Pemilu di republik ini kerap digaungkan sebagai sebuah Pesta Demokrasi. Sehingga laiknya orang akan berpesta, setiap petarung yang laksana among tamu dalam pesta ini tentu telah mempersiapkan diri berdandan semaksimal mungkin demi menarik perhatian para tamu yang akan hadir di saat puncak perhelatan nanti. Terlebih lagi ajang pemilu di negeri ini lebih mirip ajang kompetisi ataupun kontes-kontes yang semakin marak mengisi acara di stasiun-stasiun televisi ketimbang sebuah ajang sakral yang akan menentukan nasib bangsa. Sehingga sebagai sebuah ajang kompetisi, para kontestanpun berupaya tampil semenarik mungkin untuk dapat mengambil hati para pemirsa.
Dalam ajang lomba-lomba yang sedang menjadi tren di pelbagai stasiun televisi, kemenangan ditentukan oleh hasil ‘’voting’’ jumlah perolehan SMS pemirsa dan bukan oleh hasil penilaian juri yang memang berkompeten di bidangnya. Sehingga tak jarang sering terjadi kontestan yang lebih berkualitas dan berkompeten dalam bidang yang dilombakan justru tidak keluar sebagai pemenang. Bahkan kerap terjadi juri yang hanya bertugas sebagai komentator merasa kecewa atas hasil pilihan pemirsa. Namun mereka tak berdaya untuk mengubah hasil karena kemenangan berdasarkan pilihan pemirsa.
Demikian pula halnya dengan Pemilu, dimana kemenangan ditentukan oleh ‘’voting’’ jumlah perolehan contrengan. Sehingga hasil penilaian masyarakat sebagai ‘’pemirsa’’ sejumlah poster yang terpampang di tepi-tepi jalan, maupun iklan-iklan politik yang tayang hampir setiap hari, cenderung lebih didasarkan pada tampilan dan umbaran janji semata.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bagaimanapun kesan pertama akan sebuah produk sangat dipengaruhi oleh apa yang pertama kali secara kasat mata dapat terlihat oleh publik ataupun konsumen. Kemasan yang indah inilah yang akan menjadi daya tarik pertama bagi konsumen.Tampilan yang menariklah yang akan menjadi pertimbangan awal bagi pemirsa. Namun, sebuah produk yang tidak memiliki kualitas lambat laun akan ditinggalkan konsumen, karena bagaimanapun isi yang berkualitaslah yang menjalankan fungsi memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Bukan kemasan yang pada akhirnya akan dibuang.
Dalam dunia pemasaran, sebuah produk dengan jenis, kandungan, fungsi dan manfaat yang sama, bila dikemas dengan berbeda memang dapat menghasilkan tingkat penjualan yang berbeda. Bahkan kerap dijumpai, produk yang lebih berkualitas namun terbungkus dalam kemasan yang kurang menarik cenderung tidak selaku produk berbalut kemasan menawan walaupun dengan mutu di bawah standar.
Impresi pertama melalui kemilau kemasan ataupun tampilan memang sangat menentukan. Konsumen akan tergiur untuk membeli dan mencoba produk dengan kemasan nan indah. Bila menjumpai kenyataan bahwa kualitas produk yang dipilih tidak sesuai dengan harapannya, biasanya konsumen tidak akan melakukan pembelian kembali terhadap produk tersebut. Sehingga hanya ‘’bad experience’’ yang dapat membuat konsumen menghentikan pembeliannya terhadap sebuah produk.
Pengalaman pahit (‘’bad experience’’) memang hanya terasa saat konsumen telah mencoba sebuah produk. Namun hal itu dapat dihindari dengan mencari tahu kualitas produk dari para pengguna sebelumnya.
Pada ajang kontes di televisi, pemenang yang di kemudian hari terbukti tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan, ‘’hukumannya’’ telah jelas. Seiring berjalannya waktu, sang pemenang yang hanya mengandalkan ‘’jualan’’ penampilan menawan & raihan simpati pemirsa, perlahan akan hilang tergilas mekanisme pasar. Sebuah hukuman yang langsung menimpa sang pelaku sebagai produk kontes tsb.
Untuk sebuah produk konsumsi yang hanya menawarkan keindahan kemasan semata, tanpa disertai dengan kualitas produk yang terjaga, ‘’hukumannya’’pun jelas, yaitu penurunan tingkat pembelian produk, yang bila tidak segera dibenahi dapat berujung pada kebangkrutan produsen penghasil produk tersebut.
Namun sungguh naas, pada tataran Pemilu, ‘’bad experience’’ dari kesalahan memilih kandidat yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas, terpulang kembali kepada masyarakat pemilih. Sementara sang wakil rakyat dan pengelola negara, sebagai produk hasil pemilu, seringkali justru tidak merasakan dampak kepahitan apapun dari ketidakmampuan dan ketidakbecusannya.
Celakanya, ‘’hukuman’’ akibat salah pilih masyarakat yang memberi kemenangan bagi para caleg / kandidat pengelola negara dengan hanya menilai tampilan dan popularitas semata, justru menghancurkan masa depan bangsa. Bukan partai selaku ‘’produsen’’ penghasil caleg dan kandidat.
Rakyatlah yang merasakan dampak pahit akibat salah pilih saat pemilu, yang tidak mustahil akan berujung pada ‘’kebangkrutan’’ negara dan merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat.
Dampak yang dihasilkan akibat salah pilih dalam pemilu, tidak dapat dihentikan dengan seketika, sulit untuk dibenahi dengan segera, karena ‘’kebobrokan system’’ telah berjalan, sedikitnya dalam 5 tahun mendatang. Sungguh sebuah ‘’pengorbanan’’ waktu yang tidak sebentar dan pertaruhan rusaknya masa depan bangsa akan menghadang bila rakyat salah menentukan pilihan, memberi kepercayaan untuk mewakili harapannya dan pengelolaan seluruh kekayaan negara pada mereka yang tidak terbukti berkualitas.
Bila diresapi lebih dalam, sejatinya tugas dan tanggungjawab seorang wakil rakyat, pengelola dan pemimpin negara tidaklah ringan. Setelah keriaan dan eforia Pesta usai, maka sang wakil rakyat maupun pejabat terpilihpun harus sudah bersiap dengan serentetan tugas mengelola negara berikut seluruh sumber daya di dalamnya, baik berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Sepanjang 5 tahun masa baktinya, para wakil rakyat dan pengelola negara tidak cukup sekedar menghadiri rapat demi rapat, mengisi daftar absensi, sebagai formalitas pemenuhan kewajiban saja. Berbagai rancangan undang-undang yang harus dikaji, ditelaah dan diputuskan demi sebesar-besar kemakmuran rakyat membutuhkan kemampuan yang sangat mumpuni.
Popularitas sebagai kemasan berkilau semata tidak cukup untuk dapat menggodok dan memecahkan semua persoalan negara yang sangat kompleks. Seorang wakil rakyat dan pejabat negarapun dituntut untuk cepat tanggap dalam setiap situasi yang dihadapinya, memiliki empati serta integritas yang tinggi agar dapat menghasilkan solusi yang terbaik bagi seluruh rakyat negeri ini.
Dengan demikian seyogyanya seorang wakil rakyat, pengelola terlebih pemimpin negara dituntut untuk tidak sekedar memiliki penampilan yang sedap dipandang mata (Outer Beauty), tapi yang lebih penting adalah memiliki IQ, EQ dan SQ (Inner Beauty) yang sudah teruji, agar benar-benar mampu menjalankan seluruh tugas dan tanggungjawab yang diamanatkan rakyat kepadanya.
Pada ilmu pemasaran dikenal istilah ‘’Branded Product’’. Brand adalah sebuah janji yang diberikan kepada konsumen bahwa produk yang ditawarkan adalah produk yang terjamin mutunya, dapat memenuhi harapan konsumen yang tinggi sehingga layak untuk dipilih dan dihargai cukup mahal. Sehingga Branded Product kerap dijual pada harga premium karena nilai tambah yang diberikannya.
Sejatinya diperlukan serangkaian proses panjang untuk menghasilkan sebuah produk unggulan, apalagi bila masuk dalam kategori Branded Product. Mulai dari proses penelitian dan pengembangan (R&D), pemahaman akan kebutuhan dan harapan konsumen, inovasi dan pengayaan produk dengan berbagai nilai tambah, hingga proses produksi itu sendiri.
Bila sebuah produsen tidak dapat memberi jaminan mutu dan nilai tambah, maka tidak perlu bersusah payah mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan serangkaian upaya menciptakan dan mengembangkan Brand. Cukup menjual saja produknya sebagai komoditas dengan harga standar.
Gedung Dewan dan Istana dimana para wakil rakyat dan pemimpin negara akan bertugas merupakan sebuah tempat yang diagungkan oleh bangsa ini. Jabatan yang mereka sandang merupakan jabatan yang bergengsi dan terhormat, yang menjadi Brand tersendiri bagi penyandangnya. Tak heran begitu banyak orang berlomba mengejar jabatan ini. Gaji yang mereka terimapun tidak dapat dikategorikan pada gaji pegawai biasa, yang sungguh jauh di atas tingkat UMR. Belum lagi berbagai tunjangan yang mereka terima. Seluruhnya dibayar dari uang rakyat, melalui pajak yang dipungut pengelola negara.
Dengan demikian, para wakil rakyat dan pemimpin negara terpilih dapat dikategorikan sebagai sebuah Branded Product. Sebagai Branded Product yang digaji (‘’dihargai’’) mahal, seluruh wakil rakyat dan pengelola negara ini wajib untuk memenuhi tidak sekedar kebutuhan, tapi juga keinginan dan harapan rakyat selaku ‘’konsumen’’ yang telah memilih (‘’membeli’’) mereka pada ajang Pemilu, dengan biaya penyelengaraan berasal dari uang rakyat. Sebagai Branded Product, mereka harus mampu merumuskan perundangan, menelurkan kebijakan dan mewujudkan program yang memberi nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat di negeri ini.
Dalam konteks Pemilu, para caleg dan kandidat sudah ‘’diproduksi’’. Sebagaimana produk berkualitas, sejatinya kualitas diri seseorang tidak dapat dibangun dalam sekejap, hanya dengan polesan di sana-sini. Sehingga tugas masyarakat pemilihlah untuk menjalankan fungsi Quality Control (QC) guna memastikan bahwa caleg dan kandidat terpilih adalah manusia-manusia unggulan yang sudah melewati serangkaian proses tempaan. Apakah itu berbentuk latar belakang pendidikan, wawasan dan pengalaman, empati yang terasah, kredibilitas dan integritas diri yang tercermin dalam keseharian dan tindakan nyata di sepanjang kiprah kehidupannya.
Sangatlah penting bagi rakyat negeri ini untuk segera mencari tahu lebih dalam kualitas setiap caleg maupun kandidat yang akan dipilihnya agar terhindar dari pengalaman pahit dan kebangkrutan negara.
-PriMora Harahap-
17 Maret 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar