Pentas terakhir dari seri Republik persembahan Teater Koma di bulan pembuka tahun ini, diberi judul ‘’Republik Petruk’’. Sebagai bagian terakhir dari sebuah trilogy, formatnya tampak agak berbeda dengan dua bagian terdahulu, Republik Bagong dan Republik Togog. Nano Riantiarno mengemasnya dengan format yang lebih ringan dan popular.
Bagi para penikmat kisah perwayangan tentu akan segera memahami bahwa cerita ini diangkat dari lakon ‘’Petruk Dadi Ratu’’. Sebagaimana kisah aslinya, Nanopun mengemas pentas ini dalam nafas komedi.
Lakon di babak pertama pentas ini dibuka dengan hadirnya Petruk sebagai narator. Ia mengisahkan latar belakang Mustakaweni yang ingin mencuri jimat Kalimasada milik Pandawa agar dapat membunuh Arjuna sebagai bentuk balas dendam atas kematian ayahnya. Diikuti oleh adegan berkumpulnya seluruh keluarga Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Arjuna, Krisna, Bima dan si kembar, Nakula dan Sadewa di kedaton Amarta, yang tampak prihatin atas pembangunan Candi Eka yang selalu gagal setiap kali hampir rampung.
Adegan demi adegan lalu mengalir, menggambarkan bagaimana Mustakaweni berhasil mencuri jimat Kalimasada dari Drupadi (istri Yudistira) dengan menyamar sebagai Gatot Kaca. Jimat dalam genggaman Mustakaweni ini membuatnya mampu melumpuhkan Srikandi (salah seorang istri Arjuna) saat berupaya merebut Kalimasada dari tangannya. Kedatangan Priambada, seorang pemuda tampan dan gagah yang mengaku sebagai anak Arjuna dan ingin bertemu dengan ayahandanya, membuat Srikandi meminta pertolongannya untuk merebut kembali jimat Kalimasada dari tangan Mustakaweni dengan imbalan akan mempertemukannya dengan Arjuna.
Singkat cerita, babak pertama ditutup dengan kisah keberhasilan Priambada merebut jimat tersebut tanpa perlawanan berarti dari Mustakaweni yang jatuh hati kepadanya. Priambada yang juga terpanah
Dengan jimat di tangan, Petruk mengalami pergolakan batin, antara berbuat jujur menyerahkan jimat kembali kepada Drupadi atau memanfaatkan tuahnya untuk membangun kekuasaan sendiri. Atas hasutan dari Btara Guru dan Btara Narada, yang membisikkan bahwa peluang takkan datang dua kali, akhirnya Petruk tergoda. Iapun berhasil menaklukkan Ratu Jin – penguasa Kerajaan Lojitengara dan diangkat sebagai Raja bergelar Prabu Petruk Belgeduwelbeh Tong Tong Sot.
Di bawah kepemimpinan Petruk, dikisahkan Lojitengara mengalami reformasi politik. Dia menjalankan kerajaan dengan prinsip demokrasi SBY (Semua Boleh Yee…), asalkan tidak ketahuan dan semua masih berjalan lancar. Alkisah, Lojitengara tumbuh makmur. Pejabat menjadi takut untuk korupsi. Polisipun berubah santun melayani masyarakat. Pendek kata, semua serba terkendali walaupun KKN tetap marak terjadi. Situasi yang terkendali membuat Sang Prabu Petruk memiliki banyak waktu untuk menari dan menyanyi.
Babak ke dua lakon ini mengisahkan Amarta yang menerima
Peperanganpun terjadi yang berakhir dengan kemenangan pasukan perang Amarta. Petrukpun kembali menjejak realitas, menjadi panakawan kembali. Seluruh kerajaan dan kekuasaannya hilang lenyap. Jimat Kalimasada kembali ke para Pandawa.
Secara keseluruhan pentas ini cukup menghibur karena tampil dalam format komedi. Celetukan-celetukan kocak Semar dan anak-anaknya sempat menerbitkan senyum. Namun ‘petuah’ dan ‘wejangan’ Btara Guru silihberganti dengan Semar selama beberapa menit, yang dijejalkan di akhir lakon terasa sungguh menyesakkan.
Berbagai pesan Btara Guru tentang indahnya ke Bhinekaan pada suatu negara yang tidak perlu lebur menjadi ke Ekaan (sebagai moral cerita dari tidak juga terbangunnya Candi Eka), diikuti oleh sindiran sangat tersurat oleh Semar mengenai seorang pemimpin sebuah negeri yang gemar mencari citra melalui berbagai cara termasuk dengan mengarang lagu dan menerbitkan CD, serta nasihat bahwa sebuah amanat adalah titipan yang suatu saat dapat diambil kembali, terasa sesak digemakan di penghujung lakon ini.
Kesan ‘menggurui’ di akhir pentas menjadi sangat kental. Sebuah kesan yang semestinya dihindari dalam sebuah konsep teater. Nano seakan tidak yakin bahwa penonton dapat menarik sendiri benang merah dari keseluruhan pesan yang disampaikan. Sehingga penonton seakan harus dijejali kembali dengan pelbagai pesan yang begitu tersurat, untuk memastikan penonton mendapat moral cerita dari lakon ini.
Alangkah lebih apik bila pesan-pesan tersebut tidak dijejalkan di penutup lakon. Namun disampaikan secara tersirat dalam bentuk kalimat-kalimat sindiran yang tajam dan kocak di setiap bagian lakonnya, sejak cerita dimulai hingga akhir, dengan benang merah yang menghubungkan setiap lakon dan sindiran menjadi sebuah keutuhan moral cerita.
Entah kenapa, hal ini tampaknya hilang pada pentas kali ini. Sebuah pentas di luar format dan kebiasaan Teater Koma. Sangat berbeda dengan pentas ‘’Kenapa Leonardo?’’ yang digelar tahun lalu, dengan pesan-pesan kejiwaan yang mengalir dan disampaikan dengan halus dari awal hingga akhir.
Sepanjang bagian pertama pentas ini, pesan-pesan yang semestinya disampaikan justru tidak terlalu terlihat. Membuat pada saat jeda istirahat terdengar penonton berujar tidak mengerti jalan cerita lakon tersebut. Bagi orang awam pewayangan, lakon di bagian pertama memang hanya sarat kisah pewayangan, yang mengisahkan dendam Mustakaweni dan memperkenalkan seluruh anggota keluarga Pandawa serta para Dewa (Btara). Terlihat bagai lakon wayang orang biasa, hanya dengan tampilan kostum yang tidak biasa. Tak pelak sempat menimbulkan rasa jenuh bagi yang tidak memahami dunia pewayangan.
Kalimat-kalimat sindiran yang tiba-tiba dihadirkan saat Petruk menggelar ‘’morning meeting’’ di ruang tidurnya yang mewah, menjadi terasa janggal, karena tidak ada benang merah yang dapat ditarik dari awal kisah. Penonton sulit untuk menangkap korelasi sindiran dalam cerita tersebut.
Nano terlihat baru memasukkan pesan-pesannya dalam bentuk sindiran di akhir babak pertama (itupun disampaikan ‘’terlalu gamblang’’ secara verbal, bagi sebuah pentas berkonsep teatrikal). Sehingga penonton baru mulai dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan di babak kedua.
Pernyataan Btara Krisna di penghujung lakon yang mengungkapkan bahwa para Dewa dan Pandawa telah kembali ke negeri
Penggambaran kondisi sebuah ‘’negeri’’ dalam lakon teater semestinya tidak perlu dengan menegaskan negeri mana yang dimaksud. Akan lebih indah, bila penggambaran lokasi itu dibiarkan tetap berada dalam konteks dunia pewayangan. Dengan pilihan kalimat-kalimat sindiran yang tepat dan sesuai dengan situasi yang digambarkan, penonton akan tetap tahu negara mana yang dimaksud. Bagi yang mencermatinya, lirik mars Amarta yang dinyanyikan di penghujung acarapun merupakan adaptasi dari lirik lagu Indonesia Pusaka, sehingga seyogyanya sudah mencerminkan apa tujuan dari keseluruhan lakon ini.
Bagaimanapun pentas ini cukup menghibur dan dapat menjadi alternatif hiburan bagi pemula yang mulai menikmati hiburan teater.
-PriMora Harahap-
20 Jan 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog
(@ http://mora-harahap.blog.co.uk/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar