Selamat datang… Banjir ! Sepertinya banjir sudah menjadi agenda tahunan. Begitu musim hujan tiba, banjirpun melanda. Hampir seluruh wilayah dikunjunginya. Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan… Tidak ada yang luput dari kehadirannya. Dan ‘’anehnya’’… negeri ini seakan pasrah kedatangan ‘’tamu’’ langganan itu. Tidak ada upaya berarti untuk mencegahnya datang lagi.
Rasa malupun seakan tidak lagi dimiliki, biarpun banjir sudah melanda ibukota negara sekalipun. Beberapa tahun silam bahkan banjir sempat melumpuhkan kegiatan di bandar udara internasional dan membuat macet parah jalan menuju ke sana. Genangan air melimpah di jalur pintu gerbang republik ini.
Begini mungkin bunyi maklumat (pemakluman) yang seharusnya diumumkan:
‘’Selamat datang di Bandar Udara Soekarno Hatta. Saat ini anda sudah tiba di Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Maaf, perjalanan anda menjadi terhambat karena genangan air cukup tinggi di depan bandara. Maklum, Indonesia negara Maritim’’.
Bukan rahasia lagi, banjir yang melanda dari tahun ke tahun semakin parah. Dan sudah rahasia umum, penyebab tambah parahnya banjir karena ulah manusia juga. Pendangkalan sungai, penyempitan daerah resapan air, buruknya saluran air, perambahan dan penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan hijau, penambangan liar… semua berkontribusi pada perusakan alam yang mengundang berbagai balabencana… Banjir (mulai dari yang sekedar genangan sampai yang bandang) hingga tanah longsor yang menimbun rumah-rumah penduduk. Frekuensi tanah longsor bahkan sudah hampir mengejar 'rekor' yang dicapai bencana banjir. Sudah menjadi 'ritual' tahunan.
Tapi alih-alih melakukan pembenahan lingkungan, penyuluhan intensif, atau membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat, pemerintah terbiasa menyalahkan alam… Siklus alam 4 tahunan akhir-akhir ini biasa dijadikan ‘’kambing hitam’’… (Heran… Kenapa sekarang siklus itu diributkan ya…? Negara ini kan umurnya sudah puluhan tahun ? Lha, kemana perginya siklus alam itu puluhan tahun yang lalu? Kok baru sekarang membawa banjir bandang…?). Padahal nyatanya banjir datang kembali setiap tahun, karena air sungai yang meluap. Alam memang objek yang paling aman untuk dijadikan alibi… karena alamkan tidak bisa langsung membantah.
Republik ini memang ‘’hebat’’ kok. Hebat rakyatnya, hebat pemerintah yang mengurusinya. Rakyatnya sudah terbukti tahan banting !! Kena musibah apapun, bisa bertahan dengan usaha swadaya, biarpun bantuan pemerintah lebih sering telat datang… atau bahkan tidak datang… Jangankan bantuan pemerintah, lha bantuan yang terkumpul dari sesama rakyat saja hampir selalu kena ’’sunat’’ kok…
Rakyatnya juga terbukti penyabar dan pemaaf. Dilanda berbagai musibahpun, pada akhirnya akan menerima dengan ‘’legowo’’. Disorot kamera malah kerap melambai-lambaikan tangan sembari tertawa-tawa riang (mungkin rakyat kecil memang butuh hiburan, pelipur lara dikala beban hidup terasa berat mendera). Paling-paling mengeluh dan mengurut dada saja. Kalau ditanya, mereka hanya menjawab sudah biasa dengan banjir yang datang tiap tahun itu, sehingga di awal musim hujan mereka sudah bersiap-siap membenahi harta-benda yang dapat diselamatkan. Seakan-akan banjir adalah sebuah rutinitas yang tidak lagi mengejutkan.
Dan hebatnya lagi, rakyatnya juga terbukti welas asih. Begitu mendengar berita musibah, maka ada saja elemen masyarakat yang bergerak menggalang bantuan, mengambil alih peran negara – walau tak jarang ada juga yang tetap tega mengambil kesempatan untuk menjarah.
Singkat kata, dalam menghadapi banjir, rakyat negeri ini memang tangguh. Mungkin karena Indonesia memang negara Bahari… Nenek moyangnya orang pelaut. Jadi luapan air bukan masalah. Tinggal ‘’berperahu’’, sebagai ganti alat transportasi darat. Tak ada perahu, rakitpun berguna.
Sepertinya memang enak jadi pemerintah di republik ini. Tanggungjawab ‘’ringan’’, tapi ‘’proyek’’ segudang. Tak heran setiap tiba masa berbagaimacam jenis pilkada, mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional, persaingan memperebutkan ‘’kursi’’ jabatan sangat tinggi. Semua berlomba-lomba ingin menjabat. Jalan merebut tampuk kekuasaan memang tidak mudah. Perlu ‘’modal’’ yang cukup besar. Tapi karena prospeknya… sangat menjanjikan, bila perlu sampai ‘’menghalalkan’’ segala cara. Prinsipnya mirip pepatah, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senaaaaaaaaang kemudian’’.
Jadi… pemerintahnya terbiasa tenang-tenang saja… aaah… biasa… Tidak ada masalah ! Nanti toh bantuan datang juga dari sesama masyarakat. Boleh dibilang, pemerintah negeri ini yakin benar dengan kesaktian slogan ‘’dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’’, secara harafiah. Dalam arti, kalau ada sebagian rakyat yang susah, pasti ada bagian rakyat lain yang datang membantu, bahkan bila perlu rakyat juga yang menyalurkan. Pemerintah tidak perlu repot-repot... Rakyat bisa bergerak sendiri.
Yang tidak kalah hebat… pemerintah di republik ini tidak merasa ‘’wajib’’ belajar. Sangatlah wajar kalau kesalahan yang sama terulang kembali. Dapat dimaklumi kalau hambatan yang sama terjadi lagi. Tidak pernah ada upaya untuk belajar dari pengalaman dan berusaha mencari solusi perbaikan yang tuntas. Walau setiap kali terjadi bencana, berarti rakyat yang sudah susah hidupnya, kembali mengalami kerugian materil demikian besar.
Hingga saat inipun berbagai berita banjir masih tersiar di stasiun-stasiun televisi. Lengkap dengan laporan bahwa sudah sekian lama bantuan belum juga tersalurkan ke daerah-daerah yang dilanda banjir karena hambatan Birokrasi !! Di Pati contohnya, banjir sudah melanda sejak seminggu lalu, tapi hingga beritanya disiarkan di salah satu stasiun televisi kemarin, belum ada bantuan yang datang dari pemerintah setempat. Apa gak hebat ?? Di negeri ini, seringkali bantuan sudah terkumpul dari masyarakat, masih saja terhambat proses penyalurannya. Tapi, walaupun hambatan birokrasi bukanlah ‘’barang’’ baru, jangan harap akan ada solusi. Setiap tahun musibah bencana datang, setiap tahun masalah yang sama terulang.
Angka korban yang berjatuhanpun tampaknya tidak menjadi penggerak untuk melakukan perbaikan yang serius dan berkelanjutan. Kalaupun ada, sekedar perbaikan tambal sulam, hanya untuk ‘’menenangkan’’ situasi. Atau sekedar formalitas, untuk keperluan liputan media. Menunjukkan kesan keberpihakan pada rakyat yang sedang terkena musibah. Dimana ada bencana kan biasanya ada media… nah, jangan sampai terliput media, tanpa ada usaha dong… (Hmmm… bagian dari kepentingan politik pencitraan ?) Jadi, begitu suasana kembali normal, musim penghujan usai, tidak ada lagi sorot kamera media, maka usahapun selesai… Sampai jumpa dikunjungan banjir berikutnya…
Atau… Mungkin juga karena penduduk negeri ini sangat banyak, sehingga bencana dapat dianggap sebagai ‘’seleksi alam’’ pengurangan penduduk. Daripada pusing-pusing merencanakan & menggerakkan program Keluarga Berencana yang semakin tahun semakin tidak jelas tingkat keberhasilannya, lumayan sudah terbantu oleh bencana.
Aaah… Banjir kok dipusingkan… Sudah Tradisi…
-PriMora Harahap-
20 Jan 2009
note:
tulisan ini dipostingkan juga di blog Kompasiana (Kompas.com) dan Detik blog (Detik.com) pada kategori sosial, serta di Mora's blog
Senin, 19 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar