Senin, 05 Januari 2009

Demokrasi VS Kemakmuran

Judul di atas saya ambil tepat seperti tema forum Soegeng Sarjadi semalam (5 Jan 2009) yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi lokal swasta. Dalam forum semalam beliau mengundang Ichsanudin Noorsy, Arbi Sanit & Fadli Zon sebagai narasumber. Sesuai tema di atas, diskusi itu membahas mengenai apakah ada korelasi erat antara demokrasi & kemakmuran? Sehingga bila ada, maka pertanyaan berikutnya adalah mana yang harus lebih dulu dicapai? Pembahasan ini menurut Pak Soegeng, dipilihnya terkait dengan salah satu pernyataan Gubernur BI, Boediono, pada pidatonya di acara pengukuhan guru besar di salah satu Universitas Negeri yang menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia baru dapat berjalan bila income per capita trelah mencapai US 6000 (maaf, bila redaksi kata per kata ternyata kurang tepat seperti pernyataan Pak Boediono, namun intinya seperti itu). Beliaupun sengaja mengangkat tema ini dengan tujuan untuk menghindari terjadinya misleading dalam pengertian demokrasi & kemakmuran, walaupun statement tersebut hanya disampaikan Pak Boediono pada pidatonya di acara pengukuhan guru besar.

Pembahasan tema ini terasa menarik saat saya menyimak jalannya diskusi tersebut, yang ternyata saat berakhir masih belum mendapatkan kesimpulan yang bulat atau belum benar-benar mengerucut (bila mengambil istilah Pak Soegeng).

Sejak awal Pak Soegeng berpendapat bahwa menurutnya tidak ada korelasi yang terlalu erat antara jalannya sebuah demokrasi dengan tingkat kemakmuran rakyat. Karena bila demokrasi baru berjalan setelah dicapainya income per capita pada level tertentu (apalagi bila telah dipatok pada suatu nominal) maka dapat mengindikasikan bahwa demokrasi hanya menjadi milik dan hak orang yang telah makmur (orang kaya) saja. Inilah yang dikhawatirkan beliau dapat memberi pengertian yang mislead kepada masyarakat.

Apakah dengan tingkat kemakmuran yang tinggi, sebuah demokrasi dapat berjalan?
Ataukah dengan menjalankan demokrasi, akan dapat meningkatkan kemakmuran?

Menurut pendapatnya, semestinya demokrasi tidak dapat dihubungkan dengan tingkat kemakmuran, apalagi sekedar dalam skala lebih sempit berupa hitung-hitungan income per capita. Namun demokrasi memiliki kaitan erat dengan kebijakan ekonomi yang diambil dan dijalankan dengan benar, yaitu kebijakan-kebijakan ekonomi yang selalu berpihak pada rakyat.

Hal senada terlihat diamini oleh Pak Ichsan. Ada beberapa hal yang menjadikannya janggal bila demokrasi dikorelasikan langsung dengan kemakmuran, khususnya dengan income per capita, yaitu:
- secara sosiologi, demokrasi berada pada suatu tataran global, sedangkan income per capita adalah sesuatu yang sangat spesifik. Sehingga mengkorelasikan secara langsung jalannya demokrasi dengan tercapainya income per capita pada tingkat tertentu, berarti juga mengabaikan suatu jarak perbandingan yang cukup besar.
- tolok ukur demokrasi pada nominal income per capita tertentu seakan mengabaikan factor-faktor lain yang mempengaruhinya. Apakah tingkatan income per capita tersebut masih akan valid beberapa tahun mendatang? (menurut sayapun ini cukup beralasan, karena faktor-faktor seperti inflasi tentu akan berpengaruh pada kemampuan ekonomi masyarakat).
- pada kenyataannya, orang yang memiliki daya beli tinggi belum tentu ingin menggunakan suaranya sesuai dengan voice majority saat itu.
- pengertian harga secara ekonomi (dalam hal ini dapat diartikan pula sebagai transaksi) tidak sama persis dengan pengertian harga secara politik. Dalam politik maka harga yang harus dikeluarkan bisa menjadi jauh lebih besar karena ada banyak faktor, terutama yang berupa ‘intangible psychology’ yang berperan sangat besar. Secara ekonomi, umumnya yang perlu dipenuhi lebih ke arah needs (kebutuhan), sedangkan dalam politik faktor wants (keinginan) seringkali lebih dominan.
- bila tolok ukur berjalannya demokrasi adalah dari tingkat income per capita, maka hal ini juga berarti membiaskan disparitas yang ada, karena pada kenyataannya pula pemerataan income per capita dalam masyarakat tidak sama.

Dalam kesempatan malam itu, Pak Arbi lebih menekankan pada pentingnya menjadi demokrasi dan kemakmuran sama-sama sebagai tujuan yang akan dicapai. Jangan jadikan demokrasi hanya sebagai alat untuk mencapai kemakmuran.

Memang sepintas masih dapat dicari kaitan antara demokrasi dengan tingkat kemakmuran, bila dianggap demokrasi dapat berjalan lebih baik saat tingkat pendidikan masyarakat sudah cukup tinggi, yang membuat tingkat pemahaman politik masyarakat juga sudah cukup tinggi. Dimana seyogyanya kemakmuran telah tercapai untuk dapat menunjang pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tersebut.

Namun hal tersebutpun masih diragukannya akan memberikan jaminan langsung akan berjalannya proses demokrasi yang baik. Karena jalannya sebuah proses demokrasi juga ditentukan oleh behaviour (perilaku) dari para elit politik. Bila behaviour elit masih mengutamakan pengamanan kekuasaan dan penumpukan kekayaan, serta disparitas sosial ekonomi di masyarakat masih cukup besar, maka sulit untuk mengharapkan demokrasi berlangsung mulus.

Melanjutkan komentar Pak Arby mengenai behaviour elit, di forum semalam, Pak Ichsan juga menekankan bahwa demokrasi pada aspek politik dan ekonomi hanya dapat dipertemukan berdasarkan asas Share (keinginan untuk berbagi), Care (keperdulian sosial) dan Fair (terciptanya keadilan).

Pak Fadli memberi pendapat yang sedikit berbeda dengan nara sumber lainnya. Dalam hal ini beliau sepakat bahwa demokrasi memiliki korelasi erat dengan kemakmuran. Beliau berpendapat bila masyarakat masih sebatas memikirkan makan hari demi hari, maka kecenderungan yang timbul adalah tindakan anarkis. Namun beliau juga tidak setuju apabila income per capita (sebagai penanda kemakmuran) hanya dihitung berdasarakan faktor PPP (Purchasing Power Parity) karena hal ini berarti membiaskan adanya disparitas kemampuan ekonomi dan daya beli masyarakat, khususnya kesenjangan yang sangat besar antara daya beli yang kaya dengan yang miskin.

Masih menurutnya pula, dalam era globalisasi ini sesungguhnya tidak ada negara yang benar-benar fair menyikapi negara lain, karena setiap negara pasti menganut paham menyelamatkan negaranya terlebih dahulu. Sehingga praktis tidak ada negara yang berhasil menegakkan demokrasi untuk meningkatkan kemakmuran. Bahkan Amerika yang sangat menggaungkan demokrasipun sebenarnya telah gagal menegakkan demokrasi itu sendiri, terutama saat melakukan agresi ke negara-negara lain.

Sedangkan Cina terbukti berhasil meningkatkan kemakmuran masyarakatnya, tanpa meributkan bentuk-bentuk demokrasi, liberalisme, kapitalisme dsb, namun dengan menjalankan sistemnya sendiri, sosialisme a la Cina. Dan sudah terbukti pula bahwa Indonesia yang sedang bergiat dengan demokrasi liberalnya, hingga saat ini belum juga berhasil membawa kemakmuran, justru semakin melemahkan peran negara untuk kepentingan-kepentingan golongan tertentu dan bahkan pihak-pihak asing, karena tidak adanya arah & tatanan yang jelas.

Namun kemakmuran a la Cina diragukan oleh Pak Arbi dapat bertahan lama. Menurut beliau, sesuatu yang dipaksakan secara otoriter akan rentan terhadap penumpukan kekuasaan dengan tiadanya fungsi kontrol, yang hanya akan berakhir pada penyimpangan-penyimpangan dan tindakan korupsi, sebagaimana telah terjadi di Rusia.

Menjelang akhir diskusi Pak Soegeng masih tetap berpendapat bahwa tidak ada korelasi erat antara demokrasi dengan income per capita. Beliaupun mencontohkan bagaimana sesungguhnya demokrasi di Amerika lebih berjalan di masa silam, di era ‘’Wild-Wild-West’’ (menurut istilah beliau), dimana pada zaman itu masyarakat di sana baru saja memulai perjuangannya untuk hidup dan berkembang di benua baru tersebut, di saat kemakmuran belum lagi tercapai. Pada era itu bahkan istilah income per capita pun belum ada, dan bentuk perdagangan seringkali masih menggunakan system barter.

Pada sesi terakhirnya, Pak Ichsan mengatakan bahwa negara memerlukan Pemimpin yang dapat mengarahkan, mencerdaskan, menyatukan dan memihak pada kepentingan rakyat.

Dan saat diminta statement terakhirnya malam itu, Pak Arby lebih menekankan bahwa yang paling penting pada suatu negara adalah memastikan berjalannya system check & balances, adanya fungsi kontrol & arah yang jelas dari para elit politik yang didukung oleh behaviour para pemimpin.

Kira-kira seperti itulah jalannya diskusi yang saya pahami semalam (maaf bila pengutipan kata demi kata tidak tepat sama seperti yang diucapkan oleh setiap nara sumber, namun saya mencoba untuk menyarikan isi diskusi tersebut).

Sebuah diskusi yang berjalan cukup alot pada tema yang memang sulit untuk dicarikan jawabannya. Pada akhirnya merekapun sulit untuk mendapatkan suatu kesimpulan bulat bersama, apakah demokrasi memiliki korelasi erat dengan kemakmuran, terutama dari sisi income per capita. Manakah yang lebih dulu harus dicapai? Mencapai income per capita pada nominal tertentu yang berarti makmur lebih dulu baru masyarakat dapat berdemokrasi? Ataukah berdemokrasi untuk dapat menaikkan tingkat kemakmuran?

Saat ini kenyataannya tingkat kemakmuran untuk menunjang tercapainya Pendidikan Tinggi bagi seluruh rakyat, yang diharapkan dapat menaikkan tingkat pemahaman politik masyarakat agar proses demokrasi dapat berjalan baikpun tampaknya masih sangat jauh dari angan. Akses ke jalur pendidikan tinggi semakin sulit dicapai oleh rakyat kebanyakan.

Sedangkan proses berdemokrasi itu sendiri acap terlihat berjalan tanpa arah & kendali. Sekalipun kata demokrasi sering diteriakkan oleh para elit, namun di sana-sini masih kerap terlihat pengebirian terhadap proses demokrasi itu sendiri. Sulitnya akses masyarakat terhadap informasi yang benar & nyata, belum adanya transparansi menyeluruh di hampir semua lini juga merupakan cermin dari betapa proses berdemokrasi itu sendiri masih jalan di tempat.

Betapapun tema ini menarik untuk direnungkan lebih mendalam, apalagi Pemilu yang sejatinya merupakan Pesta Demokrasi sudah di depan mata. Menyimak di tahun-tahun terakhir berbagai elemen bangsa ini sibuk meneriakkan kata demokrasi (walau sering terlihat tanpa paham benar arti sesungguhnya dari demokrasi itu sendiri). Namun kemakmuran yang didambakan, khususnya bagi sebagian besar masyarakat kebanyakan, sepertinya tidak mengalami kemajuan berarti, setidaknya hanya jalan ditempat.

Maka pertanyaan selanjutnya yang mengusik benak saya adalah:

Apa sebetulnya tujuan utama yang ingin dicapai negara ini?

Apa sebenarnya masalah mendasar yang mendesak untuk dicarikan solusinya?

yang pada akhirnya bottom line dari semua pertanyaan itu adalah:

Hendak dibawa kemana bangsa ini?

Pagi ini saya membaca berita di Kompas.com pada kolom Ekonomi dengan judul ‘’Rakyat Jangan Diberi Harapan Terlalu Tinggi’’. Pada berita tersebut disebutkan bahwa ada ‘’gap’’ atau jarak yang cukup besar antara persepsi masyarakat dengan data makro perekonomian nasional yang mencerminkan tahun 2008 lebih baik dari tahun sebelumnya.

Berikut saya kutipkan sebagian berita tersebut:

Adanya "gap" atau jarak pemisah itu, karena pemerintah, utamanya para menteri di bidang ekonomi dan keuangan sering memberikan harapan kepada masyarakat terlalu tinggi, demikian rangkuman kesimpulan dari para pengamat ekonomi, seperti Dr. Hadi Soesastro, Dr. Umar Juoro dan Dr. Pande Radja Silalahi mengomentari presentasi evaluasi ekonomi 2008 dan prospek tahun 2009 oleh Menko Perekonomian yang merangkap Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (5/1) malam.

Menurut Hadi Susastro, Direktur Centre For Strategic and International Studies (CSIS), masyarakat yang tinggal di perkotaan dan perdesaan, hanya melihat kejadian dan kenyataan di sekeliling mereka.

"Saat ini masyarakat merasakan, harga bahan pokok cukup mahal, pendapatan tidak merata, dan dimana-mana terjadi keresahan soal ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari pemberi kerja. Kondisi seperti itulah yang dirasakan masyarakat, sehingga meskipun pemerintah menyajikan data makro perekonomian cukup baik, masyarakat tidak meresponnya," katanya.

Hadi Soesastro mengakui, kinerja perekonomian nasional dilihat dari pertumbuhan secara makro cukup baik, tetapi hal itu tidak otomatis merepresentasikan kehidupan masyarakat juga tambah membaik.

"Saya melihat, jumlah pengangguran 2008 lebih rendah hanya mencapai 8,4 juta jiwa atau turun dari 9,11 juta pada 2007. Demikian juga angka kemiskinan, terjadi perbaikan dari tahun sebelumnya, namun hal itu tidak dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas, karena distribusi pendapatan tidak merata," katanya.

Umar Juoro dari The Habibie Center menambahkan, persepsi di masyarakat terhadap pencapaian kinerja perekonomian nasional, tidak seperti yang disampaikan oleh Menko Perekonomian itu.

"Ada gap persepsi masyarakat dengan data yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian itu, seperti pemberian subsidi minyak tanah dan bensin, tetapi di lapangan sulit dicari, subsidi pupuk, tetapi di pasaran tidak ditemukan. Demikian juga adanya dana Rp 51 triliun untuk stimulus ekonomi, namun bagaimana cara membaginya sampai saat ini belum jelas dan tuntas," katanya.

Menurut Umar, adanya gap persepsi itu karena pemerintah hanya mengandalkan pada pencapaian angka-angka yang tampak bagus-bagus tetapi tidak dapat merepresentasikan kehidupan masyrakat secara riil.

Oleh karena itu, untuk melihat prospek ekonomi 2009, sebaiknya para menteri di bidang ekonomi tidak hanya mengandalkan pada hitungan angka semata, tetapi melihat apakah kebijakan yang disampikan itu dapat "membumi" atau tidak.

Hal senada juga disampaikan pengamat ekonomi dari CSIS, Dr. Pande Radja Silalahi yang mengatakan, pemerintah tampaknya hanya menjaga image, bahwa pertumbuhan ekonomi secara makro baik, tetapi sesungguhnya tidak dapat menjawab bagaimana mengatasi pengangguran dan menekan jumlah angka kemiskinan.

Defisit APBN 2009 hanya satu persen, menunjukkan tidak adanya dorongan untuk membuka peluang tenaga kerja secara luas. Apa salahnya meningkatkan defisit 2 sampai 3 persen dalam APBN 2009, tetapi defisit itu untuk membuka lapangan tenaga kerja dan membangun infrastruktur dibidang pertanian dan perkebunan.

Menteri Koordinator Perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, di hadapan para pengamat dan pimpinan mass media mengatakan, perekonomian dunia sepanjang tahun 2008 mengalami gejolak yang luar biasa, tetapi pemerintah masih dapat menangani dampak krisis ekonomi itu secara baik.

Hal itu dapat dilihat dari data perekonomian makro seperti, tingkat inflasi lebih rendah dari asumsi pemerintah menjadi 11,06 persen, cadangan devisa terus naik menjadi 51,0 miliar`dolar`pada triwulan IV 2008.

Di sektor tenaga kerja, tingkat pengangguran selama empat tahun terakhir terjadi penurunan dari 11,24 juta tahun 2005 menjadi 8,46 juta orang pada 2008. Sementara jumlah kemiskinan juga terus mengalami penurunan meskipun tipis, dari 35,1 juta jiwa tahun 2005 menjadi 35,0 juta jiwa tahun 2008.

Begitulah kenyataan yang terbentang.

Bila demikian…

Apa yang harus dicapai lebih dulu? Demokrasi atau Kemakmurankah?


Sejatinya proses demokrasi memang merupakan bentuk ideal bernegara. Sehingga bila negeri ini sudah menjalankannya tentu tidak boleh mundur dengan mengebirinya kembali. Untuk itu diperlukan fungsi kontrol bagi berjalannya proses demokrasi yang benar serta pemimpin dan para elit yang dapat menjadi panutan dalam berdemokrasi, yang tercermin di setiap gerak langkah mereka, bukan sebatas wacana & opini, atau teriakan nyaring mengusung demokrasi saat berkampanye.


Semestinya pula demokrasi dan peningkatan kemakmuran tidak boleh hanya sekedar dijadikan sebagai alat ataupun prasyarat untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena bila hanya sebatas alat, maka ketika tujuan telah tercapai, alat tidak lagi diperlukan.


Sehingga berjalannya proses berdemokrasi tidak hanya terlihat pada saat eforia Pesta Demokrasi saja, namun telah menjadi keseharian dalam perjalanan negeri ini.


Jangan pula, para elit & pemimpin negara ini terlalu larut dalam hiruk pikuk Pesta Demokrasi, sehingga melupakan upaya pencapaian kemakmuran yang merata bagi seluruh lapisan rakyat, bukan sekedar peningkatan perekonomian yang dinikmati segelintir kalangan.


Sebuah peningkatan kemakmuran yang tidak sebatas pada olahan hitung-hitungan angka ataupun sajian data-data (yang bahkan sulit dimengerti oleh sebagian besar masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan yang layak). Namun kemakmuran yang benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh setiap rakyat dalam kehidupannya di negara ini.


Tegaknya berdemokrasi di segala bidang dan peningkatan kemakmuran bagi seluruh rakyat negeri ini, haruslah sama-sama menjadi perhatian untuk dijalankan dan dicapai.



-PriMora Harahap-

6 Jan 2009

note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori politik & bernegara, serta di Mora's blog

Tidak ada komentar: