Pesta Demokrasi hampir menjelang. Hari-hari di masa tenang ini saya gunakan untuk mencerna kembali semua informasi yang saya tangkap saat masa kampanye berselang. Sungguh saya tetap merasa tidak pasti dan tidak yakin tatkala mencoba menilai partai dan caleg mana yang kiranya dapat saya percayakan untuk mewujudkan, tidak hanya harapan saya sebagai bagian dari rakyat negeri ini, namun juga nasib dan masa depan bangsa ini ke depan.
Bukan perkara mudah memang untuk menentukan pilihan pada Pemilu kali ini. Menyimak demikian banyak jumlah partai yang bertarung. Jejeran foto-foto ribuan caleg. Umbaran janji-janji muluk para caleg, juru kampanye maupun para petarung kursi pemimpin bangsa.
Terasa betapa kampanye yang baru lalu telah menjejalkan masyarakat pemilih dengan begitu banyak informasi mengenai janji, gerakan dan aksi politik yang menyisakan kebingungan. Sungguh sesak dan kacau.
Masa kampanye saat ini memang agak berbeda dengan periode sebelumnya. Perubahan system pemenangan dari nomer urut menjadi perolehan suara terbanyak telah menimbulkan tidak saja kampanye biaya tinggi (sebagaimana telah coba saya kupas dalam tulisan saya bertajuk : Kampanye – Investasi VS ROI), namun juga fenomena perubahan aksi kampanye para caleg dan partai yang bertarung. Pada kampanye kali inipun, kita temukan ‘’gaya kampanye’’ baru para caleg, yang menyertakan ‘’pendamping’’ berupa tokoh masyarakat, figur publik, pemuka agama, pejuang bangsa di masa silam, bahkan hingga anak, ayah, paman, bibi, cucu, aa, teteh, uak, kakek, nenek… dan kalau perlu pemimpin dari negara lain yang tidak ada hubungannya sama sekali (baik hubungan politik apalagi hubungan darah) dengan sang caleg.
Beragam jenis poster kampanye, mulai dari yang masih bisa dicerna oleh akal sehat hingga yang tidak masuk akal, seperti penyertaan tokoh hero dari negeri dongeng anak-anak, tersebar di penjuru negeri ini. Semua cara ditempuh, hanya dengan satu tujuan, mendongkrak dan mengerek popularitas setinggi langit agar dapat terpilih dan merebut ‘’kursi’’ impian. Seakan semua rela ‘’jual diri’’, walau dengan cara teramat konyol sekalipun, demi menenangkan tiket jabatan empuk.
Sulit untuk dicerna. Popularitas siapapun akan dijadikan ‘’kendaraan’’ untuk meningkatkan popularitas dirinya sendiri. Tak perlu ada hubungan sebab-akibat, tak penting ada korelasi atau tidak, bahkan acap tanpa menyertakan program yang akan diusung dan diperjuangkannya. Tak perduli, apakah status keartisan sang anak dapat mencerminkan kompetensi dan integritas sang caleg. Atau apakah ‘’sang hero dunia khayalan’’ dapat membuktikan keperkasaan sang petarung. Tak penting juga apakah sudah diperoleh lisensi atas ‘’penggunaan’’ nama sejumlah pejuang bangsa dan pemimpin negara adidaya. Itu semua tidak lagi penting. Yang penting saat ini adalah : Persepsi dan Popularitas !! Persepsi bahwa sang caleg tentu ‘’hebat’’ karena ‘’didukung’’ oleh orang yang hebat dan populer.
Tidak hanya tingkah polah para caleg yang mengalami ‘’pergeseran’’. Aksi politik di tingkat partai juga terlihat banyak mengalami ‘’penyimpangan orientasi’’. Pergerakan dan pernyataan yang terkesan ‘’plin-plan’’, mudah berubah, kerap ditemui disepanjang masa kampanye yang baru lalu. Sulit ditemui partai yang konsisten dengan aksi politiknya. ‘’Pendekatan pra-koalisi’’ berselubung dalih ‘’Silaturahmi’’ acap dijajaki sejumlah partai untuk memperbesar perolehan dukungan. Bak kutu loncat dan lintah yang meloncat-loncat serta menempel-nempel ke sana-sini, tergantung siapa yang terlihat memberi peluang lebih besar untuk membuka jalan menuju tampuk kekuasaan lebih tinggi, tergantung siapa yang memiliki ‘’daya dan pesona’’ untuk dapat dijadikan kendaraan karir politik. Bagai penumpang di kapal goyah, semua sibuk mencari tiang pegangan untuk menyelamatkan diri masing-masing, tidak yakin akan kekuatan kapalnya. Tidak terlihat adanya kejelasan sikap.
Melihat semua ‘’adegan’’ di pentas politik tersebut, tak pelak timbul kesan bahwa memang telah semakin terjadi penyimpangan orientasi di negeri ini. Orientasi kebangsaan, nasionalitas dan kerakyatan yang telah menjadi kiblat para pejuang bangsa di masa lalu, kini telah berubah menjadi orientasi peraihan kekuasaan semata.
Namun, mengapa ajang pencarian popularitas semakin fenomenal di saat ini?
Semua ini tak lain dan tak bukan, dikarenakan setiap caleg, partai bahkan kandidat pemimpin bangsa Tidak Percaya Diri (PD) atas kemampuan dan program mereka sendiri. Sebagian besar caleg yang bertarung, tampak sangat tidak PD atas kompetensi dan kredibilitas yang mereka miliki. Rendahnya rasa percaya pada kemampuan diri sendiri ini membuat mereka merasa sulit dan ciut nyali untuk dapat meyakinkan konstituennya. Sehingga merekapun memerlukan alat bantu dongkrak untuk mengerek popularitas dan namanya.
Mengapa mesti demikian? Mungkin karena pada kenyataannya selama ini mereka tidak pernah menunjukkan dan membuktikan kemampuan dan kredibilitasnya di lingkup masyarakat. Sejatinya karakter, kompetensi, kredibilitas dan integritas seseorang tidak mungkin dibentuk hanya dalam sekejap saja. Perlu proses dan waktu lama bagi seseorang untuk membuktikan segala keunggulan dirinya.
Sebaliknya, seseorang tidak perlu bersusah-payah membuktikan diri bila memang telah memiliki karakter, kompetensi, kredibilitas dan integritas yang teruji. Semua itu pasti telah tercermin pada sikap, perilaku maupun kesehariannya dalam hidup bermasyarakat. Rakyat sekitar lingkungan kehidupan dan aktivitasnya akan telah merasakan dan membuktikan sendiri kualitas sang caleg bila memang sejak lama telah memiliki kompetensi yang unggul dan menunjukkan kemampuan berempati yang terasah.
Berlian akan tetap dapat terlihat sinarnya, walau terbenam dalam lumpur sekalipun. Dan proses pembuatan berlian memang bukan proses instant. Perlu ribuan tahun untuk mendapatkan sebutir berlian yang sangat berkualitas. Sedangkan kaca, walaupun dipoles sedemikian rupa hingga ‘’menyerupai’’ tampilan berlian, tetap pada akhirnya akan mengusam, tak lagi bercahaya.
Demikian halnya dengan para caleg dan partai. Bila memang yakin akan kemampuan diri sendiri, tentu tidak perlu terlihat panik, kalap dan kalang kabut mengupayakan segala daya dan cara untuk ‘’menjual diri’’. Ketidakjelasan sikap yang akhir-akhir ini kian kerap ditunjukkan oleh sejumlah partai, semakin menunjukkan bahwa partai-partai itu sendiri tidak terlalu yakin apakah ‘’program indah’’ dan ‘’janji muluk’’ jualannya dapat meyakinkan masyarakat pemilih akan citra dan persepsi keseriusan dan keberpihakan pada nasib rakyat dan masalah bangsa, yang dibangunnya pada bulan-bulan sebelum kampanye.
Menyimak program dan janji yang mereka umbar di atas pentas, memang belum terlihat program yang disertai dengan detil rencana yang matang. Semua baru sebatas program. Sekedar janji muluk. Tanpa kejelasan bagaimana mereka akan mewujudkannya. Tanpa prioritas apa yang akan didahulukan.
Akankah mereka dapat benar-benar mewujudkan semua program dan janji yang telah terlontar di panggung kampanye? Bagaimana pembeli dapat yakin akan ‘’dagangan’’ dari penjual janji yang tampak tidak PD dengan ‘’mutu jualannya’’?
-PriMora Harahap-
8 April 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar