‘’Mor, ya ampuuun… lo kemana aja sih, lama bener gak ada kabarnya? Kirain udah nyungsep kaya’ Index’’, cerocos Ima dengan suara nyaringnya begitu sambungan teleponnya saya terima. Ckckck… saya cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Sahabat saya yang satu ini memang selalu ceplas-ceplos kalau bicara. Dan karena bekerja di sebuah lembaga keuangan, dia acap menggunakan istilah-istilah keuangan.Berhubung Index di berbagai bursa memang sedang merosot turun terus, maka iapun menggunakannya sebagai analogi. Tapi biar suka nyerocos begitu, Ima tergolong sahabat yang baik hati dan perhatian pada teman-temannya.
Saya kenal dia saat mengambil kursus bahasa asing yang kami ikuti bersama. Kami memang tergolong jenis ‘’manusia kurang kerjaan’’, begitu kalau meminjam istilah yang diberikan seorang sahabat saya lainnya. Julukan itu diberikannya karena kami kerap mengikuti berbagai kursus. ‘’Yaaa… iseng-iseng berhadiahlah. Iseng isi waktu luang, tapi paling gak
Tapi seiseng-isengnya kami, jangan harap kalau kami bersedia mengikuti kursus di luar radius Jakarta Selatan, paling jauh ke Jakarta Pusat deh. Yang penting seputaran daerah kekuasaan kami, maklum kami berumah dan berkantor di wilayah Jakarta Selatan. Kalau di luar radius itu… Ih, gak lah yau… Di Jakarta gitu loh, jalanan
Ihwal kegiatan kursus-kursus yang kami ikuti itupun, jangan berharap terlalu banyak akan hasilnya. Kami memang mengikutinya dengan penuh riang gembira. Lebih mirip ajang ‘’play ground’’. Tapi sekalipun kami telah mengikuti pelbagai kursus bahasa asing hingga khatam (setidaknya beberapa bahasa asing dari seputaran wilayah Eropa Selatan jadi sasaran program ‘’iseng-iseng berhadiah’’ kami), hingga kinipun kami masih terbata-bata bila berbicara dalam bahasa-bahasa yang bisa bikin lidah kusut itu. ‘’Yaa… namanya juga ‘’iseng-iseng berhadiah’’, kalau ada yang nyantol di kepala, nah… itu hadiahnya. Kalau gak ada, yaaa… namanya juga iseng’’, kembali kami beralibi bila ada yang mempertanyakan hasil kursus kami. Pembenaran lain yang cukup sering kami gunakan adalah ‘’
Perihal kenapa kami memilih bahasa-bahasa itu, karena kriteria yang kami gunakan adalah harus bahasa dari negara yang zaman dahulu kala punya banyak wilayah jajahan, sehingga bahasanya digunakan di banyak negara. Nah, Perancis dan Spanyol
Sedangkan kenapa akhirnya saya mengikuti juga kursus bahasa
Sementara saya masih bercita-cita akan mengikuti kursus satu bahasa lagi. Belanda! Awalnya agak malas juga belajar bahasa yang satu ini. ‘’Ih! Ngapain belajar bahasa penjajah’’, begitu pikir saya. Lebih lagi, melalui hasil penelaahan saya, Belanda adalah contoh penjajah yang sangat buruk. Coba tengok, apa peran & sumbangsihnya bagi pengembangan
Namun akhirnya saya ingin juga belajar bahasa penjajah ini, semata-mata dengan latar belakang supaya bisa mengerti percakapan Ibu saya dengan saudara-saudaranya. Ya, ibu saya yang dibesarkan oleh kakek-nenek saya dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar ke dua di rumahnya kala itu, hingga kini selalu menggunakan bahasa Belanda bila bercakap-cakap dengan tante-tante saya. Sering hal ini menjengkelkan saya, terutama kalau mereka mulai membicarakan anak-anaknya, sengaja dengan bahasa Belanda, dengan tujuan agar kami tidak mengerti isi pembicaraan mereka. Wah! Rasanya mangkel bener deh, dijadikan bahan pembicaraan tapi kita gak ngerti. Sejak itulah, saya bertekad untuk mempelajari bahasa yang satu ini. Tapi nanti sajalah, setelah bahasa
Selain kursus bahasa, kami juga mengikuti kursus yang berkesenian. ‘’Perlu untuk menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan, sehingga hidup kita juga seimbang’’, begitu Ima berteori. Maka serentetan kursus senipun kami ikuti, mulai dari kursus segala macam dansa (entah itu ballroom dance hingga latin dance) sampai kursus handycraft. Di bidang yang terakhir ini, saya harus akui bahwa ternyata saya lebih ‘’kurang kerjaan’’ ketimbang Ima. Dia saja sampai terlongong-longong saat saya bercerita bahwa saya mengambil kursus ceramic painting, polymer clay, paper tool, pottery (membuat pelbagai keramik dari tanah lempung) hingga jewelry making dan membatik dengan canting.
‘’Wah! Kalau itu gue gak sanggup deh Mor. Lo tau
Begitupun, tidak semua jenis kursus handycraft saya ikuti. Khusus untuk kursus yang berkaitan dengan kegiatan lukis-melukis serta bersentuhan dengan benang, sejak awal sudah saya hindari. Oh no! Jangankan melukis, saya tidak mempunyai bakat sama sekali dalam bidang menggambar. Saat masih bersekolahpun saya selalu sakit kepala bila sudah tiba pada pelajaran seni lukis. Menggambar hidung orang saja bisa lebih setengah jam lamanya tanpa hasil yang memuaskan. Tiap kali mengikuti psycho test, saya selalu mencoba memohon ke mbak atau mas yang mengawasi, ‘’Boleh gak saya dikasih tes deret hitung atau mencari pola lagi? Hitung-hitungan juga boleh deh, asal jangan menggambar. Please…’’. Dan sudah pasti permintaan saya itu tidak pernah dikabulkan, meskipun saya telah memasang wajah sememelas mungkin. Satu-satunya keberhasilan saya dalam bidang menggambar hanyalah ketika saya dinyatakan lulus matakuliah Menggambar Teknik yang wajib diambil saat menempuh pendidikan di jurusan Teknik Elektro.
Sedangkan untuk handycraft yang berbahan dasar benang… Ampun deh! Pikiran saya bisa sama kusutnya dengan kekusutan benang yang saya buat, seperti ketika tiap kali saya harus mengikuti prakarya merajut (pelajaran ketrampilan khusus bagi murid wanita) saat masih sekolah menengah dulu. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa bersahabat dengan benda itu. Jadi, yang namanya knitting, quilting dan gerombolannya dari awal tegas-tegas saya tolak.
Tapi nyatanya, saya memang ‘’kurang kerjaan’’. Sehingga ketika hampir seluruh jenis handycraft (kecuali melukis dan berbahan benang), yang diadakan oleh tempat kursus itu sudah saya ikuti, akhirnya saya melirik juga ke ‘sepupunya’ benang. Mirip-mirip benang, tapi tetap bukan benang. Saya masih enggan bersentuhan dengan benda yang jelas-jelas diberi nama benang. Sepertinya benda itu mudah sekali kusut bila berada di tangan saya. Jadilah saya mengambil kursus handycraft yang berbahan dasar pita. Ya, kursus ribbon embroidery (pita, bukan benang
Ada
Ima memang sahabat yang setia setiap saat. Tidak perduli hari-hari panas, hari-hari dingin, selalu jadi hari-hari persahabatan kami. Hehehe… kok jadi mirip tag line iklan. Tapi kenyataannya memang demikian. Hebatnya lagi, Ima terkadang mirip seperti ‘’cenayang’’. Sering saat saya sedang diserang “bad mood’’ atau mumet dengan urusan kantor yang rasanya gak habis-habis, tiba-tiba datang telepon dari Ima. Dan biasanya, setelah ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari topik yang top & hot sampai yang paling gak penting deh… ketawa-ketiwi sejenak dengan Ima, lalu… Voila! Ajaib! ‘’Mood’’ saya seketika normal kembali.
Begitupun sebaliknya, bila sudah pusing tujuh keliling sama Index yang suka nyungsep, Ima biasanya langsung menelepon saya untuk sekedar mengajak nonton atau makan bareng, seusai jam kantor. Tak perlu pakai rencana! Beberapa kali bahkan kami belum tahu pasti jalan cerita film yang akan kami tonton, asalkan jangan film horror (wah! genre film ini bisa bikin begadang, gak bisa tidur semaleman, alias nightmare). ‘’Terserah deh ceritanya apaan. Gak pentinglah.Yang penting nih yang main itu si
Ima juga selalu siap sedia dengan solusi yang jitu atas setiap permasalahan yang saya ceritakan padanya. Seperti saat saya bercerita tentang adik sepupu saya yang diterima di Univ. Gajah Mada – Yogya. ‘’Im, lo kenal Dimas
Tentu pendapat saya ini sangat bertolakbelakang dengan tanggapan Dimas. Dia langsung menunjukkan wajah cemberutnya saat saya beritakan solusi ini. ‘’Huh! Kenapa sih, mesti dititip-titip segala’’, sungutnya kesal. ‘’Ya iyalah,
Siang ini Ima kembali menelepon saya. Kali ini dia hendak mengajak saya menonton ‘’Java Jazz’’ yang akan diadakan awal Maret mendatang. Kami memang tidak pernah absen melihat perhelatan Jazz sekali setahun itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya tentu langsung menyambut baik ajakannya. Kebetulan kami sudah cukup lama tidak berjumpa, karena kesibukan di kantor masing-masing. Ima lalu bertanya kursus apalagi yang sedang saya ikuti sekarang. “Wah ! Belum ada lagi Im. Puyeng juga nih. Kursus bahasa
‘’Gimana kalau kita kursus piano aja Mor. Lo
Berawal dari cita-cita Ima untuk kembali menekuni kursus piano, sayapun teringat minggu lalu sempat menyaksikan konser piano Ananda Sukarlan yang digelar di awal tahun ini. ‘’Im, setau gue sih, orang bisa mahir main piano kalau dilatih terus-menerus dari kecil. Eh, minggu lalu gue
Berhubung jam istirahat sudah usai dan masih banyak pekerjaan di kantor yang menanti untuk diselesaikan, maka kamipun menyudahi percakapan di telepon dengan janji akan menonton perhelatan ‘’Java Jazz’’ bersama-sama selama 3 hari penuh! ‘’Sekalian aja 3 hari Mor. Jadi lebih murah. Kita beli yang early bird,
Begitulah Ima. Salah seorang dari sahabat-sahabat saya yang baik, ramah, riang, terkadang lucu dan yang pasti selalu memberi warna di kehidupan persahabatan kami. Saya sungguh bersyukur telah berjumpa dengan dia. Sebuah anugerah terindah dalam hidup ini bila dapat memiliki sahabat-sahabat di sekitar kita. Dunia ini terasa begitu damai & membahagiakan, bila dipenuhi dengan banyak sahabat.
-PriMora Harahap-
13 Jan 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar