Kamis, 22 Januari 2009

(ber) Pesta Demokrasi

Pemilu yang sering digaungkan sebagai Pesta Demokrasi bagi republik ini sudah di depan mata. Tak lama lagi seluruh rakyat negeri ini akan menggunakan hak pilihnya guna menentukan siapa kiranya yang dianggap cakap untuk mewakilinya maupun orang yang dirasa tepat untuk memimpin negara ini.


Jelang pemilu tahun mendatang, setiap kandidat, entah itu caleg maupun partai sampai calon pemimpin negara, kini sudah mulai sibuk menggelar program TTP, alias Tebar-Tebar Pesona. Kampanye dilakukan melalui semua media, mulai dari cara tradisional seperti pasang poster, pamflet, bagi-bagi kaus dan topi, hingga cara ''modern'' yang sedang trend saat ini dengan beriklan di media cetak dan elektronik. Tak jarang terlihat partai yang menjalankan program bantuan bagi masyarakat, guna mendapat simpati rakyat. Jelang Pemilu, tiba-tiba seluruh kandidat ‘turun ke bumi’, mengunjungi konstituennya hingga ke pelosok-pelosok desa.


Layaknya orang akan berpesta, maka semua yang akan terlibatpun mulai sibuk ‘berdandan’. Senyum ditebar sana-sini, untuk memikat dan menyenangkan hati para calon pemilih. Coba lihat, hamparan poster para caleg itu. Semua berpose dalam balutan pakaian yang mempesona, senyum tersungging di wajah, tak lupa umbaran janji-janji politik sebagai kalimat penyambut para ‘tetamu’.


Berbagai upaya untuk menjadi terkenalpun dilakukan. Terutama sejak standar peraihan kursi telah diubah, tidak lagi berdasarkan nomer urut, namun berdasarkan suara terbanyak. Popularitas!! Ya, hal ini tentu menjadi tolok ukur sangat penting untuk dapat meraih suara terbanyak. Maka tak heran, bila tebaran poster para caleg tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan kampanye lima tahun silam. Menurut sumber di sebuah talkshow politik, untuk periode kampanye kali ini jumlah yang akan bertarung memperebutkan kursi wakil rakyat di republik ini hampir mendekati bilangan 20.000 caleg! Sungguh sebuah angka yang fantastis dari segi kuantitas. Semoga saja kualitas, kredibilitas dan integritas yang mereka tawarkan kepada rakyat juga dapat menimbulkan decak kagum.


Sistem peraihan kursi berdasarkan nomer urut memang terbukti memiliki banyak kelemahan, memberi peluang bagi penyelewengan. Namun, benarkah penetapan standar suara terbanyak sebagai ukuran peraihan kursi akan menjamin hasil yang terbaik??


Belum dapat dibuktikan. Standar itu baru ditetapkan berlaku dalam proses pemilu mendatang. Belum teruji keampuhannya untuk meningkatkan kualitas, kredibilitas dan integritas mereka yang terpilih. Masih perlu pembuktian.


Menurut berita di berbagai media, dengan system peraihan kursi berdasarkan suara terbanyak, begitu banyak dana yang harus digelontorkan oleh para caleg untuk menjadi popular.‘Biaya’ menjadi caleg menjadi sungguh sangat mahal.


Dalam sebuah berita di Kompas.com pada hari Minggu (1 Feb 2009) maupun dalam ulasan di majalah Gatra (pada salah satu edisi bulan Jan 2009), disebutkan bahwa seorang caleg harus mengeluarkan biaya jutaan hingga bilangan ratusan juta rupiah. Dikabarkan seorang caleg ada yang menganggarkan biaya hingga 700 juta rupiah untuk mempopulerkan dirinya, termasuk untuk mencetak segala bentuk atribut promosi. Sebuah jumlah yang tidak sedikit tentunya. Bahkan ada caleg yang dikabarkan menunggak biaya sekolah anaknya selama beberapa bulan karena biaya yang ada sudah terpakai untuk mempromosikan diri. Ada pula kabar mengenai caleg yang meminjam dana puluhan juta rupiah ke sana-sini, hasil urunan keluarga hingga teman dan kerabat. Caleg lainnya mengatakan bahwa biaya promosi dia ’paling rendah’, karena 'hanya' berkisar 10 juta rupiah. Wow!! Sementara bagi banyak rakyat yang masih hidup jauh di bawah garis kemakmuran, jumlah 10 juta rupiah tidak bisa dianggap sedikit. Bahkan untuk seorang pegawai tingkat menengah bilangan itu bisa sama artinya dengan gaji hasil bekerja membanting tulang selama sebulan penuh!


Modal yang diperlukan seorang caleg, yang hanya ’wajib’ meraih popularitas di tingkat Dapil (daerah pilihan), sudah sedemikian besar. Tentu diperlukan modal yang jauh lebih menakjubkan oleh seorang kandidat pemimpin negara untuk dapat meraih simpati seluruh rakyat negeri ini, dari Sabang hingga Merauke.


Tak mengherankan kalau ternyata banyak mereka yang setelah terpilih menjadi wakil rakyat maupun para pemimpin di republik ini, menjadi ‘blingsatan’ menempuh segala cara agar dapat kembali modal. Apalagi kalau menilik kenyataan, ternyata banyak mereka yang menggunakan modal hasil pinjaman ataupun sumbangan sana-sini. Tentunya banyak pihak yang akan ‘menagih’ hutang budi di kemudian hari, entah dalam bentuk natura maupun berbagai jenis privilege.


Sesungguhnya sistem apapun yang diterapkan akan tetap memberi peluang bagi penyimpangan bila tidak ada fungsi kontrol yang kuat. Dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap mereka yang mencalonkan diri maupun yang telah mendapat mandat untuk memimpin negeri ini.


Proses pengenalan secara sepintas, melalui poster, iklan di radio dan televisi ataupun anjangsana dan kunjungan sejenak ke masyarakat, tidak akan memberi waktu yang cukup untuk dapat mengenal kualitas kompetensi yang dimiliki dan terlebih penting niat & kesungguhan dari para caleg serta kandidat pemimpin bangsa. Pengenalan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui poster, iklan dan janji semata.


Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Memang benar. Tapi hanya sekedar mengenal tampak mukanya saja belumlah cukup untuk menentukan sebuah pilihan yang berat. Rakyat negeri ini harus segera menyadari bahwa di balik setiap pilihannya selalu terkait dengan konsekwensi. Akankah mereka yang terpilih nanti benar-benar tulus memperjuangkan nasib seluruh rakyat, ataukah hanya akan berpihak kepada segelintir golongan atas nama balas budi?


Sehingga setiap hak pilih yang digunakan harus dipikirkan dengan cermat, karena suara yang diberikan setiap rakyat akan sangat menentukan:

seperti apa wakil yang akan dipercaya untuk menyuarakan dan memperjuangkan nasib rakyat

seperti apa pemimpin yang akan mengelola negeri ini, berikut dengan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya, melalui kebijakan-kebijakannya.

ke arah mana negara ini akan dibawa dalam 5 tahun mendatang.

bagaimana nasib bangsa ini dalam 5 tahun kedepan


Sebelum menentukan pilihan, yakinkanlah sekali lagi, apakah kita sudah benar-benar mengenal kandidat yang akan dipilih.


Selidiki !
Carilah informasi lebih mendalam mengenai mereka yang akan dipilih. Apa latar belakang mereka? Dengan apa mereka mendanai seluruh aktivitas kampanye? Hal ini penting diperhatikan, agar tidak terikat pada ‘kewajiban’ balas budi, yang justru akan melunturkan nilai-nilai demokrasi.


Adakah ‘’track record’’ yang membuktikan keperdulian mereka terhadap rakyat kecil? Tidak perlu melakukan survey besar-besaran. Umumnya, mereka yang memang memiliki karakter yang tulus, kompetensi yang berkualitas, kredibilitas serta integritas yang tinggi, (yang saya rasa merupakan syarat mutlak yang wajib dimiliki oleh seorang kandidat), telah terbiasa menunjukkan sikap keperdulian dan memberi sumbangsih nyata, setidaknya bagi lingkungan terkecil di sekitar mereka, di hampir sepanjang kehidupan mereka. Bukan sekedar tebar pesona dan umbaran janji menjelang pemilu.


Ketulusan sesungguhnya tidak dapat dibuat-buat. Kualitas diri & integritas sejatinya tidak mungkin dipoles sesaat. Sehingga karakter & kualitas yang diharapkan semestinya telah tercermin sejak lama dalam kehidupan serta keseharian sikap & tindakan.


Sadari !
Di balik setiap pilihan, terdapat konsekwensi yang teramat sangat berat. Jangan sampai terjadi lagi rakyat mempercayakan suaranya kepada mereka yang mengincar status ‘wakil rakyat’ hanya sebagai lapangan pekerjaan, sekedar mendapatkan lahan matapencaharian, bahkan untuk mengeruk keuntungan semata. Jangan sampai ada lagi pemimpin yang hanya menunjukkan keberpihakannya pada saat menjelang pemilihan umum, dengan tujuan meningkatkan citra diri untuk meraih popularitas. Bila demikian, maka dalam 5 tahun masa bertugasnya, keberpihakan itu hanya akan ada di tahun terakhir masa jabatan, sedangkan 4 tahun pertama akan sulit untuk diharapkan. Pemimpin yang hanyut dalam bingkai citra yang indah, hanya akan menyajikan ilusi dan bukan realitas.


Ingatlah !
Keberpihakan kepada rakyat adalah Kewajiban ! Bukan Pencapaian, apalagi Prestasi. Sudah sewajibnya bagi siapapun yang terpilih memimpin negara ini menunjukkan keperduliannya kepada seluruh rakyat di sepanjang masa tugasnya, bukan hanya di akhir masa jabatan dalam kentalnya balutan politik pencitraan. Sudah semestinya bagi siapapun yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin dan mengelola negara ini, menjalankan amanat dengan penuh tanggungjawab untuk memenuhi sepenuh-penuh kebutuhan publik. Sudah sepatutnya bagi siapapun yang mendapatkan mandat itu, berdiri tegak di atas seluruh kepentingan rakyat, tanpa kecuali. Karena untuk tujuan itulah mereka dipilih oleh rakyat.


Alangkah naif, bila tugas yang seyogyanya menjadi kewajiban dalam mengemban amanat rakyat, kemudian digembar-gemborkan sebagai sebuah prestasi berlebihan, berselimutkan ‘jualan’ politik. Sungguh aneh, bila kebijakan-kebijakan ‘populis’ terlihat beruntun dikeluarkan di akhir masa jabatan.


Sekedar mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat adalah sebuah Kewajiban. Sejatinya predikat Prestasi hanya layak diberikan pada pemimpin yang sunguh-sunguh berhasil meningkatkan kemakmuran bangsa secara signifikan, yang nyata dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat.


Kebijakan penurunan harga BBM yang ‘dicicil’ hingga 3 kali, (disaat harga keekonomiannya sudah jauh terlampaui di kali pertama penurunan harga dilakukan), menunjukkan budaya para pemimpin bangsa yang lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Kebijakan yang dikeluarkan, manakala sudah begitu banyak pihak yang menyerukan penurunan harga sejak harga pasar minyak dunia melorot jauh di bawah US $100 per barel, menggambarkan lambannya tindakan pengelola negara ini. Kebijakan yang diluncurkan secara ‘bertahap’, memberi kesan sekedar untuk mengimbangi frekuensi kebijakan menaikan harga yang telah mengalami 3 kali kenaikan sejak pemilu 5 tahun silam. Kenyataannya, total nominal 3 kali penurunan harga tersebut tidak jauh berbeda dari nominal sekali kenaikan harga. Sehingga total prosentase kenaikan harga BBM (telah lebih dari 124%) sesungguhnya jauh lebih besar daripada total prosentase penurunannya (hanya sekitar 30%).


Sebuah proses pembodohan publik telah terjadi. Sungguh sebuah ironi, ketika seharusnya seorang pemimpin perduli pada proses pencerdasan bangsanya. Sehingga sudah saatnya rakyat di negara ini mencari pemimpin yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.


Cermati !
Jangan terbuai popularitas semata. Jangan tergiur oleh tampilan indah sesaat. Jangan terlena oleh berbagai bentuk ‘keberpihakan semu’. Apakah rakyat dapat hidup sepanjang 5 tahun mendatang, hanya dengan kaus dan topi ataupun beberapa lembar rupiah dan bungkus-bungkus sembako yang dibagikan saat kampanye?


Republik ini memerlukan para pemimpin yang memiliki konsep yang kuat disertai program yang jelas. Pemimpin yang dapat meningkatkan kemakmuran bagi seluruh lapisan rakyat. Bukan sekedar peningkatan perekonomian dalam bentuk olahan data-data dan sajian angka-angka, yang bahkan tidak dapat dipahami oleh sebagian besar rakyat yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi.


Sebuah berita di salah satu media cetak, telah menghentak saya. Dalam uji desertasi untuk meraih gelar Doktornya, Idrus Marham (wakil ketua komisi II DPR RI) menyatakan bahwa ‘’Lebih dari 60% anggota DPR tidak berkualitas. Sehingga dalam setiap proses pengambilan keputusan yang teramat penting dan menentukan nasib rakyat banyak di negara ini, tidak dilakukan melalui proses perdebatan yang konseptual. Mayoritas anggota DPR hanya menjalankan tugas-tugas konstitusional, tanpa ada kontribusi pemikiran yang berbobot’’.


Apakah hal ini dapat diartikan, mereka hanya datang rapat, duduk, sekedar memenuhi absensi, bincang-bincang sejenak, lalu pulang? Tidak memiliki konsep atas setiap permasalahan yang dirumuskan?


Sebuah kenyataan yang menyedihkan ketika menyadari bahwa di pundak merekalah amanat rakyat dipercayakan, di tangan merekalah aspirasi rakyat diwakilkan. Betapa mengkhawatirkan, bila tugas yang demikian berat dan mulia telah dibebankan kepada mereka yang sesungguhnya tidak memiliki kemampuan – terlebih lagi kemauan - untuk menjalankannya. Bila tidak memiliki kesanggupan dan kemauan untuk memperjuangkannya, maka tidak sepatutnya mereka menerima amanat itu. ‘’Janganlah kau terima amanat yang tidak sanggup kau penuhi, karena di dalam amanat terkandung sebuah kewajiban’’, demikian ajaran dalam agama yang saya anut.


Sebaliknya, hak pilih atau kerap disebut juga sebagai hak suara sejatinya memiliki arti sebagai sebuah kesempatan yang diberikan kepada warga negara yang telah memenuhi persyaratan, untuk dapat memilih calon yang diharapkan dapat mewakili aspirasinya.


Berdasarkan pengertian tersebut, maka penggunaan hak dilakukan atas dasar keinginan dan kesadaran seseorang. Tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun di dalamnya, karena pengertian hak sangat berbeda dengan kewajiban. Dengan demikian, seyogyanya tidak ada ukuran halal dan haram yang melekat padanya. Sangatlah naïf bila nilai-nilai agama kemudian dikaitkan untuk kepentingan politik semata, sekedar untuk ‘’memaksa’’ setiap orang memberikan hak suaranya atas pilihan-pilihan yang tidak mereka kenal dan yakini dengan baik, yang tidak mereka ketahui dengan pasti akankah pemimpin yang dipilih nanti dapat membawa kemaslahatan (atau justru kemudharatan)?. Sebuah bentuk pemaksaan dalam kemasan apapun, sejatinya telah mencederai nilai-nilai luhur berdemokrasi.


Cukup sudah untuk terus menerus melakukan proses pembodohan publik. Pengelompokan halal dan haram dengan mengatasnamakan nilai-nilai agama pada tataran politik hanyalah sebuah ‘’jembatan pintas'' untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Sesungguhnya tingkat partisipasi politik dapat menjadi cermin keyakinan ataupun keraguan rakyat atas sistem yang berjalan, yang seharusnya disikapi sebagai sinyal introspeksi.


Setiap warga negara di republik ini semestinya diberi kesadaran dan kecerdasan berpolitik. Sehingga penggunaan hak pilih disertai dengan rasa tanggungjawab untuk digunakan dengan tepat, karena masa depan bangsa ini akan dipercayakan kepada mereka yang terpilih. Memutuskan untuk memilih atau tidak memilih adalah bagian dari pilihan, dimana setiap individu bebas untuk menentukan sikap politiknya.


Perhelatan besar yang digemakan sebagai Pesta Demokrasi itu hampir tiba. Pilihan itu terletak di tangan kita. Apakah kita akan menjadikan Pesta Demokrasi ini sebagai proses untuk menegakkan demokrasi yang hakiki di negeri ini? Ataukah kita hanya akan sekedar ‘Berpesta’ pora, menghabiskan dana hingga trilyunan rupiah? Berbondong-bondong datang ke TPU sekedar untuk menggunakan hak pilih, tanpa mengetahui dengan pasti siapa yang akan kita pilih?


Jangan jadikan negara ini hanya sebagai panggung sandiwara, yang sekedar menawarkan ilusi belaka. Jalannya pemilu sebagai mesin demokrasi yang akan menentukan nasib negara ini akan sangat tergantung pada pilihan rakyat. Masa depan bangsa ini harus dibentuk dari sekarang.


Bila kita memutuskan untuk menggunakan hak pilih, maka gunakanlah dengan cerdas, cermat dan bertanggungjawab. Kenali dengan baik pilihan yang akan diambil. Sadari benar konsekwensi di balik setiap pilihan.


Jangan jadikan Pemilu, hanya sekedar untuk ’Berpesta’, menebar eforia sesaat. Karena bila pesta telah usai, yang tersisa hanyalah tumpukan ‘piring & gelas kotor’ bekas mereka yang berpesta, yang harus kembali dibersihkan. Telitilah sebelum Memilih.


Apa yang akan kita pilih? Berdemokrasi atau sekedar Berpesta?


-PriMora Harahap-

22 Jan 2009


note:

tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (detikPemilu di Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)

Tidak ada komentar: