Selasa, 13 Januari 2009

Ima & Saya - Indahnya Persahabatan

‘’Mor, ya ampuuun… lo kemana aja sih, lama bener gak ada kabarnya? Kirain udah nyungsep kaya’ Index’’, cerocos Ima dengan suara nyaringnya begitu sambungan teleponnya saya terima. Ckckck… saya cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Sahabat saya yang satu ini memang selalu ceplas-ceplos kalau bicara. Dan karena bekerja di sebuah lembaga keuangan, dia acap menggunakan istilah-istilah keuangan.Berhubung Index di berbagai bursa memang sedang merosot turun terus, maka iapun menggunakannya sebagai analogi. Tapi biar suka nyerocos begitu, Ima tergolong sahabat yang baik hati dan perhatian pada teman-temannya.

Saya kenal dia saat mengambil kursus bahasa asing yang kami ikuti bersama. Kami memang tergolong jenis ‘’manusia kurang kerjaan’’, begitu kalau meminjam istilah yang diberikan seorang sahabat saya lainnya. Julukan itu diberikannya karena kami kerap mengikuti berbagai kursus. ‘’Yaaa… iseng-iseng berhadiahlah. Iseng isi waktu luang, tapi paling gak kan ada ‘hadiah’nya, ada ilmunya dikit-dikitlah yang nyantol di kepala’’, begitu alibi kami memberikan alasan perihal perburuan kursus itu.


Tapi seiseng-isengnya kami, jangan harap kalau kami bersedia mengikuti kursus di luar radius Jakarta Selatan, paling jauh ke Jakarta Pusat deh. Yang penting seputaran daerah kekuasaan kami, maklum kami berumah dan berkantor di wilayah Jakarta Selatan. Kalau di luar radius itu… Ih, gak lah yau… Di Jakarta gitu loh, jalanan kan tiap hari macet parah. Bisa tua di jalan. Lagipula yang namanya iseng-iseng berhadiah itu gak boleh terlalu merepotkan. Itu sih judulnya ‘’Killing Me Softly’’.


Ihwal kegiatan kursus-kursus yang kami ikuti itupun, jangan berharap terlalu banyak akan hasilnya. Kami memang mengikutinya dengan penuh riang gembira. Lebih mirip ajang ‘’play ground’’. Tapi sekalipun kami telah mengikuti pelbagai kursus bahasa asing hingga khatam (setidaknya beberapa bahasa asing dari seputaran wilayah Eropa Selatan jadi sasaran program ‘’iseng-iseng berhadiah’’ kami), hingga kinipun kami masih terbata-bata bila berbicara dalam bahasa-bahasa yang bisa bikin lidah kusut itu. ‘’Yaa… namanya juga ‘’iseng-iseng berhadiah’’, kalau ada yang nyantol di kepala, nah… itu hadiahnya. Kalau gak ada, yaaa… namanya juga iseng’’, kembali kami beralibi bila ada yang mempertanyakan hasil kursus kami. Pembenaran lain yang cukup sering kami gunakan adalah ‘’Susah siih… gak ada sparring partner. Namanya juga bahasa, kan baru bisa lancar kalau digunakan sehari-hari. Di sini kan jarang yang bicara bahasa Perancis, Spanyol atau Italy, apalagi kami kerja bukan di perusahaan yang sehari-hari pakai bahasa itu’’ (Heeehhh… Alasan!!).


Perihal kenapa kami memilih bahasa-bahasa itu, karena kriteria yang kami gunakan adalah harus bahasa dari negara yang zaman dahulu kala punya banyak wilayah jajahan, sehingga bahasanya digunakan di banyak negara. Nah, Perancis dan Spanyol kan memang terkenal punya banyak negara jajahan. Jadi rasanya gak rugi deh kalau belajar bahasa itu. Coba kalau kita belajar bahasa Swahili, misalnya. Usaha yang diperlukan sama besarnya, capainya sama saja, harus setengah hidup (saya gak pernah suka menggunakan kata ‘setengah mati’) menghafal kosakatanya, tapi selain di Swahili, mau dipakai ngomong di mana?. Rugi dong…


Sedangkan kenapa akhirnya saya mengikuti juga kursus bahasa Italy, tidak lebih dan tidak kurang karena alasan ‘’tanggung’’. Rasanya tanggung yaa… sudah terlanjur pernah ngerti bahasa Perancis dan Spanyol, kalau gak belajar bahasa Italy. Karena katanya grammar-nya hampir mirip. Hanya sayang, untuk kursus bahasa Italy, Ima malas mengikutinya. ‘’Males ah Mor. Capek-capek belajar, cuma bisa dipakai di Italy aja… Gak ada untungnya’’, begitu kilahnya. ‘’Huh! Dasar! Mentang-mentang orang keuangan. Perhitungan amat sih’’, gerutu saya dalam hati.


Sementara saya masih bercita-cita akan mengikuti kursus satu bahasa lagi. Belanda! Awalnya agak malas juga belajar bahasa yang satu ini. ‘’Ih! Ngapain belajar bahasa penjajah’’, begitu pikir saya. Lebih lagi, melalui hasil penelaahan saya, Belanda adalah contoh penjajah yang sangat buruk. Coba tengok, apa peran & sumbangsihnya bagi pengembangan Indonesia, selain mengeruk & memerah kekayaan bangsa ini selama berabad-abad. Menurut hemat saya nih… Belanda sama sekali tidak mendidik bangsa yang dijajahnya. Bahkan bahasanyapun tidak terwarisi dengan baik di sini sebagai bahasa sehari-hari ke-dua. Kecuali para orangtua yang sudah sangat sepuh (saya menyebutnya ‘’peninggalan’’ zaman penjajahan) atau yang memang sengaja khusus mempelajarinya, siapa sih orang di Indonesia yang fasih berbahasa Belanda? Sedangkan negara-negara jajahan Inggris bisa jauh lebih makmur, berhasil mengembangkan negaranya masing-masing dan sehari-hari menggunakan bahasa internasional itu. Jadi saya selalu berkesimpulan bahwa Indonesia jadi ‘’salah asuhan’’ begini, karena salah (‘’dapat”) penjajah.


Namun akhirnya saya ingin juga belajar bahasa penjajah ini, semata-mata dengan latar belakang supaya bisa mengerti percakapan Ibu saya dengan saudara-saudaranya. Ya, ibu saya yang dibesarkan oleh kakek-nenek saya dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar ke dua di rumahnya kala itu, hingga kini selalu menggunakan bahasa Belanda bila bercakap-cakap dengan tante-tante saya. Sering hal ini menjengkelkan saya, terutama kalau mereka mulai membicarakan anak-anaknya, sengaja dengan bahasa Belanda, dengan tujuan agar kami tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Wah! Rasanya mangkel bener deh, dijadikan bahan pembicaraan tapi kita gak ngerti. Sejak itulah, saya bertekad untuk mempelajari bahasa yang satu ini. Tapi nanti sajalah, setelah bahasa Italy sudah khatam. Bisa pecah kepala saya kalau sekaligus mengambil 2 kursus bahasa asing yang sama-sama bikin pusing.


Selain kursus bahasa, kami juga mengikuti kursus yang berkesenian. ‘’Perlu untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan, sehingga hidup kita juga seimbang’’, begitu Ima berteori. Maka serentetan kursus senipun kami ikuti, mulai dari kursus segala macam dansa (entah itu ballroom dance hingga latin dance) sampai kursus handycraft. Di bidang yang terakhir ini, saya harus akui bahwa ternyata saya lebih ‘’kurang kerjaan’’ ketimbang Ima. Dia saja sampai terlongong-longong saat saya bercerita bahwa saya mengambil kursus ceramic painting, polymer clay, paper tool, pottery (membuat pelbagai keramik dari tanah lempung) hingga jewelry making dan membatik dengan canting.


‘’Wah! Kalau itu gue gak sanggup deh Mor. Lo tau kan, gue orangnya gak sabar-sabar amat. Bisa mumet otak gue kalau disuruh membatik’’, demikian penolakannya atas ajakan saya untuk mengikuti kursus handycraft. ‘’Justru itu Im. Gue ambil kursus handycraft juga tujuannya lebih untuk terapi kesabaran. Bagus tuh untuk melatih kesabaran kita’’, bujuk saya. Namun untuk yang satu ini Ima tetap bergeming. Terpaksalah saya memulai kursus tanpa ditemani oleh Ima. ‘’Gak apalah, toh nanti juga dapet temen baru’’, pikir saya.


Begitupun, tidak semua jenis kursus handycraft saya ikuti. Khusus untuk kursus yang berkaitan dengan kegiatan lukis-melukis serta bersentuhan dengan benang, sejak awal sudah saya hindari. Oh no! Jangankan melukis, saya tidak mempunyai bakat sama sekali dalam bidang menggambar. Saat masih bersekolahpun saya selalu sakit kepala bila sudah tiba pada pelajaran seni lukis. Menggambar hidung orang saja bisa lebih setengah jam lamanya tanpa hasil yang memuaskan. Tiap kali mengikuti psycho test, saya selalu mencoba memohon ke mbak atau mas yang mengawasi, ‘’Boleh gak saya dikasih tes deret hitung atau mencari pola lagi? Hitung-hitungan juga boleh deh, asal jangan menggambar. Please…’’. Dan sudah pasti permintaan saya itu tidak pernah dikabulkan, meskipun saya telah memasang wajah sememelas mungkin. Satu-satunya keberhasilan saya dalam bidang menggambar hanyalah ketika saya dinyatakan lulus matakuliah Menggambar Teknik yang wajib diambil saat menempuh pendidikan di jurusan Teknik Elektro.


Sedangkan untuk handycraft yang berbahan dasar benang… Ampun deh! Pikiran saya bisa sama kusutnya dengan kekusutan benang yang saya buat, seperti ketika tiap kali saya harus mengikuti prakarya merajut (pelajaran ketrampilan khusus bagi murid wanita) saat masih sekolah menengah dulu. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa bersahabat dengan benda itu. Jadi, yang namanya knitting, quilting dan gerombolannya dari awal tegas-tegas saya tolak.


Tapi nyatanya, saya memang ‘’kurang kerjaan’’. Sehingga ketika hampir seluruh jenis handycraft (kecuali melukis dan berbahan benang), yang diadakan oleh tempat kursus itu sudah saya ikuti, akhirnya saya melirik juga ke ‘sepupunya’ benang. Mirip-mirip benang, tapi tetap bukan benang. Saya masih enggan bersentuhan dengan benda yang jelas-jelas diberi nama benang. Sepertinya benda itu mudah sekali kusut bila berada di tangan saya. Jadilah saya mengambil kursus handycraft yang berbahan dasar pita. Ya, kursus ribbon embroidery (pita, bukan benang kan…).


Ada
gunanya juga saya mengikuti kursus-kursus handycraft ini, selain sebagai terapi kesabaran (disamping alasan klasik mengisi waktu luang tentunya), saya jadi semakin dapat menghargai jerih payah para pekerja seni seperti pengrajin maupun pembatik tulis. Ternyata gak gampang lhooo… membuat batik tulis itu. Di tahap-tahap awal belajar, saya nyaris frustasi ‘’mengatasi’’ malam cair dalam canting saya supaya tidak menetes (‘’mbeleber’’) di atas kain. Karena kalau sudah mbeleber… Wah! Dua kali kerjaan untuk ‘’menghapusnya’’ lagi dengan air panas, menunggunya kering hingga baru dapat dikerjakan lagi. Sungguh membutuhkan kesabaran dan ketekunan tingkat tinggi (satu hal yang terkadang tidak saya miliki).


Ima memang sahabat yang setia setiap saat. Tidak perduli hari-hari panas, hari-hari dingin, selalu jadi hari-hari persahabatan kami. Hehehe… kok jadi mirip tag line iklan. Tapi kenyataannya memang demikian. Hebatnya lagi, Ima terkadang mirip seperti ‘’cenayang’’. Sering saat saya sedang diserang bad mood’’ atau mumet dengan urusan kantor yang rasanya gak habis-habis, tiba-tiba datang telepon dari Ima. Dan biasanya, setelah ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari topik yang top & hot sampai yang paling gak penting deh… ketawa-ketiwi sejenak dengan Ima, lalu… Voila! Ajaib! ‘’Mood’’ saya seketika normal kembali.


Begitupun sebaliknya, bila sudah pusing tujuh keliling sama Index yang suka nyungsep, Ima biasanya langsung menelepon saya untuk sekedar mengajak nonton atau makan bareng, seusai jam kantor. Tak perlu pakai rencana! Beberapa kali bahkan kami belum tahu pasti jalan cerita film yang akan kami tonton, asalkan jangan film horror (wah! genre film ini bisa bikin begadang, gak bisa tidur semaleman, alias nightmare). ‘’Terserah deh ceritanya apaan. Gak pentinglah.Yang penting nih yang main itu si Keanu Reaves, Mor. Gila! Keren banget kan dia. Orangnya cool lagi…’’, begitu rayu Ima untuk menemaninya nonton film, apalagi kalau peran utamanya dimainkan oleh aktor idolanya itu. Tapi memang iya sih, belakangan ini saya juga lebih suka melihat gaya ‘’cool’’nya Keanu Reaves ketimbang Tom Cruise yang entah kenapa akhir-akhir ini suka pecicilan. Wuih! Kami paling alergi ngeliat cowo’ yang gayanya pecicilan gak jelas.


Ima juga selalu siap sedia dengan solusi yang jitu atas setiap permasalahan yang saya ceritakan padanya. Seperti saat saya bercerita tentang adik sepupu saya yang diterima di Univ. Gajah Mada – Yogya. ‘’Im, lo kenal Dimas kan ? Dia udah diterima di UGM, lewat jalur penelusuran minat gitu deh’’, cerita saya. ‘’Wah! OK dong. Terus nanti dia di sana kos?”, sambutnya gembira. Ima memang mengenalnya karena Dimas pernah beberapa kali saya ajak nonton bersama. ‘’Ya iyalah, keluarga gue kan gak ada yang tinggal di Yogya. Justru itu, nanti siapa yang bisa mengawasi anak ‘’bengal’’ itu ya… gue takut dia kebanyakan main dan pelajarannya jadi keteteran ‘’, risau saya. ‘’Gak usah pusing, Mor. Kasih aja nama lengkapnya ke gue. Nanti gue titip ke Oom gue yang jadi dosen di UGM supaya diawasi’’, ujarnya memberi solusi. ‘’Wow! Idea yang sungguh brilliant’’, pikir saya senang.


Tentu pendapat saya ini sangat bertolakbelakang dengan tanggapan Dimas. Dia langsung menunjukkan wajah cemberutnya saat saya beritakan solusi ini. ‘’Huh! Kenapa sih, mesti dititip-titip segala’’, sungutnya kesal. ‘’Ya iyalah, kan jadi ada yang mengawasi kamu. Kalau gak, nanti kamu malah kebanyakan main, gak lulus-lulus lagi’’, sambung saya dengan senyum tersungging penuh rasa puas. Saya memang sudah ‘’mencurigai’’ niatnya untuk ‘’melarikan diri’’ dari pantauan keluarga ketika dia mengutarakan maksudnya hanya ingin mengikuti ujian masuk PTN di Yogya dan menolak mentah-mentah anjuran saya untuk mencoba juga ujian masuk PTN di Jakarta. “Coba aja ujian yang di Jakarta juga Dim. Siapa tahu keterima, jadi kan pilihannya lebih banyak. Mama Yuti (sebutan kami untuk ibu saya) kan dulu juga kuliah di UI’’, begitu saran saya kala itu. ‘’Gak usah ah. Kan aku udah diterima di Yogya. Papa Dollar (panggilannya untuk ayah saya) dulu juga kuliah di UGM. Buktinya berhasil kan”, kilah dia yang membuat saya mati kutu tak bisa membalas.


Siang ini Ima kembali menelepon saya. Kali ini dia hendak mengajak saya menonton ‘’Java Jazz’’ yang akan diadakan awal Maret mendatang. Kami memang tidak pernah absen melihat perhelatan Jazz sekali setahun itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tentu langsung menyambut baik ajakannya. Kebetulan kami sudah cukup lama tidak berjumpa, karena kesibukan di kantor masing-masing. Ima lalu bertanya kursus apalagi yang sedang saya ikuti sekarang. “Wah ! Belum ada lagi Im. Puyeng juga nih. Kursus bahasa Italy, baru dapet 2 level, belum bisa lanjut lagi. Gurunya pulang ke Italy, belum ada gantinya’’, begitu keluh saya padanya.


‘’Gimana kalau kita kursus piano aja Mor. Lo kan dulu pernah kursus piano. Nah, dilanjutkan aja lagi, gue mau tuh ikutan’’, tiba-tiba Ima mengajukan sebuah idea. Sontak saya langsung terlonjak dari kursi ketika mendengarnya. Hahh?! Gak salah nih? ‘’MasyaAllah… Imaa… Lo mau kursus piano? Hahahaha… - (maaf, tawa sayapun pecah tak kuasa menahan rasa geli) - Too late…Im… Too late… Jari-jemari lo udah kelewat kaku buat belajar main piano”, respon saya penuh geli bercampur heran. ‘’Yeee… gue kan pernah belajar main piano waktu kecil dulu Mor. Cuma gak dilanjutkan aja’’, balasnya. ‘’Sama dong”, begitu batin saya dalam hati. Begitupun saya penasaran… ‘’Ada apa?? Kok tiba-tiba kepikiran mau belajar main piano?”, selidik saya. ‘’Ya, daripada piano di rumah nganggur, gak ada yang pakai kan…”, begitu alasannya.


Berawal dari cita-cita Ima untuk kembali menekuni kursus piano, sayapun teringat minggu lalu sempat menyaksikan konser piano Ananda Sukarlan yang digelar di awal tahun ini. ‘’Im, setau gue sih, orang bisa mahir main piano kalau dilatih terus-menerus dari kecil. Eh, minggu lalu gue kan nonton konsernya Ananda Sukarlan. Gila Im. Hebat banget euy’’, begitu cerita saya. ‘’Oh iya, Ananda Sukarlan emang hebat, gue denger katanya suaranya bagus banget. Dia soprano kan…?”, Ima langsung menyambut cerita saya dengan semangat… tapi… salah!! ‘’Oh M G !… Ima… Please deh… Por favor… Itu Binu Sukaman lagi, bukan Ananda Sukarlan. Emang kedengerannya hampir mirip sih nama belakangnya, tapi jelas-jelas beda, yang satu cewe’, yang satu cowo’…’’, bombardir saya penuh rasa gemas. Ampun deh sahabatku ini. ‘’Eh, bukan penyanyi ya?’’, tanyanya lagi memastikan. ‘’Bukan lagi, Im. Pianis. Ananda Sukarlan itu pianis. Un grand pianist.’’, jelas saya. ‘’Wah! Coba lo ikutan Im. Bener-bener hebat deh. Selain dia, para finalis & pemenang Ananda Sukarlan’ award juga ikut main piano. Yang dimainkan semua komposisinya dia, tapi yang gila nih… di akhir acara, komposisinya dimainkan sama 6 orang sekaligus. Bayangkan Im! Enam orang kan 60 jari.’’, lanjut saya antusias. ‘’Wow! Hebat juga ya… Enam orang di satu piano. Pasti ribet dong’’, ujarnya. Heepp !! ‘’Ya pasti ribet kalau 6 orang disuruh main di satu piano. Gimana sih?”, keluh saya dalam hati, gak habis pikir, kok bisa salah paham lagi. Tapi salah saya juga sih, tidak menjelaskan dengan detil. ‘’Ya enggaklah Im… Mana bisa 6 orang main di satu piano. Emang mau pangku-pangkuan? Satu piano cuma muat 2 orang lagi. Jadi ada 3 piano Im. Masing-masing dipakai duet’’, saya mencoba menjelaskan dengan sabar.


Berhubung jam istirahat sudah usai dan masih banyak pekerjaan di kantor yang menanti untuk diselesaikan, maka kamipun menyudahi percakapan di telepon dengan janji akan menonton perhelatan ‘’Java Jazz’’ bersama-sama selama 3 hari penuh! ‘’Sekalian aja 3 hari Mor. Jadi lebih murah. Kita beli yang early bird, kan lebih murah lagi - (OK deh… lagi-lagi dasar orang keuangan, cepet banget ngitung untung-ruginya) - Toh hari Seninnya libur. Jadi kalau gubrak (kecapaian, maksudnya, red.) juga gak masalah’’, demikian ajaknya.


Begitulah Ima. Salah seorang dari sahabat-sahabat saya yang baik, ramah, riang, terkadang lucu dan yang pasti selalu memberi warna di kehidupan persahabatan kami. Saya sungguh bersyukur telah berjumpa dengan dia. Sebuah anugerah terindah dalam hidup ini bila dapat memiliki sahabat-sahabat di sekitar kita. Dunia ini terasa begitu damai & membahagiakan, bila dipenuhi dengan banyak sahabat.



-PriMora Harahap-

13 Jan 2009

Tidak ada komentar: