Minggu, 18 Januari 2009

Save Our Culture

Judul di atas merupakan tema dari perayaaan 30 tahun sanggar kesenian Sangrina Bunda, pimpinan Elly Kasim. Dalam wawancaranya di sebuah acara infotainment yang ditayangkan stasiun televisi swasta, Elly Kasim mengatakan judul tersebut dipilihnya sebagai bentuk perhatiannya terhadap kelestarian budaya Indonesia. Dalam perayaan itu sejumlah tari-tarian tradisional dipentaskan disertai dengan lagu-lagu daerah yang dibawakan oleh penyanyi-penyayi muda negeri ini. Sebuah upaya yang patut dihargai, mengingat prakarsa ini justru datang dari elemen masyarakat.


Tari dan lagu memang merupakan bagian dari budaya bangsa ini yang wajib dilestarikan. Namun perlu disadari, cakupan budaya sebuah bangsa tidak hanya sebatas pada gerak tari dan lagu. Begitu banyak ragam kebudayaan besar bangsa ini yang perlu sentuhan dan perhatian yang serius, agar terhindar dari kepunahan. Sangat disayangkan, betapa sedikit pihak-pihak yang menyadarinya. Seringkali saya membaca berita mengenai kegiatan promosi pariwisata, baik di dalam negeri hingga menerbangkan duta budaya ke manca negara, apalagi sejak dicanangkannya program ‘’Visit Indonesia Year’’. Hampir seluruhnya sebatas pagelaran-pagelaran tari dan lagu, atau sekedar pameran kerajinan tangan dan kuliner.


Begitupun, belum hilang dari benak & ingatan, berbagai berita mengenai ‘’pencurian’’ tari dan lagu tradisional negeri ini oleh negara lain, hanya karena kelalaian & ketiadaan peran negara sebagai pelindung dan pelestari kebudayaan. Ketidaksigapan negara dalam melakukan proses inventarisasi dan sertifikasi atas peninggalan kebudayaan leluhur di seluruh nusantara telah mengakibatkan sedikit demi sedikit tidak ada lagi kebudayaan yang dapat dinyatakan sebagai milik bangsa ini.


Lalu bagaimana dengan nasib bangunan-bangunan bersejarah, artefak-artefak, situs-situs, arca-arca, kitab-kitab budaya dan masih banyak lagi peninggalan budaya leluhur bangsa ini secara fisik? Sebagian besar dari peninggalan-peninggalan fisik tersebut nyaris tidak mendapat perhatian yang layak dari negara ini, beberapa bahkan justru dapat ditemui di museum-museum besar di luar republik ini.


Berita mengenai apa yang menimpa cagar budaya Trowulan, di Mojokerto, akhir-akhir ini sungguh membuat hati miris. Betapa situs purbakala, bukti kebesaran Majapahit ini mengalami pengrusakan setiap tahunnya akibat dari kecerobohan, kelalaian dan kurangnya kesadaran dari masyarakat sekitar maupun pemerintah. Aktivitas pembuatan batu bata oleh masyarakat setempat telah mengikis situs arkeologi tersebut. Perlahan namun pasti, pengambilan tanah dengan serampangan sebagai bahan pembuat batu bata telah mengancam keberadaan situs yang diperkirakan merupakan lokasi berdirinya kedaton Majapahit pada zaman kejayaannya. Sebuah cagar budaya bernilai sejarah tinggi nyaris punah hanya karena 'industri' batu bata ! Kondisi yang menunjukkan betapa rendahnya kesadaran budaya bangsa ini.


Proses pembangunan pusat informasi kerajaan Majapahit yang digalakkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan diharapkan dapat menjaga peninggalan bersejarah ini dari kepunahan, justru menambah parah kerusakan yang terjadi . Hal ini dikarenakan proses pembangunan dijalankan tanpa perencanaan yang matang, dengan tidak mengindahkan prosedur dari aspek arkeologis. Balai arkeologi Yogyakarta dalam sebuah berita di media cetak, mengatakan tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan pusat informasi Majapahit ini. Sehingga ditenggarai proyek pembangunan ini dilakukan tanpa adanya proses penelitian secara arkeologis terlebih dahulu.


Begitu beragam berita seputar latar belakang pembangunan yang terkesan dilakukan dengan terburu-buru oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ini. Namun apapun yang melatarbelakangi alasan pembangunan yang tergesa-gesa tersebut, tetaplah tidak dapat dibenarkan bila pengabaian prosedur arkeologis justru memperparah kondisi kehancuran warisan budaya yang menggambarkan kebesaran peradaban leluhur bangsa ini.


Tak ayal, berita Trowulan mengingatkan saya pula akan usaha penggalian sebuah situs di wilayah Jawa Barat beberapa tahun silam, oleh seorang pejabat negara di masa itu. Penggalian yang tak pelak telah mengorbankan sebuah sejarah kebesaran bangsa, dimaksudkan untuk menemukan harta karun yang terpendam di dalamnya, demi penambah kas negara. Namun nyatanya ''harta karun'' yang ditemukan tidak sesuai dengan yang didamba. Sungguh sebuah kenaifan.


Seyogyanya, sebuah program pelestarian budaya haruslah dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehatian-hatian dan menghindari terjadinya kecerobohan yang memunahkan. Kini berbagai benda-benda peninggalan kebesaran kerajaan Majapahit luluh lantak tergilas pembangunan fondasi pusat informasi yang dibangun di atasnya. Sungguh sebuah ironi. Pemerintah yang diharapkan menjaga dan melestarikan warisan budaya dari kepunahan, justru menggelar program pembangunan yang menghancurkan kebesaran budaya itu.


Trowulan hanyalah satu dari sekian banyak peninggalan kebudayaan yang menggambarkan kebesaran peradaban bangsa ini. Begitu banyak warisan-warisan kebudayaan lainnya yang entah bagaimana nasibnya kini. Berbagai kerajaan pernah ada di bumi nusantara ini, membangun peradaban besar yang dikagumi hingga ke negeri lain. Kerajaan Sriwijaya bahkan disinyalir sebagai kerajaan yang mendirikan universitas tertua di dunia. Rekam sejarahpun menyebutkan betapa pelaut-pelaut negeri ini telah berlayar ke penjuru dunia sejak abad ke 5, jauh sebelum Columbus dan dinasti-dinasti China memulai pelayarannya.


Belum lagi, literatur-literatur dalam bentuk kitab suci bersejarah seperti Negara Kertagama, aksara-aksara kuno berbagai suku, seperti Honocoroko dari Jawa, aksara Batak purba dengan kalender tradisionalnya, huruf Bugis, dan masih banyak lagi. Jepang, Korea, China, Rusia, Arab, India dan Thailand adalah contoh negara yang masih melestarikan dan bangga akan aksaranya. Bahkan banyak negara di Eropa seperti Perancis, Spanyol dan Jerman masih mempertahankan bentuk-bentuk aksen tertentu pada aksara latinnya.


Benda-benda fisik bersejarah lainnya semacam keris, tombak, guci, arca dan berbagai jenis lainnya, acap lebih mudah ditemukan di museum-museum maupun balai-balai lelang di luar negeri ini. Pelbagai motif perhiasan dan kain tradisional mulai berpindah hak pengakuan oleh negara lain. Peninggalan budaya berupa arsitektur bangunan & pahatan, kini tenggelam ditelan era modernisasi & geliat komersialisasi lahan dengan gempuran gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.


Begitu banyak negara di dunia ini yang dapat maju berkembang dari segi perekonomian dengan tetap memelihara peninggalan kebudayaan arsitektur mereka. Yunani, Itali, ataupun Peru adalah sedikit contoh negara yang menjaga kebesaran budayanya. Demikian banyak pula negara yang masih mempertahankan bentuk-bentuk arsitektur bangunan bersejarahnya (heritage), di kota-kota besar sekalipun. Namun tidak di negeri ini.


Agaknya salah satu faktor pemicu musnahnya kebesaran kebudayaan dan peradaban bangsa ini dikarenakan proses Indonesianisasi kerap dipahami sebagai sebuah proses penyatuan negara dalam pengertian peleburan total dari seluruh elemen bangsa dengan meninggalkan dan menghilangkan akar budaya masing-masing. Sehingga dalam prosesnya, tercapainya bentuk ke Ekaan menjadi lebih ditekankan atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, dibandingkan dengan menyadari adanya bentuk ke Bhinekaan itu sendiri.


Sejatinya dalam proses Indonesianisasi, bangsa ini tidak perlu menghilangkan akar budaya setiap suku pembentuknya, namun tidak juga harus disikapi dengan mempertahankan kebudayaan berdasarkan fanatisme kesukuan. Selayaknya disadari bahwa akar budaya yang beragam di negeri ini haruslah dijadikan fondasi identitas bagi ke Bhinekaan Indonesia, dan bukan dalam bentuk penyeragaman yang mematikan keberagaman budaya tersebut.


Keragaman tidak harus dipaksakan menjadi keseragaman. Keunikan & kearifan lokal semestinya dipertahankan dan dikembangkan untuk memperkaya kehidupan peradaban bangsa ini. Sangat disayangkan, bila kebesaran budaya & peradaban ini punah, dan berakhir hanya sebagai bangsa yang ‘besar’ secara materi, mungkin pesat dari sisi pembangunan namun tak lagi memiliki akar budaya yang kuat, sebagaimana terjadi pada Amerika Serikat.


Paham kebangsaan tidak semestinya mematikan arti kebudayaan, begitupun sebaliknya. Eksistensi kebudayaan tidak seharusnya menghilangkan rasa kebanggaan berbangsa. Punahnya budaya-budaya lokal, dikhawatirkan akan melenyapkan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Proses globalisasi dan modernisasi tanpa arah, hanya akan membuat bangsa ini berkembang tanpa jati diri & peradaban yang kuat.


Simak, betapa sebagian besar generasi muda negeri ini begitu bangga dengan segala hal yang berbau ‘’kebarat-baratan’’ atau setidaknya berasal dari ‘’luar negeri’’. Bagaimana tayangan-tayangan sinetron di layar kaca mencontohkan hal-hal yang jauh dari kebanggaan akan menjadi seorang Indonesia. Tidak hanya dalam hal gaya hidup bahkan hingga ke cara bicara dengan aksen yang terkesan dibuat-buat. Penguasaan bahasa asing sebagai bahasa sosialisasi internasional memang tak dapat dihindari, namun hal itu tidak dapat diartikan sebagai sebuah penghilangan jati diri Indonesia, dengan menghilangkan logat & dialek setempat.


Tengok bagaimana rapuhnya kehidupan bermasyarakat yang kini dengan mudah terprovokasi oleh fanatisme tak berdasar, berkembang menjadi tawuran dan perseteruan. Sedangkan sejarah mengatakan bahwa para leluhur bangsa besar ini telah lama menjalin hubungan baik dengan berbagai bangsa di penjuru dunia, bahwa para pelaut negeri ini telah lama berkelana menjelajahi penjuru bumi. Bahkan kerajaan-kerajaan besar di negeri ini telah menjadi kiblat bagi peradaban negara-negara lain di zaman keemasannya dahulu, hidup berdampingan dengan damai & tentram dalam berbagai keragaman.


Lihat pula, betapa sering ditemukan corat-coret tak bertanggungjawab pada sejumlah bangunan budaya bersejarah. Kata-kata tanpa makna ditorehkan oleh anak-anak muda negeri ini, sekedar ungkapan ekspresi keberadaan, yang tanpa mereka sadari telah mengotori sejarah budaya yang tak ternilai harganya.


Sepertinya telah menjadi gejala di republik ini untuk mengambil kebijakan yang bersifat praktis & oportunis, sekedar memenuhi kepentingan yang bersifat temporer, pemenuh kewajiban saat memangku sebuah mandat. Berbagai program kebudayaan hanya dijalankan sebatas pemenuhan jangka pendek yang bersifat instant, yang kerap lebih tepat disebut sekedar proyek ketimbang program yang terencana.


Program pelestarian kebudayaan selalu dikaitkan dengan tujuan pariwisata semata, dan bukan pada pembangunan kebudayaan itu sendiri. Sehingga pencapaian dari setiap program yang dicanangkan hanya bertumpu pada olahan angka-angka statistik peningkatan kunjungan wisatawan dan tingkat hunian hotel, yang berujung pada hitungan perolehan devisa negara.


Sebuah upaya pembinaan dan peningkatan kesadaran budaya sekaligus rasa kebangsaan pada masyarakat tak lagi tersentuh. Pengabaian ini telah membuat masyarakat tumbuh dengan pergeseran peradaban yang tidak lagi memiliki kebanggaan akan budayanya & kesadaran untuk menjaga kelestariannya, namun acap terjebak dalam arti kesukuan yang sempit dan rasa kebangsaan yang dangkal.


Seharusnyalah sebuah program pariwisata dibangun di atas fondasi sebuah program kebudayaan yang kuat dari hulu ke hilir. Kesadaran budaya yang kuat pada masyarakat, diikuti oleh rasa kebangsaan yang tinggi, yang ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang baik serta promosi pariwisata yang bergema, dengan sendirinya akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Diperlukan program pembinaan sekaligus pengembangan & pelestarian budaya yang komprehensif & terintegrasi.


Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga dapat menghargai dan menjaga kebesaran budaya leluhurnya.


Adakah bangsa ini masih memilikinya?


-PriMora Harahap-

16 Jan 2009

note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog

Tidak ada komentar: