Minggu, 22 Maret 2009

Kampanye – Cost VS Benefit

Bila pada tinjauan mengenai Investasi VS ROI, saya mencoba melihatnya dari sisi investor yang telah ‘’mengorbankan’’ dana kampanye sedemikian besar. Pada kajian kali ini saya mencoba untuk mengupasnya dari aspek rakyat pemilih yang akan memetik hasil ataupun menanggung beban selepas Pemilu nanti.


Hingar-bingar kampanye yang sungguh menyita seluruh kolom dan slot media masa serta perhatian public akhir-akhir ini akan mencapai suatu puncak kulminasi berupa perhelatan Akbar Pesta Demokrasi dalam gelaran Pemilu. Baik berupa pemilihan legilatif untuk memilih wakil-wakil rakyat maupun eksekutif saat pilihan rakyat akan menentukan siapa yang akan memimpin arah pergerakan bangsa ini dalam 5 tahun ke depan.


Sebuah pilkada di Jawa Timur saja menelan biaya lebih dari Rp. 800 milyar. Tentulah dapat dibayangkan betapa penyelenggaran Pemilu secara serentak di seluruh penjuru tanah air akan menghabiskan dana teramat sangat besar.


Guliran kampanye memang menguras dana mereka yang bertarung untuk memperebutkan jabatan. Tapi biaya (cost) untuk menyelenggarakan Pemilu mengambil porsi dana dari masyarakat, hasil pungutan pajak yang dibayar oleh rakyat. Dengan cakupan wilayah negeri ini yang demikian luas, terbayanglah berapa banyak uang rakyat terpakai untuk membiayai penyelenggaraan Pesta 5 tahunan sekali itu. Entah untuk persiapan TPS, materi sosialisasi berikut slot media, cetak formulir, pendataan pemilih, hingga biaya upah para pekerja pelipat formulir, dan berbagai fasilitas bagi KPU, Panwaslu dsb.


Berbicara mengenai biaya, sesungguhnyalah bukan hanya biaya dalam bentuk kucuran rupiah yang akan ditanggung rakyat. Sejatinya biaya adalah sebuah pengorbanan yang dikeluarkan atas sesuatu . Terkait dengan Pemilu, maka semua bentuk pengorbanan yang terjadi dalam rangka penyelenggaraan Pemilu maupun hasil akibat dari Pemilu merupakan juga biaya yang harus ditanggung oleh rakyat. Bukan sekedar pengorbanan berupa lembar-lembar rupiah.


Dalam ilmu ekonomi, dikenal istilah Tangible Cost dan Intangible Cost. Dimana tangible cost adalah biaya yang langsung terasa dan dikeluarkan saat penyelenggaraan, dalam bentuk lembar-lembar uang yang dibayarkan. Adapun intangible cost adalah segala bentuk pengorbanan lain yang menyertainya.


Lalu ‘’biaya’’ apa sajakah yang potensial akan menjadi beban masyarakat dari perhelatan ini? Dari sisi tangible cost tentulah tidak perlu diuraikan lagi mengenai besarnya dana yang dibutuhkan untuk mengadakan Pemilu, sejak masa persiapan dalam beberapa bulan terakhir ini hingga puncak pelaksanaannya nanti. Namun, rakyat sering melupakan bahwa ada potensi intangible cost yang akan menjadi beban tanggungan rakyat, tidak hanya pada masa penyelenggaraan Pemilu, tapi sepanjang 5 tahun mendatang.


Pada Pemilu kali ini yang mulai menerapkan system pemenangan caleg berdasarkan raihan suara terbanyak, maka sebuah ‘’ intangible cost’’ berupa ‘’polusi’’ keindahan tata kota, dalam bentuk kesemrawutan pemandangan sebagai akibat dari tidak adanya aturan dan mekanisme penempatan berbagai atribut kampanye, tebaran jutaan poster, sudah jelas di depan mata. Sebuah pengorbanan yang harus ''dibayar'' masyarakat, jauh sebelum Pemilu terlaksana.


Berkaca dari sejarah perjalanan bangsa ini pada hasil dari beberapa kali Pemilu di masa lampau, maka telah dapat diinvetarisir dengan baik segala bentuk intangible cost yang mengintai bangsa ini:

- Kebobrokan system pengelolaan negara yang tidak professional.

- Tidak adanya mekanisme fungsi control atas setiap aktivitas penyelenggara negara. Korupsi, pelanggaran norma-norma kesusilaan, perjudian, narkoba, gaya hidup hiperhedonisme yang kerap ‘’tertangkap bukti’’ dilakukan oleh mereka yang bekerja mengatasnamakan wakil rakyat dan pengelola negara, memberi contoh buruk yang dapat ‘’menginspirasi’’ masyarakat untuk menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Tak pelak, degradasi moral bangsa menjadi pertaruhan dan pengorbanan berikutnya.

- Pemimpin bangsa yang urung menelurkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan kerap terbelenggu dalam ‘’balas budi’’ kepada segilintir ‘’golongan pemilik modal’’.

- Merosotnya tingkat kesejahteraan sebagian besar rakyat, sebagai akibat dari tidak berjalannya fungsi penataan negara yang menjadi kemakmuran bagi seluruh lapisan rakyat.

- Tidak terpenuhinya kebutuhan, hak dan harapan rakyat, bahkan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan dan hak dasar rakyat, berupa pendidikan murah, fasilitas kesehatan yang terjangkau dan memadai serta berbagai infrastruktur penyangga kehidupan bermasyarakat (seperti air bersih, ketersediaan sumber energi yang stabil dan terjangkau, jalan dan jembatan penghubung antar wilayah), maupun lembaga keuangan pendukung pergerakan perekonomian rakyat.

- Ketiadaan lapangan kerja yang memadai yang dapat menunjang kehidupan masyarakat secara layak.

- Peningkatan kriminalitas yang semakin tinggi sebagai dampak dari belum teratasinya masalah kemiskinan dan jurang kesenjangan yang semakin lebar antar kalangan masyarakat.

- Eksploitasi sumber daya alam milik negara oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi, tanpa tingkat imbalan / pengembalian yang nyata dirasakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apalagi bila mengingat kemungkinan besarnya kecenderungan para petarung yang sudah ‘’menginvestasikan’’ sedemikian besar dana dalam perjalanan kampanyenya untuk segera meraih kembali modal dan mendapatkan keuntungan sebesar mungkin (baca artikel Kampanye – Investasi VS ROI)

- Masih kerap terjadinya keberpihakan aparat hukum pada kalangan tertentu dan golongan incumbent, sebagai akibat dari lemahnya penegakkan hukum.

- dan mungkin masih banyak lagi ‘’potensi’’ pengorbanan ‘’biaya’’ yang harus ditanggung oleh rakyat negeri ini selepas Pemilu nanti, setidaknya selama 5 tahun mendatang.


Itu baru berupa intangible cost dari segi dampak yang akan terasa. Dari segi waktu, maka kegagalan Pemilu untuk menghasilkan para wakil rakyat, pemimpin dan pengelola negara yang bersih, berkualitas, serta memiliki kapasitas dan integritas yang baik, akan memberi beban intangible cost tersendiri berupa opportunity loss (hilangnya peluang) untuk maju.


‘’Time is money’’, demikian bunyi sebuah slogan dalam ranah ekonomi. Ya, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Namun waktu tidak dapat dihentikan dari gulirannya. Waktu tidak mungkin dibekukan sekedar menunggu sebuah bangsa dapat bersiap diri dan membenahi semua centrang prenang yang ada. Sehingga kelalaian dan pengabaian yang timbul akan membuat bangsa dan negara ini mengalami kerugian waktu yang sangat besar. Bangsa yang terus menerus gagal untuk bangkit dari kondisi keterpurukan, negara yang selalu menunda pembenahan system untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, akan membayar mahal atas waktu yang terbuang percuma.

Di saat banyak bangsa dan negara lain telah melangkah lebih maju dan semakin maju, bangsa ini tetap berselimut data kemajuan yang semu, berkutat dengan persoalan kemiskinan yang nyata, berkubang pada ketertinggalan di hampir setiap bidang, dan tidak pernah bersiap diri untuk melangkah maju. Sehingga ketika tahun demi tahun bergulir, negeri ini semakin dan semakin tertinggal jauh, bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga serumpun sekalipun.


Sebagaimana hukum alam pada umumnya, dalam hukum ekonomi, juga berlaku azas perimbangan. Bila ada sisi yang di debit, pasti ada sisi yang mendapat kredit. Ketika satu pihak berhutang, berarti ada pihak yang memberikan piutang.


Dengan demikian, dari setiap biaya (cost) yang dikeluarkan, tentu ada keuntungan (benefit) yang dihasilkan. Letak permasalahan yang penting untuk dicermati sekarang adalah siapa yang akan menanggung beban biaya, dan siapa yang akan menangguk keuntungan??


Pada sebuah Pemilu yang gagal melahirkan orang-orang yang kompeten dan bersedia berjuang untuk kepentingan rakyat, maka sudah jelaslah bahwa rakyat yang akan menanggung beban biaya (tangible cost maupun intangible cost) berupa pembayaran pajak rakyat yang hingga kini masih belum terlihat tingkat akuntabilitas dari penggunaannya bagi peningkatan kemakmuran rakyat, serta penderitaan yang harus dirasakan akibat taraf kehidupan kebanyakan rakyat yang masih jauh dari memadai. Sementara mereka yang mewakili rakyat serta pejabat pengelola negaralah yang kerapkali terbukti meraup keuntungan demi keuntungan.

Sebuah Pemilu yang berlangsung dengan sukses, tidak sekedar dalam konteks pelaksanaan Pemilu yang berlangsung damai, tanpa kerusuhan, dan sekedar melahirkan nama-nama mereka yang akan duduk di dewan perwakilan rakyat maupun di istana negara. Namun, haruslah Pemilu yang dapat menghasilkan system bernegara yang lebih baik, yang dapat menciptakan kesehjateraan bagi seluruh rakyatnya, yang ditandai dengan adanya sejumlah keuntungan (benefit) yang dirasakan oleh rakyat.


Keuntungan (benefit) yang seyogyanya dapat dirasakah oleh rakyat selepas Pemilu yang telah meminta pengorbanan biaya demikian besar, setidaknya mencakup:

- Peningkatan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya Income per-Capita (dan bukan sekedar pada GDP, yang dapat menggelembung sejalan dengan populasi negeri ini yang sedemikian besar).

- Terpenuhinya kebutuhan, hak dan harapan rakyat yang dapat memberi nilai lebih pada kehidupan mereka.

- Kebijakan pengelola negara yang harus selalu berkiblat pada pemenuhan kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak (termasuk pemenuhan Domestic Market Obligation untuk menjamin kehidupan rakyat, dan tidak sekedar tergiur pada pasar luar negeri yang dapat memberi imbal hasil lebih tinggi).

- Tegaknya hukum bagi semua kalangan, tanpa kecuali, tanpa harus menunggu masa-masa berakhirnya periode jabatan sekedar untuk menaikkan kembali popularitas dan citra.

- Pengelolaan sumber daya alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD ’45.

- Peningkatan integritas bangsa yang diawali dengan teladan sikap, perilaku dan moral dari para wakil rakyat dan pengelola negara.

- Tegaknya demokrasi dan berjalannya mekanisme fungsi control masyarakat, tanpa hambatan.

- Pembangunan fondasi perekonomian bangsa yang kokoh, dengan bertumpu pada ketangguhan ekonomi rakyat, yang dapat mengurangi tingkat ketergantungan bangsa ini pada negara lain maupun lembar-lembar mata uang asing dan meningkatkan daya tahan perekonomian negara terhadap hempasan badai krisis.


Sudah saatnya bangsa ini tidak lagi menunda dan membuang waktu untuk mendapatkan sebuah negara yang sungguh-sungguh berdaulat bagi rakyatnya sendiri. Sudah waktunya bagi rakyat negeri ini untuk mulai mempertimbangkan setiap biaya (cost) dan keuntungan (benefit) yang akan tercipta dari setiap penggunaan hak pilihnya pada ajang Pemilu nanti.

Sangatlah penting untuk memastikan memilih mereka yang akan memberi lebih banyak keuntungan bagi seluruh lapisan rakyat dan bukan beban tanggungan yang selalu meminta pengorbanan lebih besar dari masyarakat. Yakinilah bahwa mereka yang dipilih bukanlah orang-orang yang hanya akan menimbun keuntungan pribadi, yang mengabaikan nasib rakyat dalam 4 tahun masa jabatannya dan hanya ‘’bekerja’’ pada 1 tahun terakhir saja.


-PriMora Harahap-

20 Maret 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)


Tidak ada komentar: