasar dengan tingkat persaingan sempurna, menjamin suatu tingkat harga ataupun tarif yang adil dan transparan bagi konsumen pengguna karena para pelaku usaha tidak akan dapat menentukan sendiri tarif mereka jauh di atas biaya ataupun pendapatan marginal. Tingkat tarif akan sangat dipengaruhi oleh posisi tawar pada pasar tersebut.

Tingkat permintaan yang sedemikian tinggi (over demand) akan membuat tarif yang diterima oleh pasar (konsumen) meningkat melebihi pendapatan marginal. Dengan sendirinya iklim usaha tersebut akan menarik para pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar dan berupaya menarik konsumen yang ada, sehingga pada akhirnya kondisi permintaan dan penawaran akan kembali ke kondisi seimbang serta tarif kembali pada batas pendapatan marginal.

Demikian pula halnya bila terjadi kondisi over supply dimana jumlah pelaku usaha dalam pasar tersebut sudah terlalu banyak, maka tarif yang berlaku di pasar akan menurun, dan membuat beberapa pelaku pasar yang tidak dapat bertahan akan keluar dari pasar untuk mencari sektor usaha lain yang lebih baik. Hal ini akan mengurangi total penawaran dalam pasar sehingga pada akhirnya kondisi permintaan dan penawaranpun kembali pada titik setimbang, begitu pula halnya dengan tarif.

Dapat terlihat bahwa dalam jangka panjang, tarif ditentukan oleh perubahan tingkat permintaan terhadap jasa yang ditawarkan. Suatu kondisi keseimbangan akan selalu tercapai, karena banyaknya alternatif pilihan bagi konsumen pengguna, sehingga para pelaku usaha tidak akan dapat menetapkan tarif secara sewenang-wenang. Pada akhirnya hanya pelaku-pelaku usaha dengan penawaran terbaik yang benar-benar dapat bertahan dalam kondisi pasar seperti ini.

Pada jenis pasar dengan tingkat persaingan yang benar-benar sempurna, tidak diperlukan lagi intervensi pemerintah dalam hal penetapan tarif. Tarif yang berlaku adalah tarif yang diterima oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan penawaran yang ada.

Tiadanya ruang gerak bagi para pelaku usaha untuk dapat menentukan sendiri tarif yang mereka inginkan, membuat mereka hanya dimungkinkan memenangkan tingkat persaingan yang sedemikian tinggi melalui peningkatan keunggulan daya saing lainnya seperti mutu layanan. Untuk dapat memenangkan pelanggan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba meningkatkan mutu dan ragam jenis layanan maupun produk aplikasi yang ditawarkan serta positioning yang kuat dalam pasar melalui penciptaan citra yang positif. Hanya dengan memiliki suatu keunikan tersendiri dan nilai tambah yang dapat mencirikan layanan yang ditawarkan serta memperoleh loyalitas konsumen, pelaku usaha pada pasar ini dimungkinkan untuk memperoleh keunggulan dalam bersaing dan keuntungan lebih dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya.


Konsep Aliansi

Di lain pihak, konsep aliansi bukanlah hal baru dalam industri telekomunikasi di berbagai negara maju yang bahkan telah lebih dulu membuka pasar mereka. Pada kwartal awal tahun 2003 ini, lima operator telekomunikasi selular terkemuka di Asia Pasifik telah mengumumkan rencana untuk melakukan aliansi yang dinamakan Asia Mobility Initiative (AMI). Kelima operator tersebut adalah MobileOne dari Singapura, Maxis dari Malaysia, CSL dari Hongkong, Telstra dari Australia dan Smart dari Filipina. Tujuan utama dari pembentukan aliansi ini adalah untuk dapat menjamin ketersediaan hubungan komunikasi antar pelanggan di seluruh negara tersebut.

Semangat aliansi memang sangat diperlukan dalam kaitannya dengan masalah interkoneksi antar operator yang sebenarnya merupakan persyaratan dasar dari suatu dunia telekomunikasi yang tanpa batas. Hal ini sesuai dengan karakteristik dasar dari pengembangan teknologi telekomunikasi itu sendiri, yaitu meniadakan batas-batas negara maupun kendala waktu, yang memungkinkan setiap orang dapat berkomunikasi dengan orang lain di belahan dunia manapun pada setiap saat yang diinginkan.

Konsep sinergi pada tingkat nasional, regional maupun global semacam ini sangat dibutuhkan untuk menunjang terjalinnya komunikasi antar pelanggan lintas batas dan operator. Sehingga pelanggan tidak lagi merasakan adanya batasan-batasan dalam berkomunikasi hanya karena terkungkung dalam wilayah layanan satu operator saja. Konsep ini menarik bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi.

Perkembangan teknologi telekomunikasi telah memungkinkan setiap orang dapat melakukan hubungan komunikasi suara maupun data melalui berbagai bentuk media (multi media communication). Oleh karena itu diperlukan suatu aliansi dalam bentuk interkoneksi antar operator yang dapat mengakomodasi adanya kebutuhan konsumen pengguna jasa telekomunikasi akan keterhubungan segala bentuk komunikasi antar pelanggan lintas operator. Diharapkan setiap pelanggan dari operator di wilayah manapun akan dapat melakukan komunikasi dalam bentuk apapun melalui segala bentuk media komunikasi dengan setiap orang di wilayah berbeda dengan operator berbeda. Tanpa adanya jaminan akan kelangsungan komunikasi lintas operator dan lintas wilayah, maka suatu jasa layanan komunikasi dalam bentuk apapun tidak akan memberi arti lebih maupun nilai tambah kepada penggunanya, walau didukung oleh teknologi tercanggih sekalipun.

Diperlukan kesiapan dan kesediaan dari setiap operator penyelenggara jasa layanan telekomunikasi, khususnya dari operator yang masih dominan menguasai sebagian besar jaringan telekomunikasi di suatu negara (incumbent players), untuk membuka jaringannya terhadap operator lain guna dapat menyalurkan trafik komunikasi antar pelanggan.

Hambatan dalam bentuk keengganan operator membuka sarana interkoneksi dengan operator lain, hanya akan membuat perkembangan industri telekomunikasi jalan di tempat, karena akan mematikan potensi tingginya produktivitas pulsa yang dapat distimulus dari kemampuan komunikasi antar pelanggan lintas operator, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat perolehan ARPU. Bila hambatan semacam ini terjadi, maka upaya untuk membuka industri telekomunikasi ke arah pasar yang lebih bebas, sebagaimana upaya pemerintah melalui serangkaian deregulasinya, sia-sia belaka.


Implementasi

Tidak mudah untuk mengimplementasikan ke dua konsep tersebut dalam bentuk sinergi yang harmonis di suatu industri telekomunikasi yang telah lama memberlakukan sistem monopoli. Operator telekomunikasi yang telah sekian lama menikmati kenyamanan dan kemudahan dari kondisi monopoli tersebut, akan cenderung menolak untuk membuka jaringannya terhadap operator lain saat hak monopolinya telah dicabut. Berbagai upaya akan dilakukan untuk menghambat pertumbuhan operator-operator pendatang baru, dengan harapan agar tetap menjadi operator terbesar yang dominan dan menguasai pasar.

Bila kondisi semacam ini tidak ditangani, akan mengembalikan pasar telekomunikasi ke bentuk monopoli kembali. Hambatan terhadap pertumbuhan setiap operator pendatang baru, hanya membuat kehadiran operator-operator baru tersebut sebagai ‘pelengkap persyaratan’ saja bagi terciptanya kesan pembukaan pasar telekomunikasi ke arah yang lebih bebas, agar tidak digolongkan sebagai negara yang tidak mau berpartisipasi dalam proses globalisasi dunia, sebagaimana tuntutan organisasi perdagangan dunia (WTO) kepada negara-negara anggotanya.

Dalam hal ini peran suatu badan pengawas dan pengatur jalannya pelaksanaan setiap bentuk regulasi yang telah ditetapkan dalam rangka pembukaan pasar telekomunikasi yang lebih bebas, sangat diperlukan. Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan fungsinya selaku pengawas dan pengatur, tentunya badan tersebut harus bersifat independen, sehingga terhindar dari sikap keberpihakan terhadap operator tertentu. Badan inilah yang akan mencegah terjadinya upaya-upaya penghambatan maupun langkah-langkah kompetisi yang tidak sehat dari para operator besar (incumbent players).

Dengan demikian, diperlukan kehati-hatian dalam membuka pasar telekomunikasi Indonesia dan mensinergikan ke dua konsep tersebut pada aspek-aspek yang tepat, sehingga dapat menumbuhkembangkan industri telekomunikasi itu sendiri dan tidak mematikan para pemain didalamnya.

Penanganan yang tepat, adanya badan regulator yang benar-benar independen serta regulasi yang jelas arah tujuannya, akan membuat industri telekomunikasi tumbuh berkembang dengan tetap memberi layanan terbaik bagi konsumennya, tanpa perlu terperangkap dalam sistem kanibalisme dan saling memakan satu dengan lainnya. Diperlukan suatu tatanan dan program yang jelas dari pemerintah dalam hal ini, sebagaimana dapat dicontoh dari beberapa negara yang telah lebih dulu sukses membuka pasar telekomunikasinya.


prepared by PriMora B Harahap

23 April 2003

Tidak ada komentar: