Minggu, 04 Januari 2009

It's Quite Amazing !

Mengawali tahun 2009, sebagaimana juga di tahun-tahun sebelumnya, Ananda Sukarlan (seorang pianis dan komponis kenamaan asal Indonesia yang telah lama melanglang buana dan kini bermukim di Spanyol) kembali pulang kampung, untuk menggelar New Year’s Concert. Konser yang kali ini diberi nama : ‘’Java New Year’s Concert – Pianississimo ‘’ merupakan rangkaian konsernya di 3 kota, yaitu Magelang, Yogyakarta dan berakhir di Grha Bhakti Budaya – Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada malam ke 4 bulan pembuka tahun ini.

Saya berkesempatan menyaksikan konsernya yang diselenggarakan di Jakarta semalam, yang terbagi dalam 2 bagian. Bagian pertama berisikan permainan piano Ananda atas sejumlah komposisi yang sebagian besar terilhami oleh karya-karya indah para pekerja seni dunia maupun Indonesia.

Ananda membuka konser dengan sebuah gubahan Maurice Rabel berjudul ‘’Menuet sur le non d’Haydn”. Ya, Ananda memang bermaksud mengkhususkan pula bagian pertama konsernya ini sebagai tribute kepada Joseph Haydn, seorang komponis klasik yang sangat mahsyur dengan karya-karya emasnya. Sehingga iapun segera melanjutkan persembahan ke dua dengan komposisinya sendiri yang diciptakan untuk permainan piano menggunakan tangan kiri saja (for left hand only) bertajuk ‘’Haydn Seek’’. Sajian ke 3 pun masih ditujukan untuk mengenang Haydn dengan permainan ‘’Sonata’’ buah karya Haydn sendiri. ‘’Sonata’’ yang cukup sulit ini dimainkan dengan indah oleh pemenang ke 3 Ananda Sukarlan’ award, Randy Ryan. Sebuah permainan piano yang mempesona, dengan tingkat kesulitan cukup tinggi dimainkan oleh anak berusia 13 tahun. Lazimnya komposisi ‘’Sonata’’ dari Haydn tersebut baru laik dimainkan oleh pianis dewasa yang telah memiliki jam terbang tinggi.

Ihwal Ananda Sukarlan’ award yang diadakannya pada pertengahan tahun 2008 lalu, iapun bertutur bahwa kompetisi itu memang diharapkannya dapat menjadi sebuah ajang pencarian pianis-pianis muda berbakat dari tanah air tercintanya ini. Dari kompetisi itu kemudian ditemukannya enam orang pianis muda dengan bakat yang sungguh mengagumkan, yang juga menjadi penampil pada konsernya malam itu. Ananda memang satu dari sangat sedikit dari orang di negeri ini yang sangat perduli akan pengembangan generasi muda maupun pelestarian karya-karya besar para seniman di negerinya.

Melanjutkan bagian pertamanya, Ananda pun berkisah mengenai lagu yang akan dimainkannya kemudian. Sebuah komposisi yang tercipta pada medio tahun 2004, terinspirasi dari berita yang ia saksikan mengenai terpilihnya kembali GW Bush sebagai Presiden Amerika saat itu. Berita yang sangat menyedihkan hatinya menggerakkannya menggubah sebuah karya berjudul ‘’I Sit and Look Out’’ yang liriknya diambilnya dari sebuah puisi kelam berjudul sama karya Walt Whitman. Puisi ini dianggapnya cocok untuk menggambarkan situasi dunia yang penuh dengan centang prenang yang kelabu. Sebuah cerminan rasa dukacita yang mendalam atas terpilihnya seorang pemimpin negara adidaya, yang gemar melancarkan agresi militer ke sejumlah negara, yang ‘’buah karyanya’’ kini terbukti memporakporandakan, tidak saja stabilitas negaranya namun juga tatanan perekonomian dunia.

Beberapa lagu berikutnya merupakan bagian dari kumpulan lagu ‘’Nyanyian Malam’’ yang diciptakan Ananda sejak tahun 2006, yang kembali terilhami oleh puisi-puisi buah karya berbagai penyair negeri ini. Dimulai dengan komposisi ‘’Tidurlah Intan’’ dari puisi WS. Rendra, dilanjutkan berturut-turut dengan lagu ‘’In Solitude’’ (karya Medi Loekito) dan ‘’Meninggalkan Kandang’’ (ciptaan Eka Budianta). Permainan piano Ananda mengiringi bait-bait puisi tersebut dilantunkan lewat suara bening Bernadette Astari, seorang soprano Indonesia yang pergi ke Belanda sejak tahun 2006 untuk memperdalam teknik olah vokalnya. Puisi ‘’Meninggalkan Kandang’’ digubahnya menjadi lagu persembahan khusus bagi almarhum Prof. Fuad Hasan, yang telah berjasa membantunya mendapatkan beasiswa ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan bermusiknya ke jenjang lebih tinggi 23 tahun lalu. Syair-syair dalam puisi tersebut dirasakannya sangat sesuai dengan perjalanan hidupnya saat itu, yang ingin terbang tinggi bagai seekor burung camar menggapai angan dan citanya.

Masih berasal dari kumpulan lagu ‘’Nyanyian Malam’’, Ananda mempersembahkan 4 lagu berikutnya yang juga digubahnya berdasarkan larik-larik puisi, dengan tajuk : “Kasih’’ (dari puisi Chendra Panatan), Di depan sebuah Lukisan (hasil cipta Ook Nugroho), ‘’Nepi, Nyepi’’ (buah karya Hasan Aspahani) dan ‘’Nostalgia’’ (sebuah puisi Eka Budianta).

‘’Dalam Do’aku’’ yang dipentaskan berikutnya, dinyanyikan duet oleh Bernadeta Astari dan Joseph Kristanto, seorang penyanyi baritone yang mengenyam pendidikan menyanyinya di Jerman. Lagu ini merupakan sebuah karya Ananda yang diambil dari cantata ‘’Ars Amatoria’’ yang direkamnya tahun lalu.

Bagian ke dua dari konser inilah yang sesungguhnya merupakan pencerminan dari judul konser itu sendiri : ‘’Pianississimo’’, yaitu permainan piano yang dilakukan secara bersamaan oleh banyak pianis, banyak tangan. Sebuah bentuk permainan piano yang baru pertamakalinya diadakan di dunia. Dimana para pemain piano yang mengambil bagian pada babak ini adalah para pianis muda berbakat dari ajang kompetisi Ananda di tanah air pertengahan tahun lalu. Decak kagum tak henti-henti menyaksikan bagian dimana kepiawaian tangan-tangan mereka ‘menari-nari’ di atas tuts piano - sendiri, berdua, beramai-ramai – mengolah notasi demi notasi, setiap nada dalam partitur menjadi sebuah alunan denting piano yang sungguh membuai.

Komposisi berjudul : ‘’The Humiliation of Drupadi’’ diciptakan Ananda untuk permainan 2 piano secara duet, mengawali bagian ke dua konser ini. Gubahan yang diambil dari mitologi Jawa dan kental dengan irama musik tradisional Jawa ini dimainkan dengan sangat apik oleh 2 orang pianis muda berbakat. Mereka adalah Victoria Audreay Sarasvathi, finalis Ananda Sukarlan’ award, yang baru berusia 11 tahun dan Randy Ryan, pemenang ke 3 pada award yang sama di usianya yang ke 13. Sebuah pentas tari yang dirancang oleh Chendra Panatan selaku koreografer melatari persembahan ini.

Inspirasi bisa datang dari mana saja. Lukisan indah karya Titian, seorang seniman Italy, yang diberi judul : ‘’Bacchus & Ariadne’’, bercerita mengenai penyelamatan Ariadne, seorang putri jelita. Begitu indahnya lukisan ini bagi Ananda sehingga memberinya inspirasi untuk menciptakan sebuah komposisi bertajuk : “Rescuing Ariadne’’. Komposisi ini dimainkan dalam bentuk duet tiupan indah flute oleh Elizabeth Ashford, yang saat ini bekerja sebagai guru musik di British International School dan dentingan piano Alfred Young Sugiri, pianis muda yang ditemukan Ananda pada ajang kompetisinya di awal paruh ke dua tahun lalu.

Kado memang tidak melulu harus berupa natura ataupun dinilai dengan uang. Karya seni yang indah bahkan dapat menjadi kado yang menginspirasi penerimanya. Begitupun sebuah puisi dengan bait-bait yang menggugah, yang diciptakan khusus oleh penyair tersohor negeri ini, Sapardi Djoko Damono sebagai kado darinya untuk Andy (nama kecil Ananda). Kado bertajuk : ‘’4 Sonet untuk Andy, Pengamen’’ itu kemudian digubah oleh sang penerimanya sendiri menjadi sebuah komposisi indah, tanpa syair. Kali ini puisi yang mengilhaminya memang tidak dijadikannya syair bagi gubahannya, karena bagi Ananda keindahan puisi itu sendiri sudah tercermin dalam komposisi yang terlahir darinya. Inge Melanie Buniardi, yang berhasil keluar sebagai pemenang utama dalam Ananda Sukarlan’ award mendapat kesempatan untuk memainkan komposisi ini.

Rangkaian permainan cantik para pianis muda itu ternyata belumlah merupakan puncak kejutan dalam konser semalam. Sebuah kejutan yang lebih dahsyat – setidaknya bagi saya – tatkala Ananda mengatakan bahwa komposisi berjudul “Fantasi’’ yang akan dipentaskan berikutnya merupakan hasil karya dari seorang komponis muda negeri ini yang baru berusia 15 tahun bernama Andhanu Candana. Hepp..! Saya terperangah mendengarnya. Usia 15 tahun!! Oh My God! What a talented boy! Saya sungguh tak habis kagum mendengar ada seorang anak yang mampu menciptakan sebuah komposisi klasik, yang bahkan untuk sebagian besar orang sekedar memainkannya saja sudah sulit. ''Ini dia calon Mozart dari Indonesia'', pikir saya. Dan terasa semakin mengagumkan ketika mengetahui bahwa diusianya yang masih begitu belia, Andhanu menciptakan komposisinya untuk permainan duet pada 1 piano atau dengan kata lain 4 tangan pada 1 piano! It’s quite Amazing! Sebuah komposisi yang tergolong cukup rumit itu, kemudian mengalun indah dari permainan piano Victoria Audrey Sarasvathi dan Randy Ryan.

Pentas malam itu akhirnya ditutup dengan gubahan Ananda yang diberi nama : ‘’Schumann’s Psychosis’’. Komposisi yang menggambarkan kompleksnya penyakit psikosis yang diderita oleh Schumann seorang komponis klasik yang tersohor pada zamannya. Penyakit itu telah membuat Schumann mengalami perpecahan jiwa hingga memiliki multi personalitas (kepribadian ganda).

Sajian terakhir ini, adalah puncak dari keseluruhan konser malam itu, yang merupakan pengejawantahan dari tajuk konser ini : Pianississimo !


Multi personalitas Schuman dituangkan Ananda dengan cantik dalam bentuk komposisi yang terdengar ‘’ramai’’ melalui permainan 3 piano 12 tangan. Sebanyak 60 jari jemari bergerak lincah di atas tuts-tuts 3 piano. Pada puncak acara ini, ke 6 finalis dan pemenang Ananda Sukarlan’ award bermain bersama, mempersembahkan masterpiece malam itu yang merupakan permainan piano dengan banyak tangan secara bersama-sama yang pertama kali diadakan dunia ini. Sebuah harmonisasipun tersaji. Sungguh mengagumkan!

Tingkat kesulitannya tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Hanya mereka yang benar-benar mahir saja yang mampu menyajikannya dengan begitu apik & rapi. Sekedar mahirpun tentulah belum cukup. Butuh koordinasi dan konsentrasi sangat tinggi untuk memainkan sebuah komposisi klasik beramai-ramai secara bersamaan. Sebuah karya tari Chendra yang menggambarkan ‘’kompleksitas’’ kejiwaan Schuman melalui 3 orang penarinya, melatari permainan Pianississimo ini.

Di akhir acara, panitia pun memanggil sejumlah nama donatur - yang telah mendonasikan sejumlah dana untuk beasiswa bagi para finalis dan pemenang Ananda Sukarlan’ award – tampil ke pentas memberikan karangan bunga bagi para penampil malam itu. Anandapun memanggil komponis muda kebanggaannya malam itu, Andhanu Candana untuk turut naik ke pentas menerima penyerahan bunga darinya.

Saya sungguh tak bisa menahan rasa penasaran yang telah sedemikian menggebu ingin mengetahui sosok seorang Andhanu, sejak dimainkannya komposisi milik anak belia ini. Wow! Seorang anak yang masih sangat muda – perkiraan saya masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama – naik ke atas pentas memenuhi panggilan Ananda. Dengan tampilan yang begitu apa adanya, sangat khas anak muda, hanya menggunakan kemeja lengan pendek, dialah sang komponis muda yang mengagumkan dengan karya indahnya untuk permainan 1 piano 4 tangan itu. Sepintas terlihat seperti kebanyakan anak-anak seusianya, tak ada yang spesial dari penampilannya. Namun, siapa nyana, di usianya ini ia sudah mampu menciptakan sebuah karya yang sungguh Fantastis!


Saya tinggalkan Graha Bhakti Budaya semalam dengan rasa kagum yang kian membuncah, bagai tak habis-habis.

Rasa kagum akan bibit-bibit muda berbakat yang ternyata banyak dimiliki oleh negeri ini. Rasa kagum yang tak pelak disertai juga oleh rasa trenyuh, betapa mungkin masih ada lebih banyak lagi bibit-bibit muda berbakat di bidang-bidang lain yang belum tersentuh karena kurangnya perhatian yang serius dari negara tempat mereka bernaung, negara yang semestinya menjalankan peran menggali & mengembangkan bakat-bakat yang mereka miliki. Rasa kagum atas segala usaha dan jerih payah Ananda yang berinisiatif menyelenggarakan kompetisi dan konser ini demi mendapatkan dan mengembangkan bibit-bibit muda di bidang yang dikuasainya.

Ananda Sukarlan adalah satu dari segelintir orang muda Indonesia yang bangga akan kebesaran seni-budaya bangsanya dan selalu perduli untuk berupaya melestarikannya. Ia kerap mengangkat karya-karya besar seniman milik negeri ini di setiap konsernya di seluruh penjuru dunia, yang bahkan negeri inipun acap tidak memberi ruang untuk para senimannya sendiri. Ia kini tengah berupaya mengumpulkan kembali serpihan-serpihan partitur maupun komposisi karya seniman besar bangsanya agar tidak punah tertelan waktu. Sungguh sebuah upaya yang tidak mudah dan sangat membanggakan.


Betapapun telah sekian lama ia meninggalkan negeri ini, bermukim di negara lain demi mengembangkan karirnya, namun ia tak pernah melupakan tanah air tempat ia dibesarkan. Setelah meluncurkan serangkaian rekaman akan lagu-lagu tradisional Indonesia yang digubahnya kembali bersama Trisutji Kamal, setelah mengangkat kembali sejumlah karya Amir Pasaribu - seorang komponis besar milik bangsa ini, setelah tahun lalu memainkan sejumlah komposisi berdasarkan puisi-puisi indah karya penyair Sapardi Djoko Damono, setelah menggubah sekian banyak komposisi yang terinspirasi dari buah karya seniman-seniman besar negeri ini, kini Ananda Sukarlan kembali lagi dalam format lain yang tetap mengusung cita-cita mulianya, mengangkat dan mengembangkan karya seni, baik dari seniman besar maupun generasi penerus di negeri tercintanya ini.


Bravo! Keep on working Ananda!

Negeri ini membutuhkan orang-orang seperti anda, yang perduli & terjun langsung pada upaya pengembangan bangsanya, bukan yang sekedar ‘’sibuk’’ mengumbar janji & wacana tanpa bukti & karya nyata.



-PriMora Harahap-


5 Jan 2009


note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori seni-budaya, serta di Mora's blog.

Tidak ada komentar: