Kamis, 26 Maret 2009

Sekedar Perbandingan - Tourism Marketing for Indonesia Recovery

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan terdahulu dengan judul Tourism Marketing for Indonesia Recovery, yg juga telah saya selesaikan di bulan Jan 2006. Saya postingkan kembali di blog ini untuk sekedar berbagi.

Menyambung dan memenuhi janji saya, berikut ini saya akan coba berbagi beberapa contoh pengamatan saya di beberapa obyek pariwisata yg pernah saya kunjungi. Saya akan upayakan untuk lebih membahas sisi marketingnya (dibanding pembahasan terdahulu yg lebih bersifat umum).

Pada tahun 2004 lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti kursus musim panas (summer course) di Prancis. Ketika mengetahui hal tsb, saya langsung datang mencari informasi ke Edu-France (sebuah departemen yg khusus mengurus masalah edukasi yg bernaung di bawah kedutaan Prancis). Saat saya mengutarakan maksud saya, mereka langsung memberikan sebuah booklet berisi informasi mengenai berbagai universitas (mayoritas adalah universitas negri / state university) di seluruh Prancis yg mengadakan program summer course, sehingga dengan mudah saya dapat memilih sesuai yg diminati.

Sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mempelajari bahasa Prancis bagi orang-orang yg berasal dari negara-negara bukan penutur bahas Prancis, maka program summer course tsb memberikan penekanan utama pada pelajaran bahasa Prancis. Namun uniknya adalah setiap universitas juga menawarkan program ekstrakurikuler yg berbeda satu dengan lainnya (biasanya dikaitkan dengan spesifikasi dari wilayah dimana universitas tsb berada). Dan program ekstrakurikuler tsb diberikan secara gratis (alias tidak perlu biaya tambahan lagi). Surprise!!! Tentunya saya sangat senang, karena yg semula hanya berharap dapat memperoleh tambahan ilmu ttg bahasa Prancis, ternyata saya bisa mendapatkan tambahan ilmu lainnya. Cukup bingung dalam memilih (karena semua program yg ditawarkan sangat menarik). Akhirnya saya memilih untuk mengambil summer course di l'université d'Avignon - sebuah universitas negri di Avignon (sebuah kota kecil di selatan Prancis). Kenapa saya memilih di Avignon? Terus terang saya memilih di sana hanya karena universitas tsb menawarkan ekstrakurikuler praktek teater (kebetulan saya cukup menyenangi bidang seni (art) dan saya pikir kalau kita mau cepat fasih menguasai suatu bahasa maka harus sering dan aktif menggunakan bahasa tsb, dan tentunya program latihan teater akan melatih kita untuk aktif berbicara). Tapi the truth saat saya memutuskan hal tsb, saya sama sekali tidak tahu dimana persisnya keberadaan kota Avignon (selain di wilayah Prancis tentunya).

Awalnya saya kira hanya saya yg tidak mengetahui dimana lokasi Avignon, ternyata beberapa teman saya di sini pun tidak mengetahuinya. Mereka umumnya hanya tahu kota-kota yg cukup besar seperti Paris, Marseille, Lyon dll. Dan mereka sangat heran kenapa saya nekat ambil kursus di kota yg saya belum kenal persis. Jadi saat itu sambil tersenyum saya hanya mengatakan 'in the middle of no where'.

Kenapa saya cukup nekat mengambil kursus di kota yg belum saya tahu lokasinya? Karena saya cukup yakin bahwa program summer course tsb diselenggarakan dgn baik, dan terorganisir sehingga saya tidak akan mengalami kesulitan di sana. Keyakinan ini tumbuh sejak pertama saya bertandang ke Edu-France. Bantuan yg mereka berikan, baik berupa pemberian informasi ke saya, maupun memberikan informasi mengenai pendaftaran / keikutsertaan saya ke pihak universitas di Avignon, tatacara pembayaran, membantu memberi informasi mengenai pencarian dan penyewaan akomodasi selama di sana (mengingat saya tidak punya saudara atau kenalan satupun di kota itu, tentunya saya harus yakin benar mengenai hal ini), serta pengurusan visa (yg ditangani langsung oleh Edu-France, tanpa saya harus datang sendiri ke kedutaan Prancis). Saya cukup memberitahu jenis dan jadwal kursus yg saya pilih, memesan tiket pulang pergi (via travel biro), melakukan pembayaran dimuka (down payment) via transfer bank ke pihak universitas maupun pengelola residensial yg saya pilih (sisa pembayaran dapat dibayar tunai di tempat) dan memberikan seluruh dokumen tsb ke Edu-France. Selanjutnya tinggal tunggu beres!! Benar-benar sangat menolong. One Stop Service!!!

Tibalah saya di Avignon di akhir bulan Juni. Saya merencanakan untuk menetap di kota itu hingga minggu pertama Agustus (sekitar 1,5 bulan). Kota kecil yg sangat cantik di selatan Prancis (mungkin hanya sebesar Bogor atau bahkan lebih kecil lagi), dengan lokasi lebih ke arah kaki pegunungan little Alpe, belum mengarah ke wilayah pantai seperti kota-kota di selatan Prancis lainnya. Udaranya cukup sejuk (bahkan di musim panas sekalipun). Bersih dan teratur. Tidak ada sampah yg menggunung. Tanpa para pedagang kaki lima yg membuka lapak sembarangan dan mengambil badan jalan. Bebas dari suasana parkir 'gelap' yg semrawut. Dengan trotoar bagi pejalan kaki. Sangat nyaman untuk sekedar berjalan kaki sekalipun. Siapa bilang di negara maju sekalipun tidak ada kios-kios kecil? Ada!! Tapi tetap tertata dengan rapi dan tertib. Sama sekali tidak mengganggu pejalan kaki.

Penduduk kota tsb hanya hidup dari agribisnis dan berkesenian. Tidak ada industri berat. Dan saat saya berada disana, sedang berlangsung festival teater selama sebulan penuh (yg ternyata merupakan kalender tahunan kota itu - resmi diselenggarakan oleh pemerintah setempat). Itu sebabnya universitasnya menawarkan program praktek teater sebagai ekstrakurikuler.

Terlihat Pemerintah setempat sungguh-sungguh menggarap dengan sangat serius penyelenggaraan festival teater tahunan tsb. Setiap hari bisa ada 30-an pertunjukan teater yg dimainkan oleh artis-artis yg sudah punya nama maupun sanggar-sanggar kesenian lokal. Setiap sudut kota kecil tsb bisa dijadikan panggung pementasan teater dadakan. Baik di lingkungan universitas, maupun di pusat kota (down town) yg merupakan kota kecil dengan jalan yg masih berbatu-batu), entah di taman, di berbagai café kecil maupun di pelataran Palais des Papes (tempat kediaman beberapa Paus - saat sempat pindah dari Vatikan). Sangat terasa bahwa pemerintah setempat menyadari kekuatan dan keunggulan sumber daya di kota tsb, baik sumber daya alam maupun manusianya yg berjiwa seni tinggi dan romantis. Dan festival ini ternyata tidak hanya diadakan untuk lingkup lokal Prancis saja, tapi dioptimalkan hingga ke seantero Eropa. Sehingga banyak sekali seniman dari berbagai negara di Eropa datang untuk berpartisipasi dalam festival ini. Sebuah perhelatan (event) lokal di kota kecil yg ditangani secara luar biasa!!!

Kembali ke program yg diselenggarakan oleh pihak universitas. Ketika berangkat dari Jakarta, saya sudah tahu (berdasarkan informasi yg saya peroleh dari brosur maupun Edu-France) bahwa saya akan mendapat kursus dalam bidang bahasa Prancis dari pagi hingga siang hari, ditambah ekstrakurikuler praktek teater di sore hari. Sehingga saya sudah meminta multiple entry visa agar bisa keluar-masuk berjalan-jalan ke berbagai negara sekitar di akhir pekan. Lalu apa yg saya dapati ketika saya sudah memulai jadwal kursus tsb?

Kejutan ke-2!! Benar-benar Surprise!! Pada hari pertama kelas dimulai, kami langsung diberi jadwal sebulan penuh (hingga kursus berakhir). Seperti yg sudah saya ketahui, dari hari Senin - Jum'at selalu ada kegiatan dalam kelas. Pagi hingga menjelang sore, belajar bahasa Prancis kemudian sore hari dilanjutkan dengan praktek teater (yg diajarkan oleh guru khusus yg memang mempunyai spesialisasi di bidang perteateran, jadi berbeda dengan guru yg khusus mengajarkan bahasa). Namun, ternyata disetiap akhir pekan, sudah disiapkan program wisata (boleh dibilang semacam study wisata) keliling kota Avignon maupun provinsi cote d'Azur - tempat dimana kota Avignon bernaung, untuk mengunjungi berbagai obyek wisatanya. Ditambah dengan program melihat beberapa pertunjukan teater (sepanjang jadwal kursus selama sebulan di sana, kami diajak melihat 9 pertunjukan teater). Dan semua program itu diberikan Gratis!!! Lengkap dengan bus turis khusus untuk kami dan guide / pemandu yg akan memberi penjelasan mengenai obyek-obyek wisata yg dikunjungi. Tanpa ada biaya tambahan sedikitpun, kecuali setiap peserta diminta membawa makan siang sendiri.

Dengan demikian, melalui program summer course ini pemerintah setempat sekaligus mengenalkan kebudayaan setempat maupun obyek-obyek wisatanya. Mereka mestinya mengadakan hal ini dengan sudah sangat menyadari dan mempertimbangkan Domino Effect dari setiap peserta, Power of Mouth yg dapat menjadi salah satu Promotion Channel yg ampuh bagi daerah mereka. Dan rasanya setiap peserta akan kembali ke negara masing-masing(mengingat kelas yg dibuka adalah international class yg hanya boleh diikuti oleh peserta-peserta yg bukan berasal dari Prancis) dengan membawa kepuasan dan kesan yg manis akan program maupun kota tsb. Tentunya setiap orang yg merasa puas akan dengan sukacita menceritakan pengalaman manisnya kepada orang lain.

Sudah tentu, biasanya Emotional Promotion (yg disebarkan berdasarkan cerita / testimonial dari orang yg sudah pernah mengalami sendiri) akan jauh lebih ampuh ketimbang sekedar berpromosi via brosur (CMIIW). Tingkat kepercayaan orang biasanya tidak langsung 100 % bila hanya membaca info di brosur,dan akan cenderung berpikir: "namanya juga jualan, pasti ditulis yg bagus2lah, biar laku... Namanya juga usaha kan...". Beda bila info tentang keindahan suatu daerah ataupun bagusnya sebuah program didapat dari testimonial orang yg sama sekali tidak berkepentingan untuk berjualan, sebuah testimonial akan Customer Satisfaction.

Sabtu di akhir pekan pertama, kami diajak mengunjungi Palais des Papes atau Palace of Popes (salah satu obyek wisata di kota Avignon). Tempat itu cukup terkenal di wilayah Eropa. Karena tempat itu merupakan tempat (kastil) dimana beberapa Paus sempat berkediaman di situ (sebelum dikembalikan lagi ke Vatikan di Italy). Namun ternyata belum banyak yg mengetahui tempat ini - setidaknya di Indonesia - atau mungkin juga di beberapa negara di luar Eropa. Saya sendiri memang bukan penganut agama Katolik, sehingga tidak mengetahui tempat ini sebelumnya. Tapi ternyata beberapa teman saya di sini yg beragama Katolik pun tidak mengetahui keberadaannya. Rasanya inilah yg disasar oleh pemerintah setempat, untuk menyebarluaskannya ke negara-negara di luar Eropa, sehingga diharapkan banyak warga dunia yg mengetahuinya dan kemudian datang berkunjung. Palais des Papes sendiri lebih merupakan bangunan tua bersejarah.

Seperti kebanyakan bangunan peninggalan jaman lampau, Palais des Papes terbuat dari batu2 bata besar khas jaman lampau. Bentuk bangunannya biasa saja, namun cukup luas. Yg pasti didalamnya sarat dengan informasi mengenai sejarah masing-masing Paus yg sempat berkediaman di tempat itu. Lengkap dengan gambar, maket bangunan (tidak sekedar maket tampak luar, tapi benar-benar memberikan gambaran mengenai satu persatu ruangan maupun kamar setiap Paus berikut dengan penjelasannya), dilengkapi earphone bagi para pengunjung perorangan yg tidak membawaserta tour guide untuk tetap mendapat penjelasan (dalam berbagai pilihan bahasa Eropa) mengenai tempat tsb. IMHO, terlepas dari nilai sejarahnya yg tentunya sangat bernilai, sebenarnya dari segi bangunan tidak terlalu istimewa. Saya sempat berpikir, mestinya banyak bangunan bersejarah semacam itu di Indonesia yg bisa dikelola, dioptimalkan dan dipublikasikan dengan baik sebagai obyek wisata. Misalnya tempat-tempat kediaman para walisongo. Tapi tentunya harus dijaga kebersihannya maupun kenyamanan lingkungan sekitarnya (seringkali tempat2 wisata di Indonesia dipenuhi dengan pengemis yg terkadang bersikap sangat memaksa terhadap pengunjung, membuat orang enggan berkunjung). Sepanjang berlangsung festival teater, pelataran Palais des Papes sering dijadikan panggung penyelenggaraan pertunjukkan teater.

Hari minggu kami mengunjungi kebun anggur, plus melihat proses pembuatan anggur dan berakhir dengan peserta boleh mencicipi cita rasa bermacam ragam anggur (wine tasting). Lengkap dengan brosur berisi penjelasan lebih lanjut. Bahkan salah satu perkebunan anggur, memiliki museum anggur. Apa yg istimewa? Kebun anggur biasanya berada di pinggiran kota / pedesaan. Biasanya kebun-kebun anggur sudah dimiliki secara turun-temurun oleh suatu keluarga, sehingga mereka membentuk desa sendiri. Lokasi / desa maupun proses pembuatan anggur tsb biasa saja sebetulnya. Sama halnya seperti kebun-kebun teh / kopi serta proses pembuatannya. Just a process!!! Namun beberapa perkebunan yg cukup besar telah melengkapi areanya dengan museum yg memajang berbagai jenis peralatan perkebunan maupun jenis anggur sejak jaman dahulu.

Tapi kenapa mereka bisa mengemas proses tsb menjadi sebuah obyek pariwisata? Bagaimana dengan Indonesia?? Dimana banyak dan beragam sekali hasil kebun yg dihasilkan? Rasanya belum terlalu dioptimalkan sebagai obyek wisata (CMIIW). Padahal teh maupun kopi yg banyak terdapat di Indonesia merupakan minuman universal yg bahkan lebih membudaya di negara-negara maju (baca: barat, red) yg sudah terbiasa dgn tea time maupun coffee time di sore hari. IMHO, seharusnya bisa dikemas menjadi sesuatu yg bernilai jual tinggi. Lalu kenapa kita tidak mencoba mengemas paket tea tasting ataupun coffee tasting secara menarik? Tentunya lagi-lagi harus diperhatikan benar isi dari paket tsb, dengan tetap memasukkan unsur-unsur budaya lokal setempat yg unik dan menarik, serta menjaga kebersihan lingkungan yg dikunjungi maupun kelengkapan fasilitas penunjang di wilayah pariwisata tsb.

Di pekan berikutnya, kami Fountaine de Vauclause. Dengan bus khusus kami pergi ke tempat itu. Ternyata yg kami kunjungi adalah sumber mata air (di dalam gua kecil) yg mengalir menjadi sungai besar. Bus hanya bisa parkir di tempat yg disediakan, selanjutnya pengunjung mesti berjalan kaki (menanjak) ke tempat mata air tsb (dilihat dari atas gua). Sepanjang kiri dan kanan pelataran parkir, banyak terdapat kios-kios kecil yg menjajakan makanan / minuman maupun souvenir. Tapi lagi-lagi lingkungan tetap terjaga bersih! Kios-kiospun berderet rapi! Setiap kios tsb harus berjarak sekian meter dari pinggir sungai, sehingga pengunjung tetap dapat duduk di tepi sungai sambil mencelupkan kakinya ke dalam air sungai yg dingin. Sayapun ikut berjalan ke arah sumber mata air. Sepanjang perjalanan ke atas, terdapat banyak gambar dan penjelasan mengenai sejarah tempat wisata tsb. Sumber mataairnya sendiri biasa saja. Didalam gua kecil yg cukup terbuka. Orang dapat turun ke sana kalau mau.

Kembali terlepas dari nilai sejarahnya, sama sekali tidak terlalu istimewa. Banyak sumber mata air yg lebih menakjubkan di Indonesia ini, yg berada dalam gua terbuka maupun yg benar-benar tertutup di dalam perut bumi, lengkap dengan stalaktit dan stalakmit yg mengagumkan, seperti di gua Batujajar dsb. Sungai yg terbentuk dari aliran mata air di Fountain de Vauclause tsb pun sangat jernih! Tidak ada satu sampahpun tampak mengambang di sana. Padahal begitu banyak sungai-sungai besar mengalir di Indonesia, yg belum tertangani dengan baik. Lagi-lagi, kesan yg saya dapatkan adalah pemerintah setempat sangat serius dan jeli mengangkat, menangani, mempublikasikan obyek wisata tsb. Sementara di Indonesia biasanya selalu terkesan asal jadi, ala kadarnya (CMIIW).

Keindahan obyek wisata di sana diikuti pula dengan sudah tumbuhnya kesadaran masyarakat setempat untuk menjaga dan memelihara lingkungannya termasuk, termasuk dalam hal budaya menjaga kebersihan. Dan seperti juga di tempat obyek-obyek wisata lainnya, dengan mudah ditemukan brosur bahkan buku-buku berisi foto-foto dan penjelasan mengenai obyek wisata setempat, dalam berbagai bahasa, sehingga memudahkan bagi wisatawan untuk mendapatkan informasi dan mengerti sejarah obyek yg dikunjungi sekaligus mendapatkan foto-foto berkualitas photografer profesional didalamnya sebagai kenang-kenangan (mengingat tidak semua orang memiliki keahlian dalam photography sehingga mengkhawatirkan hasil dari pengambilan fotonya).

Begitupula halnya ketika kami diajak mengunjungi Village des Bories di Gordes. Sebuah desa kecil peninggalan jaman lampau yg masih berisi rumah2 yg terbuat dari susunan batu (dengan bentuk rumah-rumah kecil seperti iglo orang eskimo - namun terbuat dari batu). Beberapa rumah bisa kami masuki dengan cara merunduk (karena rumah-rumah tsb sangat rendah), dan didalamnya kami bisa melihat peralatan / perkakas yg digunakan oleh penghuninya dulu. Di area tsb pun terdapat semacam museum kecil. Semua tertata apik, disertai dengan informasi yg lengkap.

Berikutnya kami berkunjung ke Nimes, dengan Pont du Gard dan Fountain Garden. Wilayah yg juga sering dijuluki juga The "French Rome". Di daerah ini terdapat tali air (pengaliran air) yg dibuat oleh penguasa Romawi. Di Pont du Gard terdapat museum yg sangat menakjubkan (khususnya buat ukuran saya yg boleh dibilang tidak menemukannya di Indonesia). Museum tsb menerangkan hal ihwal pembangungan tali air tsb. Namun dilengkapi dengan guide yg bisa menerangkan sejarahnya, serta berbagai fasilitas teknologi informasi yg sangat membantu, seperti earphone untuk mendapat penjelasan dalam berbagai bahasa, layar (screen) yg menggambarkan saat berlangsung pembangunan dan kerja rodi dibawah kekuasaan Romawi. Dengan seluruh ruang museum dilengkapi dengan alat pendingin (air condition). Sangat mengagumkan. Membuat orang betah pergi ke museum.

Sementara di Indonesia, ada kesan bahwa orang enggan pergi ke museum kalau tidak terpaksa (karena program dari sekolah - saat masih jadi pelajar misalnya), atau karena tidak ada alternatif tempat hiburan lain (CMIIW). Sebagian besar museum di Indonesia pun terkesan suram dan kumuh. Di Pont du Gard inipun terdapat sungai yg mengalir jernih, dilengkapi dengan fasilitas berupa tenda-tenda / bale-bale rendah tepat di pinggir sungai, tempat orang dapat duduk setelah berenang. Demi melihat pemandangan yg terhampar di depan mata, saya berdiri termangu di tepi sungai, saat seorang teman saya berseru mengajak saya segera ikut berenang di sungai: "Mora! Vas y! Regarde! C'est très magnifique, n'est pas? C'est preparé par le gouvernement pour nous! C'est gratuit!".

Saya semakin tertegun. Magnifique??? Dari segi penataan dan pengelolaan serta fasilitas umum yg disediakan untuk publik, memang!!! Tapi dari segi keindahan alam??? Rasanya, biasa-biasa saja. Di depan saya hanya terpampang sebuah sungai yg cukup lebar dan jernih, dengan Jembatan yg bagian atas pilarnya berfungsi sebagai tali air tadi. Dengan latar pepohonan yg rimbun. Apakah pemandangan alam seperti itu tidak dapat kita jumpai di Indonesia ini??? Tentu banyak!!! Saya yakin sekali tentang hal itu. Hanya saja seberapa banyak yg sudah dikelola, dipasarkan dan dipublikasikan dengan baik?? Bahkan - mengambil kata-kata teman saya itu - disediakan oleh pemerintah untuk kepentingan publik, lengkap dengan fasilitas umumnya - secara gratis??? Itu yg menjadi pikiran saya saat itu, yg membuat saya tergugu cukup lama. Begitu pula dengan taman nya yg indah dan terawat. Bersih tanpa ada coretan sedikitpun maupun sampah yg terserak.

Banyak lagi tempat wisata lainnya yg kami kunjungi selama 5 akhir pekan di sana (karena akhir pekan ke 6 kami sudah menyelenggarakan acara perpisahan). Semua berkesan. Diberikan gratis, satu paket dalam summer course. Mungkin juga sebenarnya tidak murni gratis - mungkin saja komponen biaya sudah diperhitungkan dalam paket harga summer course (tapi jelas dengan di subsidi dari pemerintah – karena setelah saya bandingkan dengan beberapa paket summer course yg diadakan oleh universitas swasta, biayanya jauh lebih mahal, tanpa ada ekstrakurikuler). Hanya diberitahukan di saat program sudah dimulai, sehingga peserta mendapat Kejutan! Mendapat kesan bahwa program tambahan ini Gratis!!! Sah-sah saja. That's one way of Marketing kan??? That's Marketing Gimmick!

Lalu, Kenapa pemerintah setempat - melalui berbagai saluran pemasaran (termasuk universitas) - membuat paket semenarik ini?? Lagi-lagi, tentu karena mereka sangat yakin dengan Emotional Promotion dan Power of Mouth!!!

Tapi tentunya program-program semacam ini dapat menjadi bumerang bila lokasi / obyek wisatanya sendiri tidak dipersiapkan dengan baik. Wisatawan yg mendapatkan kesan jelek dan kecewa juga akan powerfull untuk menjatuhkan industri pariwisata suatu negara. Jadi sekali lagi, IMHO, segala sesuatu dalam industri pariwisata haruslah Well Prepared, Well Managed dan akhirnya Well Maintained. Dan itu tentunya bukan pekerjaan mudah yg bisa dilakukan dalam waktu singkat secara terpisah-pisah / terkotak-kotak. IMHO, diperlukan program dan kerjasama yg komprehensif dan terpadu antara pemerintah, swasta maupun semua stakeholder lainnya - termasuk masyarakat yg dimulai oleh para pemuka masyarakat, agar dapat dicapai hasil maksimal. Dibutuhkan kesadaran yg mendalam dari semua pihak untuk membentuk budaya yg positif sehingga bisa memberikan citra yg positif akan bangsa ini secara keseluruhan.

Dan perilaku (attitude) masyarakat tsb memang harus dibentuk, tentunya dengan dukungan pemerintah. Karena hal tsb sama sekali tidak terkait dengan maju atau tidaknya suatu negara.

Saat saya berkesempatan pergi ke Guatemala beberapa tahun lalu. Negara itu sungguh membuat saya tercengang. Saat akan berangkat dari Jakarta, sama sekali tidak terbayang oleh saya bagaimana bentuk dan rupa Guatemala. Negara kecil di wilayah Caribean. Kalau Mexico atau Argentina mungkin sudah lebih terkenal. Tapi Guatemala?? Di benak saya saat itu benar-benar in the middle of no where!! Tapi apa yg saya temukan?? Saat itu saya diminta ikut berpartisipasi dalam sebuah seminar mengenai teknologi informasi & telekomunikasi di Antigua, sebuah kota wisata kecil di kaki pegunungan - sekitar 1-2 jam dari Guatemala City (ibukota dari Guatemala). Yaaa... Seperti dari Jakarta ke Puncak lah. Namun kota tsb begitu cantik dan bersih!! Banyak homeless di sana - tapi tidak jobless (karena setidaknya mereka berjualan kaki lima atau asongan). Di malam hari terlihat mereka tidur di emperan toko / kantor. Tapi di pagi hari, sama sekali tidak terlihat bekas / jejak mereka pernah tidur di sana. Bersih! Tidak ada sampah berantakan. Kaki lima maupun pedagan asongan pun jauh lebih tertib dibandingkan dengan Jakarta. Tidak ada kesan memaksa. Sehingga orang merasa cukup nyaman untuk sekedar berjalan kaki berkeliling kota. Beberapa hari terakhir, saya habiskan di Guatemala City - yg merupakan ibukota. Saya memang menginap di wilayah semacam segitiga emas lah bila di Jakarta. Tapi saya sungguh sangat menikmati, dan nyaman berjalan kaki sendirian di sana. Bersih!!! Tidak ada sampah terserak. Setiap jalan sudah menggunakan Parking Meter.

Sementara di Jakarta, bahkan di wilayah segitiga emas sekalipun, pedagang kaki lima seringkali memenuhi jalan - mengambil jatah pejalan kaki, 'dilengkapi' dengan begitu banyak parkir liar di segala pojok Jakarta yg membuat jalanan semakin semrawut, serta 'ditaburi' sampah dimana-mana. Padahal, apa sih kelebihan Guatemala sebagai suatu negara??? Tetap termasuk negara 'underdog' dengan jumlah hutang yg cukup banyak juga kan...? Tapi kenapa masyarakatnya bisa begitu tertib dan ber'budaya'??? IMHO, disinilah diperlukan peran dan komitmen pemerintah yg lebih aktif untuk meningkatkan kesadaran masyarakatnya, yg pada gilirannya akan meningkat citra bangsa Indonesia di mata dunia.

Selanjutnya, peran aktif swasta sebagai pemilik modal, jelas diperlukan. IMHO, swasta harus siap dan datang ke pemerintah dengan beragam program dan kemasan yg menarik. Namun peran pemerintah sebagai penyelenggara negara dan pemegang hak penuh atas obyek-obyek wisata yg merupakan sumber daya alam, sangatlah penting. Tidak hanya di sektor pariwisata itu sendiri, tapi juga di sektor pendidikan, budaya maupun informasi. Sehingga terbentuk masyarakat dengan tingkat kesadaran berbudaya (awareness) tinggi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan maupun budayanya.

Saat ini berapa banyak generasi muda Indonesia yg menguasai - setidaknya paham - akan kebudayaannya??? Ketika saya mengambil les membatik, guru batik saya mengatakan bahwa di Yogya maupun Solo sekalipun tinggal sedikit sekali generasi mudanya yg mau mempelajari teknik membatik.

Sementara beberapa sekolah asing di Jakarta justru sedang giatnya mengajarkan budaya setempat kepada murid-muridnya, sehingga mereka memiliki wawasan yg luas. Guru batik sayapun bercerita bahwa dia mengajar di sekolah Korea yg bahkan memasukkan pelajaran kebudayaan tsb dalam kurikulum yg diberi bobot kredit. Suatu hari sayapun pernah melihat di televisi, bagaimana murid-murid Jakarta International School diajarkan cara membuat Itak (sejenis kue trasidional masyarakat Tapanuli).

Saat saya berkesempatan untuk berkunjung ke kota-kota di Eropa (negara-negara yg tergolong cukup maju di benak kita), merekapun masih mempertahankan tradisi mereka dengan beragam festival. Dan pada saat festival tsb diselenggarakan, generasi muda mereka dengan bangga mengenakan pakaian tradisional mereka serta menarikan tarian-tarian tradisional. Bangga dan sadar untuk melestarikan budaya dan alamnya. Tengok saja di Zermatt, kota wisata kecil di kaki gunung Matterhorn diperbatasan Swiss. Untuk tetap menjaga kelestarian alam dan lingkungan agar terhindar dari polusi, bahkan untuk mencapai kota tersebut pun bus/mobil umum hanya boleh sampai di mulut kota, dan selanjutnya wajib menggunakan mobil listrik yg disediakan oleh pemerintah setempat, dengan tujuan untuk menghindari polusi dari BBM. Hal ini untuk mencegah memanasnya suhu udara akibat dari buangan gas emisi kendara berbahan energi BBM, yg dapat mencairkan salju abadi di puncak dan lereng gunung Matterhorn.

Begitu pula di Salzburg, tempat asal Sound of Music yg tersohor itu, serta tempat kelahiran WA Mozart - seorang komponis genius. Masyarakat setempat begitu bangga melestarikannya. Kenapa kita juga tidak mencoba melestarikan dan memperkenalkan kota kelahiran seniman-seniman yg telah melahirkan karya besar Indonesia? Padahal kita punya begitu banyak seniman seperti Ismail Marzuki, WR Supratman atau bahkan Gesang - yg lagu Bengawan Solonya terkenal hingga ke Jepang.

Di beberapa negara, berfoto dengan baju tradisional bahkan dijadikan salah 'obyek' wisata, seperti yang dapat ditemui di Belanda, di Swiss dan bahkan saat ini di Shenzen (dimana orang bisa ber-photo dengan beragam pilihan busana tradisional China).

Berbicara mengenai Shenzen, saya sempat teringat betapa modern nya kota itu sekarang. Saat ini merupakan salah satu tujuan wisata favorit di Asia, dengan Window of the World dan Splendid China-nya. Padahal 20 tahun lalu kota tersebut hanyalah sebuah desa nelayan kecil.

Apa yg hebat dengan Window of the World yg sangat termahsyur itu?? Sebetulnya tidak jauh seperti Taman Mini (TMII). Dimana miniatur landmark dari setiap daerah (negara) terdapat di situ. Begitu halnya dengan Splendid China, dimana dibeberapa pelataran / teras rumah tradisional terdapat orang-orang lokal berpakaian tradisional setempat.

Sementara pertunjukan yg merupakan primadona di Splendid China, sebenarnya sudah mampu diselenggarakan oleh orang Indonesia seperti di panggung tanah air TMII, atau di Dufan (dengan pertunjukan Rama-Shinta atau teater Kera). Hanya diberi sentuhan panggung bergerak dan permainan lampu infra merah yg menarik. Dilengkapi dengan tari-tarian ala Swara Mahardhika atau GSP production. Sebagai suatu pertunjukan memang tampil menarik dan terkesan extravaganza. Namun dari sisi teknologi sama sekali tidak ada yg terlalu baru dan canggih!!!

Tapi mengapa berhasil mengangkat Shenzen, sebuah desa kecil nelayan, menjadi kota tujuan wisata yg sangat digembar-gemborkan oleh banyak travel biro saat ini? Kenapa pula banyak turis mancanegara datang kesana? Sekali lagi saya melihat bahwa kemasan paket, pengelolaan obyek wisata yg profesional dan menarik menjadi kunci utama kesuksesannya dalam memasarkan dan mempublikasikannya. Tentu hal ini tidak terlepas dari peran serta swasta, komitmen pemerintah (dengan berbagai aturan terkait yg mendukung) serta meningkatnya kesadaran masyarakat setempat akan peningkatan income per capita yg dapat diperoleh dari peningkatan industri pariwisata di negaranya.

Ketika saya kembali mendapat kesempatan pergi ke Singapura (kali ini beserta orang tua). Walaupun telah sekian kali saya berkunjung ke negeri jiran tsb, namun tetap saja saya masih kagum dengan budaya dan tingkat kesadaran masyarakat, serta komitmen pemerintahnya. Saat kami kesana bulan lalu, tiba-tiba orang tua saya ingin sekali ikut tour ke Sentosa Island. Awalnya saya cukup tercengang mendengar keinginannya, karena bukankah bertahun lalu kami sudah pernah pergi ke sana. Dan apa sih istimewanya pulau kecil yg merupakan bekas basecamp tentara Inggris di jaman penjajahan dan perang dunia II tsb? Rupanya Orang tua saya mendengar mengenai adanya pertunjukan Musical Fountain yg memang baru beberapa tahun terakhir ini digelar di sana pada malam hari.

Baiklah, demi menyenangkan orang tua maka kami pun mengambil tour ke Sentosa Island. Dimulai dengan datang menggunakan cable car. Mengunjungi Underwater World. Lalu masuk ke dalam patung Merlion (lambang Singapura) dan naik hingga ke atas. Hingga berakhir dengan menonton pertunjukkan Musical Fountain. Ada yg sangat istimewa?? Tidak!!! Kecuali kebersihan dan keapikan penataan lokasi wisata tsb yg sampai sekarang masih membuat saya terkagum-kagum.

Selebihnya???

Cable car! Rasanya jenis alat transportasi ini juga sudah pernah ada di TMII. Lalu...? Underwater World! Itupun sudah ada di Ancol. Berkunjung dan masuk ke patung Merlion? Nah!!! Ini boleh dibilang suatu upaya terobosan yg menarik.

Boleh dibilang sebuah usaha yg cukup bagus, untuk dapat 'menjual' patung Merlion dari sekedar patung Singa biasa menjadi obyek wisata. Dengan lift kita langsun menuju lantai 2. Didalamnya kita dipersilahkan melihat pemutaran film animasi sejarah patung Merlion yg tentunya terkait dengan ditemukannya Singapura oleh putra dari Raja Sriwijaya di masa lampau, dalam sebuah teater kecil. Setelah itu kita diberi 'coin' bergambar Merlion untuk dimasukkan ke dalam mulut miniatur patung Merlion yg kemudian akan mengeluarkan lucky voucher yg dapat kita tukarkan dengan souvenir (dengan hanya dua pilihan souvenir - kipas plastik atau gantungan kunci). Setelah itu bagi yg ingin, dapat memilih tangga turun (untuk berfoto di 'mulut' patung dgn latar gigi patung tsb, atau tangga naik untuk mencapai pelataran di 'kepala' patung (yg merupakan teras terbuka) dan dapat memandang ke luar pulau Sentosa.

Mengingat Ayah saya sangat tidak direkomendasikan untuk naik dan turun tangga terlalu jauh, Ibu saya sudah wanti-wanti melarangnya pergi ke 'mulut' maupun 'kepala' patung. Tapi Ayah saya tetap berkeinginan ke situ, sehingga sayalah yg mengantar beliau, sementara Ibu saya menunggu di lt. 2. "Supaya tidak penasaran" begitu kata beliau.

Tapi apa kemudian reaksi beliau saat sudah mencapai 'mulut' patung? Ternyata yg didapati hanya ruang kecil di 'wilayah mulut' patung, dan orang dapat berfoto bergantian - tentunya dari arah dalam - hanya dengan latar taring atas dan bawah dari si Patung Merlion. Sama sekali tidak terlihat bentuk mulutnya, kecuali "taring-taring" tsb. Tentu saja!!! Karena kalau kita ingin mendapat / melihat bentuk mulutnya maka kita harus mengambil foto dari luar / dengan berdiri di sebelah luar, yg tentu saja tidak mungkin bisa dilakukan, kecuali kita melakukan wall climbing... :)

Setelah tertegun beberapa saat, dan kemudian menyadarinya, ayah saya tertawa keras "hahaha... Dibodohinya kita... Bener juga... Kita cuma bisa berfoto dengan latar belakang ''taring-taring'' itu saja, tidak mungkin tampaklah mulutnya...". Tentu saja dengan dilanjutkan sedikit 'ancaman' bernada cukup serius: "jangan bilang-bilang Mama ya, kalau di sini ternyata tidak ada apa-apa yg bagus untuk difoto" :o)

Apa yg saya dapatkan? Ungkapan ayah saya ada benarnya. Sebetulnya bila kita sadari, kita memang sedikit 'dibodohi' dengan dibilang bahwa kita dapat berfoto di mulut patung Singa. Tapi, orang tetap tergoda dan 'tertipu' untuk pergi ke sana. Tidak ada yg salah dalam hal ini. Mereka tetap berhasil 'menjual' obyek tsb. IMHO, sekali lagi: Kemasan dan penyajian. Bagaimanapun guide kami ataupun brosur bisa begitu 'pintar'nya menjual obyek tsb sehingga kami yakin dan penasaran ingin ke sana.

Kunjungan terakhir kami adalah Musical Fountain. Kemudian munculah Sang Dirigen 'jual kecap' dengan mengatakan bahwa Fountain (air mancur)nya merupakan Smart Fountain yg dapat 'menari' dan 'menyanyi'. Saat itu sangat banyak pengunjung. Dapat dikatakan semua kursi yg tersedia, terisi penuh. Kebanyakan turis dari mancanegara (ya... Tentunya warga Singapura sendiri sudah bosan dengan pertunjukan itu).

Mulailah saya menikmati dan mengamati setiap detail pertunjukan itu. Sebuah pertunjukan air mancur 'menari' dan 'menyanyi'. Dilengkapi dengan semburan api sesekali dari beberapa sumbu api yg tertanam di kolam. Tentunya dengan musik yg mengiringi 'lenggak-lenggok' air mancur tsb. Dipercantik dengan permainan lampu infra merah dan animasi yg ditembakkan oleh proyektor ke air mancur sebagai layar.

That's it!!! Seorang teman saya yg saat ini memang bekerja di Singapura, sebetulnya sudah mengatakan bahwa air mancur seperti itu sebetulnya sudah pernah ada di Monas. Tapi... "kita sih sebetulnya udah punya lebih dulu. Sekarang giliran kita punya rusak, gak di maintain, eh di Singapura justru jadi 'jualan' yg menarik".

Hahaha... Benar juga. Karena dari sisi teknologi, sama sekali tidak ada yg canggih. Kita sudah punya itu dari dulu, hanya tidak dilengkapi dengan kemasan jalan cerita serta animasi dan permainan lampu yg menarik. Padahal penyajian ceritanya pun biasa saja. Sama sekali tidak perlu teknologi rumit. Cukup 'menembakkan' proyektor ke air mancur yg dipasang serapat/sehalus mungkin dengan ketinggian yg rata sebagai ganti layar. Tapi sebagai sebuah pertunjukkan tentu sudah cukup membuat senang yg menonton - terutama bagi segmen Keluarga yg membawa Anak2 kecil. Kenapa di Jakarta yg sudah ada justru di sia-siakan??? Tidak dikemas dengan menarik? Lagi2, kita terkesan 'ketinggalan'.

Itu sekedar sharing saya mengenai banyak hal yg masih - dan mestinya bisa - dibenahi untuk meningkatkan dan mengoptimalkan sektor pariwisata Indonesia. Sebenarnya tidak banyak yg rumit. IMHO, hanya diperlukan kerjasama yg baik, program yg menyeluruh serta komitmen dari semua pihak - semua stakeholder - yg terkait. Termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan (termasuk menjaga kebersihannya). Sehingga diperlukan koordinasi pemerintah dari semua departement terkait - tidak cukup hanya dept pariwisata - tentu dengan didukung oleh modal pihak swasta serta peningkatan kesadaran bekerjasama dengan berbagai institusi pendidikan maupun pemuka masyarakat (CMIIW). Namun bila tidak dimulai dari sekarang... Lalu kapan lagi?? Berapa lama lagi kita harus menunggu??

Belum lagi, saat ini ditambah dengan masalah keamanan yg semakin mengkhawatirkan (dengan adanya kerusuhan dimana-mana) serta tingkat kriminalitas yg sangat tinggi - yg membuat orang (bahkan warga Indonesia sekalipun) tidak nyaman untuk berjalan kaki di negaranya sendiri.

Citra bangsa Indonesia pun saat ini kian terpuruk di mata dunia. Saya rasakan sendiri ketika saya berkesempatan pergi ke beberapa negara di Eropa - via jalan darat - dimana disetiap perbatasan dilakukan pemeriksaan dan selalu passport orang Indonesia diperiksa lebih lama dibandingkan passport orang dari negara lainnya. Bahkan pernah dibeberapa perbatasan mereka dengan jelas mengatakan cukup passport orang-orang dari Asia (termasuk Indonesia) saja yg diperiksa. Sementara passport beberapa orang dari negara-negara barat (seperti Amerika dan Eropa) tidak diperiksa.

Kenapa???

Mereka takut ada penyusupan teroris!!! Khawatir akan perilaku orang Asia yg tidak disiplin dan cenderung temperamental. Begitu komentar yg terdengar. Sedih dan kesal memang mendengarnya. Bukankah tidak semua orang Indonesia itu berperilaku demikian? Hanya sebagian kecil sajakan yg menebar keonaran? Kenapa dengan nila setitik jadi rusak susu sebelanga? Tidak adil rasanya. Tapi mau tidak mau - suka tidak suka - itulah citra yg telah sempat terbentuk.

Jadi seperti saya utarakan terdahulu, benar apa yg diutarakan seorang teman di sebuah komunitas pemasar, terkadang kita sendiri kurang bangga dengan kekayaan alam dan sumber daya yg kita miliki. Namun benar juga pendapat lain yang sering saya dengar, bahwa masih sangat banyak sekali pekerjaan rumah yg harus dikerjakan dan dibenahi, termasuk 'budaya' berupa perilaku dan kebiasaan (attitude dan habit) dari masyarakat kita sendiri yg memiliki tingkat kesadaran yg masih rendah. Dan - IMHO - untuk semua itu diperlukan keterlibatan semua pihak, tidak cukup satu-persatu saja.

Semoga bisa memberikan gambaran dan tolok ukur serta acuan (benchmark) demi kemajuan industri pariwisata di Indonesia.

Just 2 my cents.


CU,


-PriMora Harahap-


Jan 2006

Tidak ada komentar: