Ragam kampanye para caleg & partai jelang Pemilu mendatang semakin menarik untuk disimak. Minggu ini periode kampanye terbuka (hard campaign) mulai resmi berlangsung, yang akan menjadi penutup dari bulan-bulan kampanye tertutup (soft campaign), sebelum diakhiri dengan puncak perhelatan akbar Pesta Demokrasi. Dalam minggu ini hampir seluruh stasiun televisi tak putus menyiarkan berbagai bentuk hard campaign yang dilakukan oleh sekian banyak partai yang akan bertarung di ajang Pemilu.
Pada soft campaign
Di masa hard campaign
Seluruh daya dan upaya yang dikerahkan dengan sepenuh harap itu tentunya bertujuan untuk dapat meraih sebesar-besarnya simpati rakyat sehingga dapat beroleh sebanyak-banyaknya contrengan pada namanya. Berbagai ragam kampanye itu, entah dalam format yang jelas terhubung dengan atribut kepartaian maupun tokoh utama sebuah partai, atau dalam bentuk ‘’banjirnya’’ aneka kebijakan populis justru di saat-saat masa jabatan akan berakhir oleh para pejabat dari kubu incumbent, mendadak rajin bersilaturahmi ke berbagai kalangan masyarakat, tak lain dan tak bukan digelar dalam rangka meningkatkan citra sang tokoh sekaligus partai yang menjadi kendaraan politiknya, memberi kesan kedekatan dan keberpihakan kepada rakyat.
Mengapa demikian?? Tentulah karena sang caleg dan kandidat pemimpin bangsa masih merasa memerlukan sejumlah ‘’daya dongkrak’’ (leverage) bagi citra diri (personal image) yang dapat mendukung ‘’jualan politiknya’’.
Walaupun ragam jenis kampanye makin semarak dengan berbagai ‘’kreativitas’’ baru, namun gelaran kampanye di republik ini tetaplah masih bersifat dangkal. Pada dasarnya, tidak ada sesuatu yang baru, yang memberi nilai lebih dan solusi konkrit bagi pengembangan bangsa dan negara ini dalam 5 tahun ke depan.
Tengok materi ‘’jualan’’ dalam setiap kampanye. Hampir seluruhnya hanya sekedar menawarkan program-program artificial yang umumnya hanya akan menutupi gejala ekonomi sosial yang ada, sekedar meredam agar tidak menggejolak, tanpa mampu menawarkan ‘’obat’’ yang jitu kepada ‘’penyakit’’ bangsa ini yang sesungguhnya.
Simaklah, sebuah partai mengumbar janji berupa perbaikan nasib para TKI di luar negeri, tidak adanya penggusuran pemukiman rakyat kecil serta pembukaan lapangan kerja. Lain partai menjual program pengentasan kemiskinan. Partai lainnya lagi bersumpah setia akan memperhatikan kehidupan rakyat miskin dan memajukan pendidikan. Namun sepengamatan saya, nyaris tidak ada satupun partai yang melengkapi jualannya dengan konsep yang komprehensif.
Menyimak janji-janji muluk tersebut, maka terbersit pertanyaan di benak saya? Sadarkah mereka betapa sulit tugas yang akan mereka hadapi? Tahukah mereka seberapa besar dan dalam permasalahan yang dihadapi bangsa ini? Dengan cara apa mereka akan membenahinya?
Janji tidak ada lagi penggusuran pemukiman rakyat kecil memang sungguh mulia. Namun, bagaimana dengan penataan pemukiman kumuh? Akankah mereka tidak digusur tapi tetap dibiarkan tinggal di kolong-kolong jembatan, di bantaran-bantaran sungai, beralaskan tanah, tanpa jaminan peningkatan kesejahteraan? Tanpa pemenuhan akan kebutuhan dasar mereka yang merupakan hak warga negara ini? Tanpa pendidikan yang memadai? Tanpa layanan kesehatan yang mudah dan terjangkau? Tanpa infrastuktur pendukung roda perekonomian dan kehidupan bermasyarakat?
Niat memperbaiki nasib TKI di negeri orangpun sangat agung. Tapi patut disadari bahwa pelecehan yang kerap menimpa TKI lebih banyak disebabkan oleh lemahnya posisi tawar (bargaining power) mereka, akibat dari minimnya tingkat kemampuan. Pembekalan dan pelatihan untuk mempersiapkan TKI yang memiliki nilai jual sangat penting untuk diperhatikan.
Program pengentasan kemiskinan juga sungguh indah terdengar. Lalu bagaimana cara untuk mengentaskannya? Sedangkan bukan rahasia lagi, hingga kini masalah kemiskinan tidak jua dapat teratasi dengan tuntas. Tidak perlu menutup mata, betapa rakyat jelata yang belum terpenuhi hak-hak dasarnya masih terlihat jelas di depan mata. Bahkan bertaruh nyawa hanya demi memperebutkan zakat sebesar Rp.30.000,-!!. Sudah rahasia umum bahwa lapangan kerja yang tersedia bagi penduduk negeri ini sangat tidak memadai. Tingkat pendidikan yang rendah, yang diperparah dengan semakin mahalnya akses ke pendidikan tinggi, membuat masih banyak rakyat negeri ini yang tidak mungkin memperoleh pekerjaan yang mampu memberi penghidupan layak. Dan kondisi tersebut telah berlangsung jauh sebelum krisis ekonomi global melanda dunia.
Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lainnya, yang tidak mudah untuk diatasi. Tidak semudah pengucapannya!!
Haruslah disadari, begitu banyak dan sungguh kompleks permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Tidak mudah menata dan mengelola negara yang demikian besar dengan demikian banyak sumber daya serta keragaman yang terkandung di dalamnya.. Sehingga visi dan misi yang secanggih apapun, tanpa dilengkapi dengan rincian perencanaan yang strategis akan sulit terpenuhi hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Itu sebabnya, sejarah bangsa ini kerap mencatat betapa pemimpin bangsa acapkali gagal memenuhi janji-janji yang diumbarkannya saat kampanye dulu.
Dengan sedemikian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tanpa adanya skala prioritas, alih-alih dapat memberikan solusi terbaik, justru menjadi terbengkalai, keteteran. Pada akhirnya tidak ada satu permasalahanpun yang dapat terselesaikan dengan tuntas. Semua menjadi sekedar program tambal sulam.
Dapat dikatakan bahwa berbagai bentuk kampanye yang digelar hanya bertujuan sebatas upaya meningkatkan citra, tanpa disertai dengan content (isi) berupa strategi dan target pencapaian maupun skala prioritas yang jelas, yang dilengkapi dengan critical check point untuk dapat mengukur setiap pencapaian target dan menjaganya agar tidak menyimpang dalam pelaksanaannya. Kampanye hanya memberikan serangkaian program dalam proposal politik, tanpa penjelasan rinci bagaimana program tersebut dapat dijalankan. Hal yang sama dikeluhkan oleh sejumlah pengusaha selepas mendengarkan paparan tim ekonomi beberapa partai. Sekedar umbaran janji yang muluk-muluk. Terlalu muluk bila titik tolak langkah mereka adalah carut-marut kondisi bangsa dan negara saat ini.
Sebagaimana kata pepatah, besar pasak daripada tiang. Mungkin seperti itulah gambaran janji-janji selama masa kampanye ini. Begitu banyak janji ditebarkan hanya untuk mengejar perolehan suara, tanpa mengukur seberapa besar kemampuan dan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi janji-janji itu.
Tentu masih ingat heboh kasus susu asal Cina yang bermelamin beberapa waktu lampau. Hasil penyelidikan membuktikan bahwa campuran melamin dalam komposisi susu tersebut memang disengaja, dengan tujuan memberi kesan tingginya kandungan protein dalam susu tersebut. Tapi apakah susu tersebut benar-benar berprotein tinggi? Tentu tidak!! Karena campuran melamin hanya mampu memberi ‘’kesan’’. Alih-alih mendapat asupan protein tinggi sebagai pelengkap gizi, pengonsumsi susu bermelamin tersebut justru beroleh penyakit, yang bahkan berujung pada kematian beberapa konsumennya.
Citra adalah gambaran yang memberi kesan!! Kesan yang ingin ditampilkan kepada publik. Hanya kesan. Sebatas membangun persepsi. Belum tentu kualitas dari isi yang menyertainya selaras dan seindah citra yang dikesankan.
Dan dalam ranah komunikasi, citra dapat diciptakan, mudah direkayasa, tak sulit untuk dibangun. Karena citra sejatinya adalah gambar, lukisan. Bagai sebuah lukisan, citra dapat dipesan dan dibuat seindah mungkin. Sehingga tidaklah heran bila begitu banyak orang yang terpesona oleh tampilan citra.
Begitupun dengan kampanye yang mengutamakan citra. Melalui citra yang dibangun, partai politik dan para tokoh pemimpin bangsa berupaya memberi gambaran indah untuk membuat masyarakat terkesan. Begitu sibuknya membenahi citra hingga tak jarang melupakan hal-hal yang lebih penting untuk ditangani karena seluruh daya upaya telah habis tercurah membangun citra dari waktu ke waktu. Membuat saya teringat tag line sebuah produk : “Kesan pertama (dibuat) begitu menggoda! Selanjutnya, terserah anda!’’
Tak pelak, wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang hanya berbekal citra, tanpa dilengkapi isi yang selaras berupa kemampuan nalar, memimpin dan mengelola, justru dapat memperparah ‘’penyakit’’ bangsa, yang tidak mustahil dapat berujung pada ‘’kematian’’ pula. Kematian proses berbangsa dan bernegara, kematian demokrasi, dan pada akhirnya kematian kesejahteraan rakyat.
Janji memang diperlukan dalam setiap kampanye, karena janji adalah juga sebuah bentuk komunikasi. Melalui janji yang diberikan, para caleg, partai dan kandidat pemimpin bangsa mengkomunikasikan apa yang menjadi perhatian (concern) dan tekadnya bagi perbaikan bangsa ini. Dengan mendengar janji, rakyat pemilih dapat mengetahui apa yang akan diperjuangkan oleh mereka yang bertarung.
Namun janji haruslah realistis. Janji semestinyalah disertai isi yang bernas. Karena janji yang terlalu muluk akan memperbesar kemungkinan memperpanjang daftar pemimpin bangsa yang gagal memenuhi janji kampanyenya. Dan penambahan panjang sejarah kegagalan tersebut dapat menjadi bumerang, di saat rakyat negeri ini mencapai titik jenuh, apatis dan tidak lagi memiliki kepercayaan pada mereka yang memimpin bangsa. Pengabaian janji memberi resiko meningkatnya angka golput pada Pemilu berikutnya.
Sangatlah penting bagi para caleg dan kandidat pemimpin bangsa untuk lebih berhati-hati dalam mengumbar janji. Menyadari kemampuan diri untuk dapat mewujudkannya. Bukan sekedar penunjang citra, penebar kesan keberpihakan. Silahkan memberi janji... tapi penuhilah setiap janji yang terlontar.
Dan sangatlah penting bagi rakyat ini untuk mulai menanyakan kepada mereka yang mencalonkan diri di ajang pertarungan pemilu, mengenai langkah-langkah konkrit dan realistis untuk dapat mewujudkan janji yang telah diumbar. Atau… akankah bangsa ini hidup hanya dari mimpi dan janji ''kosong''?
-PriMora Harahap-
18 Maret 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar